Syiahpedia.id – Sayid Quthub adalah salah seorang pendiri gerakan Islam dan pemikir Islam terkenal. Profesor Doktor Muhammad Dasuqi—profesor yang memberikan perhatian pada pendekatan antarmazhab—berbicara tentang metode Sayid Quthub terkait kesatuan Islam dan pandangannya mengenai Syi’ah. Dia berkata, “Siapa saja yang membaca buku-buku karya Sayid Quthub—terutama kitab tafsir Fi Zhilal al-Qur’an—akan melihat bahwa metode sang pemikir dalam upaya mewujudkan kesatuan Islam dan pendekatan antarmazhab fikih serta aliran-aliran teologi didasarkan pada banyak pilar, antara lain:
Pertama, akidah Islam—akidah tauhid, kesatuan, persaudaraan, saling menjamin, dan saling mencintai—merupakan landasan kukuh, yang di atasnya entitas umat ini bangkit. Dengannya, kemuliaan dan keagungan umat ini terwujud. Oleh karena itu, menjaga akidah ini dari setiap upaya penyimpangan dan pelemahan merupakan jalan untuk melindungi akidah Islam yang kuat, yang di bawah benderanya berkumpul semua orang yang beriman padanya.
Berpangkal dari sini, Sayid Quthub menolak setiap metode-metode tidak berguna yang digunakan para filsuf dan teolog dalam mengkaji akidah ini. Dia pernah melihat—dalam hal ini, dia benar—bahwa metode-metode tersebut bisa memecah belah umat dan tidak melindungi akidah dari unsur-unsur yang menyebabkan penyimpangan dan kerusakan. Metode ini merupakan campuran dari pemikiran, emosi, akal, dan perasaan. Manusia bukanlah akal sepenuhnya, bukan pula emosi sepenuhnya, sehingga pembicaraan dengannya disesuaikan dengan fitrahnya yang telah ditetapkan Allah baginya, yaitu jalan pintas menuju keimanan yang benar dan keyakinan yang tulus.
Sayid Quthub mengajak untuk mengesampingkan metode para filsuf dan menjelaskan bahwa hal itu merupakan metode yang terkandung dalam pemikiran Islam dan bahwa memelihara keaslian pemikiran ini serta kejernihan dan kemurniannya menuntut siapa pun untuk kembali pada metode qurani dalam mengkaji akidah. Dengan demikian, akidah tetap hidup dan bersih dari segala kotoran sehingga membawa umat pada kehidupan peribadatan yang tulus kepada Allah—Tuhan semesta alam, kehidupan yang berpegang secara benar pada tali Allah, dan kehidupan persaudaraan Islam dengan konsepnya yang komprehensif. Dengan cara ini umat akan menjadi sebuah bangunan yang kukuh dan satu tubuh yang bagian-bagiannya saling menguatkan.
Kedua, bersama ajakan Sayid Quthub ke arah kajian akidah Islam yang sesuai metode al-Quran dan jauh dari keruwetan para ulama teologi dan filsuf, dia sangat menginginkan umat ini mendapatkan bimbingan selama masa-masa keemasan dalam sejarahnya dan agar tidak tertarik pada keadaan yang terjadi pada masa-masa kelemahan dan keterbelakangan dari pemahaman dan hukum-hukum yang batil. Hendaklah umat tidak berhenti pada masa-masa seperti ini, kecuali untuk mengambil pelajaran. Yakni mempelajari penyebab dan faktor-faktor yang mendorong umat ke dalam kondisi hilangnya kepeloporan dan kepemimpinan, umat yang rela dengan kehidupan lemah dan taklid, agar tidak lagi menghadapi faktor-faktor tersebut dan bangkit mengembalikan sejarahnya yang dicerahi kekuatan keutamaan dan peradaban.
Ketiga, metode Sayid Quthub dalam menyatukan suara umat ini memberikan perhatian khusus dengan menjelaskan apa yang menjadikan umat Islam ini istimewa, yaitu adanya kesatuan akidah, kesatuan tujuan, kesatuan metode, dan kesatuan konsepsi terhadap tugas manusia dalam kehidupan. Dalam penjelasan ini terkandung perlawanan terhadap setiap penyebab keretakan, perpecahan, perselisihan, dan pertengkaran, yang semua itu tidak mengembalikan apa pun kepada umat kecuali kerusakan.
Alih-alih demikian, dia melindungi umat dan mengingatkannya untuk mengembalikan nilai keabadian dan karakteristik ketuhanannya yang luhur sehingga tidak berpegang pada yang lain, tidak menyia-nyiakan waktunya dalam memandang ke sini dan ke sana, dan tidak tertipu cara-cara kesesatan dan perpecahan yang dihiasi oleh setan-setan dari kalangan manusia dan jin. Dengan demikian, umat akan tetap memiliki keaslian, kekuatan, kemuliaan, dan keagungannya.
Sayid Quthub menjelaskan akibat dari pertengkaran dan ikhtilaf. Dia menegaskan bahwa perdebatan yang dilakukan dengan cara tidak baik, apalagi setan turut membujuk hati umat Islam untuk bersikap fanatik, juga ashobiah, yang karenanya di antara umat muslim saling bertengkar, berperang secara verbal, bahkan mengangkat senjata, maka saat itulah kaum muslim menjadi santapan lezat para musuh Islam sehingga umat kehilangan karakteristiknya sebagai sebaik-baik umat.
Keempat, jika kondisi Dunia Islam pada pertengahan abad ke-13 H didominasi ketundukan pada hegemoni asing dan kemunduran peradaban, Sayid Quthub tidak melihat kondisi ini sebagai penghalang terhadap kesatuan seluruh Dunia Islam. Dunia Islam yang membentang dari timur ke barat, yang letak geografisnya yang istimewa, serta kebaikan materi yang dianugerahkan Allah baginya dan ketahanan rohaniahnya—meski ada perbedaan politik—merupakan blok istimewa yang berdiri menghadapi blok politik dan pemikiran kontemporer dengan keseimbangan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang tidak ada bandingannya.
Tentang ini, Sayid Quthub sering berbicara mengenai blok Islam sebagai sebuah fakta tak terbantahkan, juga kesatuan blok Islam merupakan jaminan keamanan bagi seluruh manusia karena memiliki metode yang benar untuk memandu kehidupan. Adapun blok lainnya, baik blok Timur maupun blok Barat, tidak memiliki metode ini, melainkan didominasi ide materialisme, pertentangan kelas, dan diskriminasi rasial. Oleh karena itu, semua klaim yang bersumber dari para pemimpin kedua blok ini tidak mengenal kebenaran dan merupakan sejenis kemunafikan politik, penyesatan pikiran, dan pembiusan terhadap orang-orang lemah sehingga mereka tunduk pada kehidupan yang rendah, hina, terbelakang, dan diperbudak.
Perhatian Sayid Quthub dalam pembicaraan tentang blok Islam merupakan salah satu metode yang dia gunakan dalam mewujudkan persatuan. Perhatian ini menghidupkan jiwa, perasaan mulia akan Islam, dan membangun ikatan batin dengan makna-makna persaudaraan yang tulus dan tanggung jawab kerja sama dalam kebaikan. Dengan demikian, setiap muslim—apa pun kedudukannya—laksana tentara yang membela keberadaannya dan mengerahkan kekuatan jiwa dan hartanya. Hal ini dilakukannya agar blok ini tak semata-mata terikat oleh ikatan batin yang mengikat di antara kaum muslim, tetapi juga menjadi sebuah kekuatan internasional. Kekuatan blok Islam ini memiliki pengaruh aktif dan peranan yang menonjol dalam menjaga kedamaian dunia atas berbagai bentuk kezaliman dan ujian terhadap kemuliaan manusia.
Kelima, Sayid Quthub menentang metode para teolog dan filsuf serta apa yang mengandung buih pemikiran. Dia mengajak umat agar melewati fase kelemahan dalam sejarahnya beserta konsep-konsep dan pandangan-pandangan yang dianutnya, yang telah mencerai-beraikan kekuatan. Dia juga menegaskan kepribadian umat Islam dan menjelaskan bahwa itulah kepribadian istimewa yang berbicara dengan terang-terangan tentang dunia manusia, tidak mengenal perselisihan dan perpecahan dan hanya mengenal kesatuan dan kekuatan.
Dia juga menegaskan bahwa Dunia Islam merupakan sebuah blok internasional yang memiliki timbangan dan nilainya sendiri, yang memerangi faktor-faktor keputusasaan dalam jiwa umat. Dengan demikian, setelah kegelapan, terbitlah terang, setelah kesulitan, muncul kemudahan, dan kesempitan harus berakhir dengan kelapangan. Oleh karena itu, salah satu metodenya membuktikan dengan dalil ilmiah bahwa semua pemikiran manusia yang telah membuat orang-orang yang tidak memahami Islam, tertipu, ternyata gagal mencapai tujuannya, dan bahwa masa depan hanyalah milik Islam. Dia berpendapat bahwa ideologi materialisme-ateisme-komunisme akan runtuh terlebih dahulu, diikuti ideologi kapitalisme.
Apa yang dikatakan beliau itu telah terjadi pada kira-kira seperempat abad setelah beliau wafat. Juga akan terjadi kehancuran bagi ideologi kapitalisme Barat meski dalam waktu lama. Ini berarti kehancuran bagi semua sistem buatan manusia dan manusia tidak akan selamat dari kekacauan metode dan sistem positif, kecuali Islam. Agar hal itu terwujud, orang-orang yang mengimani agama ini, dalam kehidupan dan interaksi antarmereka, menjadi gambaran hidup dan nyata dari agama ini, dan mereka mesti selalu menapaki jalan kebenaran dan kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Keenam, Sayid Quthub hidup pada masa sulit yang dialami program pan-Arabisme, dan sangat mungkin rencana ini—jika berpegang pada asas-asas kemanusiaan—menyatukan umat, membangkitkan kekuatan, dan mengangkat dunia Arab ke taraf negara-negara maju. Namun, sayang sekali program tersebut mencampuradukkannya dengan hal-hal yang justru bisa berubah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perpecahan, percerai-beraian, dan keterbelakangan. Karena itulah program tersebut berbenturan dengan hukum agama dan berubah menjadi hanya sebagai simbol yang meletakkan dasar klaim dan partai itu. Membicarakannya akan beralih menjadi pembicaraan yang berlanjut pada nasionalisme-nasionalisme yang lain. Sayid Quthub menyadari apa yang membuatnya terbawa ke dalam proyek ini sehingga dia mulai menyatakan penolakannya dan menggambarkannya sebagai ‘kembali ke semangat jahiliah’. Menurutnya hal itulah yang bertanggung jawab atas perpecahan di Dunia Islam.
Ketujuh, dalam buku Al-Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam Sayid Quthub menggunakan metode pendekatan terbuka dalam diskusi sejarah dan tradisi ketika mengkritik fenomena pembedaan berdasarkan status dan ras pada zaman Khalifah Utsman. Dia memandang hal tersebut bertentangan dengan Islam dan mendukung metode yang digunakan Abu Dzar tentang keadilan dalam Islam. Inilah yang menjadikannya sasaran kritik kaum fanatik.
Kedelapan, Sayid Quthub merespon setiap gerakan yang bertujuan untuk kebahagiaan dan kemuliaan kaum muslim, menguatkan mereka dalam menghadapi ambisi asing tanpa melihat mazhab dan kewarganegaraan. Antara lain, responnya terhadap gerakan nasionalisasi minyak di Iran yang dipimpin Ayatullah Kasyani. Dia mengirim surat kepada Kasyani yang menjelaskan perasaan gembiranya terhadap kemuliaan dan kebahagiaan atas gerakan umat di Iran untuk mengambil kembali hak-haknya.
Berikut ini teks surat Sayid Quthub kepada Ayatullah Kasyani:
Bismillahirrahmanirrahim
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (QS. al-Nashr [110]: 1)
Kepada Ayatullah Kasyani,
Inilah percikan harapan yang memancar di ufuk meski awan-awan mulai menebal di langit menebar kegelapan. Benar, dari ufuk wilayah Islam muncul kabar gembira tentang harapan kembali kepada Islam. Kaum muslim saat ini mulai menghadap kepada Islam sedikit demi sedikit.
Islam adalah benteng yang ketika kaum muslim menjauh darinya, mereka kehilangan kedudukan dan kemuliaan. Inilah kaum muslim yang kembali kepada Islam dan berusaha mengangkat syiar-syiarnya di segala penjuru dunia. Bukan hanya ulama dan pelajar di pusat-pusat keagamaan yang menyerukan pada persatuan Dunia Islam dan pembentukan front yang kuat. Bukan hanya Ikhwanul Muslimin.
Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Islam dalam akidah dan pemikiran, dari partai-partai, organisasi-organisasi, dan pribadi-pribadi yang mengadopsi Islam dan metode Islam. Mereka juga berpandangan demikian. Ini menunjukkan bahwa umat Islam mulai mengembalikan kepribadian dan identitasnya setelah sebelumnya kehilangannya, dan mulai mengarahkan seluruhnya pada orientasi ini.
Langkah terpenting yang dilakukan kolonial adalah membagi-bagi wilayah Islam yang besar menjadi negara-negara kecil yang memiliki orientasi dan nasionalisme lemah. Adapun wilayah Islam yang besar diabaikan keadaannya. Dengan demikian, penjajah dapat mencabik-cabik kesatuan yang telah dibangun Islam. Kesatuan yang tidak memandang perbedaan ras, keturunan, warna kulit, dan bahasa. Semuanya mengangkat satu syiar.
Sebelumnya imperialisme tidak pernah memiliki permainan ini (permainan membagi-bagi). Hal itu karena mereka tidak mampu menelan entitas Islam yang besar dan bersatu ini. Namun, ketika umat Islam mulai memainkan nada-nada nyanyian nasionalisme, ikatan umat pun terurai dan menjadi hidangan lezat bagi setiap orang yang tergiur dan menginginkannya.
Setiap negara kecil ini pun mulai menghadapi kesulitan dan problem internal sehingga masing-masing menghadapi problem ini tanpa ada satu bendera atau satu kiblat yang menyatukan mereka. Akibatnya, mereka terpaksa menghadapi penjajahan sendiri-sendiri. Perlawanan ini dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengajukan komplain ke Dewan Keamanan, meminta bantuan PBB, atau berlindung ke Mahkamah Internasional.
Tidak ada yang mereka dapatkan dari itu semua selain kegagalan dan kekecewaan. Hal itu karena imperialisme memiliki eksistensi kukuh dan tersusun rapi dalam semua lembaga ini. Nasionalisme merupakan alat yang dapat digunakan Barat untuk menipu masyarakat Timur yang tertindas. Sekarang, Barat tak henti-hentinya mengingatkan bangsa-bangsa Barat akan salibisme hingga membangkitkan mereka untuk menghadapi Islam seperti menghadapi satu orang saja.
Setiap negara kecil ini menghadapi tantangan, seperti ketidakadilan internal dan problem-problem sosial, yang menuntutnya berpikir untuk menemukan solusi dalam menghadapi tantangan ini. Biasanya solusi itu tidak sempurna karena tidak sesuai kondisi dan karakter Dunia Islam. Solusi tersebut hakikatnya berasal dari pemikiran materialisme yang merupakan landasan peradaban Barat dan pada dasarnya menjadi penyebab munculnya problem-problem sosial tersebut. Solusi-solusi yang didatangkan dari luar dengan berbagai nama, antara lain demokrasi, sosialisme, dan terkadang komunisme, tak mungkin berkembang dalam bingkai kondisi Dunia Islam.
Apa akibatnya? Akibatnya adalah apa yang kita saksikan hari ini, yaitu pembagian dan pemecahbelahan yang dialami Dunia Islam [di satu sisi], dan kesatuan serta keharmonisan yang dialami dunia Kristen [di sisi lain]. [Akibatnya adalah] lemahnya Dunia Islam dan kuatnya penjajah dalam melakukan perampasan dan penyitaan atas warisan dan sumber-sumber daya Dunia Islam oleh negara-negara kolonial: Inggris, Amerika, dan lain-lain. Akibatnya, sistem-sistem yang memang lemah dan tidak independen seperti yang berlaku di Mesir dan Irak tentu memiliki posisi yang lemah.
Berlalunya kondisi ini di internal negara-negara Islam mendorong kaum muslim untuk mengatasinya. Kemudian, sebagian dari kita berusaha menghadapi masalah atas nama Islam, dan sebagian lain atas nama sosialisme. Muncul juga kelompok ketiga yang secara sembunyi-sembunyi mengajak kepada komunisme. Sebaliknya, ada kelompok borjuis, feodalis, dan kapitalis yang bersatu dan berusaha untuk menyebar fitnah di tengah kelompok-kelompok tersebut agar mereka bisa dimanfaatkan.
Dari waktu ke waktu, di berbagai tempat, muncul suara-suara berulang yang menyerukan bahaya ekspansi Islam dan memperingatkan rakyat bahwa mengangkat syiar Islam berarti menceburkan diri menjadi musuh imperialis dan Dunia Barat, seakan-akan sebelumnya Barat telah memberi minum dari cawan cinta dan kasih sayang. Kemudian, mereka mengingatkan kita agar waspada terhadap perpecahan di dalam satu negara, seolah-olah hingga hari ini kita bekerja di satu blok dan tidak terbagi menjadi partai-partai dan orientasi-orientasi. Mereka mengingatkan kita agar waspada bahwa kondisi ini akan menjadi semakin buruk. Mereka mengingatkan kita akan ‘pemerintahan tiran negara Islam’ serta bahaya munculnya ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, seolah-olah hari ini kita hidup pada puncak kebebasan. Mereka mewanti-wanti kita akan bahaya para ulama agama yang profesional, seolah-olah hari ini kita tidak merasakan kesengsaraan dan kepahitan akibat tindakan mereka.
Tak diragukan, semua peringatan ini adalah omong kosong. Pihak yang mengambil keuntungannya adalah imperialis yang ketakutan akan bersatunya kaum muslim di bawah bendera Islam. Kaum imperialis telah memahami bahwa sebelum menguasai tanah dan negeri kaum muslim mereka terlebih dahulu harus menumbangkan bendera al-Quran. Karena, jika bendera ini bergoyang sekali saja, penjajahan akan berkuasa di mana-mana.
Barat memahami, jika wilayah Islam bersatu, posisi yang istimewa—baik dari aspek politik, militer, maupun ekonomi—akan diraih. Barat tahu, sumber daya alam dan sumber daya manusia di Dunia Islam sangat besar dan melimpah. Selain itu, mereka benar-benar tahu bagaimana jika ratusan juta orang berkumpul di bawah satu bendera, di bawah naungan satu akidah, dan satu sistem sosial. Itu akan mengubah keseimbangan kekuatan untuk kepentingan mereka.
Jelas, blok komunis dan blok kapitalis merasa khawatir akan datangnya hari itu, saat Islam memegang kendali pemerintahan. Saat itu Islam akan menghancurkan dasar-dasar ekonomi yang menghasilkan riba, monopoli, dan eksploitasi yang tidak sah. Lalu, di atas reruntuhannya ditegakkan pilar-pilar Islam yang tidak memberikan peluang kepada para pelaku praktik monopoli, eksploitasi, dan riba.
Barat juga sangat memahami, jika Islam ditakdirkan berkuasa, maka area luas di dunia ini, dari Samudera Atlantik hingga pantai-pantai Samudera Hindia akan terbebas dari genggaman hegemoni Barat dan program-program perekonomiannya akan berakhir dengan kegagalan. Sebagaimana negara-negara blok Timur terbebas dari kekuasaan dunia kapitalis, negara-negara lain pun akan terbebaskan. Dunia kapitalis akan kehilangan salah satu bagian kekuasaannya dan batas-batas geografisnya terbatas hingga kurang dari apa yang ada sekarang.
Sekiranya Dunia Islam keluar dari wilayah kekuasaan kapitalis Barat, apa yang tersisa? Tak diragukan, Barat akan tercekik dan benar-benar runtuh. Untuk itu, imperialis merasa takut terhadap kekuasaan Islam dan khawatir Dunia Islam akan sadar dari kelalaiannya serta bangkit untuk menghancurkan kapitalisme.
Adapun komunisme, para pengikutnya takut akan keberadaan pemerintahan Islam karena mereka sadar betul bahwa kelangsungan eksistensi komunisme di dunia bergantung pada adanya masalah-masalah sosial dan ekonomi. Sementara itu, dalam masyarakat yang stabil dan seimbang perekonomiannya, tidak ada monopoli kekayaan, tidak ada penarikan keuntungan yang besar, tidak mempraktikkan riba dan eksploitasi, dan tidak ada hubungan-hubungan yang tidak adil antara pekerja dan pemilik perusahaan, maka komunisme tidak akan eksis. Yang ada justru hubungan yang sehat dan baik sehingga tidak mungkin bagi komunisme untuk hidup, dan dalam kondisi seperti ini, komunisme akan musnah.
Jika ditakdirkan bagi Islam untuk membangun masyarakatnya di atas prinsip-prinsip dan pilar-pilarnya yang benar, kita akan memiliki masyarakat tanpa kasta. Itu karena tidak akan ada kontradiksi dan benturan antara kepentingan pekerja dan kepentingan kaum kaya dan para pemilik modal. Dalam masyarakat seperti itu, pekerja memiliki bagian atas laba dan memiliki saham di perusahaan atau korporasi.
Tindakan berlebihan dan kekikiran menjadi sesuatu yang diharamkan dan dibenci. Dalam masyarakat yang menyimpan kekayaan dan sumber-sumber daya, akan ditumpas segala bentuk riba, monopoli, dan ketidakadilan dalam penetapan upah pekerja. Itulah masyarakat mapan yang pemerintahannya berkomitmen bahwa kapan pun terjadi gangguan pada keseimbangan distribusi kekayaan, ia akan berusaha menghilangkan gangguan tersebut dengan mencari cara dan mekanisme yang bisa menjamin kembalinya sistem pada kondisi normal. Dalam masyarakat seperti ini dilakukan nasionalisme atas semua kepentingan publik, menguasai kepemilikan umum menggantikan kepemilikan pribadi atau kepemilikan monopoli. Jika masyarakat memiliki ciri-ciri seperti ini, kemungkinan kejatuhannya ke dalam sistem komunisme kecil sekali, bahkan mustahil.
Dari kondisi ini sendiri kita menemukan bahwa komunisme—seperti halnya kapitalisme—memusuhi ide kesatuan Islam dan ide berdirinya pemerintahan Islam. Alhasil, melalui media-media informasi mereka berusaha mengecilkan nilai dan kredibilitas pemikiran Islam serta memberi stempel bahwa tidak ada celah bagi penerapan hukum Islam. Oleh karena itu, dalam hal ini komunisme sejalan dengan kapitalisme.
Di satu sisi, di tengah desakan tarik-menarik dan pelanggaran secara terbuka, kita justru diam terhadap seruan dari internal Dunia Islam yang menggema agar menegakkan bangunan kesatuan Islam dan pendirian pemerintahan Islam yang satu. Di sini seharusnya dikatakan bahwa tuntutan ini tidak dipandang sebagai tuntutan Ikhwanul Muslimin semata, sebagaimana juga bukan tuntutan para ulama, pemikir, dan mubalig Islam saja. Ini adalah tuntutan yang bersumber dari perasaan dan batin umat.
Inilah pemerintah Pakistan yang mengajak pada diadakannya seminar tentang ekonomi Islam untuk mengembalikan bangunan sistem ekonomi dunia di atas asas-asas dan prinsip-prinsip Islam. Ini sejalan dengan apa yang diserukan Ayatullah Kasyani, pemimpin keagamaan di Iran. Dia berteriak lantang kepada ‘anjing-anjing Inggris’ agar keluar, bukan hanya dari Iran, tetapi dari Dunia Islam seluruhnya.
Seruannya yang berani dan nasihat-nasihatnya ini ditujukan pula kepada perdana menteri Mesir, juga mengadakan demonstrasi-demonstrasi di jalan-jalan di Iran untuk kepentingan Mesir dan untuk kepentingan kehakimannya yang adil. Apa yang diinginkannya adalah juga yang diserukan oleh Allal Fasi dan Muhammad Wazani di Maghribi. Kita tahu bahwa Perancis saat itu tidak mampu menguasai Maghribi (Marakesy) pada tahun 1931 M sehingga mereka mulai bekerja untuk mematikan pimpinan keagamaan melalui bantuan kaum Barbar.
Apa yang diserukan para pemimpin ini juga diserukan oleh Ahmad Husain, pemimpin Partai Sosialis Mesir, dalam suratnya yang dikirimkan kepada Ayatullah Kasyani. Di situ dia menunjukkan bahwa ‘kalian—para pemimpin—di Iran dan di kota Islam telah bertindak tepat terhadap perusahaan-perusahaan minyak yang telah merampas kekayaan negara’. Ini pula yang diserukan Ahmad Fath dalam bukunya, Hikayat, yang isinya menyerukan kemerdekaan dan penegakan pemerintahan Islam dan keadilan.
Inilah kesadaran … Hidayah … Cahaya …
Inilah batin umat yang telah bangkit. Ini bukan ajaran individu atau kelompok tertentu. Ini adalah seruan langit yang turun ke bumi. Ini adalah kilatan harapan yang muncul berkilau di langit meski ada awan mendung.”[1]
Sumber:
Al-Syi’ah min Wijhah Nazhar A’lam Ahl al-Sunnah karya Muhammad Sa’idi, terbitan Al-Markaz al-‘Ali li al-Dirasat al-Taqribiyyah, Tehran, Cetakan I, 2016 M/1437 H
Catatan Kaki
[1] Masirah al-Taqrib, jil.I, hal.316-324.
Tinggalkan Balasan