Ketika berada di hadapan tubuh saudaranya, Imam Husain as, yang berlumuran darah, Zainab langsung menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata, “Wahai Tuhanku, inilah sedikit pengorbanan yang kami berikan di jalan-Mu, maka terimalah pengorbanan ini dari kami.”
***
Zainab binti Ali bin Abi Thalib As (bahasa Arab:زینب بنت علي بن أبی طالب) adalah seorang putri dari keturunan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah sa (l. 5 H/626 atau 6 H/627 – w. 62 H/681). Dia adalah istri Abdullah bin Jakfar dan turut hadir bersama Imam Husain as pada Peristiwa Karbala. Usai perang, ia ditawan bersama sekelompok Ahlulbait Imam Husain as lainnya. Dia beserta rombongan dibawa ke kota Kufah dan dari sana ke Syam. Ketika menjadi tawanan, selain menjaga dan melindungi para tawanan lainnya, ia juga menyampaikan pidato-pidato yang sangat menggelora dan mencerahkan. Zainab al-Kubra sa dengan keberanian dan kefasihan serta keterampilannya telah menyebabkan langgengnya kebangkitan Asyura. Karena dia banyak mengalami musibah maka dia diberi lakab dengan Ummul Mashāib.
Nasab, Kelahiran, Nama, Gelar dan Julukan
Zainab adalah putri Imam Ali as dan ibunya adalah Sayidah Fatimah sa. [1] Zainab adalah namanya yang paling terkenal yang dalam bahasa Arab berarti pohon yang indah dipandang dan harum [2] dan makna lainnya adalah “Zein Ab” yaitu hiasan (bagi) ayah.[3].
Sayidah Zainab sa lahir di kota Madinah pada 5 Jumadil Awal 5 H[4] Hari ini di Iran diperingati sebagai “Hari Perawat”.
Berdasarkan beberapa riwayat, penamaan Sayidah Zainab sa dilakukan oleh Nabi saw. Dikatakan bahwa malaikat Jibril atas perintah Allah swt datang dan memberikan nama tersebut kepada Nabi saw. [5] Dalam buku al-Khashāish al-Zainabiyah dimuat bahwa Nabi saw menciumnya dan bersabda, “Aku berwasiat kepada umatku yang hadir dan yang tidak hadir untuk menjaga kehormatan anak perempuan ini. Karena sesungguhnya dia bagaikan Khadijah al-Kubra sa.[6]
Dinukil bahwa Sayidah Zainab sa mempunyai banyak gelar, seperti Aqilah bani Hasyim, Ālimah Ghairu Mu’allamah, Ārifah, Muwatsaqah, Fādilah, Kāmilah, Ābidatu Āli ‘Ali, Ma’sumah Sughrā, Āminatullah, Nāibatu az-Zahra, Nāibatu al-Husain, Aqilatu an-Nisa, Syarikatu as-Syuhadā, Bālighah, Fashihah dan Syarikatu al-Husain. [7]
Karena beliau banyak menyaksikan ujian yang berat dalam kehidupannya (kepergian datuknya Nabi saw, kepergian dan beban berat ibunya, kesyahidan ayahnya Amirul Mukminin as, kesyahidan saudaranya Imam Hasan al-Mujtaba as, peristiwa Karbala, kesyahidian saudaranya Imam Husain as dan dua anaknya, kerabat-kerabatnya yang lain dan seluruh syuhada, dan menjadi tawanan di Kufah dan Syam) maka dia dijuluki juga dengan Ummul Mashāib (ibu segala musibah). [8]
Suami dan Anak-anak
Zainab pada tahun 17 H menikah dengan Abdullah putra Ja’far ath-Thayyar . Dalam sebagian sumber dicantumkan bahwa empat putra dengan nama Ali, Aun, Abbas, Muhammad dan seorang putri bernama Ummu Kultsum, telah dicatat sebagai putra putri Zainab dan Abdullah. [9] Aun dan Muhammad mati syahid dalam tragedi Karbala. [10] keturunan dari anak-anak Ali disebut dengan Zainabiyun. [11]
Muawiyah melamar Ummu Kultsum untuk anaknya Yazid, namun Imam Husain as menikahkannya dengan anak sepupunya Qasim bin Muhammad bin Ja’far bin Abi Thalib. [12]
Kecintaannya Kepada Imam Husain as
Sayidah Zainab di masa kecilnya benar-benar sangat mencintai Imam Husain as. Setiap kali penghulu para syuhada ini tidak berada di tempat, ia merasa tidak enak hati dan ketika melihat keindahan saudaranya, wajahnya kembali ceria. [13] Jika ia menangis, maka ia kembali tenang dan tentram setelah berjumpa Imam Husain as atau mendengar suaranya. [14]
Kecintaan yang langka dan ajaib inilah yang menyebabkan kebersamaannya dengan Imam Husain as. Pada suatu hari ketika Fatimah az-Zahra sa menyampaikan sebuah perkara kepada ayahnya, Nabi saw bersabda, “Buah cahaya hatiku, anak perempuan ini akan pergi bersama Husain ke Karbala dan ia akan ikut menderita dalam musibah dan penderitaan saudaranya.” [15]
Pada hari Asyura, ia membawa kedua anaknya yang masih muda yang bernama Muhammad dan Aun ke hadapan Imam Husain as dan berkata, “Allah swt telah menerima pengorbanan kakekku, Ibrahim Khalil as, maka terimalah pengorbananku ini! Seandainya jihad untuk para wanita tidak dilarang, maka setiap saat aku siap untuk memberikan jiwaku.” [16]
Keistimewaan, Keutamaan dan Kebajikan
Ilmu Pengetahuan dan Retorika
Ucapan dan ceramah-ceramah yang berisi dalil-dalil Alquran yang disampaikan Sayidah Zainab sa secara bijak di majelis Ibnu Ziyad di Kufah dan di istana Yazid, masing-masing menunjukkan akan kemampuan ilmu yang dimilikinya. Ia menyampaikan hadis-hadis dari ayahnya, Imam Ali as dan ibunya, Fatimah sa. [17] Selain itu, ilmu dan kepintarannya tercermin pada pengajaran dan tafsir Alquran yang ia ajarkan kepada para wanita Kufah semasa pemerintahan ayahnya, Ali as.[18]
Sayidah Zainab sa memiliki kedudukan penjelas riwayat dan hadis; sebagaimana Muhammad bin Amr, Atha bin Saib, Fatimah binti Husain sa dan yang lainnya meriwayatkan hadis dari Zainab sa. [19] Ia juga menukil riwayat-riwayat dari para Maksum dalam tema yang beragam, di antaranya mengenai kedudukan orang-orang Syiah, mencintai keluarga Nabi, peristiwa Fadak, tetangga, pengutusan Nabi, dan lain-lain.
Aqilah Bani Hasyim ini bahkan menguasai ilmu-ilmu yang dipelajari dari ayahnya tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa depan. [20]
Ibadah
Sayidah Zainab al-Kubra sa selalu mengerjakan ibadah di malam hari dan semasa hidupnya ia tidak pernah meninggalkan salat tahajud. Begitu sibuk melakukan ibadah sehingga ia dijuliki dengan “Ābidatu Āli Muhammad” (perempuan ahli ibadah keluarga Muhammad). [21] Ia juga tidak pernah meninggalkan bangun malam yang diisi dengan munajat kepada Allah, sekalipun pada saat malam ke-10 dan ke-11 Muharram. Fatimah putri Imam Husain as berkata, “Pada malam Asyura, bibiku senantiasa berdiri di dalam mihrabnya, salat dan munajat sementara air matanya senantiasa mengalir ke pipinya. [22]
Keterikatan Sayidah Zainab sa dengan Yang Maha Kuasa begitu erat sehingga Imam Husain as di hari Asyura ketika berpisah dengan saudara perempuannya ini berkata:
“یا اختی لا تنسینی فی نافلة اللیل”
“Wahai adik perempuanku, jangan kau lupakan aku di dalam salat-salat malammu”. [23]
Hijab dan Kesucian
Berkenaan dengan hijab dan kesucian Sayidah Zainab, sejarah mencatat bahwa ketika Zainab sa hendak pergi ke pusara Rasulullah saw di Masjid Nabawi, Ali as menyuruhnya untuk pergi di malam hari. Ali as berkata kepada Hasan dan Husain, “Temani saudara perempuan kalian”. Hasan berjalan di depannya dan Husain berjalan di belakangnya dan Zainab berjalan di tengah mereka. Mereka diperintahkan oleh penghulu para muttaqin, Imam Ali as, untuk memadamkan cahaya lampu yang menerangi pusara Rasulullah saw, sehingga pandangan orang-orang yang bukan mahram tidak tertuju pada tubuh Sayidah Zainab sa. [24]
Yahya Mazani berkata, “Aku sudah lama menjadi tetangga Imam Ali as di Madinah. Aku bersumpah demi Allah, selama aku menjadi tetangganya tidak pernah melihat Sayidah Zainab dan tidak pernah mendengar suaranya. [25]
Kesabaran dan Ketekunan
Dari sisi kesabaran dan ketekunan, Sayidah Zainab sa adalah satu-satunya orang yang memiliki kedua sifat tersebut. Ketika berada di hadapan tubuh saudaranya, Imam Husain as, yang berlumuran darah, ia langsung menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata, “Wahai Tuhanku, inilah sedikit pengorbanan yang kami berikan di jalan-Mu, maka terimalah pengorbanan ini dari kami.” [26]
Seorang peneliti berkata, “Di antara gelar-gelar Sayidah Zainab sa adalah Ar-Radhiyah bil Qadri wal Qadha yaitu ridha atas ketentuan qadha dan qadar Ilahi. Sayidah Zainab begitu tegar menghadapi berbagai kesulitan dan musibah yang mana jika sedikit saja dari musibah dan kesulitan itu ditimpakan kepada gunung yang kokoh maka gunung akan meleleh seketika. Tetapi sosok yang teraniaya ini begitu kuat dan tegar, terasing dan sendiri bagaikan gunung yang mencakar langit. Ia tetap tegak menghadapi semua permasalahan. [27]
Ia berkali-kali menyelamatkan nyawa Imam Sajjad as dari kematian. Di antaranya, ketika di majelis Ibnu Ziyad, setelah Imam Sajjad beradu argumen dengan Ibnu Ziyad, Ibnu Ziyad mengeluarkan surat perintah untuk membunuh Imam. Pada saat itu, Sayidah Zainab meletakkan tangannya di leher putra saudara laki-lakinya dan berkata, “Selama aku hidup tak akan kubiarkan kalian membunuhnya.” [28]
Kefasihan dan Kesastraan
Zainab sa telah mewarisi kefasihan dan kesastraan dari ayah dan ibunya. Ketika ia berbicara seakan-akan ayahnya yang sedang berbicara. [29] Perkataan dan ucapan yang ia sampaikan di Kufah dan di majelis Yazid, juga perbincangan yang terjadi antara ia dan Ubaidillah bin Ziyad, serupa dengan khutbah-khutbah yang disampaikan oleh Imam Ali as dan khutbah Fadakiyah ibunya, Fatimah Zahra sa. [30]
Ketika Sayidah Zainab sa berada di Kufah dan menyampaikan khutbah fasihnya, orang-orang saat itu gigit jari dan saling pandang sambil tercengang! Pada saat itu, seorang laki-laki tua berkata sambil menangis, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan mereka yang telah menghabiskan waktu mereka dengan sebaik-baiknya penghabisan, anak-anak mereka adalah anak-anak terbaik, perempuan-perempuan mereka sebaik-baiknya perempuan dan keturunan mereka adalah keturunan paling baik dan paling agung dari semua keturunan. [31]
Zainab sa dalam Peristiwa Karbala
Kebangkitan Asyura dengan kesyahidan Imam Husain as tidak sampai pada tujuan akhir, akan tetapi petunjuk dan kepemimpinannya beralih ke tangan anak perempuan Ali as. Sayidah Zainab sa telah mendapatkan tugas dari saudaranya dan Imam as dalam wasiatnya telah menyampaikan beberapa perkara kepadanya. Pada sore hari Asyura ketika Zainab sa menyaksikan Imam Husain as jatuh di atas tanah dan musuh-musuh berada di sekitar tubuhnya dengan bertujuan membunuhnya, ia keluar dari kemahnya. Ia memanggil Ibnu Sa’ad dengan panggilan yang demikian:
“یابن سَعد! اَیقتَلُ اَبُو عبداللّه وَ انتَ تَنظُرُ اِلَیهِ؟”
“Hai putra Sa’ad! Abu Abdillah akan dibunuh sementara engkau hanya melihatnya?” [32]
Ibnu Sa’ad tidak menjawab sedikitpun. Kemudian Zainab Kubra berteriak:
“وا اخاه! وا سیداه! وا اهل بیتاه! لیت السماء انطبقت علی الارض و لیت الجبال تدكدكت علی السهل”
“Oh saudaraku! Oh pemimpinku! Oh keluargaku! Oh, andai saja langit berbalik jatuh ke bumi! Oh, andai saja gunung hancur dan pecahannya terpencar di tepian pantai.” [33] Sayidah Zainab sa dengan rangkaian kata-kata ini, telah memulai priode kedua kebangkitan Asyura. Zainab mendatangi saudaranya dan menengadahkan wajahnya ke langit seraya berkata, “Ya Allah, terimalah pengorbanan ini!” [34]
Ia melewati malam keterasingan para syahid di padang sahara dengan iringan tangis, lantunan yang memilukan hati-hati yang lara, air mata dan rintihan duka para kekasih sambil merawat para yatim. Ia lewatkan malam itu dengan salat dan bermunajat kepada Tuhan hingga subuh.
Sikap Zainab sa Pada Peristiwa Pembunuhan Saudaranya
Ketika berada di samping tubuh Imam Husain as, Sayidah Zainab sa menghadap ke arah Madinah dan menyampaikan ratapan-ratapan yang memilukan hati:
“وا محمّداه! بَناتُكَ سَبایا وَ ذُرّیتُك مُقَتّله، تسفی علیهم رِیحُ الصّبا، و هذا حُسینٌ مجزوزُ الَّرأسِ مِنَ القَفا، مَسلُوبُ العمامِةِ و الرِّداء”
“Ya Nabi, mereka ini adalah anak-anak perempuanmu yang berjalan dalam keadaan tertawan. Mereka adalah anak-anak keturunanmu dengan tubuh berlumuran darah, tergeletak di atas tanah dan tubuh mereka diterpa angin. Ya Rasulullah! Inilah Husain yang kepalanya telah terpenggal dari lehernya, jubah serta sorbannya dijarah.” [35]
“Ayahku bukan tebusan orang yang menjarah pasukan-pasukannya, kemudian merusak kemahnya! Bukan tebusan seorang musafir yang sudah tidak memiliki harapan untuk kembali.” [36]
Perkataan dan rintihan-rintihan Sayidah Zainab sa telah mempengaruhi kawan dan lawan. Mereka semua dibuatnya terpaksa menangis. [37]
Di Kufah
Setelah hari Asyura, para tawanan dibawa ke Kufah. Mereka diarak dengan kondisi yang memilukan hati. Sejak awal pintu masuk kota Kufah, Sayidah Zainab sa berpidato yang cukup mempengaruhi para khalayak yang hadir di sana. Busyrin Khuzaim Asadi mengenai Khutbah sayidah Zainab berkata, “Pada hari ini, aku melihat Zainab putri Ali as. Aku bersumpah demi Allah, tidak pernah kulihat seseorang yang begitu mumpuni dalam berpidato; seakan-akan ia berucap dengan ucapan Ali bin Abi Thalib as. Ia membungkam masyarakat dengan berkata, “Diamlah kalian semuanya!” Dengan keterbungkaman ini, tidak hanya membuat kumpulan orang yang berjubel itu diam, bahkan dentangan lonceng unta-unta pun ikut tidak bersuara. [38]
Sayidah Zainab sa mengakhiri pidatonya. Ia telah menciptakan gelombang semangat yang sangat dalam di kota Kufah dan kondisi kejiwaan masyarakat pun goyah. Perawi berkata, “Setelah Zainab putri Ali as menyampaikan pidatonya, seluruh masyarakat terheran-heran sambil menggigit tangan-tangan mereka.” Di akhir pidatonya, mulai terasa gejolak kota dan kebangkitan perlawanan terhadap pemerintah. Untuk mencegah revolusi masyarakat terhadap pemerintah yang zalim, panglima pasukan mengirim para tawanan keluarga Nabi saw ke Darul Imarah, pusat pemerintahan Ubaidillah bin Ziyad. [39]
Sayidah Zainab sa bersama para tawanan memasuki Darul Imarah kota Kufah. Di sana ia berdialog dengan gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad. [40] Ucapan dan perkataan Sayidah Zainab sa memberikan pengaruh yang dalam kepada para penduduk. Ia telah membongkar kejahatan Bani Umayah. Kemudian Ubaidillah mengeluarkan perintah untuk memenjarakan mereka. Pidato Sayidah Zainab sa, perkataan Imam Sajjad as, Ummu Kultsum dan Fatimah binti Husain sa di kota Kufah serta Darul Imarah dan protes-protes yang dilancarkan oleh Abdullah bin Afif dan Zaid bin Arqam telah membuat penduduk Kufah berani dan menyiapkan lahan untuk bangkit melawan pemerintah yang zalim. Setelah mendengar ucapan dan pidato yang menggugah dari Sayidah Zainab as, Penduduk Irak benar-benar menyesal dan mulai berpikir bagaimana cara mengangkat kenistaan atas pembunuhan keluarga Nabi. Dengan bentukan-bentukan baru akhirnya mereka mengadakan perkumpulan dan bergabung bersama Mukhtar al-Tsaqafi.
Di Syam
Setelah peristiwa Karbala, Yazid bin Muawiyah memerintahkan Ubaidillah supaya mengirim rombongan Sayidah Zainab sa dan orang-orang yang bersamanya beserta kepala-kepala para syuhada ke Syam. Keluarga Imam Husain pun berjalan menuju kota Syam. [41]
Kondisi pemerintahan Yazid ketika masuknya para tawanan begitu kuat dan kokoh. Sebuah kota yang penduduknya bertahun-tahun mempunyai kebencian terhadap keluarga Ali as. Bertahun-tahun mereka termakan propaganda-propaganda yang dilakukan oleh keluarga Abu Sufyan. Dengan demikian, tidaklah heran ketika Ahlulbait Nabi memasuki kota Syam, para penduduk memakai pakaian baru dan kota dihiasi dengan gemerlap, para penyayi sibuk mendendangkan lagu-lagunya dan penduduk tenggelam dalam kesenangan dan kegembiraan seakan-akan kota Syam tenggelam dalam kesenangan. [42]
Akan tetapi dalam waktu singkat, para tawanan memanfaatkan kondisi dan mengubahnya. Sayidah Zainab sa dan Imam Ali Zainal Abidin as menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan pidato. Keduanya membongkar segala kejahatan Bani Umayah. Di satu sisi, mereka mengubah permusuhan dan kebencian penduduk Syam terhadap Ahlulbait as menjadi kecintaan dan kerinduan. Di sisi lain, berhasil menciptakan kemarahan secara umum terhadap Yazid. Yazid sendiri melihat bahwa pembunuhan yang ia lakukan terhadap Imam Husain as bukan menjadikan kondisi menjadi lebih baik, justru hal tersebut malah menciptakan pukulan hebat yang menggoncangkan pemerintahannya.
Di Istana Yazid
Yazid mengadakan sebuah acara yang sebelumnya tidak pernah dibuat. Para bangsawan, pembesar dari berbagai negara dan para panglima pasukan ikut hadir dalam majelis tersebut. [43] Di hadapan para tawanan, Yazid melantunkan bait-bait syair kekufuran dan berkata mengenai kemenangannya. Ia juga menakwilkan ayat-ayat Alquran yang bermanfaat dan menguntungkan dirinya. [44]
Yazid dengan tongkat kayu di tangannya melakukan kebiadaban terhadap kepala suci cucu Nabi saw]] yang terpenggal di hadapannya. [45] Kedengkiannya terhadap Nabi dan Islam yang terpendam di dalam hatinya diluapkan dan tampakkannya. Ia kemudian melantunkan bait-bait syair sebagai berikut:
“Seandainya para pembesar kabilahku yang terbunuh di perang Badar masih hidup dan melihat bagaimana kelompok kaum Khajraj merintih karena pedang-pedang kami, sehingga mereka berteriak dengan senangnya, “Wahai Yazid! Jangan kau lunakkan tanganmu!” Kami telah membunuh para pembesar Bani Hasyim. Dan itu kami hitung sebagai pembalasan kekalahan di perang Badar. Kemenangan ini tebusan kami atas kekalahan tersebut. Bani Hasyim telah bermain dengan kekuasaan. Padahal, tidak pernah ada berita yang datang dari langit ataupun wahyu yang turun kepada mereka. [46] Aku bukanlah keturunan Khunduf [catatan 1] jika tidak membalaskan dendam nenek moyangku terhadap anak cucu Ahmad.
Serentak tiba-tiba Zainab Sa bangkit dari sudut majelis dan dengan lantang membantah ucapan-ucapan Yazid. Pidato yang disampaikan Zainab di istana hijau Yazid telah membuka kebenaran Imam Husain as dan membongkar kebatilan perbuatan-perbuatan Yazid. Pidato Zainab di majelis Yazid yang masuk akal telah mempengaruhi para pendengar yang hadir di sana. Hal itu menyebabkan Yazid menunjukkan sikap agak lunak dan lembut terhadap para tawanan. Ia menjaga jangan sampai timbul reaksi yang menyulitkan. [47]
Yazid akhirnya meminta saran kepada para pejabat di sekelilingnya tentang apa yang harus ia lakukan terhadap para tawanan. Walaupun sebagian orang mengatakan supaya nasib mereka disamakan dengan para syuhada lainnya, namun Nu’man bin Basyir menasehatinya supaya bersikap lemah lembut. [48]
Atas pengaruh pencerahan Sayidah Zainab sa, Yazid terpaksa melimpahkan kejahatan-kejahatan dan pembunuhan terhadap Imam Husain as ke atas pundak Ibnu Ziyad dan kemudian melaknatnya. [49]
Yazid kemudian mengizinkan mereka untuk melakukan bela sungkawa dan duka cita beberapa hari di kota Syam. Perempuan-perempuan keluarga Sufyan, yang di antaranya Hindun istri Yazid, di sebuah tempat tak berpenghuni pergi menyambut Ahlulbait as. Ia menciumi tangan dan kaki anak-anak perempuan Rasulullah saw sambil menangis dan merintih. Mereka mengadakan duka cita selama tiga hari. [50]
Akhirnya, para tawanan keluarga Nabi saw kembali ke kota Madinah dengan penuh kemuliaan dan penghormatan. [51]
Wafat
Sayidah Zainab sa wafat pada hari Minggu tanggal 15 Rajab tahun 62 H.[52] Sebagian lagi meyakini bahwa ia wafat pada 14 Rajab. [53]
Tempat Pemakaman
Ada tiga pandangan tentang tempat pemakaman Sayidah Zainab:
Syam: Secara masyhur diketahui bahwa makam Sayidah Zainab sa berada di Syam. Sekarang tempat ini berada di bagian selatan Damaskus. dikarenakan adanya Haram Sayidah Zainab, daerah ini disebut dengan “kota kecil Sayidah Zainab”. [54]
Mesir: Sebagian sejarawan meyakini bahwa makam Sayidah Zainab sa berada di Mesir. [55] makam ini terletak di Kairo, di daerah kawasan Sayidah Zainab, dan dibangun kembali pada tahun 1173 H. Tempat ini dikenal dengan makam al-Sayidah Zainab dan Masjid al-Sayidah Zainab. [56]
Pemakaman Baqi: Sebagian dari ahli sejarah menganggap pemakaman Baqi di Madinah adalah tempat pemakaman Sayidah Zainab sa. Sayid Mohsen Amin menerima perkataan ini dan menyatakan beberapa alasan untuk menolak dua perkataan lainnya. [57]
Catatan Kaki
Tinggalkan Balasan