Mengenai isi surat perjanjian damai terjadi perbedaan mendasar dan penting dalam sumber-sumber sejarah. Menurut beberapa laporan, Hasan bin Ali as menerima surat perjanjian ini dengan beberapa syarat, antara lain adalah: ia harus memegang lima juta Dirham yang tersimpan di khazanah Kufah, penghasilan tahunan kerajaan Darabgerd Persia harus diserahkan kepada Imam, Imam Ali as tidak boleh di laknat dan dizalimi di depan mata Imam dan masyarakat Irak serta semua para sahabat dan pengikut Ali dimaafkan secara massal.[15]
Di dalam kitab al-Futuh karya Ibnu A’tsam Kufi dimuat laporan lain soal isi surat perjanjian damai yang memiliki perbedaan signifikan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Dan sebagian peneliti Syiah meyakini laporan ini sebagai laporan yang paling benar terkait masalah ini.[16]
Berdasarkan catatan Ibnu A’tsam, Imam Hasan as pada mulanya mengutus Abdullah bin Naufal bin Haris kepada Muawiyah untuk mengadakan negosiasi dan beliau mengirim pesan kepada Muawiyah bahwa dirinya akan berdamai dengannya bila para pengikut (Syiah) Ali bisa hidup aman dan tidak ditekan. Saat Abdullah pergi ke Muawiyah, selain menyampaikan syarat Imam ia pun melontarkan syarat-syarat lain yang antara lain adalah: Lima juta Dirham yang tersimpan di khazanah Kufah akan dimiliki Imam Hasan, pajak tahun kerajaan Darabgerd dimiliki Imam Hasan dan kursi khilafah setelah Muawiayah akan dipegang oleh Imam Hasan.
Muawiyah menyetujui semua syarat-syarat tersebut dan menandatangani kertas putih serta memberikannya kepada Abdullah bin Naufal supaya Imam menuliskan setiap syarat yang dikehendakinya. Namun Imam tidak sepakat dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Abdullah dan menulis syarat-syarat lain di atas kertas surat perjanjian yang mana tak satupun dari isinya bersifat finansial. Syarat-syarat tersebut adalah:
Dengan demikian, Imam as dalam surat perdamaian ini melarang Muawiyah untuk memilih seorang pengganti dan menciptakan kekhilafahan yang turun temurun serta menyuruhnya untuk menjamin keamanan kepada para pengikut Ali as dan masyarakat Irak.[17]
Tempat dan Waktu Perjanjian Damai
Perjanjian damai ditandatangani di daerah bernama Maskin dan diumumkan serta dijalankan dihadapan sejumlah besar penduduk Syam.[18] Baqir Syarif Qarasyi dalam Hayāt al-Hasan berkata, “Terdapat perbedaan pendapat terkait dengan kapan perdamaian ini dilaksanakan sebagaimana masa perjanjian damai dan pelaksanaannya, ada yang menyebut Rabiul Awal tahun 41 H/662, juga ada yang menyebut Rabiul Akhir H/662, juga ada yang menyebut Jumadil Awal.”[19]
Ketidakrelaan Sebagian Syiah terhadap Perdamaian
Sebagian pasukan Imam Hasan as dan masyarakat Irak tidak senang terhadap keputusan Imam untuk berdamai, dan sekelompok lain dengan cara kaum Khawarij menganggap Imam as telah berbuat dosa lantaran menerima perjanjian damai tersebut. Penentangan terhadap perdamaian tidak hanya ditampakkan oleh Khawarij, tetapi sebagian dari pengikut ternama Imam juga menunjukkan ketidakrelaannya akan penerimaan perdamaian. Diantara mereka adalah Hujr bin Adi, Adi bin Hatim, Musayyab bin Nujabah, Malik bin Dhamrah, Sufyan bin Abi laila, Basyir Hamadani, Sulaiman bin Shurad, Abu Sa’id Aqisha, dan Qais bin Sa’ad. Mereka adalah para sahabat Imam Hasan as. [20] Meskipun demikian, berbeda dengan kaum Khawarij penentangan mereka tidak sampai membuat mereka tidak patuh kepada Imam Hasan as.[21]
Berdasarkan sebagian catatan sejarah, Imam Husain as juga protes kepada saudaranya akibat menerima perdamaian dan berdamai dengan Muawiyah ia anggap bertentangan dengan sirah Imam Ali as dan bukti persetujuan terhadap kinerja Muawiyah.[22] Para penulis Syiah dengan mengangkat masalah ini bahwa, Imam Husain as bahkan paska kewafatan Imam Hasan as tetap komitmen terhadap perjanjian itu dan tidak melakukan tindakan apapun yang bertentangan dengan kehendak dan keputusan saudaranya, menyalahkan catatan semacam ini.[23] Menurut beberapa riwayat historis, setelah terjalin perjanjian damai sekelompok Syiah menemui Imam Husain as dan memohon kepadanya supaya memimpin mereka, namun Imam mengajak mereka taat dan tunduk kepada saudaranya Hasan.[24]
Dalil-dalil Perdamaian Imam Hasan dengan Muawiyah
Para penulis Syiah dalam menyampaikan analisa mengenai alasan perdamaian Imam Hasan as dan tujuannya, melontarkan berbagai argumentasi, di antaranya adalah sebagai berikut:
Para pengikut khusus Amirul Mukminin kebanyakan telah gugur sebagai syahid pada Perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan. Akibat dari peperangan ini hanya segelintir dari mereka yang masih hidup. Sekiranya perang meletus, dengan mempertimbangkan kelemahan warga Irak, tentu saja Imam Hasan as dan Syiahnya akan menderita kekalahan yang tidak dapat dikompensasi, lantaran Muawiyah akan menghabisi mereka semua. [25]
Banyak dari sumber-sumber sejarah mengatakan bahwa alasan utama penerimaan perdamaian dari pihak Imam Hasan as adalah lemahnya masyarakat dalam perang melawan Muawiyah.[26] Menurut beberapa laporan, mereka sejak awal tidak punya keinginan untuk berperang. Sebagaimana telah disinggung di atas, saat perang berlansung pun sebagian mereka dengan iming-iming Muawiyah keluar dari pasukan Irak dan bergabung dengan pasukan Syam. Kondisi sosial Irak dan letihnya masyarakat dari perang yang berkelanjutan termasuk diantara faktor-faktor keengganan mereka untuk berperang. Imam as dalam beberapa khutbahnya juga telah mengisyaratkan tentang tidakadanya dukungan untuk berperang melawan Muawiyah.[27] Demikian juga dalam menjawab seseorang yang memprotes perjanjian damai, Imam as berkata: “saya menyerahkan urusan pemerintahan ini kepada Muawiyah karena aku tidak memiliki penolong untuk berperang dengannya. Sekiranya saya memiliki penolong, maka siang dan malam saya akan berperang dengannya hingga menyudahi segala urusan dengannya”.[28]
Menghindari pertumpahan darah dan menjaga nyawa kaum muslimin adalah tujuan lain Imam Hasan as. Dalam sebuah pidato terkait dengan sebab perdamaian dengan Muawiyah, Imam as menjelaskan, “Saya memutuskan untuk berdamai dan mengumumkan gencatan senjata. Saya melihat, mencegah pertumpahan darah lebih baik dan tujuan saya adalah demi kebaikan kalian dan supaya kalian tetap dapat bertahan hidup.”[29] Oleh karena itu, ketika Muawiyah meminta Imam Hasan untuk ikut serta berperang melawan Khawarij, ia berkata: “Sekiranya saya ingin berperang dengan Ahlulkiblah maka pertama yang saya perangi adalah kamu. Namun saya telah menarik tangan darimu dan demi kemasalahatan umat Islam serta menjaga darah kaum Muslimin saya mengalah darimu.”[30]
Salah satu sebab penting perdamaian Imam Hasan yang dapat dijelaskan adalah demi menjaga agama, karena kondisi masyarakat Islam berada di ambang jurang kebinasaan sedemikian sehingga apabila berperang dengan Muawiyah maka pokok agama akan tercerabut dari akarnya. Lantaran perang dengan Muawiyah bukan hanya tidak bermanfaat bagi orang-orang Kufah dan juga tidak mendatangkan keuntungan bagi orang-orang Syam, bahkan peluang pasukan militer Roma yang telah bersiaga untuk menyerang akan terbuka lebar.
Ya’qubi menulis, “Muawiyah pada tahun 41 H, kembali ke Syam dan tatkala mendapatkan berita pasukan Romawi dalam jumlah besar tengah mempersiapkan perang. Oleh sebab itu, ia mengutus seseorang ke kemah panglima perang Roma dan menyerahkan seratus ribu Dinar sehingga ia dapat berdamai dengan pasukan Romawi.”[31]
Dari sisi lain, masyarakat dari sisi budaya berada dalam sebuah situasi sehingga apabila terjadi pertumpahan darah dan meletus api peperangan yang akan melahirkan sikap pesimistik terhadap agama dan segala yang disakralkan. Boleh jadi berdasarkan hal ini Imam Hasan mengungkapkan bahwa salah satu alasannya berdamai adalah demi menjaga agama, “Saya kuatir akar kaum Muslimin akan tercerabut dari tanah dan tiada yang tersisa dari mereka; karena itu surat perjanjian damai yang saya sepakati itu adalah supaya agama dapat terjaga.” [32]
Kaum Muslimin, selang beberapa tahun semenjak masa hijrah Rasulullah ke Madinah dan membentuk pemerintahan Islam, di samping ghazawat (perang yang diikuti oleh Rasulullah saw secara langsung) dan sariyyah (Rasulullah saw tidak ikut dalam perang), pada masa tiga khalifah juga harus menghadapi tiga perang panjang dengan Roma, Persia dan sebagian kaum serta bangsa-bangsa di sekeliling Jazirah Arab. Demikian juga pada masa khilafah Imam Ali bin Abi Thalib juga, mereka harus mengalami tiga perang saudara besar.
Dengan demikian, mental militer dan kesiapan perang tidak begitu mendukung kecuali beberapa gelintir Syiah sejati dan para pemuda yang gemar berperang, selebihnya lebih memilih untuk selamat dan menunjukkan kerelaan pada kondisi yang ada. Atas dasar itu, “Tatkala Imam Hasan as dan sahabat terdekatnya seperti Hujr bin Adi dan Qais bin Sa’ad Anshari menyeru dan memobilisasi orang-orang untuk hadir di kamp militer, hanya sedikit orang yang menjawab seruan itu dan sebagian besar lainnya tidak mengindahkan seruan itu.” [33]
Imam Hasan berkata kepada orang-orang yang memberikan baiat kepadanya dan memberikan janji untuk membantu, “Sekiranya kalian jujur dengan ucapan kalian, maka tempat pertemuan kita adalah di kamp militer Madain. Karena itu, di situlah kalian nanti bergabung dengan saya.” Setelah itu, Imam Hasan as bergerak ke Madain. Mereka yang memang niat untuk turut serta dalam perang, ikut bergerak bersama Imam Hasan as namun banyak di antara mereka yang melanggar dan tidak setia dengan apa yang tadinya mereka ikrarkan di hadapan Imam Hasan as. Mereka telah menipu Imam Hasan sebagaimana sebelumnya mereka juga berhasil menipu Imam Ali as. [34]
Dalam mengecam lasykar yang tadinya menyatakan siap membantu, Imam Hasan berkata, “Alangkah anehnya bangsa yang tidak memiliki rasa malu dan juga tidak memiliki agama. Jika saya menyerahkan urusan pemerintahan kepada Muawiyah maka demi Allah tidak akan ada kelapangan yang akan kalian dapatkan pada pemerintahan Bani Umayah. Demi Allah! Mereka akan menghajar dan mengazab kalian sekejam-kejamnya.” [35] Atau dalam pidato lainnya, Imam Hasan mengungkapkan, “Saya melihat mayoritas kalian ingin berpaling dari perang dan kalian tidak bersemangat. Dan saya tidak akan memaksakan atas apa yang kalian tidak senangi.” [36]
Ibnu Arabi, penulis Ahkam al-Qur’an berkata, “Salah satu sebab perdamaian Imam Hasan Mujtaba as adalah bahwa ia melihat Khawarij telah mengepung sekelilingnya dan tahu bahwa apabila ia (Imam Hasan) melanjutkan perang melawan Muawiyah dan sibuk dalam peperangan itu, maka Khawarij akan menguasai negeri-negeri Islam dan berkuasa atasnya. Apabila Imam Hasan angkat senjata berperang melawan Khawarij dan sibuk untuk menuntaskan dan memenangi peperangan itu, maka Muawiyah yang akan menguasai negeri-negeri Islam.” [37]
Syaikh al-Mufid dalam al-Irsyad menulis, “Dalam menyertai Imam terdapat beragam jenis masyarakat. Sekelompok Syiahnya, Syiah ayahnya, sekelompok hakamiyat (Khawarij) yang dengan segala muslihat ingin berperang dengan Muawiyah, sekelompok pendukung anarkis, orang-orang yang tamak terhadap rampasan perang dan sebagian orang-orang peragu serta para loyalis kabilah yang mengikut pada kepala-kepala suku. Terang kebanyakan kelompok ini motivasinya bukan berdasarkan agama.”[38]
Pasukan yang terdiri dari beberapa unsur tersebut di hadapan setiap ancaman akan terpecah menjadi dua bagian dan mereka akan beralih memerangi panglima mereka. “Khawarij bersama Hasan namun untuk menciptakan fitnah. Mereka pergi ke medan jihad namun dengan niat fasad (merusak).” [39]
Dalam menjawab seseorang yang memprotes perjanjian damai itu, Imam Hasan as menjelaskan faktor-faktor dan sebab-sebab mengapa ia memutuskan demikian, “Warga Irak adalah orang-orang yang siapa pun yang mempercayai mereka akan kalah karena tidak satu pun dari mereka yang dapat sepakat dalam pikiran dan keinginan satu sama lain. Tidak dalam kebaikan juga tidak dalam keburukan, mereka tidak pernah sampai pada keputusan final.” [40]
“Imam Hasan as tidak ada pilihan lain kecuali menerima perdamaian dan tidak mengangkat senjata karena para pengikutnya adalah orang-orang yang lemah dan minim akidah terhadap Imam Hasan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah mereka menentangnya dan kebanyakan dari mereka memandang halal membunuh Imam Hasan dan menyerahkannya kepada musuh. Sebagai contoh putra pamannya sendiri Ubaidillah bin Abbas menarik diri dan bergabung dengan musuh dan secara umum masyarakat Irak adalah orang-orang yang memantapkan hatinya pada dunia dan melupakan kenikmatan-kenikmatan akhirat.” [41]
Di antara lasykar yang nampak taat kepada Imam Hasan adalah sekelompok dari para kepala suku secara diam-diam menulis surat kepada Muawiyah: Kami ikut dan menaati perintah Anda. Kami akan memprovokasinya untuk berangkat untuk menemui Anda. Kami akan memikul tanggung jawab untuk menyerahkan Imam Hasan tatkala Muawiyah mendekat kepada laskar Imam Hasan dan kemudian menghabisinya.” [42] Zaid bin Wahab Jahani berkata, “Tatkala mereka menikam Imam Hasan dan di Madain di rawat dan menderita sakit, ia pergi membesuk Imam Hasan dan berkata, “Keputusan apa yang Anda akan ambil karena orang-orang pada bingung dan tidak tahu harus berbuat apa?”. Menjawab pertanyaan ini, Imam Hasan menjawab, “Demi Allah! Bagiku Muawiyah lebih baik daripada mereka yang beranggapan sebagai Syiahku. Mereka membuat rencana untuk membunuhku, menjarah barang-barangku dan membawa hartaku.”[43]
Pandangan Sumber-sumber Ahlusunnah
sebagaimana telah disebutkan di atas, banyak dari sumber-sumber Ahlusunnah menilai Imam Hasan as sebagai sosok yang mencari perdamaian yang sejak semula cenderung ingin berdamai dengan Muawiyah. Sumber-sumber tersebut memuji Imam as lantaran menerima perjanjian damai yang hasilnya dapat menghentikan perang interen diantara kaum muslimin yang berkepanjangan. Sumber-sumber tersebut menamai tahun terjalinnya perdamaian dengan “tahun kebersamaan” (‘Amul Jama’ah). Terdapat riwayat dari Rasulullah saw dinukilkan dalam sumber-sumber hadis Ahlusunnah bahwa, beliau pernah mengabarkan tentang persatuan kaum muslimin di tangan Imam Hasan.(butuh referensi)
Nasib Surat Perjanjian Damai
Dalam banyak sumber disebutkan bahwa Muawiyah tidak menepati isi perjanjian damai[44] dan banyak dari Syiah Imam Ali as diantaranya Hujr bin Adi[45] ia bunuh dan kemudian mengangkat anaknya, Yazid sebagai putra mahkota.[46] Dinukilkan bahwa paska perjanjian damai, Muawiyah datang ke Kufah dan berpidato seraya berkata: segala syarat yang saya harus penuhi terhadap Hasan akan saya injak-injak.[47] Ia juga berkata: Saya tidak memerangi kalian supaya kalian menunaikan salat, puasa dan haji, tapi saya bereperang untuk menguasai dan memimpin kalian.[48]Bahkan Muawiyah tidak menjalankan syarat untuk membayarkan pajak daerah Darabgerd kepada Imam as seperti yang disinggung dalam beberapa sumber. Dan, menurut beberapa riwayat ia mencegah penduduk Basrah untuk membayarkan uang pajak kepada Imam.[49]
Reaksi Terhadap Perjanjian Damai dan Hasilnya
Dalam beberapa laporan disebutkan, paska perdamaian Imam Hasan as sekelompok orang Syiah menunjukkan kekecewaan dan ketidaksenangannya[50] dan bahkan sebagian orang mencela Imam as dan menyebutnya sebagai penghina orang-orang yang beriman (mudzillul Mu’minin).[51] Dalam menjawab berbagai pertanyaan dan protesan, Imam as menekankan keharusan untuk tetap komitmen terhadap keputusan yang telah diambilnya, dan menyatakan bahwa alasan perjanjian damainya adalah sama dengan alasan perjanjian Hudaibiyah dan hikmah dari perbuatan ini senada dengan hikmah perbuatan nabi Khidir dalam perjalanannya bersama nabi Musa as.[52]
Menurut pernyataan sebagian peneliti, pada beberapa riwayat yang disebarluaskan oleh kaum Umawi dan Abbasi ditunjukkan bahwa Imam Hasan as sendiri tidak memiliki hak sama sekali dalam urusan khilafah,[53], tetapi dalam riwayat-riwayat lain dimuat bahwa Hasan bin Ali meyakini khilafah sebagai haknya dan menegaskan bahwa ia menyerahkan khilafah itu kepada Muawiyah hanya didasari keterpaksaan.[54]
Pada abab-abad berikutnya, masalah perjanjian damai Imam Hasan as dibahas dari sisi teologis. Sayid Murtadha dari ulama Imamiyah menjawab keberatan-keberatan yang dilontarkan terkait masalah perjanjian damai Imam dengan Muawiyah yang fasik dan masalah-masalah lain seperti Imam berlepas tangan dari imamah, berbaiat dengan Muawiyah dan menerima pemberian dan hadiah darinya.[55] Sayid Ibnu Thawus dengan membawa sabda Rasulullah saw yang mengatakan bahwa Allah swt melalui dia (Imam Hasan) telah mendamaikan diantara dua kelompok dari kaum muslimin, meyakini bahwa perjanjian damai Imam Hasan as merupakan salah satu pengaturan Nabi saw dimasa depan yang bersandar kepada ilmu Ilahi yang dapat menjaga Islam dan keturunan beliau.[56]Qadhi Nu’man[57] dan Abu Ya’qub Sajistani[58]dari ulama Ismailiyah juga menjelaskan masalah perjanjian damai Imam Hasan Mujtaba as dan mendukung sikap yang diambilnya.
Buku-buku yang Menulis tentang Perjanjian Damai Imam Hasan
Terkait perjanjian damai Imam Hasan as banyak pernyataan yang telah dilontarkan dan banyak buku yang telah ditulis. Dari sebagian buku-buku itu, kini hanya namanya yang tercatat dalam list. Di antara buku-buku itu adalah sebagai berikut:
Untuk Telaah Lebih Jauh
Sulh al-Hasan, Terjemah Sayid Ali Khamenei, Intisyarat Gulsyan, Cetakan Ketigabelas.
Tinggalkan Balasan