Ada yang menarik jika kita menyelami latar belakang dan konsep perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Sejak awal, Habib Luthfi menyelami Maulid Nabi secara historis, bukan hanya religius. Oleh karena itu, sebagaimana ditulis Ahmad Tsauri dalam Sejarah Maulid Nabi, perayaan Maulid Nabi ala Habib Luthfi merupakan rangkaian sejarah yang jejaknya bisa ditarik hingga pertama kali ia diperingati, yakni di era kekuasaan Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah.
Dalam catatan Ahmad Tsauri, sejak awal perayaannya, Maulid Nabi telah menyimpan latar belakang fakta menarik. Pertama, inisiatif perayaan Maulid Nabi pertama datang dari seorang perempuan Persia yang cerdas, berwawasan luas, dan bijaksana bernama Al-Khaizuran (173 H). Ia adalah istri Khalifah Al-Mansur dan ibu dari dua Khalifah Abbasiyah, Al-Hadi dan Harun Al-Rasyid, yang juga terkenal lantaran mewarisi tiga ciri yang melekat pada ibunya tersebut, sehingga di tangannya peradaban Islam mencapai salah satu masa keemasan.
Maka, jika dihayati pula secara historis, perayaan Maulid Nabi merupakan salah satu momentum meneguhkan kembali diangkatnya derajat wanita dalam Islam: mereka berperan dalam memunculkan salah satu ritual terbesar dalam sejarah peradaban Islam pasca-Nabi yang gaungnya tak pernah sepi hingga kini.
Kedua, inisiatif perayaan Maulid Nabi oleh Al-Khaizuran dimaksudkan sebagai benteng kultural Islam agar masyarakat Muslim saat itu tidak turut merayakan Nairuz dan Mahrajan, dua perayaan kuno Persia yang tetap semarak ketika Islam mendominasi wilayah Persia.
Maka, lagi-lagi jika dihayati secara historis, perayaan Maulid Nabi menyimpan warisan berupa pendekatan kultural dalam merespons masalah. Apa yang dinilai sebagai masalah saat itu, yakni perayaan Nairuz dan Mahrajan, direspons bukan dengan memfatwakan haram merayakannya atau mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, namun lewat pendekatan kultural dengan menyediakan alternatif lain yang tidak kalah bergengsinya dan berpijak pada tradisi Islam.
Dan terbukti, ia jauh lebih efektif, popoler, dan lintas sejarah ketimbang pendekatan hukum. Hukum di sini, misalnya, berbasis fatwa pelarangan sebagaimana pernah dikeluarkan Ibn Taimiyah yang sifatnya temporal dan sangat terikat konteks saat itu. Persisnya ketika itu sedang berkecamuk Perang Salib yang mana fatwa itu lebih berorientasi meneguhkan politik identitas keislaman.
Tinggalkan Balasan