Syiahpedia
MENU

Fatimah az-Zahra s.a.

Kategori: Ahlulbait

Syiahpedia.id –Fatimah sa (bahasa Arab:فاطمة سلام الله عليها) yang terkenal dengan Fatimah az-Zahra adalah putri Nabi Muhammad saw dari Khadijah al-Kubra sa dan istri Imam Ali as serta salah seorang dari lima orang yang termasuk dalam Ashabul Kisa’. Orang Syiah Imamiyah juga meyakini bahwa beliau termasuk sebagai salah seorang dari Empat Belas Manusia Suci. Imam Kedua dan Imam Ketiga Syiah serta Zainab sa adalah anak-anaknya. Az-Zahra, al-Batul dan Sayidatu Nisa al-Alamin (penghulu kaum wanita di semesta alam) termasuk dari gelarnya. Dan Ummu Abiha (ibu dari ayahnya) termasuk dari julukannya. Fatimah sa, satu-satunya perempuan yang hadir bersama Rasulullah saw pada hari Mubahalah di hadapan kaum kristen Najran.

Dalam Peristiwa Saqifah, beliau selain menolak hasil keputusan Musyawarah Saqifah, juga menilai kekhalifahan Abu Bakar adalah suatu perampasan hak dan pengambilan yang dilakukan secara tidak sah, sehingga beliau tidak membaiatnya.

Terkait peristiwa Perampasan Fadak dan pembelaan terhadap kekhalifahan Imam Ali as, ia menyampaikan sebuah Khotbah yang dikenal dengan Khotbah Fadakiyah. Tak lama setelah Nabi saw wafat, Fatimah sa mengalami musibah dan jatuh sakit dalam peristiwa penyerangan rumahnya oleh para pendukung khalifah Abu Bakar . Dan tak lama setelah itu beliau mereguk cawan syahadah pada 3 Jumadil Akhir tahun 11 H/632 di Madinah. Jasad suci Fatimah sa atas wasiatnya sendiri dimakamkan di malam hari secara sembunyi-sembunyi dan kuburannya sampai sekarang tidak pernah terungkap.

Surah Al-Kautsar, Ayat Tathir, Ayat Mawaddah dan Ayat Ith’am serta sejumlah hadis seperti Hadis Bidh’ah dan Hadis Laulaka semuanya berkisar mengenai keutamaan yang dimiliki Sayidah Fatimah sa. Dalam riwayat disebutkan bahwa Nabi saw memperkenalkan Fatimah sa sebagai sebaik-baik wanita di dua alam dan diyakini bahwa kemurkaan dan keridhaannya adalah kemurkaan dan keridhaan Allah.

Tasbih Fatimah Zahra sa adalah bacaan tasbih yang telah diajarkan Nabi Muhammad saw kepada putrinya tersebut, demikian pula Mushaf Fatimah adalah kitab yang memuat perkataan-perkataan Malaikat utusan Allah yang diilhamkan kepada Sayidah Fatimah sa dan ditulis oleh Imam Ali as. Mushaf tersebut berada di tangan Imam-Imam maksum as secara bergiliran dan sekarang berada di tangan Imam al-Mahdi as.

Umat Islam Syiah menjadikan Sayidah Fatimah sa sebagai tokoh teladan dan mereka mengadakan majelis-majelis duka pada peringatan haul kesyahidannya yang dikenal dengan Ayyam Fatimiyah (hari-hari Fatimiyah).

Nama dan Garis Keturunan

Fatimah sa adalah putri Nabi Muhammad saw dan Khadijah sa.[1] Ada beberapa gelar yang disebutkan bagi Fatimah sa yang berjumlah sekitar tiga puluh gelar. Para peneliti meyakini bahwa gelar-gelar ini menerangkan sebuah karakteristik atau ciri-ciri khusus perilaku Fatimah sa. Az-Zahra (terang dan bercahaya), al-Shiddiqah (sangat jujur), al-Muhaddatsah (orang yang diajak bicara oleh malaikat), al-Batul, Sayidatu Nisa al-‘Alamin, al-Manshurah (yang ditolong), al-Thahirah (bersih dan suci), al-Muthahharah (disucikan), al-Zakiyyah (bersih dari akhlak yang buruk), al-Mubarakah (penuh berkah), al-Radhiyah (yang ridhai kepada Allah), dan al-Mardhiyah (seseorang yang Allah rela kepadanya) adalah gelar-gelarnya yang paling terkenal.[2]

Fatimah sa memiliki beberapa nama panggilan diantaranya adalah Ummu Abiha (Ibu bagi ayahnya), Ummul Aimmah (Ibu para Imam), Ummul Hasan (Ibu Hasan), Ummul Husain (Ibu Husain) dan Ummul Muhsin (Ibu Muhsin). [3]

Biografi

Fatimah sa adalah anak terakhir dari Nabi Muhammad saw dan ibunya adalah siti Khadijah sa. Menurut kesepakatan para ahli sejarah, Fatimah sa dilahirkan di Makkah di rumah Sayidah Khadijah sa di gang Attharin dan gang al-Hajar di dekat tempat sa’i.[16]

Kelahiran dan Masa Kanak-kanak

Menurut pandangan yang masyhur di kalangan Syiah, Sayidah Fatimah sa lahir pada tahun ke-5 Bi’tsah yang terkenal dengan Sanah al-Ahqafiyah[17](tahun turunnya Surah Al-Ahqaf)[18]. Sementara Syekh al-Mufid dan al-Kaf’ami meyakini bahwa tahun ke-2 Bi’tsah sebagai tahun kelahiran Sayidah Fatimah.[19] Tapi, pendapat yang populer di antara ulama Ahlusunah menyebutkan bahwa Sayidah Fatimah lahir lima tahun sebelum Bi’tsah[20]. Berdasarkan sumber-sumber sejarah Syiah, beliau lahir pada tanggal 20 Jumadil Akhir. [21]

Kurangnya laporan sejarah yang mendetail tentang masa kanak-kanak dan remaja Fatimah sa membuat sulit untuk mengenal kehidupannya[22]. Berdasarkan laporan-laporan sejarah, setelah dakwah Nabi saw dimulai secara terang-terangan, Fatimah sa menyaksikan beberapa kekerasan-kekerasan orang-orang musyrik kepada ayahandanya. Selain itu, tiga tahun dari masa kanak-kanak Fatimah sa dilalui di dalam Syi’ib Abi Thalib di bawah tekanan-tekanan ekonomi dan sosial kaum musyrikin terhadap bani Hasyim dan para pengikut Nabi saw.[23] Pada masa kanak-kanak, Fatimah sa juga mengalami kehilangan ibunya Siti Khadijah sa dan Abu Thalib, paman ayah yang berperan sebagai pelindung utama ayahnya[24].

Beberapa peristiwa penting lainnya yang terjadi selama kanak-kanaknya Sayidah Zahra sa termasuk Keputusan Quraisy untuk membunuh Nabi saw[25] sehingga menyebabkan beliau keluar di malam hari dari Makkah dan hijrah ke Madinah, dan akhirnya Fatimah sa pun turut ke Madinah bersama Ali as dan sebagian wanita. [26]

Pinangan dan Pernikahan

Banyak orang yang melamar Sayidah Fatimah az-Zahra, tetapi pada akhirnya beliau menikah dengan Imam Ali as. Setelah pemerintahan Islam dibentuk atas pimpinan Nabi saw di Madinah, Fatimah sa mendapatkan penghormatan dan kedudukan istimewa di kalangan kaum Muslimin.[27] Selain itu, segala kecintaan Nabi Muhammad saw tercurah pada Fatimah sa.[28] Dan karakteristiknya dibanding kaum wanita pada zamannya [29] menarik simpati sebagian kaum muslimin untuk menikah dengan putri Nabi saw.[30] Banyak kalangan dari pembesar Quraisy yang lebih dahulu memeluk Islam dibanding orang lain atau mempunyai kekuatan finansial yang baik mencoba meminang Fatimah sa.[31] Imam Ali as, Abu Bakar, Umar [32] dan Abdurrahman bin Auf[33] termasuk diantara orang-orang yang meminang Fatimah sa. Semua peminang selain Ali as ditolak oleh Nabi saw.[34] Nabi saw dalam menjawab mereka berkata: “Pernikahan Fatimah adalah urusan langit dan membutuhkan keputusan dan hukum Tuhan”.[35] Dalam sebagian tempat juga disinggung tentang ketidakrelaan Fatimah sa akan perkawinan dengan orang-orang yang telah datang meminangnya.[36]

Karena Ali as memiliki hubungan keluarga dengan Nabi saw dan menyaksikan dari dekat karakteristik akhlak dan agama Fatimah sa, maka ia sangat mendambakan dapat menikah dengan Fatimah.[37] Namun, ahli sejarah menuturkan bahwa Ali as tidak memperkenankan dirinya untuk meminang putri Nabi saw.[38] Sa’ad bin Mu’adz menyampaikan masalah ini pada Nabi saw dan ia menyetujui lamaran Ali as[39] serta menjelaskan keinginan Ali as, ciri-ciri perilaku dan keutamaannya kepada Fatimah sa yang disambut dengan senang hati olehnya.[40]

Ali as sebagaimana Muhajirin Madinah yang lain, pada bulan-bulan awal setelah hijrah tidak memiliki kondisi ekonomi yang baik dan menghadapi kesulitan untuk membayar maskawin yang telah disepakati . [41] Oleh karenanya, atas saran dan nasehat Nabi saw, ia menjual atau mengadaikan baju perangnya untuk mahar Sayidah Fatimah sa.[42] Acara akad pernikahan Ali as dan Fatimah sa dilangsungkan di masjid dan dihadiri oleh kaum muslimin. [43] Terkait tahun acara akad nikahnya terdapat perbedaan pendapat. Mayoritas sumber menyebutkan tahun ke-2 H/623 .[44] Resepsi pernikahannya diselenggarakan setelah perang Badar pada bulan Syawal atau Dzulhijjah tahun ke-2 H/623. [45]

Hidup Bersama Ali

Dalam berbagai keterangan sejarah dan riwayat disebutkan bahwa Fatimah sa sangat mencintai Ali as dalam kondisi apapun, bahkan menyatakan di depan Nabi saw bahwa Ali as adalah sebaik-sebaik teman dan suami.[46] Penghormatan kepada Imam Ali as juga menunjukkan keagungan karakteristik Sayidah Fatimah sa. Disebutkan bahwa Sayidah Fatimah sa memanggil Imam Ali as di dalam rumah dengan kata cinta dan di tengah-tengah masyarakat dengan panggilan Abal Hasan.[47] Dalam beberapa catatan dimuat bahwa Fatimah sa di dalam rumah memakai wewangian dan perhiasannya untuk Imam Ali as dan terkadang menginfakkan kalung dan anting perhiasannya (kepada orang yang membutuhkan).[48]

Periode awal kehidupan Fatimah sa dan Ali as disertai dengan kesulitan ekonomi[49] hingga terkadang mereka tidak mendapatkan makanan yang dapat mengenyangkan Hasan dan Husain. [50] Namun demikian, Fatimah sa tidak protes atas kondisi yang ada dan bahkan untuk membantu suaminya dalam mencari nafkah, beliau memintal wol.[51]

Fatimah sa menginginkan pekerjaan-pekerjaan rumahnya dia lakukan sendiri dan menyerahkan pekerjaan luar rumah kepada Ali as.[52] Ketika Rasulullah saw mengutus seorang pembantu bernama Fiddhah ke rumah Fatimah sa dan pekerjaan yang ada dalam rumah tidak dibebankan seluruhnya kepada Fiddhah, akan tetapi separuh pekerjaan rumah dia lakukan sendiri dan separuhnya lagi dia serahkan kepada Fiddhah.[53] Berdasarkan sebagian laporan, atas saran Fatimah sa, satu hari Fiddhah bekerja di rumah dan di hari lain Fatimah sendiri yang membereskan pekerjaan rumah.[54]

Anak-anak

Literatur Syiah dan Ahlusunah sepakat bahwa Imam Hasan, Imam Husain, Zainab dan Ummu Kultsum adalah empat putra-putri Fatimah sa dan Ali as.[55] Dalam literatur Syiah dan sebagian literatur Ahlusunah disebutkan juga putra lain yang gugur dari kandungan dalam peristiwa yang menimpa Fatimah sa sepeninggal Nabi saw. Namanya adalah Muhsin.[56]

Peristiwa di Akhir Kehidupan

Beberapa bulan di akhir kehidupan Fatimah as terjadi peristiwa yang menyakitkannya. Para sejarawan menyebutkan bahwa pada masa-masa ini tak seorang pun menyaksikan bahwa dia pernah tertawa. [57]Wafat Nabi saw,[58] Peristiwa Saqifah, perampasan kekhalifahan, penyitaan tanah Fadak oleh Abu Bakar dan penyampaian Khutbah Fadakiyah di tengah-tengah sahabat[59] adalah serentetan kejadian terpenting di akhir kehidupannya. Selain Ali as, Fatimah sa adalah salah satu penentang utama musyawarah Saqifah dan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah. [60] Oleh karena itu, mereka berdua mendapat ancaman dari pihak khalifah seperti ancaman pembakaran rumah Sayidah Fatimah sa.[61] Tidak berbaiatnya Imam Ali as dan para penentang Abu Bakar serta berkumpulnya mereka di rumah Sayidah Fatimah sa menjadi pemicu para pendukung khalifah untuk menyerang rumah putri Nabi ini. Dalam penyerangan ini, Sayidah Fatimah sa mengalami luka dan anaknya gugur dalam kandungannya,[62] karena beliau menghalangi Ali as untuk dibawa secara paksa ke hadapan Abu Bakar untuk berbaiat.[63]Setelah kejadian ini, Fatimah sa terbaring sakit,[64] dan tak lama setelah itu, ia mereguk cawan syahadah.[65]

Fatimah sa berwasiat kepada Imam Ali as agar para penentangnya jangan sampai hadir mendirikan salat Jenazah dan ikut serta dalam acara pemakamannya, juga meminta kepada Ali as supaya ia dikuburkan di malam hari.[66] Menurut pandapat yang masyhur, Sayidah Fatimah sa syahid pada tanggal 3 Jumadil Akhir tahun 11 H/632 di Madinah.[67]

Sikap Politik dan Sosial

Fatimah sa, sama seperti halnya seluruh wanita muslimah di awal permulaan Islam turut hadir dalam ranah-ranah sosial dan politik. Hijrah ke Madinah, mengobati Nabi saw pada perang Uhud[68], membawa makanan untuk Nabi saw pada perang Khandaq[69] dan keikutsertaannya dalam Fathu Mekah[70] termasuk di antara peran-perannya sebelum kepergian Nabi saw. Namun kebanyakan aktifitas politik Fatimah berhubungan dengan masa singkat hidupnya sepeninggal Nabi saw. Di antara sikap-sikap politik terpentingnya adalah: Protes terhadap Peristiwa Saqifah dan pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah setelah Nabi saw, beliau pergi ke rumah para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar untuk mengambil pengakuan mereka terkait kelayakan Imam Ali as sebagai khalifah, upaya mengembalikan kembali kepemilikan Fadak, pembacaan Khutbah Fadakiyah di tengah-tengah kaum Muhajirin dan Anshar dan pembelaan terhadap Ali as pada peristiwa penyerangan rumah Fatimah sa. Menurut para peneliti sejarah, banyak dari perkataan-perkataan dan perilaku-perilaku Fatimah sa sepeninggal Nabi saw adalah sebagai reaksi politis dan protes terhadap Abu Bakar dan para pendukung khalifah yang merampas kekhalifahan Ali as.[71].

Penentangan Fatimah sa dengan Keputusan Musyawarah Saqifah

Setelah pembentukan Syura Saqifah dan pembaiatan sahabat kepada Abu Bakar sebagai khalifah, Fatimah sa, Ali as dan sejumlah sahabat seperti Thalhah dan Zubair menentang tindakan para sahabat ini.[72] Sebab dalam Peristiwa Ghadir, Nabi saw sudah mendeklarasikan bahwa Imam Ali as sebagai penggantinya.[73] Berdasarkan beberapa keterangan sejarah, Fatimah sa bersama Ali as mendatangi rumah-rumah sahabat dan mencari dukungan kepada mereka. Dalam menjawab permintaan Fatimah sa, mereka menyatakan, andai kata permintaan ini terjadi sebelum mereka membaiat Abu Bakar maka mereka akan mendukung kekhalifahan Ali as.[74]

Peristiwa Fadak dan Khutbah Fadakiyah

Setelah Abu Bakar merampas dan menyita Fadak dari tangan Sayidah Fatimah sa untuk kepentingan kekhalifahannya, Sayidah Fatimah menentang tindakan tersebut.[75] Sayidah Fatimah sa berdialog dengan Abu Bakar untuk mengambil kembali tanah Fadak. Setelah Fatimah mengajukan dalil dan bukti,[76] pada akhirnya Abu Bakar dalam satu surat mengakui bahwa Fadak milik Fatimah sa. Selepas kejadian ini, Umar bin Khattab mengambil surat tersebut dan merobeknya.[77] Karena Fatimah sa tidak berhasil menarik kembali tanah Fadak miliknya, ia pergi ke masjid Nabi saw dan menyampaikan khutbah diantara para sahabat dan dalam khutbahnya itu ia menyalahkan tindakan Abu Bakar dalam menyita Fadak dan merampas kekhalifahan. Dalam khutbah ini, Fatimah sa meyakini bahwa hasil tindakan-tindakan Abu Bakar dan para pendukungnya adalah api neraka.[78]

Bekerjasama dengan Para Pembela Yang Menentang Abu Bakar

Karena sahabat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah dan menyampingkan sabda Nabi saw tentang penggantian Imam Ali as, maka Ali as, Fatimah sa, bani Hasyim dan sebagian sahabat menentang pembaiatan ini. Para penentang kekhalifahan Abu Bakar berkumpul di rumah Fatimah sa dan membela kebenaran akan penggantian Imam Ali as.[79][80] Abbas bin Abdul Muththalib, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad Aswad, Ubai bin Ka’ab dan sekelompok bani Hasyim lainnya adalah termasuk orang-orang yang berkumpul melakukan pembelaan terhadap kebenaran. [81]

Membela Ali as dan Peristiwa Penyerangan Rumah

Ibnu Abdirabbah dari ulama Ahlusunah menulis, setelah Abu Bakar mengetahui kabar berkumpulnya orang-orang yang menentangnya di rumah Fatimah sa, ia mengeluarkan perintah untuk menyerang ke sana dan membubarkan barisan para penentangnya, kalau mereka bertahan, maka harus berperang dengan mereka. Umar disertai beberapa orang pergi ke rumah Fatimah sa dan meminta mereka untuk keluar rumah, lalu ia mengancam untuk membakar rumah itu bila mereka tidak patuh pada perintahnya.[82] Umar disertai kelompok lain dari para penyerang, memasuki rumah Fatimah sa dengan kasar. Saat itu Fatimah sa mengancam para penyerang itu bahwa jika mereka tidak mau keluar dari rumah tersebut maka akan diadukan kepada Allah swt.[83] Oleh sebab itu, para penyerang meninggalkan rumah itu dan membawa semua orang yang berkumpul kecuali Ali as dan bani Hasyim ke masjid supaya berbaiat pada Abu Bakar.[84]

Setelah para penyerang mengambil baiat secara paksa dari orang-orang yang membentengi rumah Fatimah sa, mereka sekali lagi menyerbu rumah Fatimah sa dan membakar pintu rumahnya untuk mengambil baiat juga dari Imam Ali as dan bani Hasyim. Fatimah sa yang berada dibalik pintu, terluka akibat kobaran api dan dorongan serta pendobrakan atas pintu rumahnya yang dilakukan oleh Umar dan pengikutnya atau Qunfudz dan peristiwa inilah yang menggugurkan bayi (Muhsin) yang dikandung dalam perutnya.[85] Dalam sebagian keterangan disebutkan bahwa Qunfudzlah yang menjepit Fatimah sa di antara pintu dan dinding[86] dan menimpakan pintu ke Fatimah sa hingga tulang rusuknya patah[87] serta menendang perutnya.[88] Setelah kejadian ini, Fatimah sa jatuh sakit.[89]

Kemarahan Fatimah sa kepada Abu Bakar dan Umar

Tindakan dan prilaku kasar Abu Bakar dan Umar terhadap Fatimah sa dan Ali as terkait Fadak dan kejadian pembaiatan secara paksa khalifah menuai kemarahan Fatimah sa kepada Abu Bakar dan Umar.[90]. Berdasarkan berbagai riwayat yang ada, setelah penyerangan Umar dan antek-anteknya ke rumah Fatimah sa, Abu Bakar dan Umar memutuskan untuk mendatangi rumah Fatimah guna meminta maaf. Tetapi Fatimah sa tidak mengizinkan mereka masuk. Akhirnya atas perantara Ali as, mereka bisa masuk ke rumah Fatimah sa. Fatimah dalam pertemuannya dengan mereka itu, menghadapkan wajahnya ke dinding dan tidak menjawab salam mereka.

Setelah Fatimah sa mengingatkan hadis Nabi saw bahwa kesenangan dan kemarahan Nabi bergantung pada kesenangan dan kemarahan Fatimah, Fatimah sa berkata kepada Abu Bakar dan Umar bahwa merekalah penyebab kemarahan Fatimah.[91] Di sebagian riwayat disebutkan bahwa Fatimah sa bersumpah untuk melaknat mereka seusai setiap salat.[92]

Kesyahidan, Tasyyi’ (mengantar jenazah) dan Pemakaman

Pada tahun 11 H/632, Fatimah sa meninggal dunia; setelah beberapa waktu menahan sakit akibat derita jiwa dan raga yang ditimpanya dalam suatu peristiwa pasca Nabi saw wafat.

Mengenai tanggal kesyahidan Fatimah sa ada beberapa pandangan. Pendapat termasyhur di kalangan Syiah adalah 3 Jumadil Akhir.[93] Sandaran pendapat ini adalah sebuah riwayat dari Imam Shadiq as.[94] Menurut pendapat lain, 13 Rabiul Tsani, [95] 20 Jumadil Akhir [96] dan 3 Ramadhan [97] disebut sebagai hari kesyahidan Fatimah sa.

Sebelum kesyahidannya, Fatimah sa berwasiat supaya orang-orang yang pernah menzaliminya dan membuatnya marah dan murka tidak datang menyalati dan hadir dalam acara pemakamannya. Oleh karenanya, ia berwasiat supaya acara pemakaman dan penguburannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan merahasiakan penguburannya.[98] Menurut ahli sejarah, Ali as dibantu oleh Asma binti Umais memandikan istrinya. [99] dan Imam Ali as yang menyalati jenazah istrinya.[100] Selain Imam Ali as, ada beberapa orang lagi yang ikut serta dalam menyalati Fatimah sa. Terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah dan nama-nama mereka. Sumber-sumber sejarah menyebutkan Imam Hasan as, Imam Husain as, Miqdad, Salman, Abu Dzar, Ammar, Aqil, Zubair, Abdullah bin Mas’ud dan Fadhl bin Abbas yang ikut serta dalam salat itu. [101] Di saat yang sama, para sejarawan dan penulis buku sejarah Syiah sepakat bahwa Salman, Miqdad, Abu Dzar dan Ammar termasuk dari mereka yang hadir pada acara tersebut.

Menurut sebagian peneliti, wasiat Fatimah sa supaya dimakamkan secara sembunyi-sembunyi adalah sikap politiknya yang terakhir dalam menentang sistem kekhalifahan.[102]

Tempat Dimakamkan

Jasad suci Sayidah Fatimah sa diusung dengan keranda yang dibuat atas permohonannya dan dikuburkan secara sembunyi-sembunyi.[103] Pemakaman secara sembunyi-sembunyi menyebabkan tempat pemakaman Sayidah Fatimah sa terahasiakan dari khalayak dan kuburannya tidak pernah terungkap. Pada saat yang sama sumber-sumber sejarah dan riwayat menyebutkan beberapa titik sebagai tempat pemakaman Sayidah Fatimah sa:

  • Di Rumah Fatimah sa, [104]
  • Di antara pusara dan mimbar Nabi saw di Masjid Nabawi,[105]
  • Di Pemakaman Baqi di salah satu sudut rumah Aqil yang di kemudian hari setelah penguburan Abbas bin Abdul Muththalib rumah itu menjadi tempat pemakaman para Imam Baqi dan Bani Hasyim yang lain.[106]

Keutamaan-Keutamaan

Banyak keutamaan Sayidah Zahra sa yang disebutkan dalam sumber-sumber riwayat, tafsir dan sejarah Syiah dan Ahlusunah. Sebagian keutamaan-keutamaan itu didasarkan pada Alquran seperti ayat Tathir dan ayat Mubahalah. Dalam keutamaan-keutamaan seperti ini, asbab nuzulnya ayat-ayat tersebut berkenaan dengan Ahlulbait Nabi saw, dimana Fatimah sa adalah salah seorang diantara mereka. Serentetan keutamaan-keutamaan lain juga disebutkan dalam beberapa riwayat.

Kemaksuman

Menurut Syiah, Sayidah Fatimah sa adalah suci dari noda dan dosa (maksum)[107] Menurut ulama Syiah, Fatimah Zahra sa adalah salah satu manifestasi dari ayat Tathir; yaitu ayat yang menetapkan kesucian (ishmah) lima manusia suci dan Imam-imam Syiah.[108] Keterangan pertama dari sejarah yang mengetengahkan kesucian Sayidah Fatimah pasca wafatnya Nabi saw adalah berujung pada peristiwa perampasan Fadak yang mana Imam Ali as menegaskan kesucian Sayidah Fatimah sa dengan bersandar pada ayat Tathir dan memandang tindakan Abu Bakar dalam merampas Fadak dari Fatimah merupakan tindakan yang salah dan meyakini kebenaran atas tuntutan Fatimah sa akan Fadak.[109]

Selain Syiah, dalam sumber-sumber riwayat Ahlusunah juga terdapat riwayat-riwayat Nabi saw yang menegaskan bahwa Nabi saw berdasarkan ayat Tathir meyakini Ahlulbaitnya, yakni Fatimah sa, Ali as, Hasan as, dan Husain as suci dari segala bentuk dosa.[110]

Ibadah Fatimah sa

Sayidah Fatimah sa sebagaimana halnya Nabi saw sangat gemar beribadah. Waktu-waktu utamanya digunakan untuk salat dan munajat.[111] Sekian banyak dari para pengunjung dan kerabat-kerabatnya sering kali melihat beliau dalam keadaan membaca Alquran.[112] Dalam sebagian sumber disebutkan bahwa ketika Sayidah Fatimah sa sedang sibuk membaca Alquran, banyak anugerah-anugerah gaib yang turun. Sebagai contoh, ketika Salman menyaksikan batu penggilingan Sayidah Fatimah sa berputar sendiri saat beliau berada di sampingnya sambil membaca Alquran ia terheran-heran dan akhirnya menyampaikan kejadian itu pada Nabi saw. Beliau menjawab:”Allah swt mengirim Jibril untuk memutarkan batu penggilingannya”. [113] Lamanya salat, bangun malam untuk ibadah [114] puasa dan ziarah ke makam para syuhada adalah sejumlah karakteristik perilaku Sayidah Fatimah sa yang sangat diakui oleh penuturan-penuturan Ahlulbait as, sebagian sahabat dan para tabi’in.[115] Kriteria ini menjadi sebab penisbatan beberapa salat, doa-doa dan tasbih-tasbih kepada Sayidah Fatimah sa yang terdapat dalam kitab-kitab doa dan munajat.[116]

Kedudukan Fatimah di Sisi Allah swt dan Nabi saw

Ulama Syiah dan Ahlusunah meyakini bahwa kecintaan kepada Fatimah sa adalah sebagai pesan Allah swt kepada kaum muslimin. Berdasarkan ayat 23 Surah Al-Syura yang masyhur dengan ayat Mawaddah, mereka memandang kecintaan kepada Fatimah adalah suatu keharusan. Dalam ayat Mawaddah dijelaskan bahwa kecintaan pada Ahlulbait as sebagai upah penyampaian risalah. Berdasarkan sebagian riwayat, manifestasi Ahlullbait dalam ayat ini adalah Fatimah sa, Ali as, dan Hasanain as (Hasan as dan Husain as).[117]

Selain ayat Mawaddah, dinukil pula riwayat-riwayat dari Rasulullah saw yang menerangkan bahwa Allah murka di saat Fatimah Murka dan Allah rela di saat Fatimah rela.[118] Dalam sebagian literatur disinggung hadis Qudsi Nabi saw yang menerangkan kebergantungan penciptaan alam semesta pada penciptaan Nabi saw, kebergantungan penciptaan beliau pada penciptaan Ali as, kebergantungan penciptaan Nabi saw dan Ali as pada penciptaan Fatimah sa.[119] Sebagian ahli hadis yang mempermasalahkan sanad hadis ini meyakini bahwa kandungan isinya dapat dipertanggungjawabkan.[120]

Nabi saw sangat mencintai Fatimah sa dan beliau lebih mecintai dan menghormatinya dibanding orang lain. Dalam sebuah hadis yang terkenal dengan hadis Bidh’ah Nabi saw menegaskan bahwa Fatimah sa adalah penggalan darah daging beliau sambil bersabda: “Barang siapa yang menyakiti Fatimah berarti ia menyakiti aku”. Riwayat ini dengan beragam redaksi telah dinukil oleh ahli hadis periode pertama seperti Syekh Mufid dari ulama Syiah dan Ahmad bin Hanbal dari ulama Ahlusunah. [121]

Penghulu Kaum Wanita

Dalam banyak riwayat Syiah dan Ahlusunah, Fatimah sa disebut sebagai sebaik-baik wanita surga, sebaik-baik wanita di dua alam dan sebaik-baik wanita umat ini.[122]

Satu-satunya Wanita Pilihan dalam Peristiwa Mubahalah

Di antara para wanita muslim, hanya Fatimah sa yang dipilih untuk hadir dalam Mubahalah Nabi saw dengan kaum Kristen Najran. Peristiwa ini disinggung dalam ayat Mubahalah. Ayat ini menetapkan kebenaran diri Nabi saw dimana Fatimah sa, Ali as dan Hasanain as turut hadir di dalamnya. Dalam buku-buku tafsir, riwayat dan sejarah disebutkan bahwa ayat Mubahalah adalah salah satu ayat yang turun berkenaan dengan keunggulan dan kemuliaan Ahlulbait Nabi saw.[123]

Keberlangsungan Keturunan Nabi saw Melalui Fatimah

Keberlangsungan keturunan Nabi saw melalui Fatimah dan penentuan Imam-imam Syiah dari anak keturunan Fatimah disebutkan sebagai salah satu keutamaannya.[124] Sebagian mufasir berkeyakinan bahwa Fatimah sa dan keturunannya menjadi manifestasi “Kautsar” (kebaikan yang melimpah) dalam Surah Al-Kautsar. Atas dasar ini, kebaikan yang banyak adalah keberlangsungan keturunan Nabi saw melalui Fatimah sa [125] yang mana kedudukan Imamah dipercayakan pada keturunan ini.

Dermawan

Kedermawanan Fatimah saw disebutkan sebagai salah satu dari tindakan-tindakan agungnya. Dalam kehidupannya bersama Ali as, ketika kondisi ekonomi Fatimah bagus ia tetap hidup dengan sederhana dan senantiasa menginfakkan hartanya.[126]. Menghadiahkan baju baru pada malam pernikahannya kepada orang yang membutuhkan,[127] memberikan kalungnya kepada orang fakir [128] dan memberikan semua makanannya kepada orang miskin, yatim dan tawanan termasuk di antara tindakan-tindakan mulianya.[129] Berdasarkan catatan-catatan riwayat dan tafsir, setelah Imam Ali as, Fatimah sa dan Hasanain berpuasa tiga hari secara berturut-turut, setiap kali mereka hendak berbuka puasa, mereka memberikan semua hidangan mereka kepada orang-orang yang membutuhkan. Ayat 5-9 Surah Al-Insan yang dikenal dengan ayat Ith’am (memberi makan) turun berkenaan dengan mereka.[130]

Muhaddatsah

Percakapan para Malaikat dengan Fatimah sa adalah diyakini sebagai salah satu karakteristiknya. Ciri khusus ini membuat Fatimah disebut Muhaddatsah. Dialog Fatimah sa dengan para Malaikat pada zaman Nabi saw dan sepeninggalnya adalah untuk menghiburnya dan mengabarkan keadaan masa depan keturunan Nabi saw. Kejadian-kejadian yang akan datang, yang diberitahukan oleh Malaikat Ilahi kepada Fatimah sa, dicatat oleh Imam Ali as dan dikenal dengan nama “Mushaf Fatimah”.[131]

Warisan Spiritual

Perkataan-perkataan (riwayat) dan kehidupan religius, politik dan sosial Sayidah Fatimah sa ibarat harta warisan yang ditinggalkanya dan menjadi perhatian kaum muslimin serta dikenang dalam karya-karya mereka. Mushaf Fatimah, Khutbah Fadakiyah, tasbih-tasbih dan salat Sayidah Fatimah termasuk di antara warisan spiritualnya.

  • Riwayat-riwayat: Bagian penting dari peninggalan Sayidah Fatimah sa adalah riwayat-riwayat yang dinukil darinya. Dari sisi kandungan, riwayat-riwayat ini beragam dan meliputi persoalan-persoalan akidah, fikih, akhlak dan sosial. Sebagian riwayat-riwayatnya dinukil dalam kitab hadis Syiah dan Ahlusunah dan banyak dari riwayat-riwayat tersebut dikoleksi secara independen serta dibukukan dengan judul-judul seperti “Musnad Fatimah” dan “Akhbar Fatimah”. Sebagian musnad-musnad ini hilang ditelan zaman dan hanya dalam kitab-kitan Rijal, biografi dan bibliografi disinggung oleh para perawi dan penulis musnad-musnad tersebut.[132]
  • Mushaf Fatimah sa: Salah satu peninggalan yang tersisa dari Fatimah adalah sebuah kitab dengan nama Mushaf Fatimah. Kitab ini meliputi persoalan-persoalan yang diterangkan Malaikat Ilahi pada Fatimah sa dan Imam Ali as yang menulisnya.[133] Menurut keyakinan orang-orang Syiah, Mushaf Fatimah menjadi warisan di sisi Imam-imam Syiah dan setiap imam pada akhir hayatnya menyerahkan Mushaf itu kepada imam berikutnya.[134] selain para imam, tak seorang pun dapat menjangkau kitab tersebut. Kini, kitab itu berada di tangan Imam Zaman as.[135]
  • Khutbah Fatimah sa: Diantara riwayat-riwayat dan perkataan-perkataan Fatimah sa, ada sebuah khutbah terkenal yang tersisa dari beliau yang menarik perhatian kaum muslimin. Khotbah ini terkenal dengan “Khutbah Fadakiyah” yang disampaikan oleh Sayidah Fatimah sa terkait peristiwa perampasan khalifah dan Fadak. Banyak syarah Khotbah Fadakiyah yang ditulis yang kebanyakan diberi nama “Syarah Khotbah Zahra sa” atau “Syarah Khutbah Lummah” (nama lain dari khutbah Fadakiyah).[136]
  • Tasbih Fatimah Zahra sa: Tasbih-tasbih ini adalah zikir yang diajarkan oleh Nabi saw kepada Sayidah Fatimah sa [137] dan dia sangat senang mempelajari zikir ini.[138] Terkait pengajaran tasbih-tasbih ini oleh Nabi saw kapada Sayidah Fatimah sa beragam laporan yang disebutkan dalam literatur Syiah dan Ahlusunah. Dalam literatur-literatur ini ditulis bahwa Imam Ali as dalam kondisi apapun tidak pernah meninggalkan zikir ini setelah mendengarnya dari Nabi saw.[139]
  • Salat Sayidah Zahra sa: Dalam sebagian teks-teks riwayat dan kitab-kitab doa disebutkan bahwa Fatimah sa menunaikan salat-salat khusus yang dipelajarinya dari Nabi saw atau Malaikat Jibril. Sebagian salat-salat itu dikenal dengan nama “Salat Sayidah Fatimah”.[140]
  • Syair-syair yang dinisbatkan kepada Sayidah Fatimah sa: Dalam sumber-sumber sejarah dan riwayat, ada syair-syair yang dinisbatkan pada Sayidah Fatimah sa. Ditinjau dari sisi historis, syair-syair ini berkenaan dengan dua periode: periode sebelum Nabi saw wafat dan periode pasca beliau wafat. Terkait syair-syair Sayidah Fatimah sa juga ditulis beberapa monografi.[141]

Fatimah sa dalam Budaya dan Sastra Syiah

Orang-orang Syiah meyakini Fatimah sa sebagai tauladan bagi mereka dan sirahnya berlaku dalam kebudayaan dan kehidupan mereka. Sebagai contoh adalah:

  • Mahar (maskawin) sunah: Dalam riwayat-riwayat dan matan-matan fikih Syiah, mahar Sayidah Fatimah sa dijadikan contoh maskawin yang dalam istilah disebut Mahrussunah (maskawin yang disunahkan)[142]
  • Hari-hari Fatimiyah: kaum Syiah pada hari-hari Fatimiyah mengadakan acara duka. Di Iran, hari kesyahidan Sayidah Zahra sa yang bertepatan dengan tanggal 3 Jumadil Akhir adalah hari libur resmi.[143]
  • Pembuatan kembali tempat Bani Hasyim secara simbolik: Bertepatan dengan hari-hari Fatimiyah maka dibuat secara simbolik tempat Bani Hasyim, Pemakaman Baqi dan rumah Sayidah Fatimah sa dengan gaya kuno dan banyak dari masyarakat melihat tempat-tempat ini.[144]
  • Pementasan Teater dan takziyah: Pada tahun-tahun terakhir, pementasan teater, pernyataan duka cita (takziyah) dan pertunjukan-pertunjukan di jalanan dengan tema-tema seperti “wanita air dan cermin”[145] “wanita terasingkan”[146] adalah termasuk agenda-agenda khusus hari-hari berkabung atas kesyahidan Sayidah Fatimah sa.
  • Penyelenggaraan acara resepsi pernikahan: Salah satu sunah yang menyebar luas di kalangan Syiah adalah pelaksanaan acara resepsi pernikahan di hari ulang tahun pernikahan Fatimah sa dan Ali as.
  • Hari wanita: Di Iran, hari kelahiran Sayidah Fatimah sa dinamakan sebagai hari wanita dan ibu[147]. pada hari ini, Warga Iran mengadakan pesta dengan memberikan hadiah kepada ibu-ibu mereka.[148]
  • Penamaan putri-putri: Di Iran, nama Fatimah dan Zahra termasuk dari 10 nama besar pertama untuk para putri.[149]

Sastra dan Syair Fatimi

Sebagain para penyair dan sastrawan Persia mengarang sastra-sastra mengenai Fatimah dan melantunkan syair-syair mengenai dia. Sebagian ahli sastra meyakini bahwa paling kunonya syair Fatimi kembali pada abad 4 H. Pada masa moderen, syair Fatimi lebih banyak beredar di kalangan para penyair hingga diselenggarakan konferensi dengan tema “Syair Fatimi” yang dihadiri oleh para penyair yang membacakan syair-syair terkait tema ini.[150] Banyaknya syair-syair Fatimi yang dibacakan membuat para peneliti di bidang sastra memandang bahwa syair Fatimi sebagai salah satu gaya syair agamis yang meninjau kedudukan dan sirah Fatimah sa.[151] Kitab Kisyti-e Pahlu Gerefteh (Bahtera berlabuh) dan Fatimah Fatimah ( Fatimah adalah Fatimah) adalah diantara karya-karya sastra kontemporer yang dapat dijadikan misal.

Bibliografi Fatimi

Penulisan tentang Sayidah Fatimah sa menarik perhatian kaum muslimin khususnya orang-orang Syiah sejak abad pertama Hijriyah. Dalam satu pengklasifikasian karya-karya yang ditulis atau dikoleksi seputar Sayidah Fatimah sa dapat dibagi pada tiga kategori: penulisan musnad, penulisan manaqib dan penulisan biografi.[152]

Di antara musnad-musnad yang disusun oleh orang-orang Syiah yang dapat disebut adalah:

  • Musnad Fatimah al-Zahra, karya Azizullah Daiquchani,
  • Musnad Fatimah Zahra, karya Sayid Husain Syekh al-Islami,
  • Nahjul Hayāh (kamus kata-kata mutiara Fatimah), karya Muhammad Dasyti,
  • Musnad Fatimah, karya Mahdi Ja’fari [153],
  • Dalāil al-Imāmah (dalil-dalil kepemimpinan), karya Thabari Imami (paling kunonya sumber penulisan-penulisan musnad Syiah mengenai Fatimah sa). [154]

Adapun manaqib-manaqib yang dapat disebutkan antara lain adalah:

  • Manāqib Fatimah al-Zahra wa Wuldiha (Keutamaan-keutamaan Fatimah dan anak-anaknya),karya Thabari Imami[155],
  • Syarh Ihqqāul Haq wa Izhaqul bathil (Penjelasan buku Penetapan Kebenaran dan Pemusnahan Kebatilan), karya Sayid Syihabuddin Mar’asyi Najafi,
  • Fadhāil Fatimah al-Zahra az Negahe Digaran (Keutamaan-keutamaan Fatimah Zahra menurut orang lain), Nasir Makarim Syirazi,
  • Fatimah Zahra az Nazhar-e Riwayat-e Ahlisunnat (Fatimah Zahra Menurut Riwayat Ahlusunah), karya Muhammad Washif.[156]

Di antara musnad-musnad Ahlusunah mengenai Fatimah sa yang dapat disebutkan adalah: Al-Saqifah wa Fadak (Saqifah dan Fadak), karya Jauhari Basri , Man Rawa an Fatimah min Auladiha (anak-anak Fatimah yang meriwayatkan darinya), karya Ibnu Uqdah Jarudi, dan Musnad Fatimah, karya Darquthni Syafii. Adapun manaqib-manaqib yang dapat disebutkan antara lain adalah: Al-Tsughur al-Bāsimah fi Fadhail al-Sayyidah al-Fatimah (Wajah yang Tersenyum Melihat Keutamaan-keutamaan Sayidah Fatimah), karya Jalaluddin Suyuthi, dan Ithāf al-Sāil bima li Fatimah min al-Manaqib wa al-fadhāil (Persembahan Seorang Penanya Tentang Keutamaan dan Keistimewaan Fatimah sa), karya Muhammad Ali Manawi.[157]

Catatan kaki

  1. Syahidi, Zendegi Fatimah Zahra, hlm. 21.
  2. Shaduq, al-Amāli, hlm. 74, 187, 688, 691, 692; Kulaini, al-Kāfi,jld. 1, hlm.240; Masudi, Asrār al-Fāthimiyyah, hlm.409.
  3. Majlisi, Bihāru al-Anwār, jld.43, hlm.16; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib
  4. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, tahkik Muhammad ‘Abdul Qadir ‘Atha, Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1990.
  5. Tarikh Thabari, jld.2, hlm.410.
  6. ‘Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.43, hlm.92.
  7. Kilaini, al-Kafi, jld.1, hlm.461.
  8. Syahidi, Zendegani Fatimah Zahra sa, hlm.78.
  9. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.44, hlm.201.
  10. Mahallati, Dzabihullah, Rayahin al-Syari’ah, Darul Kutub al-Islamiyyah, jld.3, hlm.33.
  11. Dzahabi, Siyaru A’lam al-Nubala’ , jld.3, hlm.500.
  12. Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummal, jld.2, hlm.158, jld.3,767.
  13. Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jld.2, hlm.293.
  14. Mufid, al-Irsyad, jld.1, hlm.189.
  15. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.241, hadis:5.
  16. Batnuni, al-Rihlah al-Hijaziyyah, hlm.128.
  17. Tim peneliti, Farhangg Nameh-e Ulume Quran, jld.1, hlm.2443
  18. Kulaini, al-Kāfi, jld.1, hlm.458; Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, hlm.793; Thabari, Muhammad bin Jarir, Dala’il al-Imamat, jld.79,hlm.134; Fattal Naisyaburi, Rawdhah al-Wa’izhin, hlm.143; Thabrasi, I’lam al-Wara, jld.1, hlm.290; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.132.
  19. Mufid, Masār al-Syari’ah fi Mukhtashar Tawārikh al-Syari’ah, hlm.54; Kaf’ami, al-Mishbāh, hlm.512.
  20. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld.1, hlm.133, jld.8, hlm.19; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.403; Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Isti’āb fi Ma’rifah al-Ashāb, jld.4, hlm.1899.
  21. Mufid, Masār al-Syariah, hlm.54; Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, hlm.793.
  22. Aya Zan Musalman Emruzi Mitavanad az Hazarat-e Zahra sa Ulgu Begirad? Paigah-e Khabari Tahlili Muhrkhane, Tanggal Penerbitan : 11-2-1392 HS, Tanggal kunjungan : 17-12-1395 HS
  23. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, riset: Muhammad ‘Abdul Qadir, jld.1, hlm.163.
  24. Ya’kubi, Tarikh ya’qubi, jld.2, hlm.35.
  25. Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 1, hlm. 268; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ala al-Shahihain, jld. 1, hlm. 163
  26. Muhaqqiq Sabziwari, Nemuneh Bayyināt dar Sya’n-e Nuzul-e Ayat az Nazar Syekh Thusi wa Sair-e Mufassirin Khāssah wa ‘Ammah, hlm.173-174.
  27. Thabathabai, Sayid Muhammad Kazhim, Izdiwaj-e Fatimah, 1393 HS, jld.1, hlm.128
  28. Thabari, Dzakhair al-‘uqba fi Manaqib al-Dzawi al-Qurba,1428 H, jld.1, hlm.167; Muttaqi Hindi, Kanz al-Amal, 1401 H, jld.7, hlm.129
  29. Kulaini, al-Kāfi, jld.8, hlm.165; Maghribi, Syarh al-Akhbar fi Fadha’il al-A’immah al-Athar, jld.3, hlm.29; Sahmi, Tarikh Jurjan, hlm.171.
  30. Thabathaba’i, Izdiwaj-e Fathimah, jld.1, hlm.128.
  31. Irbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, jld.1, hlm.363; Kharazmi, al-Manaqib, hlm.343.
  32. Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, jld.5, hlm.143; Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld.2, hlm.16-168.
  33. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah, hlm.82.
  34. Kharazmi, al-Manaqib, hlm.343.
  35. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra jld.8, hlm.19.
  36. Thusi, Muhammad Hasan, al-Amāli, hlm.39.
  37. Shaduq, al-Amāli, hlm.653; Irbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-aimmah, jld.1, hlm.364.
  38. Mufid, al-Ikhtishash, hlm.148.
  39. Mufid, al-Ikhtishash, hlm.148.
  40. Thusi, Muhammad bin Hasan, al-Amāli, hlm.40.
  41. Ibnu Atsir Jazari, Usd al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, jld.5, hlm.517.
  42. Irbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-aimmah, jld.1, hlm.358
  43. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah hlm. 88-90; Kharazmi, al-Manaqib, hlm.335-338.
  44. Ibnu Hajar ‘Atsqalani, Tahdzib al-Tahdzib jld.12, hlm.391; Maqrizi, Imta’ al-asma’, jld.1, hlm.73;Kulaini, al-Kāfi, jld.8, hlm.340.
  45. Thusi, al-Amāli, hlm.43; Thabari, Muhammad bin Abu al-Qasim, Bisyārat al-Mushthafa li Syi’ah al-Murtadha, hlm.410.
  46. Ibnu Syahr asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.131.
  47. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld.43, hlm.192-199; Jawhari Bashri, al-ٍٍٍSaqifah wa Fadak, hlm.64.
  48. Shaduq, al-Amāli, hlm.552.
  49. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 8, hlm.25.
  50. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld.43, hlm. 72.
  51. Kharazmi, al-Manaqib, hlm.268.
  52. Himyari Qummi, Qurb al-Isnād, hlm.52.
  53. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah, h. 140-142.
  54. Al-Anshari az-Zanjani, al-Mausu’ah al-Kubra ‘an Fatimah az-Zahra sa, jld.17, hlm.429
  55. Mufid, al-Irsyad, jld.1, hlm.355.
  56. Syahristani, al-Milal wa al-Nihal, jld.1, hlm.57; Dzahabi, Siyar A’lām al-Nubala, jld.15, hlm.578; Masudi, Itsbāt al-Washiyyah li Imām Ali bin Abi Thālib, hlm.154 dan 155; Hilali ‘Amiri, Kitab Sulaim bin Qais, hlm.153.
  57. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 2, hlm.238; Kulaini, al-Kāfi, 1985, jld.3, hlm.228.
  58. Kulaini, al-Kāfi, 1985, jld.1, hlm.241.
  59. Mufid, al-Muqni’ah, hlm.289-290; Sayid Murtadha, al-Syafi fi al-Imamah, jld.4, hlm.101; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld.29, hlm. 124; Irbili, Kasyf al-Ghummah, jld.1, hlm.353-364.
  60. Jawhari Bashri, al-Saqifah wa al-Fadak, hlm.63; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld.2, hlm.47.
  61. Ibnu Abi Syaibah al-Kufi, al-Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar, jld.8, hlm.572.
  62. Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.109.
  63. Jawhari Bashri, al-Saqifah wa al-Fadak, hlm.72-73
  64. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah, hlm.143.
  65. Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, hlm.793.
  66. Ibnu Syahr asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.137.
  67. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah, hlm.139.
  68. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 20, hlm. 96, Ibnu Katsir, al-Siroh al-Nabawiyah, jld.3, hlm. 58
  69. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 3, hlm. 245
  70. Waqidi, al-Maghazi, jld.2, hlm 635
  71. Farahmand Pur, Sireh-ye Siyasi Fatimah, hlm. 309-316
  72. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld.1, hlm.123.
  73. Amini, al-Ghadir, jld.1, hlm.33.
  74. Ibnu Qutaibah, Dinawari, al-Imamah wa al-siyasah, hlm.28.
  75. Jawhari Bashri, al-Saqifah wa Fadak, hlm.119.
  76. Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jld.3, hlm.290.
  77. Mufid, al-Ikhtishash, hlm.184-185;Halabi, al-Sirah al-Halabiyah, jld.3, hlm.488.
  78. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah, hlm.111-131.
  79. Ibnu Katsir, Tarikh Ibnu Katsir, jld.5, hlm.246.
  80. Ibnu Hisyam, Sirah al-Nabawiyyah li Ibnu hisyam, jld.4, hlm.328.
  81. Askari, Saqifah, Barrasi Nahwe Syikl Giri Hukumat pas az Payambar, hlm.99.
  82. Ibnu ‘Abdurabbah Andalusi, al-‘And al-Farid, jld.3,hlm.64.
  83. Ya’kubi, Tarikh Ya’qubi, jld.2, hlm.105.
  84. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld.2, hlm.21.
  85. Thabari, Muhammad bin Jarir, Dalā’il al-Imāmah, hlm.134.
  86. Shaduq, Ma’ani al-Akhbar, hlm.206.
  87. ‘Amili, Ranjhaye Hadhrat Zahra sa, jld.2, hlm.350-351.
  88. Mufid, al-Ikhtishash, hlm.185.
  89. Thabari, Muhammad bin Jarir, Dalā’il al-Imāmah, hlm.134.
  90. Ibnu Qutaibah Dinawari, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 31
  91. Ibnu Qutaibah Dinawari, al-Imamah wa al-Siyasah, jld.1, hlm.31.
  92. Kahalah, A’lam al-Nisa’ fi ‘Alam al-‘Arab wa al-Islam, jld.4, hlm.123-124.
  93. Thusi, Mishbāh al-Mutahajjid, hlm.793.
  94. Thabari Imami, Dalāil al-Imāmah, hlm.134
  95. Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.132.
  96. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah, hlm.136.
  97. Irbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Imamah, jld.2, hl,125.
  98. Shaduq, ‘Ilal al-Syarayi’ , jld.5, hlm.185; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.135.
  99. Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.2, hlm.134;Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm.473-474.
  100. Irbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Imamah, jld.2, hl,125.
  101. Hilali ‘Amiri, Kitab Sulaim bin Qais, hlm.393; Thabrasi, ‘I’lam al-Wara, jld.1, hlm.300; Shaduq, al-Khishal, hlm.361; Thusi, Ikhtiyar Ma’rifah al-Rijal’, jld.1, hlm.33-34.
  102. Farahmandpur, Fahimeh, Sireh Siyasi-e Fathimah, jld.2, hlm.315.
  103. Maghribi, Da’ail al-Islam, jld.1, hlm.232-233;Ibnu Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld.8, hlm.29.
  104. Mufid, al-Ikhtishash, hlm.185;Shaduq, Man la Yahdhuruh al-Faqih, jld.2, hlm.572.
  105. Thabari, Imami, Dalā’il al-Imāmah, hlm.136;Ibnu Syahr asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.139.
  106. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld.8, hlm.30.
  107. Sayid Murtadha, al-Syāfi fi al-Imāmah, jld.4, hlm.95; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.112.
  108. Sayid Murtadha, al-Syafi, jld.3, hlm.134-136; Bahrani, Ghayat al-Maram, jld.3, hlm.176; Thabrasi, Majma’ al-Bayan, jld.8, hlm.559.
  109. Thabrasi, al-Ihtijāj, jld.1, hlm.122-123; Shaduq, ‘Ilalal-Syarayi’ , jld.1, hlm.190-192.
  110. Ibnu Mardawaih Ishfahani, Manāqib Ali bin Abi Thālib, hlm.305; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jld.5, hlm.199; Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld.2, hlm.316.
  111. Thusi, Muhammad bin Hasan, al-Amāli, hlm.528.
  112. Thabari Imami, Dalā’il al-Imāmah, hlm.139.
  113. Ibnu Syahr asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.116-117.
  114. Shaduq, ‘Ilal al-Syarāyi’ , jld.1, hlm.182.
  115. Ibnu Syahr asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.2, hlm.119.
  116. Ibnu Thawus, Jamal al-Usbu’, hlm.93; Kulaini, al-Kāfi, jld.3, hlm.343.
  117. Abul Futuh Razi, Raudhah al-Jinan wa Rauh al-Jinan fi tafsir al-Qur’an, jld.17,hlm.122; Bahrani, al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an, jld.4, hlm.815; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, jld.6, hlm.7;Abu al-Su’ud, Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Qur’an al-Karim, jld.8, hlm.30.
  118. Hakim Naisyaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jld.3, hlm.154.
  119. Mirjahani, Sayid Muhammad Hasan, Jannat al-‘Ashimah, hlm.148.
  120. Syubairi Zanjani-Mengingkari kezaliman-yang terjadi atas Sayidah Fatimah Zahra sa adalah suatu hal yang tidak dibenarkan- Situs Jamaran: Wawancara dengan Ayatullah Syubairi Zanjani
  121. Mufid, al-Amāli, hlm.260; Thusi, al-Amāli, hlm.24; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jld.4, hlm.5
  122. Shaduq, ‘Ilal al-Syarayi’ , jld.2, hlm.182; Thabari Imami, hlm.81; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jld.3, hlm.80; Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, jld.4, hlm.183; Muslim Naisyaburi, Shahih Muslim, jld.7, hlm.143,144.
  123. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, jld.1, hlm.379; Balaghi, Hujjah al-Tafasir wa Balagh al-Iksir, jld.1, hlm.268; Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jld.4, hlm.293.
  124. Thabathaba’i, al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jld.20, hlm.370-371
  125. Thabathaba’i, al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jld.20, hlm.370-371; Makarim Syirazi, Tafsir Nemunah, jld.27, hlm.371; Fakhrurrazi, al-Tafsir al-Kabir, jld,32, hlm.313; Baidhawi, Anwār al-Tanzil wa Asrār al-Ta’wil, jld.5, hlm.342; Naisyaburi, Tafsir Gharā’ib al-Qur’ān, jld.6, hlm.576.
  126. Thabrasi, Makarim al-Akhlaq, hlm.94 dan 95
  127. Mar’asyi Najafi, Syarh Ihqaq al-Haq, jld. 19, hlm.114
  128. Thabari, Bisyārah al-Musthafa li Syiah al-Murtadha, hlm.218-219
  129. Arbili, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifah al-Aimmah, jld.1, hlm.169
  130. Ibnu Thawus, al-Taraif, hlm. 107-109; Thusi, al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an jld.10, hlm.211; Zamakhsyari, al-Kasyaf jld.4, hlm.670; Fakhrurrazi, al-Tafsir al-Kabir, jld.30, hlm.746-747.
  131. Kulaini, al-Kāfi, jld.1, hlm.240-241; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thālib, jld.3, hlm.116.
  132. Ma’muri, Kitāb Syenāsi Fāthimah, hlm.561-563,
  133. Kulaini, al-Kāfi, jld.1, hlm.241.
  134. Shaffar, Bashāir al-Darajāt al-Kubra, hlm.173-181.
  135. Aqa Buzurg Tehrani, al-Dzari’ah ila Tashānif al-Syiah, jld.21, hlm.126.
  136. Aqa Buzurg Tehrani, al-Dzari’ah ila Tashānif al-Syiah, jld.8, hlm.93; jld.13, hlm.224.
  137. Shaduq, Man la Yahdhuruh al-Faqih, jld.1, hlm.320-321; Bukhari, Shahih Bukhari, jld.4, hlm.48, 208.
  138. Shaduq, Muhammad bin Ali, ‘Ical al-Syara’i’ , jld.2, hlm.366.
  139. Ahmad bin Hanbal, Musnad, jld.1, hlm.107.
  140. Ibnu Thawus, Ali bin Musa, Jamāl al-Usbu’ , hlm.70, 93.
  141. ‘Alimi, Asy’ar Fāthimah sa, jld.3, hlm.110-120.
  142. Syahid Tsani, al-Rawdhat al-Bahiyyah fi Syarh al-Lum’at al-Dimasyqiyyah, jld.5, hlm.344.
  143. Kantor bereits Fars
  144. Hasyim-di-Tehran-Gambar-gambar IRIB News
  145. cidera perang-Revolusi iqna.ir
  146. perempuan-Muda-dan-penjelasan-syahadah-Sayidah-Zahra sa-dalam-tayangan pertunjukan-wanita-asing%E2%80%8C iqna.ir
  147. [1]
  148. Beytoote.com
  149. Kantor Berita Fars
  150. Konferensi “Syair Fatimi”, Reporter ISNA, Tanggal Diterbitkan: 24-01-1392, Tanggal Pamtauan: 02-12-1395
  151. Murthadha Amiri Isfandaqeh az Syi’ri Fatemi Miguyad, Poigha Internet Syahrestan Adab, Tanggal Diterbitkan: 24-01-1392, Tangggal Pantauan : 02-12-1395
  152. Ma’muri, Kitab Syenasi Fathimah sa, hlm.561.
  153. Ma’muri, Kitāb Syenasi Fatimah, jld.2, hlm.564.
  154. Ma’muri, Kitāb Shenasi Fatimah, jld.2, hlm.563.
  155. Aqa Buzurg Tehrani, al-Dzari’ah ila Tashānif al-Syiah, jld.22, hlm.322.
  156. Ma’muri, Kitāb Syenasi Fatimah, jld.2, hlm.567.
  157. Ma’muri, Kitāb Syenasi Fatimah, jld.2, hlm.566.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta

© 2024 Syiahpedia. All Rights Reserved.