Batasan Tauhid
Setelah melihat tingkatan tauhid, muncul pertanyaan manakah dari tingkatan ini yang menjadi pokok keyakinan Islam dan syarat kemusliman seseorang? Apakah keyakinan terhadap keesaan Allah bagi seorang muwahhid sudah cukup?
Dengan mencermati dan mengkaji ayat-ayat Al-Quran, menurut Al-Quran seorang muwahhid adalah orang yang menyebut Allah swt sebagai Tuhan dan juga sebagai khaliq (pencipta), juga pengatur semesta, pengatur syariat, Tuhan dan sesembahan dan karena meyakini ketuhanan dan keesaan dalam ketuhanan berada di akhir tahapan (tauhid uluhiyyah) dan mencakup semua tahapan qalbi (hati), dengan demikian dalam Islam, La Ilaha Illallah[45] merupakan syiar tauhid dan jalan kebahagiaan dan kesuksesan.
Dengan ibarat lain, tauhid dalam tahapan sebelumnya meskipun hal lazim, namun tidaklah cukup, bahkan seseorang harus sampai pada tahap keyakinan bahwa tidak ada sesembahan selain Allah dan penyembahan hanya semata-mata untuk-Nya dan dalam praktek juga tidak menyembah selain-Nya. Ini adalah batas tauhid. Oleh karenanya, selama tauhid seseorang tidak sampai pada tauhid uluhiyyah, maka tauhid orang tersebut belum sampai pada batasannya. [46]
Namun pembagian syirik khofi (samar), seperti penyembahan hawa nafsu, menyembah kedudukan dan riya’, meskipun menurut akhlak sangatlah dicela, namun tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup kemusliman. [47]
Syirik
Sebagaimana tauhid juga memiliki tingkatan dan derajat, syirik juga memiliki tingkatan dan terdapat jenis-jenis syirik di hadapan tauhid yang telah diserukan oleh para utusan Ilahi.
Syirik Nazari
Syirik nazari memiliki bermacam bagian, diantaranya adalah: Syirik Dzati. Syirik dzati adalah orang yang mengklaimkan Tuhan lain yang sejajar dengan Allah swt. Sebagian ajaran mengklaim akan dualisme atau Trinitas atau beberapa keqodiman azali independen dari selain-Nya dan menganggap dunia memiliki multidasar, multiaksis dan multifokal.
Keyakinan terhadap multisumber alam merupakan syirik dzati dan merupakan lawan dari tauhid dzati. Keyakinan semacam ini menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup ahli tauhid dan ranah Islam. Islam menolak syirik dzati dari segala bentuk dan jenisnya.
Syirik Sifat: Syirik, satu sifat yang sama sekali tidak pernah diketengahkan di kalangan masyarakat karena tidak detailnya masalah. Syirik dalam sifat khusus untuk sebagian kalangan para cendekiawan yang berfikir tentang masalah demikian, namun tidak memiliki kecakapan dan pendalaman yang cukup. Asy’ariyah salah seorang teolog Islam terimbas jenis syirik ini. Jenis syirik ini juga syirik samar dan tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari Islam.
Syirik dalam Penciptaan: Sebagian maktab ideologi meyakini Allah sebagai dzat tanpa padanan dan serupa dan menyebut-Nya sebagai pokok tunggal dunia, namun sebagian makhluk ikut campur dengan-Nya dalam penciptaan. Semisalnya keyakinan Allah sebagai penanggung jawab penciptaan keburukan, cela dan kekurangan dan ringkasnya semua peristiwa dan kejadian yang tidak diinginkan, bahkan semua urusan adalah ciptaan sebagian makhluk.
Kesyirikan jenis ini termasuk syirik dalam penciptaan dan pelaku, lawan dari tauhid af’ali. Islam juga tidak menerima syirik semacam ini. Namun syirik dalam penciptaan juga memiliki tingkatan, dimana diantaranya adalah syirik khofi, bukan syirik secara terang-terangan, dengan demikian tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup ahli tauhid dan ranah Islam.
Syirik Praktis
Bagian ini termasuk syirik ibadah, syirik yang ikut campur secara langsung dalam lingkup kinerja manusia dan dalam arti kesyirikan dalam penyembahan dan ibadah. Sebagian manusia dalam tahap penyembahan, terkadang menyembah kayu, batu, besi, hewan, bintang, matahari, pepohonan atau lautan. Jenis syirik ini sangatlah banyak dan sampai sekarang ini dapat ditemui di sudut-sudut dunia. Syirik ini adalah syirik dalam penyembahan dan lawan dari tauhid ibadah.
Demikian juga, ucapan dan tindakan yang menunjukkan pensucian, pengagungan, sanjungan dan pujian dzat sempurna secara mutlak dan tidak butuh secara mutlak kepada selain Allah adalah syirik. Pensucian mutlak dari segala kekurangan dan kelemahan, kebesaran mutlaknya, semua sanjungan dan pujian hanya semata untuk-Nya, semua daya dan kekuatan yang tegak dengan-Nya adalah dzat-Nya. Deskripsi semacam ini baik secara lisan ataupun praktis – untuk selain Allah adalah syirik.[48]
Syirik praktis juga memiliki tingkatan. Tingkatan tertinggi yang menyebabkan seseorang keluar dari kancah Islam adalah syirik dalam penyembahan dan disebut juga dengan syirik terang-terangan. Namun ada juga jenis syirik samar, yang mana Islam dalam agenda tauhid praktisnya sangat memeranginya. Dengan demikian, segala bentuk riya, penyembahan hawa nafsu dan cinta kedudukan, jabatan, harta dan individu dikategorikan sebagai syirik. Namun, jenis syirik samar ini tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam.
Batasan Tauhid dan Syirik
Sebagaimana yang telah diutarakan, batasan bertauhid seseorang adalah keyakinan terhadap tauhid ketuhanan, yang juga mencakup tahapan-tahapan sebelumnya.
Sesuai dengan definisi tauhid, jika mengklaimkan sekutu bagi Allah dalam penciptaan dan perwujudan para makhluk dan atau dalam sifat-sifatNya, seperti penciptaan, pemberian rezeki dan hal-hal lainnya, maka kita telah mengasumsikan padanan bagi Allah kita telah melakukan kesyirikan.
Dengan memperhatikan analisis makna tauhid, maka kita dapat mengetahui tolok ukur dan batasan tauhid serta syirik adalah ketergantungan atau keindependenan untuk eksistensi selain Allah. Yakni mengasumsikan eksistensi sejajar dengan Allah, baik dari aspek kekuatan, ilmu dan sifat-sifat lainnya yang sifatnya independen dan tidak bergantung dengan Allah. Adapun asumsi dimana Allah adalah dzat yang menciptakan dan diri-Nyalah yang memberikan ilmu dan kekuatan kepada mereka, itu tidak akan menyebabkan kesyirikan; karena mereka meskipun memiliki kekuatan dan ilmu namun bergantung dan makhluk Allah dan tidak dikategorikan sebagai sekutu bagi dzat Allah.
Tidak memperhatikan tolok ukur detail tauhid dan syirik menyebabkan terlontarkannya pelbagai perspektif dalam masalah ini. Asy’ariyah menganggap jika seseorang mengklaim pokok kausalitas atau pengaruh supra natural menyebabkan kesyirikan. Kelompok wahabi juga berkeyakinan jika seseorang baik manusia atau kausalitas tabiat dan non tabiat selain Allah itu memiliki pengaruh, maka itu adalah syirik atau mengatakan jika manusia mengklaim sebagian perkara seperti penyembuhan penyakit atau menunaikan hajat untuk selain Allah, maka itu termasuk kesyirikan.
Dengan memperhatikan tolok ukur tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa ucapan ini tidaklah dibenarkan; karena selain analisis rasional menentang hal tersebut, riwayat-riwayat juga menafikannya.
Al-Quran, yang mana merupakan ajaran tauhid, dalam pelbagai ayat, menisbahkan sebagian perbuatan dan pengaruh kepada manusia, para malaikat dan sesuatu. Bahkan sebagian perkara yang luar biasa, seperti penciptaan, menghidupkan orang-orang mati, mengabarkan perihal yang gaib dan menyembuhkan penyakit yang dinisbatkan kepada seseorang (Nabi Isa as):
﴾ وَ إِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْني فَتَنْفُخُ فيها فَتَكُونُ طَيْراً بِإِذْني وَ تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَ الْأَبْرَصَ بِإِذْني وَ إِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتى بِإِذْني﴿
“…dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku dan, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yangsebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, …” [49]
Sebagaimana yang kita saksikan, dalam ayat ini, kekuatan menghidupakan dan menyembuhkan bahkan penciptaan dinisbatkan kepada Nabi Isa as, dari sisi lain ditegaskan dengan kalimat bi iznihi (dengan seizin-Nya) sehingga menjadi jelas bahwa Nabi Isa as tidak melakukan perihal ini secara independen, bahkan bergantung dan butuh kepada Allah. Menurut ayat ini dan ayat-ayat lainnya, klaim terhadap seorang manusia seperti nabi atau para imam as yang memiliki kekuatan melakukan hal yang luar biasa, maka tidaklah dikategorikan sebagai syirik.
Ustad Muthahhari menulis:
Sejatinya, bahwa batasan tauhid dan syirik terkait pada Allah, manusia dan dunia adalah darinya dan menuju kepadaNya. Batasan tauhid dan syirik dalam tauhid nazari adalah darinya (inna lillahi). Setiap hakikat dan setiap eksistensi selama dia dalam zat, sifat dan perbuatan, dengan khislat dan huwiyat dari-Nya, maka dia adalah benar dan sesuai dengan realita dan dengan perspektif tauhid, baik hal tersebut punya pengaruh ataupun tidak, baik memiliki pengaruh aspek supranatural ataukah tidak.
Karena Tuhan bukan hanya Tuhan supranatural, Tuhan langit, Tuhan malakut dan jabarut semata, tetapi Tuhan Alam semesta. Dia dekat dengan tabiat dan memiliki kebersamaan dan qoyyumiyah (kekal, tetap dan stabil), yang tidak memberikan aspek ketuhanan kepada supranatural dan aspek supranatural… dunia dalam aspek pandangan dunia Islam memiliki esensi “dari-Nya”.
Al-Quran dalam beberapa ayat menisbahkan perbuatan-perbuatan mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang yang buta sedari kecil kepada para nabi, namun disertai dengan menambahkan kalimat “bi iznihi“. Kalimat ini menunjukkan esensi perbuatan ini “dari-Nya”, sehingga seseorang tidak beranggapan para nabi memiliki independensi dari dirinya. Jadi, batasan tauhid nazari dan syirik nazari adalah “dari-Nya”. Keyakinan terhadap adanya eksistensi dimana wujudnya tidak dari-Nya adalah syirik. Keyakinan akan pengaruh eksistensi, yang mana pengaruhnya bukan dari-Nya juga syirik, baik berpengaruh, ataupun pengaruh diluar tabiat, seperti penciptaan semua langit, bumi dan atau karya kecil yang tidak penting, seperti membolak-balik daun.
Makna Ibadah
Menurut pokok tauhid, ibadah untuk selain Allah tidak diperbolehkan dan akan menyebabakan seseorang keluar dari Islam. Ibadah berarti tunduk, mengungkapkan khusyu’ dan kerendahan. [50] Tauhid ibadah berartikan tidak memiliki kondisi (ketaatan dan pasrah) di hadapan makhluk lain dan tidak ada perintah lainnya.
Berdasarkan ini, setiap ketataan dan kepasrahan bukanlah ibadah. Namun, dalam sebagian hal, ketundukan kepada makhluk adalah wajib, seperti patuh terhadap orang tua dan mentaati mereka. Ketaatan semacam ini karena perintah Allah sejatinya dianggap ketaatan dari Allah.
Namun, segala hal yang disandingkan di sisi Allah, yakni sejajar dengan-Nya adalah syirik. Dengan demikian ziarah kubur, meminta bantuan dan bertawasul kepada para wali dan imam, meyakini syafaat, dengan bertolak bahwa tidak ada independensi dari dirinya, maka tidak dikategorikan sebagai syirik.
Seseorang seperti Ibnu Taimiyah dan orang-orang yang mengikutinya, seperti Wahabi meyakini segala bentuk ketundukan dan kekhusyu’an kepada selainnya adalah ibadah[51] ; dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala bentuk tawasul, mengambil berkah, ziarah kubur, meminta syafa’at berartikan menyembah seseorang dan syirik.
Argumentasi Tauhid
Para teolog telah mengetengahkan beragam argumentasi untuk membuktikan tauhid, paling populer adalah dua argumentasi:
Argumentasi yang berlandaskan pada Wajibul Wujud
Jika diasumsikan ada dua Wajibul Wujud, setiap darinya selain harus memiliki persamaan juga harus memiliki perbedaan dengan selainnya, sehingga diantara keduanya ada perbedaan. Dengan demikian, setiap keduanya harus terangkap dari dua bagian, dimana salah satunya adalah sama dan satunya lagi adalah istimewa, yang membedakan setiap darinya. Namun setiap wujud yang tersusun tidak akan bisa menjadi Wajibul Wujud, karena membutuhkan partikel-perikelnya dan menjadi akibat darinya. Dengan demikian, setiap darinya bukanlah dua Wajibul Wujud. [52]
Argumentasi Tamanu’ (saling menjatuhkan)
Argumentasi Tamanu’ termasuk argumentasi populer untuk membuktikan tauhid rububi Allah. Argumentasi ini terinspirasi dari surah Al-Anbiya ayat 22, yang mana Allah swt berfirman,﴾ لَوْ كانَ فيهِما آلِهَةٌ إِلاَّ اللَّهُ لَفَسَدَتا ﴿”Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa”. Tujuan asli argumentasi ini adalah membuktikan keesaan pengatur semesta, bukan keesaan dzat atau tauhid dalam penciptaan-Nya, meskipun tiga masalah ini tidak saling terpisahkan.
Uraian argumentasi menurut tulisan Ayatullah Jawadi Amuli adalah sebagai berikut[53] :
Jika diasumsikan Tuhan semesta lebih dari satu, maka sudah pasti para Tuhan pengatur dalam dzat dan wujudnya harus independen dari selainnya, karena ketidakindependenan dengan ketuhanan adalah hal yang tidak sesuai dan demikian juga dalam hakikat dzat juga harus saling berbeda supaya terjadi banyak, bukan satu dzat terangkap, dan ketika dalam esensi dzat saling berbeda, maka sifat dzati mereka juga harus berbeda, karena sifat dzati Allah adalah entitas dzat-Nya dan natijahnya adalah ilmu dan irodah dari setiap pengatur selain ilmu dan kehendak selainnya dan tatanan ilmu dan maqom pengaturan setiap darinya harus saling berbeda dan karena sistem objektif mengikuti sistem ilmu, sistem objektif dan di luar setiap darinya akan berbeda dengan selainnya; maka hasilnya adalah adanya sejumlah Tuhan asumsi sistem objektif yang saling berbeda dan beragam dunia dan saling berbeda serta masyarakat manusia yang tidak terkoordinir di luar dan alam realita, sementara sekumpulan sistem alam terkoordinir, satu dan koheren.
Dalil Naqli
Dengan memperhatikan ayat-ayat Al-Quran dan beragam riwayat, maka menjadi jelas akan adanya dalil-dalil naqli yang banyak dan menegaskan tauhid. Para teolog dan muhadis telah menulis buku-buku tersendiri, diantaranya adalah kitab Al-Tauhid.
Tauhid dalam Filsafat
Tauhid atau mengesakan Allah – setelah terbuktikan wujudnya, yang termasuk pembahasan teolog pertama dalam makna khusus – termasuk salah satu masalah terpenting dalam filsafat Islam.
Para filosof memilih beragam cara dalam menjelaskan dan membuktikan tauhid, yang menunjukkan pengembangan dan penyempurnaan metode serta beragam aspek penelitian dan kajian dalam hal ini.
Dalam filsafat Islam, setiap dari tiga tingkatan tauhid, yakni tauhid dzati, tauhid sifat dan tauhid af’ali dikaji dan diberikan beragam argumentasi. Semisalnya, menurut filsafat (seperti Ibnu Sina) [54] dengan bertolak bahwa Allah adalah Wajibul Wujud bi dzat, maka menafikan tauhid sama halnya dengan melazimkan pertentangan dan kontradiksi.
Ungkapan Wajibul Wujud dan pembuktian tauhid dengan metode argumentasi Ibnu Sina, sangat marak setelahnya, sampai-sampai selain para filosof, mayoritas teolog Syiah juga memakai metode tersebut. [55] Suhrawardi juga mengetengahkan argumentasi Ibnu Sina yang menunjukkan keesaan wajib dan menggunakan ungkapan Wajibul Wujud dan juga membuktikan keesaan Wajibul Wujud dengan berpegang pada kaidah, صِرْفُ الشیءِ لایتثنّی ولایتکرّر “Sirfu Sya’i la Yatatsanna wa la Yatakar”. [56] Demikian juga, filsafat memperhatikan kesimpelan dzat Allah dan ketidaktersusun-Nya, yang berartikan keesaan dalam tauhid dzat. Karena banyaknya Wajibul Wujud dalam bentuk apapun melazimkan sebuah pembagian dalam makna Wajibul Wujud. [57]
Mulla Shadra[58] , dengan inovasi kaidah Basit al-Hakikah (non-composite, simple reality) “Basit al-Hakikah kullu Asy’ya wa laisa bi Syai’in minha” mengargumentasikan bahwa dzat hakikat ini adalah simpel, murni yang sempurna dan bertolak bahwa hakikat murni dan simpel dalam realita seluruh hal, maka tidak tersisakan selainnya untuk hakikat ini, sehingga menjadi dua bagi-Nya.
Dalam masalah tauhid sifat yakni entitas dzat dan sifat, juga diketengahkan beberapa hal dalam filsafat dan pandangan Syiah diterima. Para filosof setelah Ibnu Sina, mengetengahkan tauhid sifat dari aspek kontras pandangan filsafat dengan pendapat masyhur teolog dalam masalah ini. Khajah Nasiruddin Thusi[59] menjelaskan pendapat Asy’ari, yang mendasarkan penambahan sifat pada dzat, yang mengakibatkan penerimaan qodim delapan. Dari sisi lain diketengahkan pendapat Mu’tazilah yang mendasarkan pada penggantian dzat dari sifat dan menjelaskan pendapat filsafat dihadapan dua pendapat masyhur teolog ini.
Shadruddin Syirazi[60] mengembalikan pandangan filsafat sebelum dia (Ibnu Sina, Farabi dan Syaikh Isyraq) dengan pokok dasar pendapatnya (Basit al-Hakikah) dan mengaplikasikannya dengan pendapat tersebut.
Demikian juga dalam tauhid af’ali, filsafat menegaskan bahwa tidak ada pelaku dan pengaruh apapun selain Allah dan semua perbuatan dengan tanpa perantara apapun, semua bersandar kepada-Nya, dengan tanpa menyandarkan wujud sebagian eksistensi kepada sebagian selainnya. Dengan demikian, pemuncul pertama atau kedua tidak memiliki arti, bahkan semuanya bersumber dari Allah. Dengan demikian, tauhid perwujudan berujung pada tauhid wujud dan tauhid perbuatan berujung pada tauhid dzat, karena penciptaan merupakan cabang dari wujud. Dan sumber pengaruh dan pengaruh sumber, kedua-duanya adalah wujud[61] ; Filsafat Hikmah Muta’aliyah, biasanya menjelaskan pembahasan ini dengan idiom-idiom irfan dan lebih dekat dengan metode dan cara mereka. [62]
Tauhid Irfan
Masalah tauhid dalam irfan saling berkaitan dengan masalah yang pelik wahdat syahshi (particular Unity).
Tauhid Af’ali
Menurut irfan, dalam tingkatan sair suluk, ketika seseorang melewati tingkat ma’rifah al-nafs dan masuk dalam lembah tauhid, dia mengetahui dan melihat tingkat pertama tauhid, yaitu tauhid af’ali. Jadi istilah tauhid af’ali menurut para arif yakni melihat dan mendapatkan setiap fenomena yang bersumber dari Allah dan semua hal sejatinya adalah perbuatan-Nya dan sebab yang tak lebih hanya sebuah sarana semata.
Tauhid Sifat
Saat manusia naik ke tingkat yang lebih tinggi dan mendapatkan kemampuan dalam maqom ini dan melanjutkan sair dan suluknya, maka dia akan sampai pada maqom tauhid sifat. Tauhid sifat ini berbeda dengan tauhid sifat yang diketengahkan dalam istilah filsafat. Mereka mengatakan manusia sampai pada batas dimana setiap melihat sifat kesempurnaan maka itu bersumber dari Allah.
Dalam tingkat sebelumnya, arif melihat bahwa setiap perbuatan dari Allah, dalam tingkat ini seorang arif melihat setiap sifat adalah kesempurnaan dari Allah; yakni melihat bahwa tidak ada yang benar-benar memiliki ilmu kecuali Allah. Ilmu selainnya merupakan manifestasi dari ilmu Ilahi.
Ilmu hakiki milik Allah dan hanya Dia-lah yang memiliki ilmu hakiki. Ilmu-ilmu lain merupakan setitik bayangan dari ilmu tak terbatas Ilahi. Semua kemampuan merupakan manifestasi dari kekuatan Allah, yang termanifestasikan dalam penciptaan dan jika tidak, maka kekuatan bersumber dari-Nya.
Jadi, tauhid dengan sifat ini berartikan bahwa seorang arif mendapati bahwa semua sifat sempurna merupakan sifat Allah dan apa yang dilihat dalam penciptaan merupakan bayangan, naungan dan manifestasi dari sifat asli tersebut.
Tauhid Dzati
Tahap tauhid terakhir yang diketengahkan oleh para arif adalah tauhid dzati, dimana di kalangan arif disebut dengan wahdatul wujud. Manusia dalam perjalanan kesempurnaannya sampai pada batas mengetahui ekistensi hakiki hanya terbatas pada Allah semata.
Adapun apa yang ada di alam wujud, kesemuanya adalah manifestasi dan gambar dari wujud-Nya. Tentunya ungkapan gambar bukanlah ungkapan yang tepat; namun diketengahkan hanya untuk pendekatan logika saja. Para arif mengatakan, ketika manusia sampai pada tingkatan tauhid tertinggi, apa yang mereka lihat, seolah-olah melihat ke cermin, dimana wujud Allah termanifestasikan disitu. Kastrah (majemuk) yang dilihat di dunia ini, adalah kastrah cermin. Cermin beragam dan cahaya yang termanifestasi dalam semua cermin ini adalah satu cahaya, cermin bukanlah cahaya, namun penunjuk cahaya tersebut.
﴾اللَّهُ نُورُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكاةٍ فيها مِصْباحٌ ﴿”Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus”. (QS. An-Nur: 35).
Ini adalah tingkatan tertinggi yang diraih oleh manusia dalam perspektif tauhid.
Memahami apa yang telah diklaimkan oleh para pemuka ini dan menuangkannya ke dalam bentuk lafaz-lafaz yang biasa adalah pekerjaan yang tidak mudah dan ucapan para arif dalam hal ini sejak dahulu mendapat kritikan oleh para teolog, fakih dan filosof.
tentunya dengan berbaik sangka kepada orang-orang yang menjelaskan ideology mereka dalam karya-karya mereka secara benar dan akhlak mereka adalah akhlak Islam dan perangai mereka selaras dengan kadar syariat, maka kita berhak berprasangka baik, bahwa mereka tidak membual tentang klaiman semacam ini.
Namun, ketidakfasihan lafaz-lafaz telah membuat apa yang mereka nukil untuk kita tidaklah jelas. Orang-orang yang membuktikan dalam buku-buku mereka bahwa Allah bukan jism (tubuh) dan tidak beringkarnasi dalam jism, ketika mereka berkata: Kita tidak melihat selain Allah, ini bukan berarti bahwa apa yang kita lihat adalah Allah; Bahkan maknanya adalah bahwa dalam cermin-cermin ini kita melihat keindahan yang kita cintai.
Orang-orang yang kehidupannya penuh dengan penghambaan dan ketaatan kepada Allah, jika mengklaim diri mereka demikian, kita berhak melihat mereka dengan prasangka baik dan berkata bahwa ucapan mereka memiliki makna yang tinggi, yang mana kita tidak memahaminya dengan baik; bukan kita berprasangka baik kepada setiap manusia yang sembarangan, yang begitu saja, masuk dalam irfan.
Dalam riwayat juga telah ada isyarat seperti hal ini, bahkan di kalangan para sahabat Rasulullah saw dan para Imam suci as, ada orang-orang yang memahami suatu hal, namun tidak dapat mengatakan, bahkan kepada teman terdekatnya sekalipun. [63]
Pandangan Dunia Tauhid (Divine Unity)
Para filosof muslim abad akhir dalam pendekatan baru mengetengahkan tatanan pandangan dunia tauhid Islam menyerupai pandangan dunia di hadapan pandangan dunia Ateis, ilmiah dan filsafat.
Ustad Muthahhari dalam menyifati pandangan dunia tauhid menulis sebagai berikut:
Pandangan dunia tauhid yakni memahami bahwa dunia muncul dari sebuah kehendak yang bijaksana dan tatanan eksistensi tegak berdasarkan kebaikan, rahmat dan menghantarkan eksistensi menuju kesempurnaan yang selayaknya. Pandangan dunia tauhid yakni dunia adalah sebuah kutub dan satu poros. Pandangan dunia tauhid yakni dunia memiliki perjalanan dari-Nya (inna lillah) dan menuju-Nya (wa inna ilahi rajiun).
Dari satu sisi, eksistensi dunia sampai pada kesempurnaan dengan tatanan keselarasan dan menuju satu markas. Penciptaan eksistensi bukanlah sia-sia dan dengan tanpa tujuan. Dunia diatur dengan sebuah serangkaian tatanan pasti. Pandangan dunia tauhid memberikan kehidupan, spirit dan tujuan. Karena telah meletakkan manusia dalam rute kesempurnaan yang tidak berhenti dalam batasan tertentu dan senantiasa maju ke depan. Pandangan ini, akan memberikan kegembiraan dan keceriaan kepada manusia.
Tujuan-tujuan luhur dan suci diketengahkan dan membentuk orang-orang yang siap berkorban. Pandangan dunia tauhid satu-satunya pandangan yang disitu dapat ditemukan makna komitmen dan tanggung jawab seorang manusia di hadapan selainnya. Sebagaimana bahwa hanya pandangan dunia yang menyelamatkan manusia dari keterjerumusan dalam lembah horor nihilisme. [64]
Artikel sebelumnya:
Ushuluddin (2): Tauhid Dzati, Sifat, Perbuatan dan Ibadah
Catatan kaki
45 – Q.S. Muhammad: 19; Surah Al-Shaffat: 35.
46 – Mishbah Yazdi, Khuda Shenasi dar Qur’an, hlm. 76.
47- Saidi Mehr, Omuzesh Kalam-e Islami, jild. 1, hlm. 162 dan 163.
48 – Muthahhari, Jahan Bini Tauhidi, jild. 2, hlm. 80, dengan sedikit ringkasan dan perubahan.
49 – Q.S. Al-Maidah: 110
50 – Ibnu Mandzur, 1408 Q, jild. 9, hlm. 10; Syartuni, 1374, jild. 3, hlm. 461.
51 – Ibnu Taimiyah, 1983 M, jild. 5, hlm. 247.
52 – Nashiruddin Thusi, Tajrid al-I’tiqad, bagian Ilahiyyat; Subhani, Ja’far, al-Ilahiyyat ala Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah wa al-‘Aql, jild. 2, hlm. 29.
53 – Jawadi Amuli, Tauhid dar Qur’an, hlm. 74.
54 – Ibnu Sina, 1363 S, hlm. 4-5; Ibid., 1376 S, hlm. 60.
55 – Semisalnya rujuklah, Suhrawardi, jild. 1, hlm. 35, 392-393; Allamah Hilli, hlm. 35; Mir Damad, 1376 S, hlm. 267.
56 – Lihatlah, Majmu’eh Mushannifat, jild. 2, hlm. 121-124.
57 – 1376 S, hlm. 58-59; Ibid., 1403, jild. 3, hlm. 40-47.
58 – 1337 S, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 100-104; Ibid., 1346 S, hlm. 37-38.
59 – Hlm. 45-53.
60 – Mulla Shadra, Asfar, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 120-121; Ibid., 1346 S, hlm. 38-39.
61 – Shadruddin Syirazi, 1337 S, Safar Awwal (pertama), jild. 2, hlm. 324-325; Zanuzi, hlm. 269-270; Sabzewari, 1357 S, hlm. 336-337; Ibid., 1416-1422, jild. 3, hlm. 621-622.
62 – Ibid.
63 – Mishbah Yazdi, Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi, pelajaran 11.
64 – Muthahhari, Majmu’eye Atsar, jild. 2, hlm. 83.
Tinggalkan Balasan