Makna Ushuluddin
Ushul adalah kata bahasa Arab, jamak dari kata ashl (اصل), yang berarti dasar-dasar, asas dan pondasi. Ashl yaitu sesuatu yang bangunan lain berdiri tegak di atasnya. Kata majemuk “Ushululddin” secara gramatikal adalah kata yang menunjukkan sekumpulan keyakinan dasar dan menjadi pondasi agama Islam, dimana setiap muslim harus memiliki keyakinan-keyakinan ini sehingga bisa disebut sebagai orang Islam, dan mengingkari salah satu saja dari keyakinan-keyakinan tersebut akan menyebabkan kekafiran. Ushuluddin berupa pemahaman dan keyakinan. Sedangkan furu’uddin (cabang agama) berupa perbuatan atau amal yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia, seperti salat, haji dan jihad.
Di samping maknanya yang masyhur ini, istilah ushuluddin juga bermakna lain, misalnya bermakna ilmu kalam.[1] [2]
Cakupan Ushuluddin
Pemahaman-pemahaman yang dikategorikan ke dalam ushuluddin adalah:
Tauhid
Nubuwah (Kenabian)
Ma’ad (Hari Akhir)
Syiah menambahkan dua dasar keyakinan lain—Keadilan Ilahi dan Imamah—ke dalam ushuluddin sebagai ushul mazhab (Syiah Imamiyah), sementara mazhab lain tidak memasukkannya. Meskipun tidak meyakini keadilan dan imamah tidak akan menyebabkan seseorang keluar dari Islam, namun kedua ushul itu menjadi syarat seseorang disebut Syiah. Seseorang yang tidak meyakini keadilan Ilahi dan imamah tidak dapat disebut sebagai orang Syiah.
Sejarah Singkat
Istilah ushuluddin tidak ditemukan dalam Alquran dan hadis. Istilah ini sepertinya dibuat oleh para ulama dan ahli kalam Islam pada pertengahan abad kedua Hijriah. Pada masa itu dimulainya pembahasan-pembahasan teologi dan keyakinan sebagai pengaruh dari sebagian kehidupan politik dan sosial di tengah-tengah umat Islam, sehingga memunculkan kelompok-kelompok dan golongan-golongan mazhab. Mereka masing-masing menetapkan batasan Islam dan keyakinan-keyakinannya sendiri.
Dalam beberapa hadis diisyaratkan tentang Islam yang memiliki dasar-dasar dan rukun-rukun. Misalnya, disebutkan dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq as yang menjawab pertanyaan tentang akidah-akidah Islam yang harus diyakini, “Kesaksian atas tauhid (keesaan Allah) dan kenabian Nabi Muhammad saw, percaya terhadap apa yang datang dari Allah, membayar zakat dan memberikan jiwanya pada wilayah Ahlulbait Nabi Saw.”[3]
Dalam hadis Imam Baqir as disebutkan, “Islam mempunyai lima dasar: Salat, zakat, puasa, haji dan wilayah, dimana berwilayah ini paling penting di antara yang lainnya.”[4] Hadis-hadis dari para Imam Syiah ini menunjukkan bahwa sebagian perkara-perkara itu berkaitan dengan agama Islam yang jika tidak meyakininya akan menyebabkan pengingkaran atas agama.
Yakin dan Prasangka
Telah disepakati bahwa percaya kepada ushuluddin adalah sebuah kemestian dan tidak ada perbedaan pendapat mengenainya. Namun terdapat perbedaan pendapat tentang apakah percaya terhadap ushuluddin harus berdasarkan ilmu yang sudah yakin dan pasti ataukah cukup dengan sebuah zhan (prasangka). Jika harus berdasarkan ilmu yang pasti, apakah ilmu tersebut harus berdasarkan dalil ataukah cukup dengan taklid. Pendapat kebanyakan menyatakan bahwa percaya terhadap ushuluddin harus berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang pasti dan tidak cukup berdasarkan prasangka saja.
Dalil atas pendapat ini adalah Al-Quran dan hadis-hadis yang mecela prasangka. misalnya, “Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (Surah Yunus: 36), “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka,” (Surah Al-An’am:116) dan “mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja” (al-Jatsiyah: 24).[5]
Sebagian orang memiliki pendapat lain yang berbeda dengan pandangan ini, bahwa prasangka yang kuat dalam kepercayaan terhadap ushuluddin adalah cukup. Mereka mengatakan prasangka yang kuat bisa menenangkan jiwa dan ilmu yang dipercaya menurut pembuat syariat juga sebagai sumber ketenangan dan ketentraman jiwa.[6] Oleh karena itu, yang penting dalam mengimani ushuluddin adalah keyakinan, yang mereka sebut sebagai keyakinan umum. Dalam keyakinan umum tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan, namun karena kemungkinannya bersifat lemah, maka tidak perlu diperhatikan. Berbeda dengan keyakinan secara mantik (logika) dalam pengertian khusus, dimana kemungkinan salahnya menjadi tidak ada.
Tinggalkan Balasan