Kembali ke Madinah
Menurut catatan Syaikh al-Mufid, akhirnya keluarga Imam Husain as pada hari Arbain bergerak dari Syam menuju Madinah.[32] Imam Sajjad as hidup selama 34 tahun setelah Peristiwa Karbala. Selama itu pula ia berusaha terus menghidupkan dan menjaga ingatan terhadap para syuhada Karbala. Setiap minum air ia selalu mengingat ayahnya, dan senantiasa menangisi musibah yang menimpa Imam Husain as.[33]
Diriwayatkan dari Imam al-Shadiq as, “Imam Zainal Abidin as menangis untuk ayahnya selama 40 tahun. Ia setiap hari berpuasa dan setiap malamnya melakukan salat. Ketika berbuka puasa, pembantunya membawakan air dan makanan untuknya dan berkata, “Silakan Tuan!” Imam Zainal Abidin as berkata, “Putra Rasulullah saw terbunuh dalam keadaan lapar! Putra Rasulullah terbunuh dalam kondisi kehausan!” Kalimat ini diulang-ulangnya dan ia menangis sedemikian rupa sehingga air matanya bercampur dengan air minum dan makanannya. Hal ini terus menimpanya hingga ia meninggal dunia.”[34]
Perlawanan Pada Masa Imam Sajjad as.
Pada masa hidup Imam Sajjad as dan setelah Peristiwa Karbala, banyak terjadi perlawanan-perlawanan, diantaranya:
Peristiwa Harrah
Beberapa lama setelah peristiwa Karbala, masyarakat Madinah melakukan perlawanan terhadap penguasa Bani Umayah yang dikenal dengan perlawanan Harrah. Masyarakat Madinah melakukan baiat kepada Abdullah bin Hanzhalah (ayahnya terkenal dengan sebutan Ghasīl al-Malaikah). Mereka mengepung Bani Umayah yang berjumlah 1000 orang di dalam rumah Marwan bin Hakam yang kemudian diusir dari Madinah.[35] Imam Sajjad as sejak awal tidak terlibat dalam perlawanan ini. Ia tidak melibatkan diri karena mengetahui akhir dari peristiwa yang akan terjadi.[36]
Dalam Peristiwa Harrah, Marwan —salah satu yang memusuhi Ahlulbait as— pergi menemui Abdullah bin Umar dan memintanya untuk menjaga keluarga Marwan. Namun, Abdullah bin Umar menolaknya. Karena Marwan tidak bisa mengharapkan lagi bantuan darinya, ia kemudian meminta perlindungan kepada Imam Sajjad as. Dengan kebesarannya, Imam Sajjad as menerima permintaan Marwan tersebut. Imam Sajjad as mengirim keluarga Marwan beserta istri dan anak-anaknya ke Yanba’ (sumber air dekat Madinah sebelah kanan Gunung Radhwa).[37]
Dalam peristiwa ini Imam Sajjad as mengurusi empat ratus keluarga dan menanggung biaya hidup mereka selama pasukan Muslim bin ‘Uqbah —pemimpin pasukan Yazid dalam Peristiwa Harrah— berada di Madinah.[38]
Kebangkitan Kelompok Tawabin
Kebangkitan Tawwabin adalah salah satu bentuk perlawanan setelah peristiwa Karbala yang dipimpin oleh Sulaiman bin Surad al-Khuza’i beserta beberapa tokoh Syiah di Kufah.[39] Tujuan kelompok Tawwabin yaitu akan memberikan kepemimpinan umat kepada Ahlulbait as, dan pada waktu itu tidak ada lagi keturunan Fatimah selain Ali bin Husain (Imam Sajjad as). Namun, ketika itu tidak terdapat hubungan politik khusus antara kelompok Tawwabin dan Imam Sajjad as.[Butuh referensi]
Kebangkitan Mukhtar
Kebangkitan Mukhtar merupakan kebangkitan ketiga yang penting yang terjadi setelah Peristiwa Karbala, dimana terdapat keraguan mengenai hubungan Imam Sajjad as dengan kelompok ini. Bukan hanya dari sisi politik, namun juga terdapat masalah dari sisi akidah (Mukhtar mengikuti Muhammad bin Hanafiyah). Disebutkan bahwa setelah meraih kemenangan, Mukhtar menarik Syiah Kufah untuk berpihak kepadanya. Mukhtar meminta pertolongan dari Imam Sajjad as, namun Imam tidak menampakkan kesukaannya.[40]
Keutamaan Imam Sajjad As
Ibadat
Malik bin Anas berkata, “Ali bin Husain melakukan salat siang malam sebanyak 1000 rakaat sampai meninggal dunia, sehingga ia dijuluki Zainal Abidin (perhiasan para ahli ibadah).[41]
Ibnu Abdi Rabbah menulis, “Ketika Imam Sajjad as bersiap-siap hendak salat, ia menggigil hebat. Kemudian ia ditanya mengenai hal tersebut. Imam berkata, “Celakalah engkau, apakah engkau tidak mengetahui kepada siapa aku akan menghadap dan kepada siapa aku akan bermunajat?”[42]
Malik bin Anas berkata, “Ketika Ali bin Husain sudah mengenakan kain ihram, ia mengucapkan labbaika allahumma labbaik. Dan pada saat itu juga ia langsung pingsan dan terjatuh dari kendaraan tunggangannya.”[43]
Membantu Orang-Orang Fakir
Abu Hamzah al-Tsumali berkata, “Ali bin Husain as memikul sejumlah makanan dan dalam kegelapan malam ia memberikannya kepada fakir miskin secara diam-diam. Ia berkata, “Sedekah yang diberikan dalam kegelapan malam akan memadamkan amarah Allah swt.”[44]
Muhammad bin Ishaq berkata, “Orang-orang Madinah selama hidupnya tidak mengetahui dari mana kebutuhan hidup mereka terpenuhi. Namun setelah wafatnya Imam Sajjad as, makanan-makanan mereka pun terhenti.[45]
Ketika malam hari memikul roti dipundaknya dan membawanya ke rumah-rumah orang yang membutuhkan, ia berkata, “Sedekah yang tersembunyi akan memadamkan murka Allah.” Akibat memikul karung, bekas pikulan tersebut nampak di pundaknya. Hal ini diketahui ketika tubuhnya yang suci dimandikan saat wafatnya.[46] Ibnu Sa’ad menulis, “Ketika orang-orang yang butuh datang menemui Imam Sajjad as, ia pun bangkit dan memenuhi kebutuhan mereka. Ia berkata, “Sebelum sedekah sampai ke tangan orang-orang yang membutuhkan, ia akan sampai kepada Allah swt.”[47]
Pada suatu tahun, Imam Sajjad as hendak menunaikan ibadah haji. Saudarinya, Sukainah, menyiapkan bekal senilai seribu Dirham. Ketika sampai di Harrah, bekal tersebut dibawa ke hadapan Imam Sajjad as, dan Imam membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan.[48]
Imam Sajjad as memiliki seorang kemenakan yang miskin. Pada malam hari ketika kemenakannya tidak mengenalinya, ia pergi menjumpai kemenekannya tersebut dan memberinya beberapa Dinar. Kemenakannya bertanya, “Ali bin Husain as tidak memperhatikan familinya sendiri, semoga Allah mengingatkannya.” Imam mendengar perkataan kemenakannya tersebut dan dengan sabar serta tenang ia tidak menjelaskan siapa dirinya yang sesunggguhnya. Ketika Imam Sajjad as meninggal, kemenakannya tersebut tidak lagi mendapati kebaikan orang yang selama ini menolongnya. Orang tersebut pada akhirnya mengetahui bahwa orang yang selama ini berbuat baik adalah Ali bin Husain as. Kemudian ia pergi ke kuburan Imam Sajjad as dan menangis di pusara Imam.[49]
Abu Na’im menulis, “Dua kali ia membagi dua hartanya dengan orang-orang tidak mampu. Ia berkata, “Allah menyukai orang berdosa yang bertaubat.”[50] Abu Na’im juga menulis, “Masyarakat mengenalnya sebagai orang pelit. Namun ketika ia wafat, mereka mengetahui bahwa Ali bin Husain menjadi penanggung hidup seratus keluarga.[51] Ketika pengemis sering datang kepadanya, ia berkata, “Selamat datang orang yang bersedia membawa bekal saya ke akherat.”[52]
Sikap Terhadap Para Hamba Sahaya
Diantara kerja keras Imam Sajjad as yang memiliki nilai agama dan politik adalah perhatiannya kepada budak sahaya. Budak sahaya—khususnya sejak zaman khalifah kedua (Umar bin Khattab), terlebih pada masa Bani Umayah—menjadi bagian sosial yang sangat tertekan. Kaum budak juga berada pada tingkatan masyarakat yang paling rendah pada masa awal Islam. Imam Sajjad as seperti halnya Imam Ali as dengan perilaku Islaminya menyebabkan para budak sahaya Irak yang telah bebas tertarik kepadanya. Ia berusaha keras sehingga kehidupan sosial para budak ini meningkat.
Sayid al-Ahl menulis, “Imam Sajjad as meskipun tidak membutuhkan budak sahaya, namun ia melakukan pembelian budak sahaya. Akan tetapi pembelian ini hanya untuk membebaskan mereka. Para budak yang melihat niat Imam demikian, mereka datang kepada Imam supaya dibelinya. Imam Sajjad as pada setiap keadaaan selalu membebaskan mereka. Sehingga di Madinah terdapat banyak laki-laki dan perempuan, dimana mereka semuanya adalah budak-budak yang dibebaskan oleh Imam Sajjad as.[53]
Karya Peninggalan
Syaikh al-Mufid menulis, “Para ulama Ahlusunnah mengutip banyak ilmu dari Imam Sajjad as. Diantara karya peninggalannya yang masyhur menurut para ulama adalah nasihat-nasihat, doa-doa, riwayat tentang keutamaan Alquran, halal haram, peperangan dan hari-hari sejarah.[54]Sebuah hal menarik bahwa sekitar 300 hadis dari Imam Sajjad as dimuat dalam kutub Arba’ah.[55]
Shahifah Sajjadiyah
Shahifah Sajjadiyah adalah kumpulan doa-doa Imam Sajjad as. Sebuah cerminan dari kehidupan sosial pada masanya—khususnya di Madinah—terlihat dalam Shahifah Sajjadiyah. Diantaranya, menghindari perilaku dan perkataan buruk masyarakat masa itu dan minta perlindungan kepada Allah swt dari apa yang dilihat dan didengar dan menjelaskan jalan kebenaran dalam naungan pendidikan agama dan Alquran, serta pensucian jiwa dari kotoran. Sepertinya Imam Sajjad as dengan bahasa doanya sebisa mungkin hendak mengeluarkan masyarakat dari belenggu setan menuju naungan Allah swt.[56] Shahifah ini sudah tersebar dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Risalah Huquq
Risalah al-Huquq adalah salah satu karya yang dinisbatkan kepada Imam Sajjad as. Dalam risalah ini terdapat 51 hak (atau 50, menurut beberapa cetakan).[57] Risalah ini pun telah dicetak dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sebagian hak yang terdapat di dalamnya adalah:
Hak Allah
Doa Sahar yang Masyhur dengan Doa Abu Hamzah
Doa Imam Sajjad ini dibaca pada waktu-waktu sahur bulan Ramadhan dan Abu Hamzah al-Tsumali menukilnya dari beliau. Doa ini mengandung pahaman-pahaman tinggi, ungkapan-ungkapan lugas dan fasih.
Zaiarah Aminullah
Ziarah Aminullah adalah doa ziarah yang dibaca oleh Imam Sajjad as ketika berziarah ke pusara Imam Ali as.[58]
Sahabat dan Murid
Perkataan Ahli Sunnah Tentang Imam Sajjad as
Ulama Ahlusunnah meyakini Imam Sajjad as memiliki ilmu dan kedudukan yang tinggi dan memujinya. Diantara mereka adalah Muhammad bin Muslim Zuhri, dari tabiin, fakih dan ahli hadis Ahlusunnah abad ke-1 dan ke-2 H berkata mengenainya, “Aku tidak melihat orang dari Bani Hasyim yang lebih unggul darinya dan juga aku tidak melihat seseorang yang lebih fakih darinya.”[59] Dinukil pula dari Abu Hatim al-A’raj bahwa, “Saya tidak melihat seorang Hasyimi lebih unggul dari Ali bin Husain as”.[60]
Syafi’i pendiri mazhab Syafii berkata, “Ia adalah orang yang paling fakih diantara penduduk Madinah.”[61]
Jahizh teolog dan satrawan Mu’tazilah abad ke-2 H dan ke-3 H berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang meragukan keutamaannya dan mempermasalahkan tentang keunggulannya.”[62]
Said bin Musayyib dari tabiin dan salah seorang dari tujuh fukaha Madinah berkata, “Saya tidak melihat seseorang lebih wara’ darinya”.[63]
[Selesai]
Artikel sebelumnya:
Mengenal Imam Ali As-Sajjad (Bagian I)
Catatan Kaki
Tinggalkan Balasan