Kalimat pertama Rasulullah saw kepada masyarakat Mekah di awal permulaan dakwah secara terang-terangan juga mengandung dua aspek tauhid ini: Kesaksian akan keesaan Tuhan dan menjauhi syirik.
***
SYIAHPEDIA.ID – Tauhid (bahasa Arab: التوحيد) berarti mengesakan Tuhan. Tauhid merupakan pokok keyakinan yang paling mendasar dan syiar terpenting Islam. Ajaran pertama yang dijelaskan oleh Nabi Islam untuk masyarakat adalah keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang dituangkan dengan kalimat La Ilaha Illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Semua ajaran-ajaran keyakinan, akhlak dan fikih Islam bermuara kepada tauhid. [1] Kaum muslimin setiap hari dalam azan dan salat mereka, bersaksi akan keesaan Allah Swt.
Dalam tauhid nazari (teoritis) mencakup keyakinan terhadap tauhid semua perkara Allah. Allah memiliki Dzat Esa, tidak ada serupa dan padanan bagi-Nya (tauhid dzati/ pengesaan Tuhan dalam dzat), dalam perbuatan-Nya juga tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan semua eksistensi membutuhkan-Nya (tauhid af’ali/perbuatan). Adapun tauhid amali (amal dan perbuatan kita dalam menegakkan keesaaan Tuhan) juga hanya Allah sematalah yang layak untuk disembah dan sudah semestinya kaum Muslimin melaksanakan amalan-amalan agamanya hanya untuk Allah semata (tauhid af’ali) dan meminta bantuan hanya kepada-Nya. Menurut perspektif Syiah, bahkan sifat-sifat Allah juga tak lain adalah (identik) Dzat Allah itu sendiri (tauhid sifat/pengesaan Tuhan dalam sifat).
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran mengisyaratkan tentang tauhid dan kedudukan Allah Swt. Menurut Al-Quran, keyakinan tauhid merupakan akar fitrah manusia, seluruh para nabi menyerukan tauhid dan upaya terbesar mereka adalah menghilangkan syirik dan praktek-praktek kesyirikan dan sejatinya tujuan pengutusan para nabi adalah melawan kesyirikan dan penyembahan Tuhan yang Esa. Sebagian kaum Muslimin, dengan tafsir-tafsir tidak populer tentang makna ibadah mengklaim sebagian sikap-sikap yang marak dari kaum Muslimin bertentangan dengan tauhid. Ideologi ini sangat dikritik oleh mayoritas cendekiawan Syiah dan Ahlusunah.
Makna Tauhid
Tauhid berasal dari kata “wa-ha-da“, berartikan mengucapkan satu. [2] Dalam Arab baru juga berartikan menyatukan. [3] Kata wahada – dimana merupakan asal kata wâhid, wahîd, wahd (wahdahu, wahdaka, wahdî) yang diambil darinya – menunjukkan akan satu dan penggunaan kata-kata ini untuk Allah juga melihat makna ini. [4]
Menurut hadis, Rasulullah saw memakai kata tauhid dengan proposisi kalimat La Ilaha Illa Allah Wahdahu la Syarikalah dan semisalnya. [5] Penggunaan ini juga terdapat dalam hadis-hadis para Imam. [6]
Sejak abad kedua dan seterusnya, penggunaan kata tauhid dalam makna ini dan selanjutnya, marak dalam pengisyarahan sekumpulan pembahasan-pembahasan yang terkait dengan wujud, sifat dan perbuatan Allah dan dalam hadis Syiah juga dipakai dalam makna luas ini. [7]
Selanjutnya, perkembangan makna ini menjadi dasar penyusunan karya buku dengan judul Kitab al-Tauhid, yang membahas tentang ajaran-ajaran ini. Bahkan ilmu kalam (teologi) dinamakan dengan ilmu al-Tauhid dan terkadang ilmu al-Tauhid wa al-Sifat, karena pembahasan paling mendasarnya adalah pembahasan tauhid. [8]
Kedudukan Tauhid dalam Agama Islam
Ajaran tauhid merupakan poros ajaran Islam dan merupakan pesan terpenting Al-Quran. Masalah ini terlihat dari afirmasi Al-Quran dan riwayat-riwayat, sampai-sampai kurang lebih sepertiga ayat-ayat Al-Quran terkait masalah tersebut dan menurut legitimasi Al-Quran, semua pesan para nabi adalah keyakinan terhadap tauhid. [9]
Agama Islam mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut syirik sebagai sebuah dosa tak terampuni:
﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [10]
Dalam sebuah riwayat dari Amirul Mukminin as, tauhid merupakan dasar dan asas pengetahuan Allah swt. [11]
Menurut sejarah juga, dakwah Nabi Islam, sejak permulaan memiliki dua aspek positif dan negatif. Aspek positifnya adalah menyeru penghambaan semata-mata kepada Allah yang Esa dan aspek negatifnya adalah menyingkirkan penyembahan berhala dan segala keyakinan yang beraromakan kesyirikan. Seluruh ajaran dan syariat didasarkan pada ajaran dua aspek ini. Kalimat pertama Rasulullah saw kepada masyarakat Mekah di awal permulaan dakwah secara terang-terangan juga mengandung dua aspek tauhid ini: Kesaksian akan keesaan Tuhan dan menjauhi syirik. [12] Para utusan yang dia kirim ke kota-kota dan kabilah-kabilah juga diperintahakan – sebelum perkataan apapun – mengajak masyarakat untuk bersaksi dan menerima keesaan Allah swt. [13]
Urgensitas dan kedudukan poros keyakinan tauhid di tengah-tengah kaum muslimin menyebabkan sebagian orang menggunakan tauhid sebagai tanda kaum muslimin dan titik perbedaan mereka dengan para pengikut agama selainnya; dengan demikian kaum muslimin disebut dengan ahli tauhid. [14]
Tauhid dalam Al-Quran
Urgensitas pokok tauhid dalam Al-Quran sebagai konten asli wahyu Rasulullah saw tak lain adalah pendeklarasian keesaan Tuhan[15] dan untuk menghilangkan segala klaim non-tauhid juga diisyaratkan bahwa pemberi wahyu semua para nabi adalah satu Tuhan (yaitu Allah swt). [16]
Implikasi tentang keesaan Allah dalam Al-Quran diungkapkan dengan beragam ungkapan:
Dalam Al-Quran juga diketengahkan poin ini, yaitu dasar seruan semua para nabi dan topik utama wahyu untuk mereka adalah deklarasi keesaan Allah. [23] Al-Quran menuturkan bahasa Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih dan Nabi Syu’aib as yang berbicara kepada kaumnya, mâ lakum min Ilahin ghairuh. [24]
Demikian juga dalam rangka mencela orang-orang Kristen yang menyebut Isa as dan ibundanya sebagai Tuhan, Al-Quran mengingatkan bahwa pada hari kiamat kelak, Nabi Isa berlepas diri dari keyakinan ini dan akan mengatakan telah menyeru mereka kepada penghambaan Allah dan dengan inilah dia diperintahkan. [25]
Disamping kata Allah dan Ilah, kata Rab dalam Al-Quran juga lebih dipakai dari apapun untuk menegaskan akan keesaan Allah, khususnya dalam pengaturan semesta, yakni tauhid rububiyah [26] dan makna-makna yang telah disebutkan dalam ibarat-ibarat seperti Rabbul Âlamin (41 kali), Rabbus Samâwâti wa al-Ardh (10 kali), Rab al-Arsy, Rab al-Samâwâti al-Sab’i, Rab al-Masyriq wa al-Maghrib, Rab al-Masyariq, Rab al-Masyriqain wa Rab al-Maghribain, Rab kulli Syaiin, Rabb an-Nas, [27] adalah resonansi tauhid Al-Quran.[]
Bersambung:
Catatan Kaki
Tinggalkan Balasan