Syiahpedia
MENU

Syiahpedia.id – Hasan bin Ali bin Abi Thalib (bahasa Arab: الحسن بن علي بن أبي طالب) adalah imam kedua Syiah yang menjadi imam selama 10 tahun (40-50 H) dan menjadi khalifah kaum muslimin selama sekitar 7 bulan. Ahlusunah meyakininya sebagai khalifah terakhir dari Khulafa al-Rasyidin.

Hasan bin Ali adalah putra sulung dari Imam Ali as dan Fatimah Zahra sa serta cucu pertama Nabi saw. Menurut catatan-catatan historis, nama “Hasan” dipilihkan Rasulullah saw kepadanya dan beliau sangat mencintanya. Dia tujuh tahun hidup bersama Nabi saw dan turut hadir dalam baiat Ridwan dan peristiwa mubahalah dengan kaum Nasrani Najran.

Keutamaan-keutamaan Imam Hasan as dimuat dalam sumber-sumber Syiah dan Ahlusunah. Dia termasuk salah seorang Ashab al-Kisa’ yang ayat Tathir turun berkenaan dengannya. Muslim Syiah meyakini mereka (Ashhab al-Kisa) manusia-manusia maksum. Ayat Ith’am, ayat Mawaddah dan ayat Mubahalah juga turun berkenaan dengannya, ayah, ibu dan saudaranya. Dia dua kali menginfakkan seluruh kekayaannya di jalan Allah dan tiga kali memberikan separuh dari hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan. Oleh karena kedermawanan tersebut,ia disebut dengan “Karimu Ahli al-Bait” (manusia dermawan dari Ahlulbait). Ia 20 atau 25 kali pergi haji dengan berjalan kaki.

Tidak ada informasi detil dari kehidupan dia pada periode khalifah pertama dan kedua. Atas perintah khalifah kedua ia hadir sebagai saksi dalam Syura Enam Orang untuk menentukan khalifah ketiga. Terdapat beberapa laporan juga dari keikutsertaan dia dalam sebagian peperangan pada masa khalifah ketiga. Pada pemberontakan-pemberontakan akhir masa kekhalifahan Usman, ia atas perintah Imam Ali as menjaga rumah khalifah. Pada periode kekhalifahan Imam Ali as, ia bersama ayahnya pergi ke Kufah dan pada perang Jamal dan Shiffin termasuk dari komandan pasukan.

Hasan bin Ali pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H dan setelah kesyahidan Imam Ali as, memegang tampuk kepemimpinan dan pada hari itu pula lebih dari empat ribu orang berbaiat kepadanya untuk kekhalifahan. Muawiyah menolak kekhalifahannya dan bersama balatentaranya dari Syam bergerak menuju Irak. Imam Mujtaba as mengirim satu pasukan yang dikomandani oleh Ubaidullah bin Abbas ke arah Muawiyah, sementara beliau sendiri bersama pasukan yang lain bergerak menuju Sabath. Muawiyah dengan membuat isu-isu palsu di tengah-tengah pasukan Imam Hasan as berusaha menyiapkan suasana untuk menjalin perdamaian (shulh). Dalam kondisi-kondisi demikian, Imam Hasan as menjadi sasaran niat jahat salah seorang khawarij dan terluka, dan untuk menjalani pengobatan ia dipindahkan ke Madain. Pada saat yang sama, sekelompok orang dari pembesar Kufah menulis surat kepada Muawiyah dan berjanji untuk menyerahkan Hasan bin Ali as kepadanya atau membunuhnya. Muawiyah juga mengirimkan surat-surat warga Kufah tersebut kepada Hasan bin Ali as dan menawarkan perdamaian kepadanya. Imam Mujtaba as menerima tawaran damai itu dan menyerahkan kursi kekhalifahan kepada Muawiyah dengan syarat bahwa Muawiyah harus bertindak sesuai dengan Alquran dan sunnah Nabi saw dan tidak menentukan/menunjuk pengganti dirinya serta harus menjamin keamanan untuk seluruh masyarakat termasuk para pengikut (syiah) Imam Ali as. Namun Muawiyah tidak menjalankan satu pun dari syarat-syarat tersebut. Berdamai dengan Muawiyah menuai ketidakrealaan sejumlah para pendukung Imam Hasan as dan bahkan sebagian mereka menilai Imam sebagai orang yang menghinakan kaum mukminin (mudzillu al-Mukminin).

Imam Hasan as setelah melakukan perdamaian tahun 41 H, kembali ke Madinah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Di Madinah ia menjadi tempat rujukan keilmuan dan menurut sebagian laporan ia pun memiliki status dan kedudukan sosial yang tinggi.

Ketika Muawiyah berkeputusan mengambil baiat untuk pengangkatan putranya, Yazid, sebagai putra mahkota, ia mengirim 100 ribu dirham kepada Ja’dah (istri Imam Hasan) supaya meracuni Imam. Dikatakan bahwa Imam Hasan as 40 hari setelah terkena racun, mati syahid. Berdasarkan satu penukilan, ia berwasiat supaya dikuburkan di sisi pusara Rasulullah saw, namun Marwan bin Hakam dan beberapa orang dari Bani Umayyah menghalangi pelaksanaan wasiat tersebut. Jasad sucinya dimakamkan di Pemakaman Baqi.

Kumpulan perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan Imam Hasan al-Mujtaba as dan nama 137 orang yang meriwayatkan dari darinya, terbukukan di dalam kitab Musnad al-Imam al-Mujtaba as.

Biografi

Nasab, Kelahiran, Pemberian Nama

Nasab

Hasan bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim berasal dari Bani Hasyim dan kabilah Quraisy. Ia adalah cucu pertama Nabi Muhammad saw yang lahir dari rahim suci Sayidah Fatimah sa. [1]

Kelahiran

Imam Hasan as lahir di kota Madinah. [2] Menurut pendapat yang masyhur, ia lahir pada hari ke-15 Ramadhan tahun 3 H. [3] Pendapat lain menyebutkan, ia lahir pada tahun ke-2 H. [4]

Di hari kelahirannya, Nabi Muhammad saw mengumandangkan azan di telinganya [5] dan pada hari ke-7 dari kelahirannya diadakan acara aqiqah dengan menyembelih seekor kambing. [6]

Pemberian Nama

Kata Hasan dalam bahasa Arab memiliki arti ‘kebaikan’. Nama ini diberikan oleh Nabi Muhammad saw sendiri. [7] Sebagian riwayat menyebutkan, pemberian nama itu berasal dari ilham Ilahi. [8] Sebagian pendapat menyebutkan bahwa Hasan dan Husain setara dengan Syubbar dan Syubbair, nama putra-putra Nabi Harun as. [9]

Dikatakan bahwa kedua nama ini adalah termasuk dari nama-nama surga yang sebelum Islam datang belum pernah ada yang menggunakan nama ini sebelumnya. [10] Berdasarkan sejumlah riwayat dari literatur Ahlusunah disebutkan, sebelum putra Imam Ali as tersebut dinamai Hasan oleh Nabi Muhammad saw, Imam Ali as bermaksud memberikan nama Hamzah [11] atau Harb [12], namun ia tidak ingin mendahului Nabi saw sampai Nabilah yang memberikan nama untuk cucu pertamanya itu. [13]

Panggilan dan lakab

Panggilan

Kira-kira hampir semua literatur sepakat bahwa panggilan Imam Hasan as adalah Abu Muhammad. [14] Al-Khushaibi memuat bahwa selain Abu Muhammad, Abul Qasim juga diyakini sebagai panggilan Imam Hasan as. [15]

Lakab dan gelar

gelar dan lakab yang sama yang dimiliki oleh Imam Hasan dan Imam Husain sebagaimana yang dikutip dalam kitab Alqāb al-Rasul wa ‘Itratihi diantaranya adalah: “Sibthu Rasulillah”, “Raihanatu Nabiyillah”, “Sayidu Syababi Ahlil Jannah” (Penghulu para pemuda surga), “Qurratu ‘Aini al-Batul”, “Alim”, “Mulham al-Haq” dan “Qaid al-Khalq”. [16] Ibnu Abi al-Tsalj menyebutkan lakab khusus yang dimiliki Imam Hasan as diantaranya adalah: “Amir”, “Hujjah”, “Kafi”, “Sibth” dan “Wali”. [17]lakab lainnya yang juga terdapat dalam literatur yang ada, sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Syahr Asyub adalah : “Sibthu Awwal”, “Imam Tsani”, “Muqtada Tsalits”, “Dzikr Rabi” dan “Mubahil Khamis”. [18]

Sementara lakab Imam Hasan as yang terkenal di kalangan Syiah antara lain, “al-Mujtaba”, “al-Zaky”, “at-Taqi” dan “Karim Ahlulbait”. Ibnu Thalhah Syafi’i menyebutkan lakab paling masyhur Imam Hasan as adalah “at-Taqi” dan “as-Sayyid”. Diantara dalil yang menyebutkan itu adalah pada ucapan Rasulullah saw yang bersabda, “Sesungguhnya putraku ini adalah seorang sayid.” [19]

Istri-Istri dan Keturunannya

Banyak riwayat yang menyebutkan tentang prihal jumlah pernikahan dan jumlah istri-istri Imam Hasan as. [20] sebagian menyebutkan jumlah istri beliau sampai tiga ratus orang,[21] Sebagiannya lagi 200,[22] sebagian 90,[23] dan sebagian yang lain 70,[24] jumlah bilangan yang telah disebutkan di atas tentang jumlah bilangan istri-istri Imam Hasan sangat berlebihan dan tidak sesuai dengan sumber-sumber muktabar dan valid dari referensi-referensi sejarah yang memuat nama-nama istri dan anak keturunan beliau.[25]

Para sejarawan dengan penelitian yang mereka cari mengenai kehidupan para Imam secara umum, mereka hanya menjelaskan nama dan tanda keberadaan 18 istri bagi Imam Hasan as, yang mana 5 diantaranya tidak diketahui biografinya dan hanya disebutkan dari kabilah mana berasal. [26]

Mengenai jumlah anak keturunan beliau juga terdapat perselisihan pendapat. Syaikh Mufid menyebutkan jumlah anak keturunan beliau 15 orang.[27]

Putra Putri Imam Hasan as

Mengenai jumlah keturunan langsung Imam Hasan as juga terdapat perbedaan riwayat. Syaikh Mufid menyebutkan Imam Hasan as memiliki 15 anak kandung. 8 laki-laki dan 7 lainnya perempuan.

  • Zaid dan dua saudara perempuannya Ummul Hasan dan Ummul Husain dari istri beliau yang bernama Ummi Bashir putri Ibnu Mas’ud ‘Aqabah bin Amru.
  • Hasan bin Hasan dari istri beliau yang bernama Khaulah binti Manzhur al-Fazari.
  • Amru dan dua saudara laki-lakinya Qasim dan Abdullah. Ibunya adalah seorang budak.
  • Abdurrahman. Ibunya juga dari seorang budak.
  • Husain dan saudara laki-lakinya Talhah dan saudara perempuannya Fatimah. Ibu mereka bernama Ummu Ishak binti Talhah bin ‘Ubaidillah Taimi.

Putri-putri beliau, Ummu Abdullah, Fatimah, Ummu salamah dan Ruqayyah dari istri-istri yang berbeda[29] Allamah Majlisi menyebutkan Imam Hasan as jug memiliki putra yang bernama Abu Bakar. [30]

Syaikh Thabrisi menyebut Imam Hasan as memliki 9 anak laki-laki dan 7 anak perempuan. [31]

Sementara Ibnu Jauzi, Ibnu Hisyam dan Waqidi mencatat Imam Hasan as memiliki 15 anak laki-laki dan 8 anak perempuan dan menyertakan namanya dalam kitab-kitab mereka. [32] Diantara anak-anak perempuan Imam Hasan as, Ummu al-Husain menikah dengan Abdullah bin Zubair, Ummu Abdullah menjadi istri Imam Sajjad as dan Ummu salamah menjadi istri ‘Amru bin Mandzar bin Zubair. [33]

Keturunan Imam Hasan as

Dari empat putra Imam Hasan as yang bernama Hasan al-Mutsanna, Zaid, Umar dan Husain al-Atram mereka memiliki anak keturunan dan generasi keturunan Imam Hasan as pun berlanjut. Generasi Imam Hasan as dari jalur Husain al-Atram dan ‘Amru tidak lagi berlanjut dan hanya melalui jalur Hasan al-Matsanna dan Zaid berlanjut sampai saat ini. [34] Generasi Imam Hasan as itu dikenal dengan istilah sadat Hasani. [35]

Keluarga besar ini memiliki peran yang signifikan dalam sejarah sosial dan politik Islam. Pada generasi kedua dan ketiga telah meletus berbagai gerakan revolusi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh dari klan ini dan berhasil mendirikan sejumlah daulah di beberapa negara. Diantaranya sampai saat ini keturunan Imam Hasan as masih memberi pengaruh dan sangat dihormati di sejumlah negara Islam, seperti klan Thabathabai, Mudarris, al-Hakim dan lain-lainnya yang kesemuanya itu dari cabang sadat Hasani.

Periode Kehidupan sebelum Imamah

Kehidupannya di Sisi Rasulullah saw

Imam Hasan as 7 tahun hidup bersama Rasulullah saw. [36] Sejumlah peristiwa penting telah dijalani bersama Rasulullah saw seperti peristiwa mubahalah, peristiwa Kisa yang menjadi penyebab turunnya ayat ath-Tathir, yang mana kedua peristiwa ini menjadi dalil utama untuk menetapkan kemaksuman Ahlulbait as. Ia juga hadir bersama adiknya Imam Husain as dalam peristiwa Baiat al-Ridhwan. Imam Hasan as juga turut berada bersama saudaranya Imam Husain as di sisi kakeknya saat meninggal dunia. [37]

Literatur Sunni dan Syiah mengabadikan sejumlah riwayat yang menyebutkan posisi penting Imam Hasan as di sisi Rasulullah saw. Bara’ berkata: “Saya melihat Nabi Muhammad saw bersama dengan Hasan bin Ali yang berada di atas pangkuannya dan dalam keadaan demikian beliau berkata, Ya Allah aku mencintainya, maka berikan juga kecintaan-Mu terhadapnya.” [38]

Dalam hadis yang lain dinukilkan bahwa Nabi Muhammad saw dalam keadaan bersama dengan Hasan dan Husain yang duduk di atas pangkuannya dan berkata, “Ini adalah kedua putraku dan kedua putra dari putriku. Ya Allah, aku mencintai keduanya, maka berikan juga kecintaan-Mu kepada keduanya dan cintai pula siapa saja yang mencintai keduanya.” [39]

Nabi Muhammad saw dalam hadis yang lain mengenai Imam Hasan as dan Imam Husain as bersabda, “Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga.” [40]

Dalam riwayat yang lain, Nabi Muhammad saw bersabda, “Kedua putraku ini adalah dua bunga wangiku di dunia.” [41] Juga menyebutkan, “Hasan dan Husain (atau kedua putraku ini adalah Imam, yang memimpin revolusi atau yang menciptakan perdamaian.” [42] Pada hadisnya yang lain, Nabi Muhammad saw bersabda, “Jika akal seorang laki-laki terwujud sebagai manusia, maka dia adalah al-Hasan.” [43]

Kehidupannya di Masa Kekhalifahan

Literatur Islam menyebutkan beberapa jumlah bentuk protes dan kritikan Imam Hasan as kepada ketiga khalifah. Sebagai contoh, Suyuti menulis dalam kitab Tārikh al-Khulafā:

Suatu hari Imam Hasan di masa kecilnya menemui Abu Bakar yang saat itu sedang berkhutbah di atas mimbar. Ia mengajukan protes kepada Abu Bakar sambil berkata, “Turunlah dari atas mimbar ayahku.” Abu Bakarpun menanggapi pernyataan tersebut dengan mengatakan, “Demi Allah, benarlah apa yang kamu katakan itu. Ini adalah mimbar ayahmu, bukan mimbarku.” [44]

Imam Hasan dan Imam Husain pada saat perang menginvasi kerajaan Persia terdapat versi sejarah yang berbeda, apakah keduanya hadir dalam laskar tersebut atau tidak. Banyak sejarawan berpendapat seperti Sayid Ja’far Murtadha al-‘Amili berpendapat Imam Hasan as dan Imam Husain as tidak ikut terlibat dalam perang menginvasi Iran. Dari sejumlah literatur menyebutkan keduanya hadir dalam invasi ke Iran, meskipun riwayat tersebut tidak memiliki landasan yang kuat. [45]

Pada saat masa transisi dari pemerintahan Khalifah Umar kepada pemerintahan khalifah selanjutnya dan terbentuknya Dewan Syura yang kemudian menghasilkan keputusan yang menetapkan Utsman sebagai Khalifah selanjutnya, atas permintaan Umar bin Khattab, Imam Hasan as termasuk diantara enam orang yang dijadikan saksi dalam Dewan Syura yang terbentuk tersebut. Hal tersebut menunjukkan bukti betapa penting peran dan luasnya pengaruh yang dimilikinya, sekaligus mengisyaratkan bahwa beliau bukan hanya diakui sebagai salah satu anggota dari Ahlulbait Nabi saw namun juga diakui sebagai tokoh berpengaruh yang memiliki peran sosial penting di tengah-tengah kaum Anshar dan Muhajirin. [46]

Di saat Utsman mengasingkan Abu Dzar al-Ghifari ke Rabadzhah dan menetapkan pelarangan untuk tidak seorang pun menemani dan berbicara dengannya, dan meminta kepada Marwan bin Hakam mengeluarkannya dari kota Madinah. Ketika Abu Dzar akhirnya dalam keadaan terusir keluar dari kota Madinah, tidak seorangpun yang berani untuk berbicara dan menemuinya, kecuali Imam Ali as beserta saudaranya Aqil dan kedua putranya Hasan dan Husain serta Ammar bin Yasir yang bahkan sampai mengawal kepergian Abu Dzar meninggalkan kota Madinah. [47]

Di saat terjadi kerusuhan, dengan adanya aksi pengepungan sejumlah pemberontak yang hendak membunuh khalifah Utsman bin Affan, sebagian catatan sejarah menyebutkan tindakan Imam Ali as untuk menjaga Islam adalah menjaga keselamatan khalifah. Ia mengutus kedua putranya Hasan dan Husain menuju rumah Utsman untuk menjamin keselamatannya. Sayang, situasi saat itu sangat sulit, dan pembunuhan terhadap khalifah Utsman tidak terelakkan. Disebutkan terjadi banyak perbedaan riwayat dari berbagai sumber mengenai hal detail dari peristiwa pembunuhan tersebut. [48]

Imam di Masa Keimamahan Imam Ali as

Imam Hasan as dan Imam Husain as bergabung dalam peperangan yang dipimpin oleh ayahnya, yaitu dalam Perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan. [49]

Di Perang Jamal

Ketika Abu Musa al-Asy’ari panglima perang Kufah yang diutus oleh Imam Ali as untuk menghadapi kaum pemberontak melakukan pembangkangan, Imam Ali as mengutus putranya sendiri Imam Hasan bersama dengan Ammar bin Yasir dan sebuah surat ke Kufah. Dengan pidato yang disampaikannya di Masjid Kufah, beliau mampu mengumpulkan 10000 pasukan yang ikut serta bersamanya ke medan perang. [50]

Imam Hasan menyampaikan pidatonya sebelum terjadi perang [51] dan Amirul Mukminin mengutus beliau dalam perang tersebut untuk bersiaga di Maimanah [bagian kanan] dari pasukan perang, [52]

Sebagian sejarawan menyebutkan dalam perang tersebut, Imam Ali as berkata kepada Hanafiah, “Ambillah tombak ini, dan bunuhlah unta itu [yang dimaksud adalah unta yang dikendarai Aisyah yang dalam menghadapinya telah banyak menelan korban]”. Muhammadpun pergi namun kembali dalam keadaan luka parah akibat terjangan panah disekujur tubuhnya. Setelah itu, Hasan mengambil tombak itu dan selanjutnya berhasil membunuh unta Aisyah. [53]

Imam dalam Perang Shiffin

Dalam Perang Shiffin, di tengah kecamuk menghadapi musuh-musuhnya, Imam Ali as tidak melepaskan perhatian dari kedua putranya yang turut berperang. Dalam menjaga keselamatan nyawa Hasan dan saudaranya Husain, Imam Ali as meminta keduanya untuk berada di belakangnya. Imam Ali as berkata, “Di tengah kecamuk perang aku mengkhawatirkan keselamatan kedua putraku, karena aku tidak menginginkan keturunan Rasulullah saw terputus.” [54]

Dalam perang, sewaktu Muawiyah melihat Imam Hasan as, ia memerintahkan kepada Ubaidillah bin Umar -putra bungsu khalifah kedua- memasuki medan perang dan menemui Imam Hasan as. Ubaidillahpun mendekati Imam Hasan yang sedang sibuk menghadapi musuh-musuhnya, dan berkata kepadanya, “Aku ada urusan denganmu.”

Imam Hasanpun mendekatinya. Ubaidillahpun menyampaikan pesan Muawiyah yang mengajaknya bergabung. Imam Hasan as dengan suara meninggi berkata, “Aku akan melihat, kau akan terbunuh hari ini atau besok. Namun setan telah menipumu dan memperindah perbuatan ini di matamu sampai akhirnya perempuan-perempuan Syam akan mengambil jenazahmu. Allah swt akan mempercepat kematianmu dan kau akan berkalang tanah.” Mendengar jawaban tegas tersebut, Ubaidillah kembali keperkemahan dan ketika Muawiyah melihat keadaannya, ia langsung menanggapinya dengan berkata, “Anak laki-laki itu adalah juga ayahnya.” [55]

Imam Ali as untuk mencegah terjadinya fitnah dan perpecahan pasca pemerintahannya, ia secara terang-terangan mengingatkan masyarakat akan bahayanya, melalui pidato-pidato yang disampaikannya secara terbuka dengan penjelasan dalil dan argumentasi yang jelas. Hal demikian juga dilakukan oleh Imam Hasan as [56]

Surat ke-31 Imam Ali as yang terdokumentasikan dalam kitab Nahjul Balaghah berisikan surat wasiat yang penuh dengan pesan-pesan akhlak Imam Ali as kepada putranya, Imam Hasan as. Surat tersebut disampaikan sewaktu Imam Hasan as dalam perjalanan pulang dari Shiffin di sebuah tempat yang disebut Hadhirin.

Periode Keimamahan

Pasca syahidnya Imam Ali as pada hari ke-21 Ramadhan tahun 40 H/661, Imam Hasan as mencapai derajat imamah dan memikul amanah menjadi pemimpin atas umat. Keimamahan Imam Hasan as berlangsung selama 10 tahun.

Dalil-dalil Keimamahan

Hadis yang berbunyi, “Kedua putraku ini, Hasan dan Husain adalah imam, baik dalam keadaan bangkit atupun berdamai.” [57], dari Rasulullah ini adalah hujjah yang jelas dan terang mengenai keimamahan Imam Hasan dan Imam Husain. Dan juga Hadis 12 Khalifah yang disampaikannya kepada Jabir, “Khulafa ya Jabir dan imam kaum muslimin sepeninggalku yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib kemudian al-Hasan kemudian al-Husain dan…” [58]

Isyarat dari Imam Ali as yang dituliskannya dalam surat wasiat yang menyebutkan mengenai keimamahan Imam Hasan as. [59] Ijma’ Ahlulbait dan Nabi Muhammad saw atas keimamahannya. [60]

Kemaksuman dan keutamaan adalah syarat dari keimamahan. Pada masanya, hanya Imam Hasan as yang memiliki sifat dan keutamaan itu. [61]

Periode Kekhilafahan sampai Perdamaian

Imam Hasan al-Mujtaba as pada malam Jum’at 21 Ramadhan tahun ke 40 H/661 bersamaan dengan kesyahidan ayahnya Imam Ali as di tangan Ibnu Muljam, urusan kepemimpinan dan kewilayahan atas umat beralih ke atas pundaknya. Ia menuju mimbar dan menyampaikan khutbah. Setelah menyampaikan khutbahnya, Abdullah bin Abbas mengajak kaum muslimin untuk membaiatnya. Penduduk Kufah pun secara berkelompok-kelompok berdatangan untuk memberikan baiat mereka. Imam Hasan as menerima baiat mereka untuk menjadi khalifah dengan mempersyaratkan, turut memerangi siapapun yang diperanginya dan berdamai dengan siapapun yang berdamai dengannya. [62] Sebagian orang yang telah siap berperang dengan Muawiyah, ketika mendengarkan khutbah Imam Hasan as tersebut mengambil kesimpulan bahwa Imam Hasan as memiliki niat untuk berdamai. [63]

Merekapun mendekati Imam Husain as dan berencana membaiatnya menjadi khalifah, namun Imam Husain as sepakat dengan keputusan saudaranya. Merekapun akhirnya turut membaiat Imam Hasan as. Dengan demikian, Imam Hasan as secara resmi terangkat sebagai khalifah dan mendapatkan baiat dari kaum muslimin yang tersebar di Irak, Hijaz dan Iran. Syam yang saat itu berada di bawah pengaruh Muawiyah, satu-satunya wilayah yang tidak memberikan baiatnya kepada Imam. [64]

Berdasarkan sebagaian literatur, Imam Hasan as selama 50 hari atau lebih pasca kesyahidan ayahnya dan mendapatkan baiat dari masyarakat tidak melakukan perang ataupun perdamaian. [65] Tindakan pertama yang diambil Imam Hasan as setelah dibaiat adalah menambah jumlah pasukan perang. [66]

Perang dengan Muawiyah

Sewaktu Muawiyah mendapat kabar akan kesyahidan Imam Ali as dan paham akan pembaiatan yang telah dilakukan umat Islam atas Imam Hasan as, diapun kemudian mengirimkan dua orang untuk menjadi mata-mata dan memprovokasi masyarakat untuk melawan Imam Hasan as ke kota Basrah dan Kufah. Imam Hasan as ketika mengetahui hal tersebut segera memerintahkan untuk melakukan penangkapan atas keduanya dan menjatuhkan hukuman yang setimpal. [67]

Imam Hasan as menulis surat kepada Muawiyah dan memintanya untuk menyerah. Namun ia dalam menjawab balasan surat Imam ia menulis, jika Imam Hasan as menyerah , maka ia akan memberikan kekayaan Irak seberapapun yang Imam Hasan as kehendaki dan setelah kematiannya, dia akan menyerahkan kembali kekhalifahan tersebut ke tangan Imam Hasan as. [68]

Baiat yang dilakukan rakyat Irak dan persetujuan penduduk Hijaz, Yaman, Persia secara diam-diam dan balasan tegas dalam surat Imam Hasan as kepada Muawiyah tidak memberikan pilihan lain selain berperang dengan Muawiyah yang tengah berusaha merebut kekuasaan. Oleh karena itu, Muawiyah telah bersiap-siap untuk bertempur. [69]

Ia memobilisasi pasukan sebanyak 60.000 orang. [70] Ketika pasukan Muawiyah menyeberangi jembatan Manbaj yang melintasi sungai Furat, Imam Hasan as memerintahkan penduduk Kufah untuk siap berjihad. Ia menunjuk Hujr bin ‘Adi sebagai komandan pasukan Kufah. [71]

saat mempersiapkan keberangkatan pasukan perang, Imam Hasan as menyampaikan khutbahnya di Sabath Madain dengan mengajak kaum muslimin untuk lebih mengutamakan persatuan dan menghindari perpecahan dan permusuhan. Dari khutbahnya tersebut, penduduk Kufah menganggap Imam Hasan as sesungguhnya menghendaki perdamaian dengan Muawiyah. Dengan demikian, sebagian menuduhnya telah kafir dan menyerang perkemahan beliau dan sebagian besar penduduk meninggalkan Imam Hasan as. [72]

Begitu juga Muawiyah mengirim surat kepada Ubaidillah bin Abbas, komandan pasukan Irak, dan dengan berpura-pura memberitahukan bahwa Imam Hasan as yang mengajukan tawaran damai dan jika Ubaidullah bin Abbas menerima dan ikut bersamanya tanpa mengulur-ulur waktu, dia akan memberikannya kekuasaan dan harta yang berlimpah. Ubaidillah juga dengan anggapan bahwa Imam Hasan as memang telah mengajukan perdamaian dengan Muawiyah, iapun berpikir akan keuntungan pribadinya dan menerima tawaran Muawiyah dan pada malam hari ia bersama dengan sejumlah pasukannya, yang kira-kira jumlahnya 2/3 dari pasukan Imam, bergabung bersama Muawiyah. [73]

Efek dan pengaruh dari peristiwa ini adalah sebagian dari para ketua kabilah Irak yang dengan perantara surat-surat mereka turut serta mendukung Muawiyah. Setelah kejadian ini Muawiyahpun bermaksud untuk menyuap Qais bin Sa’ad yang mana dia adalah salah satu komandan pasukan Irak, namun gagal menghadapinya. [74]

Dalam kondisi semacam inilah Muawiyah mengirim dua utusan untuk menemui Imam Hasan as dan menawarkan perdamaian kepada beliau.

Perdamaian dengan Muawiyah

Muawiyah mengirim dua utusan untuk menawarkan perdamaian kepada Imam Hasan as. Kedua wakil tersebut mengajak Imam Hasan as untuk menghindari perang dan mencegah pertumpahan darah. Keduanya berkata, pasca Muawiyah kekhalifahan akan diserahkan kembali kepada Imam Hasan as. Bersama dua utusan tersebut, sebuah kertas kosong yang hanya berisi tanda tangan Muawiyah dengan maksud Imam Hasan as menulis apapun saja yang dikehendakinya dari Muawiyah asal kekuasaan atas negara-negara muslim diserahkan kepada Muawiyah. [75]

Syarat-syarat perdamaian yang diajukan Imam Hasan as menurut catatan sejarah memiliki beragam versi. [76]

Menurut al-Baladzuri berikut surat rekonsiliasi/perdamaian antara Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan yang mana kepemimpinan kaum muslim beralih ke tangan Muawiyah dengan persyaratan sebagai berikut:

  1. Akan bertindak sesuai dengan kitab Allah, Sunnah Nabi dan sirah para khalifah yang saleh.
  2. Tidak mengangkat putra mahkota dan mengembalikan amanah kepada permusyawaratan kaum muslimin.
  3. Dimanapun rakyat berada, nyawa, harta dan keturunannya harus dijamin keamanannya.
  4. Baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi, Muawiyah tidak boleh mengusik dan mengancam serta menakut-nakuti Imam Hasan as para pengikutnya.

Abdullah bin Harits dan Amru bin Salamah menjadi saksi dari penandatanganan deklarasi perdamaian tersebut. [77]

Dengan persyaratan yang telah dibuat melalui Imam Hasan as, perjanjian tersebut ditandatangani pada tahun 41 H/662. Terdapat perbedaan pendaapat mengenai bulannya. Ada yang menyebut bulan Rabiul Awwal, Jumadil Awal atau Jumadil Tsani di tahun yang sama . [78]

Mas’udi dalam kitab al-Tanbih wa al-Asyrāf menyebut Rabiul Awwal sebagai pendapat yang paling kuat dan paling masyhur. [79]

Sejak Perdamaian hingga Wafat

Imam Hasan setelah melakukan perdamaian dengan Muawiyah, beliau berhijrah ke Madinah. Dan di kota tersebut, beliau menjadi sumber rujukan ilmu, agama, masalah sosial dan politik. Beliau berkali-kali melakukan perdebatan dengan Muawiyah dan para pengikutnya di kota Madinah dan Damaskus, yang riwayat-riwayat mengenai hal tersebut diantaranya ditulis oleh Thabrisi dalam kitabnya Ihtijaj. [80]

Setelah Imam Hasan as mengambil keputusan untuk lebih menjaga darah kaum muslimin supaya tidak tertumpah dan menjaga kelestarian ajaran agama dengan menandatangani perjanjian dengan Muawiyah, maka dimulailah periode paling menyulitkan yang harus dijalaninya. Kecaman dari pengikutnya sendiri, kekuasaan yang teralihkan dari tangannya, dan syahidnya sejumlah sahabat-sahabatnya menjadikan periode tersebut menjadi jauh lebih sulit.

Pada periode ini, Imam Hasan as memilih mengucilkan diri dan tinggal di rumah. Dalam kondisi terasing seperti itu, pada hakikatnya beliau tetap mengemban amanah sebagai imam atas ummat. Karena itu, meski dengan penuh keterbatasan beliau tetap kerap kali menyampaikan khutbah yang mengisyaratkan hakikat yang sesungguhnya, dan alasan-alasannya menerima tawaran perdamaian dengan Muawiyah yang disebutnya untuk mencegah pertumpahan darah. [81]

Muawiyah juga sering melakukan hal yang sama di Kufah dengan menyampaikan khutbah bahwa kekuasaan memang layak berada di tangannya. Dalam khutbah-khutbahnya, Muawiyah kerap kali melengkapinya dengan melakukan penghinaan atas Imam Ali as. Imam Hasan as kerap membantah penghinaan-penghinaan tersebut dengan menyebut keutamaan-keutamaan ayahnya di mimbar-mimbar. [82]

Hal tersebut membuat Muawiyah sadar, bahwa keberadaan Imam Hasan as tetap menjadi ancaman atas kekuasaannya. Terlebih lagi posisi Imam Hasan as di tengah-tengah masyarakat Islam tetap memiliki kedudukan yang dihormati. Karena itu, Muawiyah tetap menjaga sikapnya dengan juga memberi penghormatan pada Imam Hasan as. Seperti misalnya, ketika sahabat Imam Hasan as diperlakukan tidak pantas oleh Ziyad bin Ubay di Kufah dan kritikan Imam Hasan as padanya dibalasnya dengan tidak sopan, ketika informasi ini sampai di tangan Muawiyah, ia menegur keras bawahannya tersebut dan memintanya untuk menaruh hormat kepada Imam Hasan as.

Langkah-langkah Muawiyah mempersiapkan putranya Yazid untuk kelak dijadikannya sebagai khalifah yang bakal menggantikan posisinya adalah juga bagian terpenting dari periode ini. Hal ini mendapat perhatian penuh Imam Hasan as dengan kerap menyampaikan kritikannya, bahwa kelayakan seseorang menjadi khalifah bergantung pada kepedulian dan perhatiannya pada Alquran dan sunnah. [83]

Diantara kritikan yang dilancarkan Imam Hasan as kepada Muawiyah adalah tidak adanya keinginan dari pihak Muawiyah untuk mencari kemaslahatan bagi umat Islam. Oleh karena itu, Imam Hasan as tidak lagi tinggal diam, ia bergerak keluar dari Kufah membawa sejumlah pengikutnya. [84]

Inilah langkah cerdas Imam Hasan as yang mengambil inspirasi dari yang pernah disampaikan Imam Ali as dalam khutbahnya, berhenti dari kesalahan adalah keterpisahan dari orang-orang kafir. [85]

Meski demikian, Imam Hasan as tidak mewajibkan kepada pengikutnya untuk mengikuti langkah tersebut, oleh karena itu ia tidak menolak umat Islam berada di bawah bendera Muawiyah selama ia mampu menunjukkan penyimpangan dan kerusakan yang ditimbulkan Muawiyah. [86]

Dalam riwayat disebutkan, Muawiyah mampu menjaga sikap dan perilakunya dihadapan masyarakat umum, namun secara rahasia ia sering meminta bawahannya untuk mengejar dan menangkap Syiah Ali as. Seperti contoh, kebijakannya mengangkat Ziyad untuk jadi gubernur di Kufah adalah guna mempersempit gerak-gerik orang-orang Syiah di Kufah.

Sahabat-sahabat Imam Hasan as sebagian besarnya adalah juga sahabat-sahabat Nabi saw, seperti Ziyad bin Ubay. Ia kerap kali mengkritik Muawiyah, yang oleh karena itu ia berkali-kali ditahan dan mendapat penganiayaan. Nasib serupa juga menimpa Amru bin Hamq al-Khazai, pada belasan tahun diakhir usianya. Ia dipenjara oleh rezim Muawiyah dan mendapat penganiayaan sampai akhirnya wafat di dalam penjara di Kufah. [87]

Ketika mengetahui wafatnya Amru dalam penjara, Imam Hasan as menulis surat kepada Muawiyah dan mengecam keras penganiayaan tersebut. [88] Contoh lainnya, adalah sikap Muawiyah ketika mendapat kritikan keras dari Hujr bin ‘Adi saat mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan isi surat perdamaian dengan Imam Hasan as. Ia memerintahkan penangkapan Hujr dan dibawa ke Damaskus, hingga mencapai kesyahidan di kota tersebut. [89]

Pada contoh lainnya, bisa ditambahkan nama Rasyid al-Hajari salah seorang sahabat setia Imam Ali as yang mencapai kesyahidan dimasa kekuasaan Muawiyah. [90] Di akhir-akhir kehidupan Imam Hasan as ia tidak hanya melakukan perjalanan sampai ke Hijaz namun juga ke Damaskus. [91] Inilah periode paling sulit yang dijalankan Imam Hasan as. Beliau menempuhnya dengan penuh kesabaran. Meski demikian, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai Imam dan mempersiapkan periode keimamahan untuk saudaranya, Imam Husain as.

Kesyahidan

Menurut riwayat yang masyhur, kesyahidan Imam Hasan as pada tahun 50 H/670. [92]

Riwayat paling banyak menyebutkan, hari kesyahidannya adalah hari-hari akhir bulan Safar [93] yaitu hari ke-28 Shafar. Riwayat lainnya menyebutkan, beliau syahid pada hari ke-7 Shafar [94] dan ada juga riwayat yang menyebutkan salah satu hari di bulan Rabiul Awwal [95]

Syaikh Mufid menyebutkan, Imam Hasan as wafat pada usia 48 tahun. [96] Disebabkan terjadi perbedaan pendapat mengenai hari kesyahidannya, maka jumlah usianya saat syahidnya juga mengalami beragam versi. [97]

Dari riwayat Sunni dan Syiah disebutkan, Imam Hasan as syahid karena diracun [98] Namun ada juga yang meriwayatkan di luar litetarur Syiah, bahwa belaiu meninggal dunia secara alamiah, karena sakit dari penyakit yang menimpanya. [99]

Diriwayatkan, Muawiyah menawarkan Ja’dah binti Asy’at bin Qais, salah seorang istri Imam Hasan as yang jika berhasil meracuni suaminya itu, ia akan diberi seratus ribu dirham dan akan dinikahkan dengan Yazid putra Muawiyah yang akan dilantik sebagai raja pengganti. Ja’dah tertarik akan tawaran itu dan berhasil meracuni Imam Hasan as, iapun mendapatkan uang dari Muawiayah sebesar dengan yang telah dijanjikan. [100] Akan tetapi Muawiyah mengingkari janjinya untuk menikahkan Ja’dah dengan Yazid.

Ibnu Sa’ad menyebut pelaku yang membubuhkan racun pada makanan Imam Hasan as adalah salah satu pembantunya. [101] Riwayat lain menyebutkan pelakunya ada putri Suhail bin Amru, salah seorang istri Imam Hasan as yang lainnnya, juga melalui suruhan Muawiyah. [102]Jika melihat kondisi pada saat itu, dimana Muawiyah memang berencana mempersiapkan putranya Yazid untuk menjadi penggantinya, maka riwayat yang menyebutkan Imam Hasan as diracun oleh Ja’dah bin asy’at dinilai lebih kuat. [103]

Berdasarkan riwayat yang ada, Imam Hasan as sebelum wafatnya telah mengalami proses peracunan berkali-kali. [104]

Ya’qubi menulis: Imam Hasan as menjelang wafatnya beliau berkata kepada saudaranya, “Wahai saudaraku, ini ketiga kalinya aku diracun. Dan racun ini sangat berbeda dengan sebelumnya, dan inilah yang akan menjadi penyebab kematianku hari ini. Jika aku meninggal, maka makamkanlah aku di sisi makam Rasulullah saw, sebab tidak ada yang lebih dekat dengannya kecuali aku, namun jika pemakamanku di sisi makam Rasulullah dapat menyebabkan pertumpahan darah, maka hindarilah.” [105]

Proses Pemakaman

Dari riwayat Syaikh Thusi [106] Imam Hasan as memberikan wasiat kepada saudaranya Imam Husain as bahwa beliau ingin dimakamkan di sisi makam kakeknya, Nabi Muhammad saw. Namun jika ada yang menghalangi, Imam Husain as tidak boleh memaksa agar tidak terjadi pertumpahan darah. Dalam riwayat lain disebutkan, Imam Hasan as mewasiatkan agar jenazahnya setelah dimandikan dan dikafani, untuk memperbaharui perjanjian dibawa ke sisi makam Rasulullah saw setelah itu jenazah dibawa ke sisi makam neneknya, Fatimah binti Asad untuk dimakamkan. [107]

Sewaktu jenazah Imam Hasan as dibawa ke sisi makam Rasulullah saw, Marwan dengan seribu pasukan tentaranya menghalangi dan mencegah hal itu terjadi. [108]

Riwayat dari Abu al-Faraj al-Isfahani menyebutkan Aisyah turut mendukung pelarangan tersebut. [109] Namun riwayat lain menyebutkan, Aisyah sewaktu melihat kejadian itu terjadi menyarankan supaya tidak dilanjutkan untuk menghindari hal-hal yang lebih berbahaya. [110] Dari adanya kejadian tersebut, Imam Husain as membawa jenazah saudaranya ke Pemakaman Baqi untuk dikuburkan di tempat tersebut. [111]

Sa’id bin ‘Ash, gubernur Madinah saat itu, mengajukan permintaan kepada Imam Husain as agar dialah yang menjadi imam penyelenggaraan salat jenazah Imam Hasan as. [112] Namun mengingat adanya riwayat mengenai jenazah Imam Maksum hanya bisa diimami oleh Imam Maksum juga, maka bisa diperkirakan sebelumnya Imam Husain as telah menyelanggarakan salat jenazah Imam Hasan as. Pada penyenggalaraan salat jenazah di pemakaman Baqi, Imam Husain as melakukan taqiyyah dengan mengizinkan Sa’id bin ‘Ash untuk menjadi Imam salat, dalam rangka untuk mencegah hal yang berbahaya jika Imam Husain as menolak tawaran tersebut. [113]

Kepribadian dan Keutamaannya

Dari Nabi Muhammad saw diriwayatkan, beliau berkata kepada Imam Hasan [114] orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw baik dari segi fisik, penampilan pengaruh dan akhlaknya adalah Imam Hasan as. [115]

Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda kepadanya: “Wahai Hasan, kamu dari penciptaan bentuk dan akhlak sangat mirip denganku.” [116] beliau menyukai warna hitam [117] dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Imam Hasan as adalah salah seorang Ashabul Kisa [118] Pada Peristiwa Mubahalah dengan rohaniawan Kristiani, Nabi Muhammad saw membawa serta Imam Hasan, Imam Husain as, Imam Ali as dan sayidah Fatimah sa sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah swt. [119] Turunnya Ayat Tathir juga menunjukkan tentang keutamaannya yang sangat besar, demikian juga dengan Ahlulbait yang lain. [120]

Imam Hasan sebanyak 25 kali menunaikan ibadah Haji dan tiga kali menyedekahkan semua hartanya di jalan Allah, sampai sepatunyapun diserahkannya dan hanya menyisakan sandal untuknya[121]

Catatan kaki:

  1. Al-Mufid, al-Irsyād, 1380 S, jld. 2, hlm. 3.
  2. Al-Mufid, al-Irsyād, 1380 HS, jld. 2, hlm. 3; Syaikh Thusi, Tahdzhib al-Ahkām, jld. 6, hlm. 40.
  3. Kulaini, al-Kāfi, Beirut 1401 H, jld. 1, hlm. 461; al-Maqdisi, al-Bad’u wa al-Tārikh, Paris, jld. 5, hlm 20.
  4. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Beirut, hlm, 157; Kulaini, al-Kāfi, Beirut 1410 H, jld. 1, hlm. 461; Syaikh Thusi, Tahdzhib al-Ahkām, jld. 6, hlm. 39.
  5. Ibnu Hanbal, jld. 6, hlm. 391; Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld. 3, hlm. 36; Ibnu Babawaih, Ali bin Husain, al-Imāmah wa al-Tabshirah min al-Haira, jld. 2, hlm. 42.
  6. Nasai, Ahmad bin Ali, Sunan al-Nasāi, jld. 4, hlm. 166; Kulaini, al-Kāfi, Beirut, 1401 H, jld. 6, hlm. 32-22; Hakim Neisyaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld. 4, hlm. 237.
  7. Ibnu Hanbal, al-Musnad, jld. 1, hlm. 98, 118; Bukhāri, al-Adab al-Mufrad, hlm. 177; Kulaini, Beirut 1401 H, jld. 6, hlm. 33-34.
  8. Ibnu Babwaih, ‘Ilal al-Syarā’i, Najaf, 1385-1386, jld. 1, hlm. 137-138; Thusi, al-Amāli, 1414 H, hlm 367-368.
  9. Ibnu asakir, Tārikh Madinah al-Damasyik, jld. 13, hlm. 171.
  10. Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah fi Ma’rifah al-Shahābah, jld. 2, hlm. 10.
  11. Ibnu asakir, Tārikh Madinah al-Dimasyq, jld. 13, hlm. 170.
  12. Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld. 3, hlm. 165.
  13. Syaikh Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 25.
  14. Untuk contoh: Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm. 211; Mufid, al-Irsyād, Beirut, 1414 H, jld. 2, hlm. 5; Ibnu asakir, Tārikh Madinah al-Dimasyq, jld. 13, hlm. 172.
  15. Al-Khushaibi, Husain bin Hamdan, al-Hidāyah al-Kubra, hlm. 183.
  16. Alqāb al-Rasul wa ‘Itratihi, hlm. 247-248.
  17. Ibnu Abi al-Tsalj, Tārikh al-Aimmah, hlm. 28.
  18. Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Ali Abi Thalib, Qom, jld. 3, hlm. 172-173.
  19. Ibnu Thalhah Syafi’i,Mathālib al-Saul fi Manāqib Al al-Rasul, jld. 2, hlm. 9.
  20. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, 1417 H, jld. 4, hlm. 253.
  21. Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld. 3, hlm. 199; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 44, hlm. 169.
  22. Al-Maqdidi, al-Bad’u wa al-Tārikh, jld. 5, hlm. 74.
  23. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 44, hlm. 173.
  24. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 20.
  25. Majmu’ah Maqālāt Hamāyesy sibth al-Nabi, jld. 1, hlm. 71.
  26. Zamāni, Haqāiq_e Penhan, hlm. 338.
  27. Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 16.
  28. Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 15.
  29. Al-Mufid, al-Irsyād, 1380 S, jld. 2, hlm. 16.
  30. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, Muassasah al-Wafā, Beirut, 1403 H, cet. 2, jld. 44, hlm. 163.
  31. Thabrisi, Fadhl bin al-Hasan, I’lām al-Wara, Dar al-Ta’aruf lil Mathbu’at, Beirut, 1406 H, hlm. 212.
  32. Sibth Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawāsh, Muassasah Ahl al-Bait, Beirut 1401 H, hlm. 194.
  33. Mush’ab bin Abdullah, Kitāb Nasab Quraisy, Kairo, 1953, hlm. 50.
  34. Al-Majdi fi Ansāb al-Thālibiyyin, hlm. 202.
  35. Al-Ansāb, jld. 4, hlm. 159.
  36. Muhammad bin sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, Riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1410 H, jld. 1, hlm. 245; Ibnu Abdu al-Barra al-Qurthubi, al-Isti’āb, riset: Adil Ahmad Abdul Maujud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1415 H, jld. 1, hlm. 384.
  37. Dailami, Syaikh Hasan, Ghurar al-Akhbār wa Darar al-Atsār, Qom, Dalil_e Ma, hlm. 268.
  38. Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 2. Hlm. 432; Suyuti, Jalaluddin, Tārikh al-Khulafa, Makah al-Mukaramah, hlm. 206.
  39. Suyuti, Jalaluddin, Tārikh al-Khulafā, Mekah al-Mukaramah, hlm. 207.
  40. Suyuti, Jalaluddin, Tarikh al-Khulafā, Mekah al-Mukaramah, hlm. 207.
  41. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 37, hlm. 73; Suyuti, Jalaluddin, Tārikh al-Khulafā, Mekah al-Mukaramah, hlm. 207.
  42. Al-Mufid, al-Irsyād, 1380 S, jld. 2, hlm. 27.
  43. Jawini, Farāid al-simthain, jld. 2, hlm. 68.
  44. Suyuti, Tārikh al-Khulafā, hlm. 80.
  45. Rujuk: ‘Amili, Ja’far Murtadha, Tahlil az Zendegi Imam Hasan Mujtaba, hlm. 170.
  46. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, Kairo, jld. 1, hlm. 30; Ibnu Abd al-Barr, Yusuf, al-Istiy’āb, jld. 1, hlm. 391; juga rujuk: Jauhari, Ahmad, al-saqifah wa Fadak, sarasar Kitab, jld. 20, hlm. 534.
  47. Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 1, hlm. 698.
  48. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 1, hlm. 40 dst: al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 2, hlm. 216-217; Maliqi, al-Tamhid wa al-Bayān, hlm. 119, 194: Muqaddasi al-Bad’u wa al-Tārikh, jld. 5, hlm. 206; ‘Amili, al-Hayāh al-Siyāsah lil Imām al-Hasan, jld. 20, hlm. 140 dst, 534.
  49. Al-Amin, A’yān al-Syi’ah, jld. 2, hlm. 370.
  50. Ja’fariyan, Hayāt Fikri wa Siyāsi Imaman Syi’i, hlm. 124.
  51. Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 327.
  52. Al-Mufid, al-Jamal, hlm. 348.
  53. Al-Qurasyi, Mausu’ah Sirah Ahl al-Bait, jld. 10, hlm. 403 pada catatan kaki.
  54. Qurasyi, al-Hayāt al-Hasan, hlm. 219.
  55. Qurasyi, al-Hayāt al-Hasan, hlm. 218.
  56. Qarasyi, Hayāt al-Hasan, hlm. 245.
  57. Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 290.
  58. Kasyf al-Ghummah, Arbili, jld. 3, hlm. 314; Shaduq, Kamaluddin wa Tamam al-Ni’mah, jld. 1, hlm. 253.
  59. Kulaini, Ushul al-Kāfi, jld. 1, hlm. 298.
  60. Syafi’i, Mathālib al-Saūl fi Manāqib Ali al-Rasul, jld. 3, hlm. 141.
  61. Syafi’i, Muhammad bin Thalhah, Mathālib al-Saul fi Manāqib Ali al-Rasul, jld. 3, hlm. 141.
  62. Ibnu Qutaibah, al-Imāmāh wa al-Siyāsah, jld. 1, hlm. 183-184; al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 29.
  63. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 29.
  64. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah, jld. 1, hlm. 140-141; Syaikh Mufid, al-Irsyād, jld. 7 dst; Ibnu A’tsham Kufi, al-Futuh, jld. 4, hlm. 283.
  65. Al-Baladzuri, jld. 3, hlm. 29.
  66. Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, 1408 H, hlm. 64.
  67. Al-Mufid, al-Irsyād, hlm. 350.
  68. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, 1397 H, jld. 3, hlm. 31; Ibnu A’tsham Kugi, al-Futuh, jld. 2, hlm. 1311-1314; Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin 1408 H, hlm. 62, 64-67.
  69. Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, 1408 H, hlm. 68-69.
  70. Ibnu A’tsham al-Kufi, al-Futuh, jld. 2, hlm. 1315.
  71. Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, 1408 H, hlm. 69-70.
  72. Ibnu A’tsham al-Kufi, al-Futuh, jld. 2, hlm. 1315; Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, 1408 H, hlm. 71-72.
  73. Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 42; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 16, hlm. 42-43.
  74. Rujuk ke: Ibnu A’tsham al-Kufi, al-Futuh, jld. 4, hlm. 288-289; Abu al-Faraj, Isfahani, Maqatil al-Thalibiyyin, hlm. 42-43; Ibnu Abi al Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, jld 42-44.
  75. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 42; Ibnu A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 2, hlm. 1318, Syaikh Mufid al-Irsyād, jld. 2, hlm. 14; Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarā’i; jld. 1, hlm. 212; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Ali Abi Thālib, jld. 4, hlm. 33-34.
  76. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 41-42; Syahidi, Tārikh Tahlil Islam, hlm. 162.
  77. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 41-42; Syahidi, Tārikh Tahlili Islam, hlm. 162,
  78. Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 181; Ibnu Atsir, Usd al-Ghābah, jld. 2, hlm. 14-15.
  79. Mas’udi, al-Tanbih wa al-Asyrāf, hlm. 300.
  80. Thabarsi, al-Ihtijāj, jld. 2, hlm. 45-65.
  81. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 43; Ibnu A’tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 2, hlm. 131-132.
  82. Thabari, jld. 4, hlm. 124-125, 128-129; Abu al-Farj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 45 dst.
  83. Mausu’ah, 161-164.
  84. Quraisyi, jld. 2, hlm. 285-286.
  85. Nahjul Balāghah, Khutbah 61.
  86. ‘Ilal al-Syarā’i, jld. 1, hlm. 218-219; Majlisi, jld. 44, hlm. 13.
  87. Ibnu Hajar, jld. 4, hlm. 623-624; Ibnu Abd al-Barr, jld. 3, hlm. 1173-1174; Muqaddasi, jld. 6, hlm. 5.
  88. Ali Yāsin, hlm. 471.
  89. Thabari, jld. 4, 198, jld. 5, hlm. 108; Ibnu Hajar, jld. 2, hlm. 37-38.
  90. Dzahabi, jld. 1, hlm. 84.
  91. Rujuk: Ibnu Abd al-Barr, jld. 1, hlm. 387.
  92. Al-mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 15; Syusytari, Risālah fi Tawārikh al-Nabi, hlm. 33; Sebagaimana tahun wafatnya Imam Hasan terdapat beragam versi seperti tahun 48, 49, 51, 57, 58 dan 59 H.
  93. Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 461.
  94. Syahid Awwal, al-Durus al-Syar’iah, jld. 2, hlm. 7.
  95. Rujuk: Ibnu Qutaibah, al-Ma’ārif, hlm. 212.
  96. Al-Mufid, al-Irsyād, 1414, jld. 2, hlm. 15.
  97. Rujuk: Ibnu asakir, Tārikh Madinah Dimasyq, jld. 13, hlm. 298-300, 302.
  98. Abu al-Farj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 80-81; Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 15.
  99. Ibnu Qutaibah, al-Imāmah wa al-Siyāsah,jld. 1, hlm. 196; al-Baladzuri, jld. 3, hlm. 59.
  100. Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 15.
  101. Ibnu sa’ad, Thabaqāt al-Kubra, jld. 6, hlm. 386.
  102. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 55. Al-Baladzuri menyertakan nama Hindun binti Suhail bin Amru sebagai salah seorang istri Imam Hasan as.
  103. Madelung, The Succession to Muhammad, p. 331.
  104. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 55; Abu al-Farj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 81.
  105. Ya’qubi, Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 154.
  106. Syaikh Thusi, al-Amāli, 1414 H, hlm. 160.
  107. Syaikh Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 17.
  108. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 60.
  109. Abu al-Farj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 82.
  110. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 3, hlm. 61.
  111. Al-Baladzuri, jld. 3, hlm. 66.
  112. Abu al-Farj Isfahani, Maqātil al-Thālibiyyin, hlm. 83.
  113. Rasuli Mahalati, Zendeghi Imam Hasan (Biografi Imam Hasan), hlm. 452.
  114. Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 290.
  115. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 43, hlm. 294.
  116. Ibnu Syahr Asyub, jld. 4, hlm. 28.
  117. Ibnu sa’ad, Thabaqāt al-Kubra, jld. 6, hlm. 379.
  118. Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 1, hlm. 55.
  119. Ali bin Ibrahim Qummi, Tafsir Qummi, jld. 1, hlm. 104; al-Zamakhsyari, al-Kasyāf, jld. 1, hlm. 368.
  120. Ali bin Ibrahim Qummi, Tafsir Qummi, jld. 2, hlm. 193.
  121. Al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, jld. 4, hlm. 331; al-Imam Ali as min Tārikh Dimasyq, hlm. 142; dinukil dari Muntakhab Fadhāil al-Nabi wa Ahli Baitihi ‘alaihim al-salam min al-Shihāh al-Sittah wa Ghair humā min al-Kutub al-Mu’tabarah ‘inda Ahl al-Sunnah, hlm. 279.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta

© 2024 Syiahpedia. All Rights Reserved.