Syiahpedia.id – Amrun bainal Amrain (bahasa Arab: أمر بين الأمرين ) atau disebut juga perkara di antara dua perkara adalah sebuah terminologi ilmu kalam dan merupakan keyakinan khas kalangan mazhab Imamiyah dalam masalah determinisme dan kehendak (ikhtiar) manusia. Ajaran ini berhadapan dengan dua pandangan “jabr” (determinisme) dan “tafwidh” (kebebasan mutlak) dan memaparkan bahwa dalam perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat ikhtiar, baik kehendak Tuhan maupun kehendak manusia sama-sama berpengaruh atau mengintervensi. Berdasarkan sebagian riwayat, term “perkara di antara dua perkara” (amrun bainal amrain) pertamakali dikemukakan oleh Amirul Mukminin Ali as.
Latar Belakang Pandangan
Masalah determinisme dan ikhtiar di sepanjang sejarah merupakan sebuah masalah umum serta mengemuka dalam seluruh agama-agama dan berbagai mazhab; [1] masalah ini di samping mempunyai aspek teoritis juga memiliki aspek praktis [2] dan berkaitan dengan masalah-masalah seperti keadilan Ilahi [3] dan kebebasan sosial.
“Perkara di antara dua perkara” pertama kali dikemukakan oleh Imam Ali as. Seseorang bertanya tentang makna Qadar, Imam Ali as lalu mengajaknya untuk tidak masuk dalam pembahasan masalah ini; namun dia bersikeras dengan permintaannya. Imam Ali as berkata, “Karena hingga saat ini engkau tidak berubah pendirian atas keinginanmu, maka ketahuilah bahwa dalam persoalan Qadar, yang ada bukanlah jabr (determinisme) dan bukan pula tafwidh (kebebasan mutlak) melainkan suatu perkara di antara dua perkara (amrun bainal amrain).” [4]
Tentang masalah ini terdapat banyak hadis-hadis dari para Imam lainnya, khususnya dari Imam Shadiq as dan Imam Ridha as. Dinukilkan pula sebuah risalah rinci dari Imam Hadi as yang menjelaskan masalah ini. [5]
Penjelasan pandangan
Yang dimaksud dengan dua perkara (amrain) adalah “jabr” (determinisme) dan “tafwidh” (kebebasan mutlak). Menurut teori jabr, kehendak manusia tidak berpengaruh dalam perbuatan-perbuatannya dan tindakan-tindakannya tak terelakkan serta berada di luar kendali dan ikhtiarnya sedangkan menurut teori tafwidh, kehendak bebas manusia berefek dalam perbuatan-perbuatannya dalam segala sisi dan kekuatan Tuhan sama sekali tidak berpengaruh di dalamnya, melainkan Tuhan hanya menciptakan manusia dan kekuatannya. Perkara di antara dua perkara (amrun bainal amrain) menolak kedua teori ini dan menyatakan bahwa dalam perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia, baik kehendak Tuhan maupun kehendak manusia sama-sama berpengaruh dan kedua iradah atau kehendak ini berurutan secara vertikal; inilah hakikat ikhtiar manusia dalam setiap tindakan. [6]
Pendukung Pandangan ini
Pendukung-pendukung teori “Perkara di antara dua perkara” adalah dari kalangan filsuf dan teolog Imamiyah[7]Di antara mazhab-mazhab Islam lainnya, Maturidiyah meskipun mengajukan “teori temuan (kasbi)” dalam kaitannya dengan perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia, namun mereka mengemukakan suatu tafsiran yang sejalan dengan mazhab Imamiyah dalam masalah “amrun bainal amrain”. [8]
Pandangan golongan Thahawiyah, pengikut Abu Ja’far al Misri al-Thahawi (229-321 H.) dalam masalah ini seiring dengan pandangan Imamiyah [9]
Sebagian teolog Asy’ariah menerima pula teori ini kendatipun mereka tidak memakai istilah “amrun bainal amrain”; seperti Syamsuddin Mahmud Isfahani [10], Abdul Wahab Sya’rani [11], Abdul Adzim Zarqani [12], Syaikh Muhammad Abduh [13] dan Syaikh Mahmud Syaltut [14]
Dalil-dalil Pembuktian Teori ini
Menurut para teolog Syiah, kebenaran pandangan ini dibuktikan oleh ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Maksumin as serta argumen-argumen rasional (aqli).
Ayat-ayat Alquran
Di antara ayat-ayat Alquran, dapat diisyaratkan ayat: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ[15]. Ayat ini tidak sesuai dengan keyakinan pada jabr (determinisme); sebab jika pencipta perbuatan-perbuatan kita adalah Allah swt dan kehendak kita tidak berpengaruh di dalamnya, maka tidak bermakna ketika kita menisbahkan ibadah (penghambaan) kepada diri kita dan kita mengatakan, “نعبد ; aku beribadah (menghamba)”; sebagaimana ayat tersebut tidak selaras dengan akidah tafwidh (kebebasan mutlak) yang didasarkan pada tiadanya campur tangan Tuhan dalam perbuatan-perbuatan hamba; karena permohonan bantuan atau pertolongan (نستعین) kepada yang tidak punya pengaruh atas terjadinya perbuatan adalah tidak bermakna [16]. Imam Shadiq as berargumentasi dengan ayat tersebut dalam menjawab suatu pertanyaan terkait masalah ini [17]
Di samping itu, ayat 17 surah Al-Anfal dijadikan pula sebagai sandaran dalam masalah ini:
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ رَمَىٰ; “maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar…”.
Ayat mulia ini pada awalnya membuktikan perbuatan “membunuh” dan “melempar” dengan kata-kata: تقتلوهم dan :رمیت bagi orang-orang mukmin serta Nabi saw dan kemudian setelah itu menafikannya dari mereka dan hanya menisbahkannya kepada Tuhan. Penafian dan penetapan ini bukan dari satu sisi; sebab hal itu bisa bermakna ungkapan yang kontradiksi, akan tetapi ayat menafikan kemandirian orang-orang mukmin dan Nabi saw dalam perbuatan-perbuatan mereka, namun membuktikan bahwa mereka dalam perbuatan ini punya pengaruh dan campur tangan. Inilah yang disebut dengan “perkara di antara dua perkara” (amrun bainal amrain).[18]
Begitu pula pada sekelompok ayat, manusia diperkenalkan memiliki ikhtiar (mukhtar) dan perbuatan-perbuatan dinisbahkan kepadanya, seperti وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ “dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya”[19], dan pada sekelompok lainnya, izin dan kehendak Tuhan dinyatakan berefek dan berpengaruh serta menentukan dalam setiap perbuatan, seperti وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّـهِ; “dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah”.[20], kelompok pertama ayat bertentangan dengan akidah jabr (determinisme) dan kelompok kedua berlawanan dengan akidah tafwidh (kebebasan mutlak) dan gabungan keduanya adalah bahwa Tuhan memberikan ikhtiar dan kehendak kepada hamba-hamba-Nya, namun ikhtiar dan kehendak ini berurutan secara vertikal dengan kehendak Ilahi.
Hadis-Hads
Dalam berbagai kitab hadis pada bab-bab khusus seperti “Bab al-Jabr wa al-Qadr wa al-Amr bainal Amrain” (bab determinisme, qadar dan perkara di antara dua perkara) [21] dan “Bab al Masyiah wa al Iradah” (bab keinginan dan kehendak) [22] dan “Bab al Istitha’ah” (Bab Kesanggupan) [23] terdapat riwayat-riwayat yang berkaitan dengan subjek ini di mana secara keseluruhan dapat dibagi menjadi lima kelompok riwayat:
Penjelasan Sebagian Hadis-hadis
Imam Shadiq as menganalogikan masalah ikhtiar manusia dalam perbuatan-perbuatannya dengan seorang pelaku maksiat, bahwa engkau melarangnya dari berbuat maksiat namun ia tidak menghiraukan larangan tersebut dan tetap melakukan maksiat. Beliau berkata, “Dari sisi bahwa pendosa tersebut tidak menghiraukan larangan dan engkau membiarkannya, tidaklah bermakna bahwa engkau telah menyuruhnya berbuat maksiat.” [29]
Mulla Shadra dalam menjelaskan hadis ini menulis, “Dari sisi bahwa ia telah melarangnya, ia tidak melimpahkan urusan itu kepadanya dan dari sisi bahwa ia membiarkan orang itu, ia tidaklah memaksanya.” [30]
Imam Ridha as mengatakan, “Allah Swt berfirman: Wahai putra Adam! Dengan takdir-Ku engkau telah menjadi orang yang engkau kehendaki dan dengan daya dan kekuatan-Ku engkau menjalankan perintah-perintah-Ku dan dengan nikmat-nikmat-Ku engkau memperoleh kekuatan bermaksiat pada-Ku. Aku telah membuatmu mendengar dan melihat. Segala sesuatu dari perbuatan-perbuatan baik yang sampai kepadamu adalah dari arah Tuhan dan segala keburukan yang sampai kepadamu adalah dari arah dirimu sendiri, hal ini lantaran Aku lebih layak darimu atas perbuatan-perbuatan baikmu dan engkau lebih pantas dari-Ku atas perbuatan-perbuatan burukmu dan tentang perbuatan-perbuatan yang telah kulakukan, Aku tidak ditanya sedangkan orang-orang akan ditanya.” [31]
Berdasarkan riwayat ini kehendak dan kekuatan dalam perbuatan-perbuatan manusia diperlukan dan keduanya diberikan Allah swt. Dari satu sisi Tuhan memerintahkan perbuatan-perbuatan baik (kebaikan-kebaikan) dan melarang dari berbuat dosa; maka yang benar ialah kebaikan-kebaikan dinisbahkan kepada Tuhan dan perbuatan-perbuatan dosa kepada para hamba. [32]
Dalil-dalil Rasional
Salah satu di antara argumen-argumen para teolog ialah bahwa dalam masalah hubungan antara kehendak manusia dengan kehendak Ilahi tidak lebih dari tiga pendapat yang dapat dikonsepsikan; sebab ketika dua kehendak, kita hubungkan dengan sebuah perbuatan, dalam realisasi perbuatan tersebut, entah hanya satu kehendak saja yang berpengaruh ataukah kedua-duanya. Jika kita mengatakan hanya satu kehendak yang mengintervensi dan itu adalah kehendak Tuhan, maka hasilnya adalah jabr (determinisme) dan jika hanya kehendak manusia yang berpengaruh, maka akan berakhir pada tafwidh (kebebasan mutlak); namun jika kita mengatakan keduanya berpengaruh maka hasilnya adalah suatu “perkara di antara dua perkara”. Perlu diperhatikan bahwa kita tidak bisa mengatakan tak satupun di antara kedua kehendak yang memberikan efek dan pengaruh; lantaran hal itu bertentangan dengan asumsi yang ada. [33]
Argumen para filsuf seperti ini: Tuhan berkuasa atas segala sesuatu; namun setiap sesuatu berbeda dalam menerima wujud (keberadaan) mereka; Tuhan menciptakan sebagian makhluk tanpa perantara dan menciptakan sebagian lainya dengan perantara. Perantara terkadang hanya satu dan terkadang lebih dari satu; tetapi keperluan atas perantara tidak bermakna bahwa Tuhan butuh kepada mereka dalam perbuatan-perbuatan-Nya, melainkan perlunya perantara lantaran kekurangan (cacatnya) objek yang dicipta (yakni makhluk); karena Tuhan adalah sebab segala sesuatu serta tidak membutuhkan apapun dalam mencipta sesuatu. Perbuatan-perbuatan ikhtiari manusia pun disebabkan kekurangan, tidak bisa tercipta tanpa perantara dari Tuhan, dan kehendak manusia merupakan salah satu di antara perantara-perantara tersebut; dengan demikian, jabar (determinisme) adalah batil dan karena seluruh perantara-perantara itu merupakan makhluk Tuhan serta bersumber dari kehendak-Nya, maka tafwidh (kebebasan mutlak) menjadi tertolak. [34]
Fungsi Pandangan Ini
Kesadaran akan tanggung jawab
Di antara fungsi-fungsi pandangan “perkara di antara dua perkara” ialah manusia menerima tanggung jawab serta menyadari bahwa dirinya adalah mukallaf; sebab menurut pandangan ini manusia memiliki ikhtiar dalam perbuatan-perbuatannya sedangkan konsekuensi dari pandangan jabar (determinisme) adalah keluar dari beban tugas dan tanggung jawab yang pada gilirannya menimbulkan kemalasan serta hilangnya keterikatan. Kebanyakan orang-orang yang mengemukakan teori determinisme ini adalah mereka yang ingin lepas dari beban tugas, tanggung jawab, aturan serta moral, dan tindakan apapun yang mereka lakukan akan dibuatkan alasan dan justifikasi. [35] Sebagaimana para penguasa rezim Bani Umayyah, guna menjustifikasi segala tindakan kezaliman yang mereka lakukan, mereka berpegang pada determinisme (jabr) dan mazhab Murjiah. [36]
Kesadaran Moral
Di antara fungsi-fungsi lain teori “perkara di antara dua perkara” ialah seseorang meyakini bahwa ia memiliki ikhtiar dan mampu melakukan perubahan pada watak dan karakternya; oleh sebab itu ia akan berusaha mewujudkan kebiasaan-kebiasaan moral pada dirinya. Bertolak belakang dengan pandangan ini, sebagian berkeyakinan bahwa watak dan karakter manusia tidak dapat dirubah. [37]
Keterlepasan dari Berbagai Problem Teori Jabr dan Tafwidh
Masing-masing dari teori jabr dan tafwidh memiliki banyak problem di mana dengan meyakini teori “perkara di antara dua perkara”, kita dapat terjauhkan dari pelbagai problem tersebut.
Dua problem teori jabr (determinisme) adalah; 1). Tidak bermaknanya tanggung jawab moral dan religius manusia; 2). Terciptanya keburukan-keburukan dan dosa-dosa oleh Tuhan.
Adapun problem teori tafwidh (kebebasan mutlak) adalah terbatasnya kekuatan Tuhan serta kelirunya pandangan “Tauhid dalam perbuatan” (tauhid af’āli). [38]
Catakan Kaki
Tinggalkan Balasan