Latar Belakang dan Sejarah Monoteisme dalam Perspektif Al-Quran
Menurut perspektif Al-Quran, monoteisme karena ada dalam fitrah manusia, maka memiliki masa seukuran manusia itu sendiri; karena manusia pertama yang ada di atas muka bumi itu sendiri adalah seorang nabi yang monoteis. Dari sisi lain, menurut Al-Quran, di masa permulaan penciptaan manusia, semuanya adalah monoteisme dan syirik serta penyelewengan muncul setelahnya, karena mengikuti kelompok hawa nafsunya. [28]
Tauhid Fitri
Menurut ayat-ayat Al-Quran dan juga hadis, keyakinan tauhid dalam diri manusia merupakan tendensi fitri. Maksud dari fitri disini adalah bukanlah tendensi pencarian dan tidak membutuhkan pembelajaran dan pendidikan. Ayat fitrah dan ayat mitsaq dan juga surah Al-Ankabut ayat 65 termasuk ayat-ayat yang mana para mufasir menyimpulkannya sebagai kefitrian tauhid. [29]
Dalam banyak riwayat ditegaskan bahwa manusia dalam setiap kondisi dalam merujuk kefitriannya untuk pencipta dunia ini tidak menerima kecuali keesaan. Manusia bahkan jika lahiriahnya musyrik, namun saat ditanya tentang penciptanya, tidak akan memberikan pendapat kecuali tentang keesaan Allah swt. [30]
Tauhid dalam Hadis
Makna yang berkaitan dengan tauhid dalam hadis, khususnya hadis-hadis Ahlulbait as, memiliki sastra yang luas. Di tengah-tengah ini semua, pidato tauhid Imam Ali as sangatlah populer. Sejumlah hadis ini dalam tafsir dan penjelasan ayat-ayat tauhid Al-Quran mengetengahkan poin-poin ajaran tauhid, dan dalam sebagian tempat menjelaskan tentang argumentasi keesaan Allah dan maksud dari keesaan itu sendiri.
Penafian ajaran-ajaran non tauhid dan sikap-sikap non monoteis serta kesyirikan juga termasuk topik hadis-hadis ini. Kedudukan keyakinan terhadap tauhid dalam agama juga diketengahkan dalam sejumlah hadis. Menurut dasar hadis ini, beberapa pakar hadis menyiapkan karya dalam topik tauhid dengan nama atau nama serupa. Dengan memperhatikan keluasan hadis-hadis tauhid, dalam tulisan ini hanya cukup menuturkan beberapa contoh saja.
Menurut hadis, keyakinan akan tauhid merupakan amal hati terbaik dan muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan) terjauhkan dari azab dan ibarat paling dikasihi disisi Allah adalah La Ilaha Illa Allah. Imam Ridha as dalam sebuah hadis masyhur, Silsilah al-Dzahab, berkata, jika kalimat ini dipraktekkan dengan syaratnya (seperti wilayah kewenangan), maka akan menjadi tempat pelindung dan benteng keamanan Allah. Pada dasarnya pondasi agama adalah ma’rifah kepada Allah, yakni mengesakan-Nya dan ini juga merupakan ibadah kepada Allah. [31]
Makna Keesaan
Hadis-hadis Amirul Mukminin as dan para imam lainnya, sebelumnya menjelaskan dan menerangkan maksud dari keesaan. Penafian kesatuan bilangan dan I’tibari (relatif) serta penafsiran Esa dengan keabsolutan dzat dan tidak ada keserupaan dari satu sisi dan dari sisi lain juga menegaskan akan keluasan keesaan hak Allah dari pemahaman akal, telah dijelaskan dengan pelbagai ungkapan. Penjelasan tauhid dan penafian kesatuan bilangan dalam penjelasan Imam Ali as dituturkan sebagai berikut: Satu dapat dijelaskan menjadi empat bagian, dua bilangannya tidak dapat digunakan untuk Allah dan dua lainnya dapat dibenarkan.
Dua ibarat pertama adalah satu bilangan, dengan arti satu di hadapan dua sampai seterusnya, satu sebuah jenis dengan arti spesies dari sebuah jenis (atau bagian dari sebuah spesies). Dua lainnya adalah satu dengan arti tidak ada sepadan dan sekutu, satu dengan arti hakikat simpel (basit), yang tidak terealisasikan di luar, dalam akal, khayalan dan juga tidak dapat dibagi. Imam menjelaskan bagian akhir dengan topik ihda al-Ma’na dan menambahkan, kazalika Allah Rabbuna. Sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 73, dimana topik tersebut menolak Trinitas Nasrani, merupakan bukti akan penafian satu bilangan Allah. [32]
Ungkapan Wâhid la min ‘Adad, dalam hadis Imam Ali as [33] dan Ahadun la bi Ta’wîlin ‘Adadin dalam penjelasan Imam Ridha as [34] merupakan legimitasi lain akan penafian segala bentuk bilangan dari keesaan Allah.
Argumentasi Tauhid
Argumentasi keesaan Tuhan, khususnya dalam rangka membahas dengan para penentang juga terlihat dalam hadis. Dalam hadis, lebih dari apapun memperhatikan tauhid rububi dan mengambil kesimpulan keesaan sang pengatur dari keteraturan penciptaan, koneksi keteraturan dan keserasian perkara. [35] Dalam petuah panjang Amirul Mukminin kepada putranya juga dari satu sisi, dan mendekati argumentasi ini, menunjukkan akan keesaan Allah,
﴾لو کان لربّک شریک لاتَتک رُسُله و لرایتَ آثارَ مُلکِه و سُلطانِه﴿
Jika seandainya ada sekutu bagi Tuhanmu, maka utusan-utusannya akan mendatangimu dan engkau akan melihat bekas-bekas peninggalan kekuasaannya). [36]
Kelaziman adanya kesepadanan untuk Tuhan adalah munculnya tanda-tanda kekuatan dan kekuasaan kesepadanan tersebut dan terlihatnya kinerja-kinerjanya, dan yang lebih penting dari itu adalah adanya para nabi dari sisinya, sementara tidak ada satupun di alam semesta ini, yang keluar dari penisbatan Tuhan yang Esa, sehingga dapat diklaimkan akan bukti adanya Tuhan lain.
Tauhid Dzati
Tauhid Dzati merupakan tahapan pertama tauhid dan berartikan keyakinan akan keesaan dzat Allah swt. Dzat Allah tidak berbilang dan tidak menerima dualisme, yang tidak memiliki sepadan dan serupa. [37]
Riwayat tauhid Dzat ada dua makna: salah satunya adalah simpel dan tidak memiliki bagian, dimana disebut dengan ahadiyyat dzat (Unity of the Essensi) dan lainnya adalah tidak memiliki padanan dan serupa, yang disebut dengan wahdaniyyat dzat (Onenes of Essensi). [38]
Tauhid dzat dalam terminologi teologi, filsafat, dipakai untuk dua makna:
Dalam Al-Quran dalam surah Tauhid diisyaratkan kalimat ahad dalam ayat pertama dengan tauhid ahadi, yakni kesimpelan dzat Allah dan di akhir surah dengan ibarat wa lam Yakun lahu Kufwan Ahad, dan sama sekali tidak ada serupa dan sepadan bagi-Nya; menegaskan tauhid wahidi dan penafian sekutu bagi Allah. [39]
Tauhid Sifat
Tauhid sifat berartikan obyektivitas dzat Ilahi dengan sifat-Nya. Menurut mazhab Syiah, sifat Allah bukanlah hakikat yang berbeda dari dzat-Nya sehingga dzat tersebut disifati dengannya, namun semua sifat-sifat merupakan entitas satu sama lain dan juga entitas dzat, yakni, hakikat ilmu-Nya bukan selain qudrat-Nya, bahkan seluruh keberadaan-Nya adalah ilmu dan seluruh keberadaan qudrah dan sifat-sifat dzat lain-Nya dan semua sifat-Nya adalah entitas satu sama lain.
Penjelasannya adalah dalam makhluk semisalnya dalam sifat manusia, manusia yang tidak memiliki kehendak kerja, maka harus ditambahkan kehendak dalam dzatnya sehingga berkehendak. Yakni pertama-tama adalah jiwa manusia dan tidak ada kehendak, setelah itu terealisasikan kehendak dan jiwa memiliki kehendak. Namun Allah tidaklah demikian, dan tidak ada satu hal pun yang ditambahkan dalam dzat-Nya, sehingga sifat tersebut muncul dalam diri Allah. [40]
Disebutkan dalam khutbah Imam Ali as bahwa dzat Allah tidak menerima sifat. [41] Poin ini dengan penjelasan lebih, terlihat dalam khutbah tauhidiyyah Amirul Mukminin dalam Nahjul Balaghah: “Awal agama adalah mengenal Allah (ma’rifatuhu), dan kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan sifat-sifat-Nya.” [42]
Sejumlah teolog Asy’ari meyakini bahwa sifat Allah terpisah dari dzat-Nya, pada saat yang sama, dzat Ilahi qodim dan tidak diciptakan, perspektif ini disebut dengan qodim delapan. Sejatinya, pendapat ini melazimkan keyakinan beberapa Tuhan, yang kontras dengan ajaran-ajaran tauhid. [43]
Tauhid Af’al (Tauhid Perbuatan)
Maksud dari tauhid af’al adalah Allah dalam melakukan perbuatan-Nya tidak membutuhkan bantuan, penolong dan teman di luar dari dzat-Nya, Dia independen dan esa dalam melakukan setiap perbuatan: Berdasarkan tauhid af’ali, tidak ada satu eksistensi pun di dunia yang memiliki kekuatan berefek dan melakukan suatu pekerjaan kecuali dengan kekuatan yang diberikan oleh Allah kepadanya; semua kinerja, gerak, aksi dan efek berujung pada dzat suci-Nya. Sebagaimana tidak ada sekutu dalam dzat-Nya, Dia juga tidak memiliki sekutu dalam perbuatan yang mencakup penciptaan, rububiyyah, malikiyyah dan hakimiyyah takwini.
Tauhid af’ali bukan berarti menafikan hukum kausalitas atau menafikan pengaruh sebab akibat. Menurut pendapat Syiah, tauhid af’ali bukan berarti Allah menciptakan sebuah fenomena secara langsung dan dengan tanpa perantara sebab akibat, illah dan diri-Nya menjadi pengganti semua illah dan sebab, namun dengan arti saat penciptaan suatu hal membutuhkan sebab, sebab tersebut juga diciptakan oleh Allah sendiri dan tidak membutuhkan satu hal di luar dari dzat-Nya.
Tauhid af’ali terbagi dalam cabang tauhid penciptaan, tauhid tasyri’i dan takwini.
Tauhid af’ali ditegaskan dan diisyaratkan dalam banyak ayat Al-Quran, seperi surah Al-Ra’d ayat 16, surah al-An’am: 103 dan 164, surah al-A’raf: 54, surah Yusuf: 40.
Tauhid Ibadah
Tauhid ibadah termasuk manifestasi tauhid nazari dan dalam arti tidak ada sesuatu yang layak disembah kecuali Allah swt dan tidak ada Tuhan dan sesembahan selain-Nya. Dengan demikian, seluruh hamba harus melaksanakan ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah dan dengan perintah-Nya. Bagian ini sejatinya merupakan hasil alami pembagian tauhid; karena selama keberadaan kita berasal dari Allah, ikhtiyar wujud kita juga ada di tangan-Nya, aksi independen di dunia dari-Nya, hak memerintah dan pemberi undang-undang hanya semata-mata milik-Nya, maka tidak ada tempat penyembahan lain lagi untuk selain-Nya. Segala bentuk campur tangan motivasi selain Ilahi dalam ibadah akan menyebabkan berkurangnya nilai dan kedudukan kebatilan ibadah. Menurut Al-Quran, tujuan pengutusan para nabi adalah supaya para hamba melaksanakan ibadah secara ikhlas untuk Allah semata. [44]
Al-Quran telah mengetengahkan tauhid ibadah dalam pelbagai ayat: seperti pada ayat 102 surah Al-An’am, ayat 2-5 surah Al-Hamd, ayat 25 surah Al-Anbiya.[]
Bersambung
Baca artikel sebelumnya:
Catatan kaki:
28. Q.S. Al-Baqarah: 213; demikian juga lihatlah, Al-Mizan, dibawah kata ayat ini.
29. Untuk lebih detail, lihat Mishbah Yazdi, Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi; demikian juga lihat, Tafsir Nemuneh, jild. 16, hlm. 385.
30. Semisalnya surah Al-Ankabut: 61; Surah Lukman: 25; Surah Al-Zumar: 38; Surah Al-Zukhruf: 9; lihat juga, Baghawi, jild. 3, hlm. 474.
31. Ibn Babawaih, hlm. 34, 35, 57.
32. Ibid., hlm. 83, 84; Qadhi Said Qummi, jild. 2, hlm. 15-16.
33. Rujuk Ibn Babawaih, hlm. 70.
34. Ibid., hlm. 37.
35. Ibid., hlm. 244, 250.
36. Nahjul Balaghoh, surat 31.
37. Q.S.Al-Syura: 11; Surah Tauhid: 4.
38. Shaduq, Kitab al-Tauhid, hlm. 83 dan 144.
39. Al-Ilahiyyat, jild. 1, hlm. 355.
40. Mishbah Yazdi, Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi.
41. Rujuklah, Kulaini, jild. 8, hlm. 139; Ibn Babawaih, hlm. 56.
42. Nahjul Balaghah, khutbah 1, hlm. 39.
43. Rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 140, 144; Allamah Majlisi, jild. 4, hlm. 62.
44. Q.S. Al-Bayyinah: 5.
Tinggalkan Balasan