Syiahpedia.id – Keadilan Tuhan (bahasa Arab: اَلْعَدلُ الاِلهِي) adalah bahwa perbuatan Allah dilakukan berdasarkan kaidah baik dan buruk bersifat rasional dan bahwa Ia tidak melakukan segala bentuk keburukan. Buruk adalah segala sesuatu yang dibenci oleh akal seperti bohong dan kezaliman. Berdasarkan keadilan Tuhan maka semua perbuatan Allah dalam urusan takwini seperti penciptaan dan urusan tasyri’i seperti pengutusan para nabi, di dunia dan akhirat, semuanya muncul dari hikmat dan maslahat.
Imam Shadiq as menegaskan bahwa keadilan Tuhan bersama tauhid adalah asas agama. Sebagian pokok agama seperti kenabian, imamah dan ma’ad, demikian juga bahasan seperti surga, neraka dan penghitungan amal di hari kiamat bergantung pula kepada keadilan Tuhan.
Imamiyah dan Muktazilah menganggap keadilan Tuhan sebagai bagian dari pokok-pokok agama yang lima. Oleh karenanya, mereka dinamakan ‘Adliyah. Sebaliknya, Asya’irah meyakini bahwa setiap sesuatu yang muncul dari Allah adalah baik sekalipun berupa kezaliman. Karena mereka meyakini bahwa baik dan buruk adalah berdasarkan syariat, maka perbuatan Allah dijadikan sebagai tolok ukur keadilan.
Syaikh Thusi dengan argumentasi bahwa pengerjaan perbuatan buruk merupakan kekurangn pada Allah, dan berdasarkan argumentasi rasional tidak boleh ada kekurangan pada-Nya, menetapkan keadilan Tuhan. Dia juga meyakini bahwa pengerjaan perbuatan buruk muncul dari kebodohan atau kebutuhan yang keduanya tiada pada diri Allah. Ayat-ayat Alquran dan riwayat-riwayat juga menunjukkan adanya sifat adil pada Allah.
Posisi dan Urgensi
Keadilan Tuhan diyakini sebagai titik perbedaan di antara dua mazhab besar Islam. Penganut mazhab Syiah meyakini keadilan Tuhan sebagai bagian dari prinsip-prinsip agama yang lima[1] dan atau minimal termasuk dari pokok-pokok mazhab.[2] Kelompok Muktazilah juga menjadikan keadilan sebagai dasar kedua dari ushuluddinnya.[3]
Para teolog Muslim dalam buku-buku mereka mengupas tentang keadilan pada bagian tersendiri.[4]. Meyakini keadilan Tuhan berpengaruh dalam banyak kajian akidah. Pengaruh pertamanya nampak dalam pembahasan ketuhanan. Kaum muslim Syiah meyakini keadilan termasuk dari sifat fi’liyah[5] Allah yang tsubutiyah[6]. Berdasarkan sebuah riwayat, Imam Shadiq as menegaskan bahwa selain tauhid, keadilan merupakan dasar agama.[7] Abdurrazzaq Lahiji, teolog Syiah percaya bahwa keadilan menunjukkan kesempurnaan Allah dalam perbuatan-perbuatan-Nya.[8] Begitu juga menurut para teolog Syiah, keadilan adalah penyempurna tauhid, dan semua dasar-dasar agama seperti kenabian, imamah dan ma’ad bergantung kepadanya.[9]
Pembahasan-pembahasan lain seperti surga, neraka dan penghitungan amal di hari kiamat bergantung kepada keadilan Tuhan pula.[10] Percaya atau tidak percaya pada keadilan berdampak juga dalam persoalan penting antropologi seperti determinisme (jabr) dan ikhtiyar, qada’ dan qadar, masalah keburukan dan kesengsaraan kehidupan, kebahagiaan dan kecelakaan[11], pilihan dan kehendak.[12] Menurut orang-orang yang menerima keadilan Tuhan, pengenalan kepada hukum-hukum praktis agama juga bergantung kepada keadilan Tuhan. Sebab, kaidah mulazamah dan pengaruh maslahat dan mafsadah yang sejati dalam hukum dan penerimaan peran akal dalam ijtihad, bisa diterima dengan menerima keadilan Tuhan.[13] Di dalam Tafsir Nemuneh dinyatakan bahwa keadilan merupakan rukun penting Islam yang tidak satu pun dari persoalan-persoalan keyakinan, tindakan, individual dan sosial kosong dari roh keadilan.[14]
Sejarah Dan Latar Belakang Pembahasan
Pembahasan mengenai keadilan Tuhan termasuk dari kajian-kajian teologis yang paling kuno di dunia Islam. Murtadha Muthahhari meyakini bahwa faktor terpenting dari pemaparan pembahasan keadilan Tuhan ialah ajaran-ajaran Alquran yang mengutarakan aneka ragam keadilan (takwini, tasyri’i, akhlaqi dan ijtimai).[15]
Perbedaan paling klasik dalam keadilan Tuhan adalah berkaitan dengan masalah penisbahan perbuatan buruk manusia kepada Allah.[16] Perbedaan berikutnya dalam hal ini adalah apakah perbuatan manusia diciptakan olehnya atau oleh Allah?[17] Pada masa inilah muncul aliran pemikiran Qadariyah dengan tujuan membela keadilan Tuhan.[18] Setelah itu menyebar pembahasan kemampuan (istitha’ah) yang secara jelas berhubungan dengan kajian keadilan Tuhan.[19] Begitu juga cabang-cabang yang berkaitan dengan kadilan Tuhan manjadi bahan kajian dan perdebatan hingga akhirnya keadilan menjadi pembahasan paling besar dan luas dalam ilmu teologi.[20]
Keadilan Dalam Kacamata Aneka Ragam Mazhab
Perbedaan terkait masalah keadilan Tuhan pada kurun kurun pertama Islam menyebabkan terbaginya kelompok-kelompok muslim kepada dua aliran pemikiran besar; ‘Adliyah dan selain ‘Adliyah. Imamiyah dan Muktazilah dikenal dengan ‘adliyah,[21] karena mereka menganggap keadilan termasuk dari ushuluddin.[22]
Aliran ‘Adliyah percaya bahwa baik buruknya sesuatu bersifat rasional. Mereka meyakini Allah adil dalam arti bahwa Ia bertindak berdasarkan baiknya segala sesuatu dan tidak berbuat zalim karena keburukannya.[23]
Keadilan dengan makna ini adalah bercabang dari penetapan bahwa baik dan buruk bersifat rasional.[24] Munculnya masalah keadilan dan pemaparan tema keadilan di dalam buku-buku teologi tercatat atas nama Muktazilah.[25]
Sebaliknya, selain ‘adliyah yang mana Asya’irah merupakan pelopornya yang paling ternama, meyakini bahwa barometer keadilan sebuah tindakan adalah perbuatan Allah. Segala sesuatu yang Allah lakukan adalah baik dan adil, meskipun dalam kacamata manusia itu kezaliman. Karena itu, dasar keadilan Allah adalah dalil-dalil syar’i.[26] Sesuai teori selain kelompok ‘adliyah, akal manusia tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menentukan keadilan dari selain keadilan. Dan tidak bisa meyakini tindakan-tindakan itu adil atau zalim melalui kriteria-kriteria apriori dan tanpa berpijak pada perintah-perintah Tuhan.[27]
Menurut kepercayaan sebagian orang, mazhab ‘adliyah adalah lawan mazhab Jabriyah.[28]
Arti Adil
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as menafsirkan adil bahwa kita tidak boleh menuduh Allah.[29] Ibnu Abil Hadid, pensyarah Nahjul Balaghah memaknai perkataan Imam Ali as bahwa kita jangan percaya pada determinisme (jabr) sehingga kita meyakini bahwa Allah memaksa kita melakukan perbuatan buruk dan karena perbuatan itu kita disiksa. Janganlah kita menuduh Allah sehingga Ia memerintahkan perbuatan diluar batas kemampuan dan….[30] Imam Shadiq as juga menjelaskan keadilan Allah bahwa kamu jangan menuduh Allah dengan sesuatu yang karenanya Ia mencelamu.[31]
Menurut Epistimologi Para Teolog
Mereka meyakini keadilan lawan dari kezaliman.[32] Tetapi definisinya di dalam karya-karya ulama muslim tidak sama. Karena banyaknya arti literal dan juga perbedaan dalam barometer hakikat keadilan, maka dipaparkan beberapa definisi universal mengenai keadilan.[33] Menurut pernyataan Qadardan Qaramulki, periset ilmu teologi, definisi-definisi tersebut adalah: keseimbangan dan keteguhan,[34] persamaan dan peniadaan diskrininasi (tab’idh),[35] memberikan dan menjaga hak orang yang berhak[36] dan memberikan anugerah sesuai potensi dan kapabilitas.[37] Definisi-definisi ini juga dipaparkan dengan ungkapan lain seperti “meletakkan segala sesuatu pada tempatnya”,[38] “memberikan hak setiap orang kepadanya”[39] dan “menjaga hak-hak orang lain”.[40]
Murtadha Muthahhari mengatakan, keadilan Tuhan adalah bahwa segala sesuatu yang Allah anugerahkan kepada entitas-entitas berdasarkan keberhakan zat mereka.[41] Pada hakikatnya, anugerah, rahmat dan juga bala dan kenikmatan yang sampai kepada makhluk-makhluk bersumber dari sistem khusus keberadaan dan bergantung kepada keberhakan zat setiap sesuatu.[42] Definisi lain adalah bahwa setiap perbuatan yang berdasarkan hikmah adalah adil. Semua perbuatan Allah baik takwini maupun tasyrii, di dunia maupun di akhirat, berdasarkan hikmah dan maslahat. Karena itu, Allah Maha Adil.[43]
Banyak teolog antara lain Syaikh Thusi (w. 460) dari ulama Syiah,[44], Qadhi Abdul Jabbar (w. 415) dari ulama terkemuka Muktazilah,[45] Qutbuddin Sabzawari, seorang ulama Syiah abad ke-6[46], Sayid Haidar Amili seorang ulama Syiah abad ke-8[47] dan lain-lain[48] menjabarkan keadilan Tuhan dengan dua syarat: pertama adalah Allah sama sekali tidak mengerjakan perbuatan buruk. Perbuatan buruk ialah setiap perbuatan yang pelakunya berhak mendapatkan celaan dan cercaan[49] dan akal menghindarinya, misalnya bohong, zalim, mencuri.[50] kedua ialah bahwa Allah tidak melenceng pada setiap sesuatu yang wajib atas diri-Nya; artinya perbuatan yang dijanjikan dan harus dikerjakan Ia laksanakan.[51] Misalnya, luthf (anugerah) yang berdasarkan kaidah luthf harus dan wajib Ia lakukan, Ia tidak meninggalkannya.[52] Abdullah Syubbar dari teolog Syiah juga mendeskripsikan keadilan dengan ungkapan seperti misalnya, “Allah tidak bersikap aniaya, Dia memberikan pahala kepada yang taat dan Ia bisa menghukum para pendosa”.[53]
Relasi Keadilan dan Hikmah
Keadilan dan hikmah Ilahi dilihat dari sisi kejanggalan-kejanggalan yang dilontarkan atasnya satu sama lain hampir mirip.[54] Orang yang bijaksana (hakim) diartikan kepada dua arti; pertama ialah orang yang mengerjakan pekerjaannya secara kokok dan kuat, dan kedua adalah orang yang tidak meninggalkan kewajibannya dan tidak melakukan perbuatan buruk.[55] Mengingat bahwa aniaya itu buruk, maka orang yang bijak tidak akan berbuat aniaya. Karena keadilan itu baik maka wajib dilakukan dan orang bijak tidak akan meninggalkan keadilan.[56] Karena itu, hikmah Ilahi lebih umum dari keadilan Ilahi,[57] dan sifat keadilan Ilahi termasuk dari urusan dan pengikut sifat hikmah Ilahi.[58]
Relasi Keadilan dengan Kesamaan
Para teolog dan filsuf Muslim sangat menegaskan bahwa keadilan tidak berarti kesamaan dalam semua entitas.[59] akan tetapi keadilan berarti kesamaan dalam satu tempat yang mana semua individu memiliki keberhakan yang sama. Karena itu, ketika keberhakan dan kapabilitas berbeda, maka perlakuannya pun akan berbeda pula.[60] Pada nyatanya, yang buruk menurut para teolog Muslim adalah diskriminasi (tab’idh) bukan perbedaan.[61]
Cabang-Cabang Keadilan
Ja’far Subhani mengatakan, keadilan Ilahi bisa diklasifikasikan kepada tiga klasifikasi: keadilan takwini, keadilan tasyri’i dan keadilan jaza’i (balasan).[62] Tetapi, Murtadha Muthahhari mengklasifikasikan keadilan kepada empat klasifikasi; takwini, tasyri’i, akhlaki dan ijtima’i (sosial).[63] Misbah Yazdi dalam buku Amuzish-e Aqaid menyebutkan pembagian keadilan kepada keadilan takwini dan tasyri’i[64], kemudian ia menggambarkan keadilan tasyri’i dalam tiga tahapan; keadilan dalam taklif, keadilan dalam mengambil keputusan, dan keadilan dalam memberikan pahala dan azab.[65]
Argumentasi Keadilan
Dalil-dali keadilan Tuhan dibagi kepada dua bagian:
Dalil-Dalil Rasional
Dalil-dalil rasional dianggap pokok dan prinsip atas adanya keadilan Tuhan.[66] Syaikh Thusi berargumentasi demikian atas keadilan Tuhan: melakukan perbuatan buruk adalah sifat kekurangan pada Allah dan berdasarkan argumentasi rasional, kekurangan tidak ada pada diri Allah, dan hasilnya adalah bahwa Allah tidak bisa melakukan perbuatan buruk.[67] Ia juga percaya bahwa pengerjaan perbuatan buruk dimotivasi oleh kebodohan atau kebutuhan. Dua hal ini tiada pada Allah. Oleh karena itu, Allah tidak melakukan perbuatan buruk.[68] Allamah Hilli dalam menjelaskan mazhab Imammiyah dan Muktazilah terkait keadilan Tuhan juga menyinggung masalah jabr (diterminisme) dan ikhtiyar (pilihan) dan berupaya untuk membuktikan keadilan Tuhan dengan menetapkan ikhtiyar dan pilihan manusia.[69] Qutbuddin Sabzawari mempercayai kajian keadilan Tuhan sebagai cabang dari kajian baik buruk rasional (husn wa qubh aqli). Ia meyakini bahwa setelah penerimaan rasionalitas baik dan buruk maka dapat meyakini keadilan Tuhan.[70]
Dalil Alquran dan Hadis
Selain dalil-dalil rasional, keadilan Tuhan dikuatkan dan dibenarkan oleh ayat-ayat Alquran. Di dalam buku Al-Ilahiyat ‘ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-‘Aql disebutkan beberapa ayat sebagai dalil penetapan keadilan Tuhan.[71] Antara lain adalah:
“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa, Maha-bijaksana.”[72]
“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit.”[73]
Di dalam sumber-sumber referensi hadis juga telah dikumpulkan banyak hadis untuk menetapkan dan menjelaskan keadilah Tuhan. Buku Daneshnameh Aqaid (ensiklopedia akidah) telah membukukan 11 hadis pada bab Dalil-dalil Keadilan Tuhan.[74]
Pembahasan Terpenting Mengenai Keadilan Tuhan
Meyakini keadilan Tuhan memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan kajian-kajian, misalnya relasi keadilan Tuhan dengan keberadaan keburukan dan kesengsaraan,[75] keadilan dalam pensyariatan,[76] sistem terindah dalam penciptaan,[77] dan relevansi keadilan dengan kekekalan dalam azab.[78] Menurut Ja’far Subhani, teolog dan marja taklid Syiah, bisa dikatakan bahwa kajian-kajian seperti keburukan sanksi tanpa keterangan (qubhe iqab bila bayan), keburukan tugas diluar batas kemampuan (qubhe taklif bima la yuthaq), pengaruh qada dan qadar pada nasib manusia, ikhtiyar manusia dan siksa manusia di akhirat, termasuk dari hasil mempercayai keadilan Tuhan.[79]
Keburukan dan Kesengsaraan
Masalah keburukan, kepahitan dan kesengsaraan hidup adalah salah satu kejanggalan yang dilontarkan atas keadilan.[80] Pada nyatanya, karena mereka mengira kesengsaraan dan kesusahan adalah suatu kezaliman, maka problem-problem ini mereka posisikan sebagai lawan keadilan.[81] Untuk menjawab pertanyan ini bahwa apabila Allah adil, lantas apa semua kesengsaraan ini? Ada beberapa sudut pandang di kalangan para ulama Muslim. Sebagian mereka menilai keburukan sebagai konsekuensi penciptaan[82], dan sebagian lagi meyakininya sebagai perkara yang tiada wujudnya (‘adami)[83] sebagian lagi meyakini keburukan sebagai perkara yang relatif dan komparatif.[84] Ada juga yang percaya bahwa keburukan dan kesengsaraan memiliki beberapa manfaat seperti penguatan iman dan pengembangan keilmuan dan titik terang perbedaan kebaikan dengan keburukan.[85]
Para teolog Muslim pada umumnya memaparkan pembahasan keburukan di dalam pembahasan perbuatan Allah dan setelah pembahasan tauhid.[86] Dalam hal ini telah ditulis beberapa buku independen, contohnya Adle Ilahi (Keadilan Tuhan) karya Murtadha Muthahhari, atau Khuda va Mas’ale-e Shar (Allah dan Masalah Keburukan) karya Muhammad Hasan Qadardan Qaramulki dan juga Adl-e Ilahi az Didgah-e Imam Khomaini (Keadilan Ilahi Perspektif Imam Khomaini) yang dipublikasikan dari kompilasi karya-karyanya.
Keadilan dalam Syariat
Keadilan dalam pensyariatan termasuk dari cabang kajian keadilan Tuhan. Dalam arti bahwa di dalam sistem perudang undangan agama dan syariat diperhatikan prinsip keadilan.[87] Murtadha Muthahhari percaya, berdasarkan ayat-ayat Alquran, tujuan asli Allah dari pengutusan para nabi adalah hendak menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia.[88] Menurut pernyataan Ja’far Subhani, di dalam keadilan tasyrii ada dua poin pokok; pertama, apabila dalam suatu pekerjaan, kesempurnaan manusia bergantung pada pelaksanaan tugas khusus, maka tugas itu pasti Allah sebutkan dalam undang undang-Nya. Kedua, Dia tidak akan memberikan tugas kepadanya diluar kemampuan manusia.[89]
Penciptaan Sistem Paling Indah
Sistem paling indah dalam arti bahwa dunia makhluk adalah paling indahnya bentuk penciptaan[90], merupakan salah satu pembahasan filsafat Islam yang paling penting.[91] Pembahasan ini juga dipelajari setelah pembahasan perbuatan dan keadilan Tuhan. Mengingat bahwa kesengsaraan dan kesusahan makhluk terlihat semacam satu bentuk kekurangan di dalam dunia penciptaan, maka muncul pertanyaan ini, apa relasi antara penerimaan sistem terbaik dan penerimaan keburukan dan bagaimana ketidaksingkronan ini dapat diselesaikan?[92]
Azab dan Kekekalan
Kekal atau menetap selama lamanya di dalam azab yang merupakan bagian dari kepercayaan agama Ilahi, diyakini sebagai salah satu perkara yang bertentangan dengan keadilan Tuhan.[93] Di dunia Islam, orang-orang arif juga telah mengajukan pertanyaan ini dan meyakini azab permanen tidak sesuai dengan keadilan Tuhan.[94] Untuk menjawab paradoksikal di antara keadilan Tuhan dan siksaan permanen, sebagian peneliti berkata bahwa efek kekafiran di dalam pribadi kafir bersifat abadi dan oleh karenanya ia kekal dalam azab[95]. Sebagian yang lain juga percaya bahwa azab ini tidak abadi dan atau berakhir dengan keluarnya orang-orang dari neraka atau dengan berubahnya azab menjadi nikmat.[96] Sebagain lagi meyakini bahwa azab akhirat tidak sesuai dengan kesalahan manusia di dunia dan ini tidak cocok dengan keadilan Tuhan.[97] Murtadha Muthahhari untuk menjawab keberatan ini membagi bentuk-bentuk hubungan perbuatan dan balasannya dan mengambil konklusi bahwa azab akhirat bukan persetujuan, dan hubungan perbuatan dengan azab adalah hubungan takwini[98]. Ja’far Subhani juga menerima penjelasan ini dan menegaskan bahwa kekekalan dikhususkan untuk orang-orang yang telah mencabut setiap potensi petunjuk dari dirinya sendiri.[99]
Catatan Kaki
Tinggalkan Balasan