Syiahpedia.id – Ali bin Abi Thalib (bahasa Arab: علي بن أبي طالب) (lahir pada 23 tahun sebelum Hijrah – tahun 40 H/660) adalah imam pertama seluruh mazhab Syiah dan khalifah keempat dari empat Khulafa al-Rasyidin di kalangan Ahlusunah. Ia sepupu dan menantu Nabi Muhammad saw, suami Sayidah Fatimah sa dan ayah serta kakek dari sebelas imam Syiah. Ayahnya bernama Abu Thalib dan ibunya bernama Fatimah binti Asad. Sesuai dengan tuturan para sejarawan Syiah dan kebanyakan ulama Ahlusunah, ia terlahir di dalam Ka’bah. Ia adalah orang yang pertama beriman kepada Rasulullah saw.
Dalam pandangan Syiah, ia adalah khalifah langsung setelah Rasulullah saw wafat berdasarkan firman Allah swt dan penegasan Rasulullah saw.
Banyak keutamaan telah disebutkan untuk Imam Ali as. Pada yaum al-Dar, Nabi saw memilihnya sebagai wasi dan penggantinya. Tatkala suku Quraisy hendak membunuh Nabi Muhammad saw, ia rela tidur di pembaringan Rasulullah saw untuk mengelabui pihak musuh sehingga dengan demikian Rasulullah saw dapat secara diam-diam melakukan hijrah. Nabi saw mengikat akad persaudarannya dengan Imam Ali as. Berdasarkan sumber-sumber Syiah dan sebagian sumber Ahlusunah, terdapat kurang-lebih 300 ayat yang diturunkan berkenaan dengan keutamaannya, misalnya ayat Mubahalah, ayat Tathir, dan beberapa ayat lain menunjukkan tentang kemaksuman dan kesuciannya dari segala jenis kekotoran dan kenistaan.
Ia ikut serta pada seluruh perang Nabi Muhammad saw kecuali perang Tabuk, itu pun atas perintah Rasulullah saw untuk tinggal di Madinah menggantikan posisinya. Pada perang Badar Imam Ali as mampu menewaskan sejumah besar orang-orang musyrik. Pada perang Uhud ia pun menjaga jiwa Nabi saw. Pada perang Khandaq ia dapat mengalahkan ‘Amru bin Abdiwad dan mengakhiri peperangan, dan pada perang Khaibar dengan menjebol pintu benteng Khaibar ia pun menuntaskan peperangan.
Setelah Nabi saw menunaikan hajinya, setelah turun ayat Tabligh, beliau mengumpulkan jamaah haji di kawasan Ghadir Khum, kemudian menyampaikan khutbah Ghadirnya dan mengangkat tangan Imam Ali as seraya bersabda: “Barangsiapa yang aku pemimpimnya, maka Ali juga pemimpinnya. Ya Allah! cintailah orang yang mencintai Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Setelah itu, sebagian sahabat seperti Umar bin Khattab mengucapkan selamat kepada Imam Ali as dan memanggilnya dengan lakab “Amirul Mukminin” (pemimpin orang-orang mukmin). Menurut pandangan para mufasir Syiah dan sebagian Ahlusunah, ayat Ikmal turun paa hari itu. Berdasarkan keyakinan muslim Syiah, ungkapan “من کنت مولاه فعلیٌ مولاه” yang disampaikan oleh Nabi saw di hari Ghadir Khum bermakna menentukan penerus dan pengganti Nabi saw.
Paska wafatnya Rasulullah saw, sekelompok orang di Saqifah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Persaingan diantara suku, kedengkian dan rasa hasut diyakini sebagai sebab utama penentangan dengan perintah Nabi saw terkait kepenggatian Ali as setelahnya. Menurut catatan beberapa sumber, Imam Ali as memiliki perdebatan-perdebatan tegas dengan Abu Bakar dan oleh karenanya, Abu Bakar dikecam oleh Imam Ali as lantaran penyimpangannya terkait peristiwa Saqifah dan penyepelean hak Ahlulbait Nabi saw. Sesuai dengan sumber-sumber Syiah dan sebagian sumber Ahlusunah, para pendukung khalifah untuk mengambil baiat menyerang rumah Imam Ali as yang mengakibatkan Sayidah Fatimah sa cedera dan keguguran putranya. Dan, tak lama kemudia, Fatimah sa mati syahid. Dalam berbagai peringatan dan pidato, Imam Ali as menyampaikan protesnya terkait peristiwa Saqifah dan mengingatkan kembali akan haknya berkenaan dengan kekhalifahan paska Nabi saw dimana khutbah Syiqsyiqiyah termasuk diantara pidato-pidatonya yang paling terkenal.
Pada periode 25 tahun kekhalifahan tiga orang khalifah, Imam Ali as jauh dari urusan politik dan pemerintahan dan hanya sibuk berkecimpung dalam masalah keilmuan dan sosial, misalnya mengumpulkan Alquran yang dikenal dengan Mushaf Imam Ali dan menggali sumur. Demikian juga para khalifah mengadakan konsultasi dengannya khsusus dalam pelbagai masalah pemerintahan seperti peradilan.
Setelah khalifah ketiga, Imam Ali as atas desakan kaum muslimin menerima kursi khilafah dan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya, ia punya perhatian khusus pada masalah keadilan dan memerangi metode para khalifah yang membagi baitul mal berdasarkan pegalaman dan masa lalu individu-individu. Ia memerintahkan supaya setiap orang dari Arab, non Arab dan setiap orang muslim dari keturunan dan golongan manapun untuk mendapatkan baitul mal secara sama, dan semua tanah yang diserahkan Usman kepada orang-orang untuk dikembalikan lagi ke baitul mal. Dalam masa singkat pemerintahannya, ia menghadapi tiga perang saudara; Jamal, Shiffin dan Nahrawan.
Imam Ali as pada akhirnya di mihrab masjid Kufah, selagi ia menunaikan salat, gugur sebagai syahid mihrab di tangan salah seorang Khawarij bernama Ibnu Muljam Muradi dan dikuburkan secara diam-diam di Najaf. Haram Imam Ali as di kota Kufah termasuk dari tempat-tempat suci dalam budaya Syiah dan berziarah kepadanya mendapat perhatian khusus.
Kebanyakan silsilah disiplin ilmu kaum Muslimin di antaranya Sastra Arab, Teologi, Fikih, Tafsir berujung padanya dan beragam firkah menyampaikan mata rantai sanadnya kepada Imam Ali as. Imam Ali as senantiasa mendapat kedudukan dan derajat khusus di kalangan muslim Syiah, dan setelah Nabi saw ia merupakan manusia yang paling utama, bertakwa dan pintar serta menjadi pengganti sahnya. Atas dasar ini, sekelompok sahabat sejak masa hidup Nabi saw mengikuti dan mencintai Ali as, mereka itu dikenal dengan Syiah. Kitab Nahj al-Balāghah merupakan pilihan dari kata-kata dan surat-surat Imam Ali as. Ada beberapa tulisan juga dinisbatkan kepada Imam Ali as yang mana tulisan-tulisan itu hasil dektian dari Rasulullah saw yang ditulis olehnya. Banyak karya dalam berbagai bahasa yang ditulis berkenaan dengannya.
Kedudukan
Imam Ali as senantiasa mendapat kedudukan dan posisi khusus di kalangan muslim Syiah, dan setelah Nabi saw ia merupakan manusia yang paling utama, bertakwa dan pintar serta menjadi pengganti sahnya. Atas dasar ini, sekelompok sahabat sejak masa hidup Nabi saw mengikuti dan mencintai Ali as, mereka itu dikenal dengan Syiah.[1] Muslim Syiah ialah orang-orang yang meyakini bahwa Imam Ali as pengganti langsung Nabi saw atas perintah Allah swt.[2] Sementara Ahlusunah meyakini bahwa pengganti Nabi saw merupakan hasil pilihan masyarakat.[3]
Heinz Halm, pengamat Islam kontemporer Jerman, berkata: menurut keyakinan muslim Syiah, sampainya Imam Ali as kepada kursi kekhilafahan pada 19 Dzulhijjah tahun 35 Qamariah merupakan implementasi akhir dari perjanjian yang dengannya Nabi saw telah memilihnya sebagai penggantinya dan pemimpin umat Islam dalam beberapa kesempatan, khususnya di Ghadir Khum. Syiah meyakini bahwa ungkapan من کنت مولاه فعلیٌ مولاه; “Barangsiapa yang aku pemimpinnya maka Ali pemimpinnya” yang disampaikan oleh Nabi saw pada hari Ghadir adalah penentuan pengganti Nabi saw, karena orang-orang yang hadir di Ghadir Khum mengucapkan selamat kepada Ali bin Abi Thalib as dan memanggilnya dengan lakab “Amirul Mukminin” (pemimpin orang-orang yang beriman).[4] Berdasarkan keyakinin ini, Ali adalah satu satunya khalifah yang sah dan gelar “Amirul Mukminin” hanya layak untuknya dan pemerintahannya dalam masa yang singkat merupakan satu satunya pemerintahan yang legal yang dirasakan umat Islam sejak zaman Nabi saw.[5]
Nasab, Julukan dan Gelar
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusai bin Kilab[6] adalah terkenal dengan Hasyimi dan Qurasyi. Ayah Imam Ali as, Abu Thalib adalah seorang yang sangat dermawan dan menjunjung tinggi keadilan. Ia mendapatkan penghormatan dari seluruh suku Arab. Ia adalah paman dan pelindung Rasulullah saw serta merupakan salah seorang pembesar Quraisy. [7]Ibunya bernama Fatimah binti Asad.[8] Saudara-saudaranya adalah antara lain, Thalib, Aqil dan Ja’far. Saudari-saudarinya di antaranya, Hindun atau Ummu Hani, Jumanah, Ritha atau Ummu Thalib dan Asma. [9]Para sejarawan mengatakan bahwa pernikahan Abu Thalib dengan Fatimah binti Asad adalah pernikahan pertama antara laki-laki dan perempuan dari suku Hasyim.[10]Oleh karena itu, Imam Ali as adalah orang pertama yang memiliki darah Hasyimi baik dari pihak ayah maupun ibu.[11]
Julukan, Gelar dan Sifat-sifatnya
Julukan
Diantara julukan-julukan Ali bin Abi Thalib adalah: Abu al-Hasan,[12] Abu al-Husain, Abu al-Sibthain, Abu Raihanatain, Abu Turab dan Abu al-Aimmah.[13]
Demikian juga di dalam sumber-sumber disebutkan banyak gelar dan sifat untuk beliau, antara lain adalah: Amir al-Mukminin, Ya’sub al-Din wa al-Muslimin, Mubir al-Syirk wa al-Musyrikin, Qatil al-Nakitsin wa al-Qasithin wa al-Mariqin, Maula al-Mu’minin, Syabih Harun, Haidar, Murtadha, Nafs al-Rasul, Akhu al-Rasul, Zauj al-Batul, Saifullah al-Maslul, Amir al-Barārah, Qātil al-Fajārah, Qasim al-Jannah wa al-Nar, Shahib al-Liwā, Sayid al-‘Arab, Kassyāf al-Kurub, al-Shiddiq al-Akbār, Dzu al-Qarnain, Hādi, Fāruq, Dāi’, Syahid, Bāb al-Madinah, Wali, Washi, Qādhi Din Rasulullah, Munjiz Wa’dah, al-Nabā al-‘Azhim, al-Shirat al-Mustaqim, dan al-Anza’ al-Bathin. [14]
Gelar
Menurut keyakinan Syiah, gelar ‘Amirul Mukminin’ yang bermakna pemimpin, panglima dan pemimpin kaum Muslimin hanya dimiliki dan dikhususkan kepada Imam Ali as. Berdasarkan beberapa riwayat, kaum Syiah meyakini bahwa gelar ini pada zaman Nabi Muhammad saw digunakan untuk Ali bin Abi Thalib dan khusus kepadanya. Bagi mereka, gelar ini bukan hanya tidak boleh digunakan untuk Khulafa al-Rasyidin dan selain Rasyidin, tetapi penggunaan gelar ini bahkan untuk imam-imam mereka yang lain pun tidak benar.[15]
Ciri-ciri Fisik
Ali as adalah seorang dengan perawakan sedang. Matanya hitam dan lebar. Alis matanya melengkung dan menyatu, dan wajahnya tampan berwarna kecoklatan. Janggutnya tebal dan bahunya lebar.[16] Menurut beberapa sumber, Nabi Muhammad saw memberikan gelar ‘Bathin’ kepadanya dan atas dasar ini sebagian peneliti mengatakan dia gemuk. Namun demikian, beberapa peneliti meyakini bahwa maksud perkataan Nabi saw dari ‘Bathin’ adalah ‘al-Bathin min al-Ilmi’, yakni gemuk dari ilmu.[17] Dipujinya Imam Ali as dengan sifat ‘Bathin’ dalam beberapa teks ziarah juga membuktikan bahwa maksud perkataan Nabi saw adalah bukan sifat ‘gemuk’ (secara fisik).[18]
Mengenai kekuatan fisik Ali bin Ali Thalib dikatakan bahwa ia tidak melawan siapa pun kecuali lawannya akan tersungkur ke bumi. [19] Ibnu al-Hadid di dalam Syarh Nahjul Balaghah berkata, “Kemampuan fisik Imam Ali as telah menjadi perlambang kesatria. Ia-lah yang menaklukkan benteng Khaibar, sementara sekelompok orang lain ingin mengembalikannya (atau mengangkatnya), namun gagal. Ia juga yang menurunkan berhala hubal -berhala yang berukuran raksasa- dari atas Ka’bah dan melemparkannya ke bumi. Ia yang memindahkan batu raksasa dari tempat duduknya dengan tangannya pada hari kekhlalifahannya kemudian dari bawah batu itu mengalir air yang mendidih, sementara semua pasukan yang ada tidak mampu untuk melakukan hal itu. [20]
Biografi
Ali as adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw[21], imam pertama Syiah [22] dan khalifah keempat dari Khulafa al-Rasyidin menurut Ahlusunah.
Dari Lahir Hingga Hijrah
Imam Ali as lahir pada hari Jumat 13 Rajab pada tahun 30 tahun Gajah di Mekah di dalam Ka’bah. [23] Riwayat tentang kelahirannya di dalam Ka’bah adalah riwayat yang mutawatir [24] dalam pandangan ulama Syiah seperti Sayid Radhi, Syekh Mufid, Quthb al-Rawandi, Ibnu Syahr Asyub dan banyak ulama Sunni semisal Hakim Naisyaburi, Hafiz Ganji Syafi’i, Ibnu Jauzi Hanafi, Ibnu Shabbagh Maliki, Halabi, Mas’udi.
Ketika Imam Ali as berusia 6 tahun, di Mekah terjadi kekeringan. Abu Thalib, seorang lelaki paruh baya mengalami kesulitan ekonomi ketika harus menafkahi keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak.[25] Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw, Hamzah dan Abbas, kedua paman Nabi, memutuskan untuk menolong Abu Thalib dalam menghadapi masalah ini. Karenanya, Abbas membawa Ja’far dan Hamzah membawa Thalib ke rumahnya. Adapun Nabi Muhammad membawa Ali as ke rumahnya. [26] Begini Imam Ali as mengenang masa itu, “Ketika aku masih kecil, (Nabi Muhammad saw) meletakkanku di sampingnya dan mendekapku ke dadanya dan ia menidurkanku di pembaringannya, menempelkanku ke badannya. Kadang-kadang Nabi Muhammad saw mengunyah makanan kemudian kunyahan itu diberikan kepadaku. Beliau tidak pernah mendengar bicara dusta dariku dan juga tidak pernah melihat kesalahan pada tingkah lakuku. [27]
Setelah bi’tsah Nabi (13 tahun sebelum hijrah), Ali adalah lelaki pertama dan Khadijah perempuan pertama yang beriman kepada Nabi saw.[28][29]Ali yang pada saat itu berusia 10 tahun bersama Nabi Muhammad saw melakukan salat secara sembunyi di gunung-gunung sekitar Mekah.[30][31]Setelah Nabi saw melakukan dakwah secara terang-terangan pada tahun ketiga Bi’tsah, yang dikenal dengan ‘peristiwa dakwah pada keluarga terdekat’ (Indzar Asyirah) atau ‘peristiwa Yaum al-Dar’, Ali mendukung Nabi saw dan beliau pun mengapresiasinya dengan sebutan ‘saudara, wasi dan pengganti dirinya’.[32]Pada tahun keenam sebelum Hijrah, kaum Muslimin diblokade dan dikepung oleh kaum musyrikin di Syi’ib Abi Thalib dan dilarang melakukan jual-beli dan berlalu-lalang. Pada periode ini, Abu Thalib demi menjaga keselamatan jiwa Nabi saw berkali-kali menidurkan Ali as di tempat tidur beliau.[33]Beberapa waktu paska pembukaan blokade, tiga tahun sebelum hijrah, Ali as pada usia 19 tahun kehilangan ayahnya, Abu Thalib.[34]Setelah kewafatan Abu Thalib, kondisi kaum muslimin semakin sulit dan Nabi saw berencana untuk berhijrah ke Madinah. Pada malam hijrah, Ali as yang mengetahui konspirasi kaum Musyrikin untuk membunuh Nabi saw, tidur di kasur beliau. Pada saat itu Ali as berusia 23 tahun. Kejadian ini dikenal dengan Lailatul Mabit.[35] Beberapa hari setelah kejadian itu dan setelah Imam Ali as menunaikan hutang budinya kepada Nabi saw, bersama satu rombongan yang diantara mereka ada Sayidah Fatimah sa dan Fatimah binti Asad (ibu Imam Ali) pergi ke Madinah.[36]
Paska Hijrah
Ketika Nabi saw dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah sampai di Quba, sekitar lima belas hari beliau menunggu di sana hingga Ali as bersama rombongannya tiba.[37]Setelah Nabi saw membangun Masjid Nabi di Madinah, beliau dalam pidato pertamanya mengadakan ikatan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar dan memilih Ali as sebagai saudaranya.[38] Pada tahun ke-2 H meletuslah perang Badar antara kaum Muslimin dan musyrikin. Dalam perang ini sejumlah besar dari pasukan musuh termasuk beberapa orang dari pembesar Qurasiy terbunuh di tangan Ali as.[39]Paska perang Badar,[40] Imam Ali as pada usia 25 tahun menikah dengan Sayidah Fatimah as,[41] meskipun banyak orang yang telah melamarnya.[42] Nabi saw yang membaca khutbah pernikahan mereka.[43]
Pada tahun ke-3 H, untuk membalas kekalahan di perang Badar, kaum musyrikin menyulut perang Uhud melawan kaum Muslimin.[44] Ali as termasuk di antara orang yang tidak meninggalkan medan perang dan membela jiwa Nabi saw[45] dan dikatakan bahwa dalam perang ini beliau mengalami 16 luka.[46] Kulaini dan Thabari mengatakan, uangkapan لا سَیفَ اِلّا ذوالفَقار، لا فَتی اِلّا عَلیّ disampaikan oleh Jibril pada perang ini guna memuji Ali as.[47]Pada tahun ini pula putra sulungnya, Imam Hasan Mujtaba as lahir.[48]
Pada tahun ke-4 H, saat Imam Ali berusia 27 tahun, ibunya, Fatimah binti Asad, meninggal dunia.[49] Imam Husain as putra kedua dari pasangan Ali as dan Fatimah as lahir pada tahun ini pula.[50]
Pada tahun ke-5 H, terjadilah perang Khandaq[51] dan dengan ketangkasan Ali as dalam membunuh Amr bin Abdiwadd berakhirlah perang.[52]Sayidah Zainab sa, anak ketiga dari pasangan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah sa lahir pada tahun ini.[53]
Pada tahun ke-6 H terjalinlah perjanjian Hudaibiyah antara Nabi saw dengan Quraisy. Penulis surat perjanjian ini adalah Imam Ali as.[54]Ummu Kultsum sa,anak keempat Imam Ali as lahir pada tahun ini. [55] Pada bulan Syakban di tahun yang sama, Nabi saw memilih Imam Ali as sebagai panglima sariyah Fadak untuk memerangi kaum Yahudi.[56]
Pada tahu ke-7 H terjadilah perang Khaibar.[57]Dalam perang ini, Ali as termasuk dari para pemegang bendera pasukan.[58] dan berkat panduan beliau pasukan Islam berhasil menaklukkan Khaibar.
Pada tahun ke-8 H, Ali as pada usia 31 tahun menjadi pemegang panji pasukan Nabi saw saat terjadi penaklukan Mekah[59]dan membantu Nabi saw dalam menghancurkan patung-patung di dalam Ka’bah.[60]
Perang Tabuk meletus pada tahun ke-9 H. Nabi saw untuk pertama kalinya mengangkat Imam Ali as sebagai pengganti dan penjaga keluarganya di Madinah. Perang ini adalah satu-satunya perang yang Imam Ali as tidak ikut serta di dalamnya.[61] Setelah kelompok munafiqin menyebarkan berbagai isu, Ali as bergabung dengan pasukan dan memberi tahu Nabi saw apa yang terjadi di Madinah. Menanggapi hal itu Nabi saw bersabda: “Apakah kamu tidak senang bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa as?”[62]Perkataan Nabi ini dikenal dengan Hadis Manzilah.[63]Pada tahun ini pula Ali as diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk menyampaikan ayat-ayat Bara’ah saat orang-orang musyrik berkumpul di Mekah[64] dan ia menyampaikan ayat-ayat tersebut setelah Zuhur pada hari Raya Qurban.[65] Pada tanggal 24 Dzulhijjah tahun ke-9 H, Nabi saw bersama Ali as, Fatimah sa, Imam Hasan as dan Imam Husain as mengadakan mubahalah dengan kaum Nasrani Najran.[66]
Pada tahun ke-10 H, Nabi saw mengutus Imam Ali as ke Yaman untuk menyeru penduduknya kepada agama Islam.[67]Pada tahun yang sama Nabi saw pergi haji.[68]Ali as dari Yaman menyusul Nabi saw dan bertemu beliau di Mekah.[69] Sepulang haji, di daerah Ghadir Khum Nabi saw mengangkat Ali as sebagai pengganti dan wasinya.[70] Peristiwa ini terkenal dengan peristiwa Ghadir. Saat itu Ali as berusia 33 tahun.
Paska Wafat Nabi saw
Nabi Muhammad saw wafat pada 11 Shafar tahun ke-11 H.[71]Menurut keyakinan Syiah, Ali as menjadi Imam paska wafatnya Nabi saw dan pada usia 34 tahun. Saat Imam Ali as sibuk mengafani dan menguburkan Nabi saw, sekelompok orang di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai khalifah. Setelah Abu Bakar menjadi khalifah, Imam Ali as pada awalnya tidak bersedia untuk berbaiat kepada Abu Bakar,[72] akan tetapi pada akhirnya beliau memberikan baiat kepadanya.[73]Kaum Syiah meyakini bahwa baiat tersebut dilakukan secara terpaksa[74] dan Syekh Mufid yakin bahwa Imam Ali as sama sekali tidak berbaiat.[75][76]Menurut keyakinan Syiah, para pendukung khalifah untuk mengambil baiat menyerang rumah Ali as, yang mengakibatkan cederanya Sayidah Fatimah sa dan gugurnya janin yang dikandungnya.[77]Pada masa ini pula Abu Bakar merampas tanah Fadak,[78]dan Imam Ali as bangkit menuntut hak Fatimah sa.[79]Setelah Fatimah sa mengalami penyerangan rumahnya, ia jatuh sakit dan dalam waktu singkat pada tahun ke-11 H mereguk cawan syahadah.[80]
Abu Bakar meninggal pada tahun ke-13 H.[81] Dan sesuai wasiatnya, Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah.[82] Pada bulan Muharram tahun 14 H, Umar keluar dari Madinah untuk berperang melawan Sassania dan berkemah di suatu tempat bernama Shirar. Umar menempatkan Imam Ali as di Madinah sebagai penggantinya supaya ia sendiri dapat memimpin pertempuran tersebut. Namun, setelah bermusyawarah dengan beberapa sahabat diantaranya Imam Ali as, ia mengundurkan diri dari niatnya dan mengirim Sa’ad bin Abi Waqqash ke medan tempur.[83] Ma’adikhah dengan bersandar pada penukilan Ibnu Atsir berkata, Ali as pada periode khalifah kedua, selain pada tahun-tahun pertama, bertugas dalam urusan peradilan.[84] Pada tahun ke-16 (atau ke- 17) H[85]atas ide Imam Ali as dan penerimaan Umar, hijrah Nabi ke Madinah dijadikan sebagai permulaan kalender Islam.[86]
Pada tahun ke-17 H, Umar untuk menaklukan Baitul Maqdis pergi ke Syam dan mengangkat Imam Ali as sebagai penggantinya di Madinah.[87] Pada tahun yang sama, setelah Umar memaksa dan mengancam, ia menikah dengan Ummu Kultsum putri Imam Ali as dan Fatimah sa.[88][89]
Pada tahun ke-18 H, sekali lagi Ali as menjadi pengganti Umar saat ia melakukan perjalanan ke Syam.[90]Setelah Umar diteror dan sebelum meninggal pada tahun 23 H, dibentuklah dewan syura enam orang untuk menunjuk khalifah setelahnya,[91] dimana Imam Ali as menjadi salah satu anggotanya.[92]Umar menunjuk Abdurrahman bin ‘Auf sebagai penentu dalam syura tersebut. Pertama-tama Abdurrahman meminta kepada Imam Ali as untuk menjabat sebagai khalifah dengan syarat berpegang taguh pada Alquran, sunah Nabi saw dan sirah Abu Bakar dan Umar, namun Imam Ali as menolak syarat berpegang pada sirah Abu Bakar dan Umar seraya berucap, “Saya berharap mampu beramal dengan kitab Allah dan sunan Rasulullah saw sesuai dengan kapasitas ilmu, kemampuan dan ijtihad yang saya miliki.”[93] Abdurrahman setelah mengajukan dan merundingkan syarat-syarat tersebut kepada Utsman bin Affan dan dia menerimanya, ia pun menunjuk Usman menjadi khalifah.[94]
Ma’adikhah dengan bersandar pada penukilan Ibnu Jauzi di dalam kitab al-Muntazham berkata bahwa Imam Ali as pada tahun 24 H masih tetap bertugas dalam urusan peradilan.[95]
Pada tahun ke-25 H, [96] Usman mengeluarkan perintah pengumpulan dan pembukuan Alquran[97]. Suyuti menukil sebuah riwayat dari Imam Ali as bahwa pembukuan dan pengumpulan Alquran dilakukan atas musyawarahnya. [98]
Pada tahun ke-26 H lahirlah Abbas bin Ali as, anak laki-laki kelima Imam Ali as.[99]
Pada tahun ke-35 H, penduduk Madinah mengepung rumah Utsman karena tidak rela terhadap kinerjanya.[100] Ali as sebelumnya sudah keluar dari Madinah .[101] Ma’adikhah mengatakan, Ali as keluar ke Yanba’ atas permintaan Utsman.[102] Menurut sumber-sumber Ahlusunah, Imam Ali as menugaskan Hasan as dan Husain as untuk menjaga khalifah,[103] namun para pemberontak pada akhirnya membunuh Utsman.[104] Setelah Utsman terbunuh, masyarakat berkumpul di sekitar Imam Ali as supaya beliau siap menjadi khalifah mereka.[105]
Periode Pemerintahan
Pada bulan Dzulhijjah tahun 35 H, paska terbunuhnya Usman, Ali as menjadi khalifah pada usia 58 tahun.[106] Selain satu kelompok dari orang-orang terdekat Usman dan sebagian sahabat Nabi yang disebut dengan Qā’idin (orang-orang yang duduk/ tidak ikut berperang),[107] semua sahabat di Madinah membaiat Imam Ali as. [108] Dua hari setelah Imam Ali as menjabat khalifah, pada pidato pertamanya beliau meminta supaya harat-harta yang digunakan secara tidak sah pada masa Usman untuk dikembalikan lagi[109] dan beliau menegaskan supaya baitul mal dibagi secara adil. [110]
Pada tahun ke-36 H, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam memutus tali baiat mereka kepada Ali as dan di Mekah mereka bergabung dengan Aisyah yang menuntut darah Usman yang tertumpah. [111] Kemudian mereka bergerak menuju Basrah. [112] Dengan demikian terjadilah perang Jamal (yang merupakan perang pertama Imam Ali as[113] dan perang saudara pertama diantara kaum muslimin[114]) antara Ali as dan kelompok Nakitsin di dekat Basrah.[115] Thalhah [116] dan Zubair[117] terbunuh dalam perang ini dan Aisyah dilarikan ke Madinah.[118] Pertama-tama Imam Ali as pergi ke Basrah dan mengeluarkan perintah pemaafan massal[119] dan pada bulan Rajab tahun ke-36 H beliau memasuki kota Kufah serta menjadikannya sebagai pusat kekhilafahnnya.[120] Pada tahun yang sama, Imam Ali as meminta Muawiyah untuk berbaiat, dan setelah ia menolak, beliau memerintahkan supaya dia diturunkan dari kursi pemerintahan Syam.[121] Pada bulan Syawal tahun 36 H, Imam Ali as mengerahkan laskar ke Syam.[122] Dan terjadilah Perang Shiffin di suatu daerah bernama Shiffin pada akhir tahun 36 H dan permulaan tahun 37 H. [123] Berbeda dengan sejarah yang disebut oleh Tahabari dan Ibnu Atsir yang mengatakan bahwa puncak kecamuk perang terjadi pada Shafar tahun 37 H, Maadikhah berkeyakinan bahwa puncak memanasnya perang tersebut terjadi pada tahun 38 H. [124] Disaat pasukan Imam Ali as mau mencapai kemenangan,[125] bala tentara Muawiyah dengan tipu daya Amr bin Ash menancapkan Alquran di ujung tombak guna menjadi hakim diantara mereka. [126] Imam Ali as dengan terpaksa dan dalam tekanan para pemberontak dari pasukannya sendiri menerima hakamiyat (arbitrase). [127]Namun dalam jeda waktu singkat dari penerimaan arbitrase tersebut muncul protesan-protesan baru diantara para pemberontak kepada Imam Ali as. [128] Sebagian mereka dengan bersandar pada dua ayat Alquran (surah Al-Maidah: 44 dan surah Al-Hujurat: 9) menghendaki supaya perang dengan Muawiyah dilanjutkan, dan mereka menganggap kafir penerimaan hakamiyat dan harus bertaubat darinya.[129] Anehnya, sebagian orang yang protes justeru mereka yang beberapa waktu sebelumnya memaksakan hakamiyat kepada Imam Ali as. [130] Mereka meminta Imam as supaya bertaubat dari kekafiran ini dan melanggar syarat-syarat yang telah disepakati dengan Muawiyah.[131] Imam Ali as menolak untuk melanggar hakamiyat dan bila kedua belah pihak yang menerima hakamiyat tidak menghukum sesuai Alquran, beliau akan menyatakan niatnya untuk melanjutkan perang dengan Syam.[132]
Ketika hakamiyat dilaksanakan, Abu Musa Asyari mengumumkan hasilnya dengan memecat kedua pemimpin, yaitu Muawiyah dan Ali as, dari kekhalifahan.[133] Kemudian Amr Ash menyerahkan khilafah kepada Muawiyah. [134] Setelah itu[135]sekelompok orang dari pendukung Imam Ali as menentang keputusan tersebut dan menganggap hal itu sebagai kemurtadan dan ragu dalam keimanan.[136] Diantara mereka yang menjadi benih utama pembentukan Khawarij menilai kafir penerimaan hakamiyat sehingga mereka berpisah dari pasukan Imam as dan pergi ke Harura sebagai ganti Kufah.[137]
Protes demi protes kelompok Khawarij terus berlanjut sampai 6 bulan setelah perang Shiffin dan oleh sebab ini Imam Ali as mengutus Abdullah bin Abbas dan Sha’shaah untuk dialog kepada mereka, namun mereka tidak menuruti keinginan dua orang ini supaya bergabung kembali dengan jemaah. Setelah itu Imam Ali as meminta mereka supaya menentukan 12 orang dan dia sendiri menunjuk jumlah ini dan mengadakan dialog dengan mereka.[138] Ali as juga menulis surat kepada para pembesar Khawarij dan menyeru mereka untuk kembali kepada masyarakat, namun Abdullah bin Wahab dengan mengingatkan peristiwa Shiffin menegaskan bahwa Ali as telah keluar dari agama dan harus bertaubat. Setelah ini pun, melalui perantara beberapa orang seperti Qais bin Sa’ad dan Ayub Anshari, Imam Ali as berulang kali mengajak Khawarij supaya bergabung kembali denganya dan menjamin keamanan kepada mereka. [139] Namun setelah putus asa dari penyerahan diri Khawarij, beliau mengerahkan pasukan 14 ribu orang untuk melawan mereka. Imam Ali as menekankan kepada pasukannya supaya tidak memulai peperangan dan akhirnya pihak Nahrawan memulai peperangan terlebih dahulu.[140] Dengan dimulainya perang, dengan cepat semua Khawarij terbunuh atau terluka. Yang terluka berjumlah 400 orang dan dikembalikan kepada keluarga mereka. Sebaliknya, dari pasukan Imam Ali as kurang dari 10 orang terbunuh. Dari perkumpulan Khawarij di Nahwaran, kurang dari 10 orang melarikan diri. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Muljam al-Muradi, pembunuh Imam Ali as. [141]Ibnu Muljam pada waktu sahur tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H melukai Imam Ali as dengan pukulan pedangnya di Masjid Kufah, dan dua hari berikutnya tepat pada tanggal 21 Ramadhan, Imam Ali as pada umur 63 tahun gugur sebagai syahid dan dikuburkan secara sembunyi.[142][catatan 1]
Istri-istri dan Anak-anak
Menikah dengan Fatimah Zahra sa
Istri pertama Imam Ali as adalah Sayidah Fatimah sa binti Muhammad saw. [144] Sebelum Ali as, sejumlah orang-orang seperti: Abu Bakar, Umar bin Khatab, Abdur Rahman bin Auf telah datang meminang putri Nabi itu. Namun Nabi Muhammad saw dalam hal ini mengikuti perintah Tuhan dan menolak pinanangan mereka.
Beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa pernikahan Ali as dengan Fatimah sa terjadi pada awal Dzulhijjah tahun ke-2 H[145], sebagian lagi menyebut bulan Syawal dan kelompok yang lainnya mengatakan pada 21 Muharam. [146]
Buah pernikahan Imam Ali as dan Sayidah Zahra sa dikaruniai lima putra dan putri yang nama-namanya adalah Hasan, Husain, Zainab Al-Kubra dan Ummu Kultsum Kubra.[147] dan Muhsin yang gugur dalam kandungan.[148][149]
Istri-istri yang Lain
Selama Sayidah Fatimah sa masih hidup, Imam Ali as tidak pernah menikah dengan wanita lain. Akan tetapi setelah wafatnya Sayidah Fatimah sa, ia menikah dengan wanita-wanita lain, diantaranya adalah Umamah binti Abi Al-Ash bin Rabi’. Ibu Umamah adalah Zainab, putri Nabi Muhammad saw.
Ummul Banin binti Hizam bin Daram Kilabiyah adalah wanita lain yang dinikahi oleh Imam Ali as. Buah pernikahan ini adalah Abbas, Utsman, Ja’far dan Abdullah yang semuanya gugur syahid di Karbala.
Setelah menikah dengan Ummul Banin, Imam Ali menikah dengan Laila binti Mas’ud bin Khalid Nahsyaliyah Tamimah Darmiyah. Kemudian menikah dengan Asma binti Umais Khats’ami di mana Yahya dan Aun adalah buah pernikahan itu. Salah satu istrinya yang lain adalah Ummu Habib binti Rabi’ah Taghlabiyah yang terkenal dengan Shahba’. Istri Imam Ali as yang lain adalah Haulah binti Ja’far bin Qais Hanafiyah, ibu dari Muhammad bin Hanafiyah. Imam Ali as juga menikah dengan Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud Tsaqafi dan juga Muhayyah binti Imri al-Qais bin ‘Adi Kalbi. [150]
Anak-anak
Syekh Mufid menyebutkan bahwa putra dan putri Imam Ali as berjumlah 27 orang, dan ditambah Muhsin menjadi 28 orang.[151]Anak-anak Imam Ali as sesuai ibu-ibu mereka adalah sebagai berikut:
Fatimah sa | Khulah | Ummu Habib | Ummul Banin | Laila | Asma | Ummu Sa’id | Istri-istri lain |
1. Hasan | 6. Muhammad Hanafiyah | 7. Umar | 9. Abbas | 13. Muhammad Asghar | 15. Yahya | 16. Ummul Hasan | 18. Ummu Hani 19. Khadijah |
2. Husain | 8. Ruqayyah | 10. Jakfar | 14. Ubaidullah | 17. Ramlah | 20. Jumanah (Ummu Jakfar) 21. Zainab Sughra | ||
3. Zainab Kubra | 11. Usman | 22. Umamah 23. Ruqayyah Sughra | |||||
4. Zainab Sughra | 12. Abdullah | 24. Nafisah 25. Ummu Salamah | |||||
5. Muhsin | 26. Ummul Kiram 27. Maimunah 28. Fatimah[152] |
Keikutsertaannya dalam berbagai Peperangan
Peranan Imam Ali as sangat besar dalam beberapa ghazwah dan sariyyah pada masa-masa permulaan Islam. Imam Ali as turut serta dalam semua peperangan bersama Rasulullah saw kecuali dalam perang Tabuk. [153] Dalam sejumlah besar peperangan, Imam Ali as menjadi panglima utama pasukan Islam.[154] Ia pun pada peperangan-peperangan yang mayoritas muslimin lari darinya, tetap bersama Nabi saw di medan tempur dan terus bertempur.[155]
Perang Badar
Perang Badar adalah perang pertama yang dipimpin Nabi saw antara kaum Muslimin dan kaum musyrik Quraisy. Perang ini meletus pada hari Jumat 17 Ramadhan 2 H di samping sungai-sungai Badar. [156]Dalam perang ini, sebagian dari pembesar Quraisy seperti Abu Jahal[157] dan Utbah bin Rabiah[158]terbunuh.
Dalam perang adu fisik pada permualaan perang, Imam Ali as berhasil mengalahkan Walid bin Utbah bin Rabi’ah.[159]Naufal bin Khuwailid yang dilaknat oleh Nabi saw terbunuh di tangan Imam Ali as pada perang ini.[160]Demikian juga hampir 20 orang lagi dari kaum musyrikin seperti Hanzhalah bin Abu Sufyan dan Ash bin Said terbunuh di tangan Imam Ali as.[161] Di kemudian hari Imam Ali as menulis surat kepada Muawiyah: ‘Pedang yang denganya aku membunuh kakekmu (Utbah ayahnya Hindun pemakan jantung), pamanmu (Walid bin Utbah) serta saudaramu (Hanzhalah bin Abi Sufyan) masih berada ditanganku’.[162]
Perang Uhud
Setelah perang Uhud dimenangkan oleh kaum musyrikin, sejumlah besar dari kaum muslimin melarikan diri dari medan perang dan meninggalkan Nabi saw sendirian. Imam Ali as termasuk diantara orang-orang yang tidak lari dari medan dan setia membela Nabi saw.[163] Ali as sendiri mengisahkan peristiwa ini bahwa, Muhajir dan Anshar melarikan diri ke rumah-rumah mereka, tetapi saya dengan 70 luka di badanku tetap setia membela Rasulullah saw.[164]
Berdasarkan penukilan sumber-sumber Syiah[165] dan Ahlusunah[166], atas kesetiaan dan pengabdian Imam Ali as ini, Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad saw dan berkata, pengabdian ini adalah hal luar biasa yang telah ditunjukkan olehnya. Rasulullah saw pun membenarkan perkataan Malaikat Jibril dan berkata: “Aku berasal dari Ali dan Ali berasal dariku”. Kemudian terdengar suara dari langit, “Tidak ada pedang selain Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali.”
Perang Khandaq
Dalam perang Khandaq, setelah Nabi Muhammad saw mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya, Salman mengusulkan untuk menggali parit di sekitar Madinah sehingga akan ada jarak dengan pihak penyerang. [167] Beberapa hari lamanya kedua pasukan berhadap-hadapan di sekitar parit itu dan kadang-kadang terjadi saling lempar anak panah dan batu di antara kedua kubu. Akhirnya Amru bin Abdiwud, salah seorang tentara kafir dengan beberapa orang dari pasukan musuh dapat melewati parit yang lebih sempit dari tempat yang lain. Ali as meminta izin kepada Nabi Muhammad saw untuk melawan Amru bin Abdiwud, Nabi pun menginzinkannya. Setelah terjadi duel sengit antar keduanya pun, Imam Ali as membuat Amr terjungkal ke tanah dan Amr pun tewas. [168] Setalah Imam Ali as mampu mengalahkan Amr bin Abdi Wadd, Rasulullah saw bersabda, “Pukulan Ali pada perang Khandaq lebih utama dari pada ibadah seluruh jin dan manusia.” [169]
Perang Khaibar
Perang Khaibar terjadi pada Jumadil Awal tahun 7 H/628 dimana Nabi Muhammad untuk melawan konspirasi kaum Yahudi mengeluarkan perintah untuk menyerang benteng-benteng mereka. [170] Setelah Rasulullah saw mengutus beberapa orang di antaranya: Abu Bakar dan Umar untuk menaklukkan benteng Khaibar dan orang-orang itu tidak berhasil, beliau bersabda, “Besok aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah swt dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya. Keesokan harinya, Nabi memanggil Ali as dan beliau pun memberikan bendera itu kepadanya.” [171] Menurut penukilan Syekh Mufid, Ali pergi ke medan perang dan menjebol salah satu pintu benteng, dan hingga selesai perang menggunakan pintu tersebut sebagai perisainya. [172]
Penaklukan Kota Mekah
Pada permulaan bulan Ramadhan tahun ke-8 H/629 dengan maksud untuk menaklukkan Mekah, Rasulullah saw keluar dari kota Madinah. Nabi Muhammad saw yang pada mulanya menyerahkan bendera kepada Sa’ad bin Ubadah namun karena ia berbicara tentang balas dendam akhirnya beliau memberikan bendera itu kepada Ali as. [173] Paska Fathu Mekah, Nabi Muhammad saw menghancurkan berhala-berhala di dalam Kakabah, kemudian merintahkan Ali as untuk menaiki punggungnya dan menurunkan patung khuza’ah dari atas Ka’bah. [174]
Perang Hunain
Perang Hunain terjadi pada tahun 8 H/629. Pada perang ini, Imam Ali memegang panji kaum Muhajirin. [175]Pada perang ini, setelah terjadi penyerangan secara mendadak oleh kaum musyrikin, kaum muslimin melarikan diri dan hanya Ali dan beberapa orang yang tetap tinggal dan membela Nabi saw.[176]
Perang Tabuk
Hanya dalam perang Tabuk, Imam Ali as tidak ikut serta berperang bersama Rasulullah saw. Atas dasar perintah Nabi, ia tinggal di Madinah sehingga dalam ketidakhadiran Nabi Muhammad saw, ia dapat mengawasi tipu muslihat kaum munafik. Setelah Ali tinggal di Madinah, kaum munafik pun menyebarkan isu dan guna meredamkan fitnah itu, Imam Ali as segera mengangkat senjata dan dengan sigap menemui Nabi Muhammad saw di luar Madinah untuk memberitahukan hal ini. Pada kesempatan ini Rasulullah saw membacakan hadis Manzilah. Beliau bersabda, “Saudaraku Ali, kembalilah ke Madinah karena Madinah tidak layak dipimpin kecuali oleh aku dan engkau. Oleh karena itu, engkau adalah khalifahku dari Ahlulbait, kediaman dan kaumku. Wahai Ali! Apakah engkau tidak rela jika kedudukanmu di sisiku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.” [177]
Saraya
Sariyah Ali bin Abi Thalib ke Fadak untuk melawan Bani Saad (pada Syakban tahun keenam).[178]
Sariyah Ali bin Abi Thalib untuk menghancurkan rumah berhala Falas di kabilah bani Thayy (pada Rabiul Akhir tahun kesembilan).[179]
Sariyah Ali bin Abi Thalib ke Yaman (pada Ramadan tahun ke sepuluh).[180]
Penugasan ke Yaman
Nabi Muhammad saw paska Fathu Mekah dan kemenangan pada perang Hunain tahun ke-8 H meluaskan medan dakwahnya, diantaranya adalah mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman. Dalam menyelesaikan sebagian masalah ia tidak berhasil dan pulang. Kemudian Nabi saw mengirim Khalid bin Walid, namun dia pun gagal dan setelah 6 bulan tinggal disana, ia kembali. Saat itu Nabi saw memanggil Ali as dan mengutusnya ke Yaman dengan membawa surat. Lalu Ali as membacakan surat itu untuk masyarakat Yaman dan mengajak mereka kepada Tauhid. Atas jerih payahnya, Kabilah Hamdan menerima Islam dan memeluknya. Ali as melaporkan akan keislaman mereka kepada Nabi saw. Beliau pun gembira dan mendoakan penduduk Hamdan.[181] Dalam laporan lain diceritakan soal perkelahian Ali as dengan kabilah Mudzhaj. Menurut laporan tersebut Imam Ali as pergi ke negri mereka dan menyeru mereka kepada Islam, dan karena mereka menolak dan memilih perang, maka Imam Ali as pun berperang dengan mereka. Setelah beliau berhasil membuat mereka lari, sekali lagi beliau menyeru mereka kepada Islam. Beliau mengumpulkan harta rampasan perang dan di musim haji menyerahkannya kepada Nabi saw disertai dengan sedekah-sedekah yang diambil dari Najran.[182]Nabi saw menyerahkan urusan peradilan Yaman kepada Ali as dan mendoakan dia supaya diberi ketabahan dan kekuatan. Sumber-sumber sejarah telah menyebutkan beberapa contoh dari peradilan-peradilan tersebut.[183]
Pengganti Nabi pada Peristiwa Ghadir
Nabi Muhammad saw pada tahun ke-10 H/631 guna melaksanakan kewajiban dan pengajaran ritual haji pergi ke Mekah. Ritual ini pun akhirnya selesai sementara itu banyak kelompok yang berpamitan dari beliau dan bertolak menuju Madinah.
Pada tanggal 18 Dzulhijjah, ketika rombongan sampai pada suatu daerah bernama Ghadir Khum di dekat Juhfah, wahyu turun kepada Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kabar kekhilafahan Imam Ali bin Abi Thalib as kepada masyarakat. Oleh karena itu, Nabi menyuruh supaya semua rombongan yang di depan berhenti sehingga rombongan yang masih di belakang pun sampai. Kemudian Nabi Muhammad saw menyampaikan perintah Tuhan (ayat tabligh).[184] Allah swt berfirman:
يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكافِرينَ
“Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [185]
Setelah turunnya ayat ini dan setelah Nabi saw mendirikan salat berjamaah, beliau saw menyampaikan khutbah kepada orang-orang yang hadir di tempat itu, «أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ أَنِّی أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِینَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ؟»; “Bukankah kalian tahu bahwa aku lebih utama atas kaum mukminin dari pada diri mereka sendiri? Masyarakat pun menjawab, ‘iya’, kemudian Nabi mengangkat tangan Imam Ali as seraya bersabda, «مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ، فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ، اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ، وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ»; Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah. Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.” [186] Berdasarkan sebagian sumber, Nabi saw dalam menjawab pertanyaan sebagian sahabatnya, apakah ini perintah Allah san Rasul-Nya? bersabda: iya, ini perintah Allah dan rasul-Nya.[187] Setelah Nabi saw menyampaikan khutbah ini, sebagian sahabat seperti Umar bin Khattab mengucapkan selamat kepada Imam Ali as.[188]
Menurut pandangan para mufasir Syiah dan sebagian Ahlusunah, ayat Ikmal turun pada hari ini.[189]
Paska kepergian Nabi saw, Imam Ali as dalam beberapa kesempatan menyinggung masalah peristiwa Ghadir dan sabda Nabi tentangnya guna menekankan atas kebenaran dirinya.[190]Berdasarkan indekasi-indekasi dalam khutbah Ghadir dan juga pernyataan-pernyataan dan puisi-puisi kaum Muslimin setelahnya yang ditercatat dalam berbagai sumber, Muslim Syiah meyakini bahwa Nabi saw pada peristiwa Ghadir mengangkat dan melantik Imam Ali as sebagai penggatinya atas perintah Ilahi.[191]
Pemilihan Khalifah di Saqifah
Seteleh meninggalnya Nabi Muhammad saw, pada saat Ali as dan Bani Hasyim sibuk mengafani dan menguburkan jasad Nabi Muhammad saw, Anshar membuat perkumpulan di Saqifah Bani Saadah guna memilih pengganti Nabi saw dari kalangan mereka sendiri. Alasan mereka membentuk pertemuan ini adalah karena khawatir Quraisy akan membalas dendam atas kekalahan mereka dalam peperangan dan juga karena mereka tahu bahwa Quraisy tidak akan menjalankan wasiat Nabi saw mengenai Ali as sebagai penggatinya.[192] Ketika Abu Bakar dan Umar mengetahui perkumpulan ini, bersama Abu Ubaidah Jarrah, Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan pergi ke tempat perkumpulan. Setelah terjadi persengketaan sengit diantara mereka dan tanpa menghiraukan peristiwa Ghadir Khum akhirnya mereka memilih Abu Bakar sebagai khalifah. [193]
Sejarah Penentangan dengan Imam Ali as
Periode kehidupan Imam Ali as berada dalan kondisi yang sangat genting, amat sensitif dan berperan besar dalam sejarah Islam, khususnya setelah beliau menjabat sebagai khalifah dimana banyak terjadi gesekan-gesekan di tengah kaum Muslimin. Abdurrahim Qanawat dalam Daneshnameh Imam Ali as (Ensiklopedia Imam Ali as) menyakini bahwa sejumlah besar dari perselisihan pada masa Nabi saw dan Ali as bersumber dari persaingan kekeluargaan dan kesukuan di Quraisy dan diantara anak-anak keturunan Abdu Manaf.[194] Dengan menunjuk perselisihan diantara anak-anak dan cucu-cucu Abdu Manaf untuk merebut jabatan-jabatan di Mekah, Abdurrahim Qanawat berbicara tentang lemahnya posisi bani Hasyim sepeninggal Abdul Muththalib dihadapan bani Umayyah[195] dan menegaskan bahwa dengan bermualnya tekanan-tekanan Bani Umayyah kepada Imam Ali as sejak awal kekhilafahan, persaingan keluarga diantara keluarga Abdul Muththalib dan keluarga Harb (kakek Muawiyah) sampai pada puncaknya dan bani Umayyah relatif berhasil dimana keimanan Abu Thalib, ayah Imam Ali as, menjadi dipersoalkan.
Tekanan-tekanan ini berkelanjutan sampai 100 tahun berikutnya dan permulaan pemerintahan Abbasi. [196] Menurut pernyataan Qanawat, tekanan-tekanan ini dengan motivasi lain terus bergulir pada periode dinasti Abbasi, sebab tali keturunan kaum Abbasi bersambung kepada Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi. Mengingat bahwa Islamnya dia tidak dari awal dan bahkan pada perang Badar pun menjadi tawanan Nabi saw, kaum Abbasi merasa hina di hadapan keutamaan-keutamaan dan kebanggaan-kebanggaan kaum Alawi. [197]
Peristiwa perang Badar dianggap sebagai kejadian penting karena akar sebagian perdebatan teologis dan politis tumbuh di masa Ali bin Abi Thalib.[198] Imam Ali as pada perang Badar memiliki peran terbesar dalam membunuh kaum musyrikin. Sebab, Waqidi menyebut orang yang terbunuh di tangan Ali as berjumlah 22 orang, Ibnu Abil Hadid menyebut 35 orang (separuh dari yang tewas) dan Syekh Mufid menyebut 36 orang. [199] Hasan Tharimi dalam Daneshnameh Jahan Islam (Ensiklopedia Dunia Islam) meyakini bahwa 13 orang dari yang tewas di tangan Ali as termasuk pembesar Quraisy seperti Abu Jahal. Kekalahan dan tewasnya sosok-sosok terkenal bagi orang-orang musyrik Quraisy merupakan kekalahan telak yang mengancam reputasi dan nama baik mereka.[200] Berdasarkan bukti-bukti sejarah, orang-orang Quraisy semenjak peristiwa Badar merasa sakit hati kepada Imam Ali as, bahkan setelah mereka masuk Islam pun memprovokasi Quraisy dengan lantunan syair untuk melawan Imam Ali as dan melanggar baiat.[201] Dan, mereka tidak memusuhi seorang sahabat Nabi sebagaimana mereka memusuhi Ali as.[202] Kecemburuan sebagain orang yang seperjuangan dengan Imam Ali as kepada beliau setelah perang Badar dan juga sejalannya kecemburuan ini dengan kedengkian para musuh, berefek besar dalam penentuan pengganti Nabi saw dan nasib kaum Muslimin di kemudian hari.[203]
Sayid Hasan Fatimi di dalam Daneshnameh Imam Ali as (Ensiklopedia Imam Ali as) meyakini bahwa kecintaan Nabi Muhammad saw kepada Imam Ali as adalah salah satu sebab kedengkian dan kecemburuan Quraisy kepadanya.[204]Menurutnya, peristiwa Saqifah, berikutnya pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi saw terproses sebelum beliau wafat dan ada kelompok tertentu telah berencana menyingkirkan Ali as. [205] Menurut keyakinan dia, terbunuhnya orang-orang munafik dan para penghasut oleh pedang Imam Ali as dari satu sisi, dan pukulan Anshar terhadap muhajirin dari sisi lain, memaksa Anshar untuk lebih cepat memilih pengganti Nabi saw diantara mereka sendiri. Dan, Abu Bakar dan orang-orang Quraisy Madinah yang lain memanfaatkan kesempatan tersebut, [206] sementara Amirul Mukminin as sedang sibuk mengurus pengafanan dan penguburan Nabi saw.[207]
Posisi Imam Ali as
Pada peristiwa Saqifah, Ali as tidak berbaiat kepada Abu Bakar. Terkait masalah baiat itu sendiri dan waktu pembaiatan terjadi silang pendapat diantara para sejarawan.[208] Menurut catatan sebagian sumber, Ali as berdialog secara halus tapi tegas dengan Abu Bakar dan beliau menyalahkan Abu Bakar karena pelanggarannya di Saqifah tidak memperhatikan hak Ahlulbait Nabi. Dengan argumentasi-argumentasi yang dibawakan oleh Amirul Mukminin as, Abu Bakar berubah sampai pada batas berbaiat, tapi akhirnya atas musyawarah sebagian sahabatnya ia tidak jadi berbaiat.[209] Ali as dalam berbagai moment dan perkataan memprotes masalah Saqifah dan mengingatkan akan haknya sebagai pengganti Nabi saw. Khutbah Syiqsyiqiyah termasuk khutbah paling terkenal yang di dalamnya Imam as menyinggung masalah tersebut.[210] Menurut catatan beberapa sumber yang lain, Ali as setelah kejadian Saqifah dan di waktu Fatimah Zahra sa masih hidup, malam hari membawa Fatimah sa, putri Rasulullah, di atas tunggangan ke rumah-rumah dan tempat-tempat Anshar guna meminta pertolongan, namun mereka menjawab: “Wahai putri Nabi, kami telah berbaiat kepada Abu Bakar, andaikan Ali as lebih dahulu maju kami pun tidak akan berpindah darinya”. Ali as menjawab: Apakah aku akan berselisih mengenai khilafah sementara Nabi tidak ada yang menguburkannya? [211]
Pembelaan Imam Ali as akan haknya sebagai penggati Nabi saw tidak terhenti disini. Salah satu kejadian yang paling penting dimana ia menegaskan haknya dalam hal penggati Nabi adalah kejadian yang terkenal dengan “Munasyadah” (saling sumpah menyumpah). Pada peristiwa Munasyadah, Imam Ali as menyumpah sahabat supaya memberikan kesaksian mengenai apa yang mereka dengar dari Nabi tentang Imam Ali as. Sebagaimana yang dinukil Allamah Amini, banyak sumber dari Syiah dan Ahlusunah yang menjelaskan kejadian Munasyadah terjadi pada Rajab tahun 35 H, yakni pada permulaan kekhilafahan Imam Ali as. Di sini Imam Ali as menginginkan dari sahabat untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang mereka dengar di Ghadir terkait pengganti Nabi saw.[212] Sumber-sumber Syiah juga menyinggung terjadinya Munasyadah lain saat dibentuk Syura Enam Orang untuk menunjuk Umar sebagai khalifah. Di dalam riwayat-riwayat Munasyadah, Imam Ali as menjelaskan data-data terperinci mengenai beberapa kejadian dimana Nabi saw menjelaskan dengan tegas hak Ali as dalam hal khilafah. Di sini Ali as pun menyumpah anggota syura, apakah mereka pernah mendengarnya atau tidak? Mereka pun mengiyakan.[213]
Masa Pemerintahan Ketiga Khalifah
Selama masa pemerintahan tiga khalifah yang berlangsung selama 25 tahun, Imam Ali as kurang-lebih menjauh dari urusan politik dan pemerintahan dan hanya sibuk melakukan aktivitas-aktivitas keilmuan dan kemasyarakatan, seperti mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan Mushaf Imam Ali as, memberikan masukan-masukan kepada para khalifah dalam permasalahan pemerintahan, penaklukan, pengaturan pemerintahan, infak kepada fakir miskin dan anak yatim, membebaskan budak kira-kira sebanyak 1000 budak dengan cara membelinya, pertanian, penanaman pohon, menggali saluran-saluran, membangun masjid-masjid, seperti masjid Fath di Madinah, sebuah masjid yang terletak di dekat pusara Hamzah, sebuah majdis di Miqat, dan mewakafkan tempat-tempat dan properti-properti yang mempunyai pendapatan pertahun 40.000 dinar. [214]
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang beberapa permasalahan penting yang terjadi pada masa periode ini.
Abu Bakar
Dengan bermulanya kekhalifahan Abu Bakar, terjadi peristiwa yang menyakitkan bagi Ahlulbait seperti penyerangan terhadap rumah Ali as, pemberian baiat kepada Abu Bakar,[215] penggunaan dan pengambilan secara paksa Tanah Fadak [216] dan kesyahidan Sayidah Fatimah sa.
Baiat yang Dipaksakan
Ketidaksediaan Imam Ali as untuk membaiat kepada Abu Bakar dan langkah-langkah yang ditempuh beberapa sahabat yang menentang kekhalifahan Abu Bakar merupakan ancaman serius bagi Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu, Abu Bakar dan Umar memutuskan untuk mengakhiri ancaman ini dengan cara memaksa Imam Ali as untuk membaiat kepadanya. [217]
Setelah beberapa kali Abu Bakar mengirim Qunfudz ke rumah Ali as untuk mengambil baiat dari Imam Ali as, namun Imam Ali menolak, Umar berkata kepada Abu Bakar, bangunlah dan pergilah engkau sendiri ke sana. Dengan demikian, Abu Bakar, Umar, Usman, Khalid bin Walid, Mughirah bin Syu’bah, Abu Ubaidah al-Jarrah dan Qunfudz pergi ke rumah Ali as.
Ketika rombongan itu tiba di pintu rumah Ali as, setelah menghina Sayidah Fatimah sa, mereka mendorong pintu rumahnya, padahal Sayidah Fathimah sa berada diantara pintu dan dinding, mereka juga mencambuknya. [218] Kemudian mereka menyerang Imam Ali as dan melilit pakaiannya di lehernya lalu menyeret Imam Ali as keluar rumah dan membawanya ke Saqifah. Ketika Imam Ali as dibawa ke masjid, ia minta supaya membaiat Abu Bakar. Imam menjawab, “Aku lebih berhak akan kekhalifahan ini dari pada kalian dan aku tidak akan berbaiat kepadamu. Kamu lebih layak untuk berbaiat kepadaku karena kamu hanya dengan berdalih sebagai keluarga Nabi, telah mengambil khilafah dari kaum Anshar dan sekarang kamu mengambilnya dariku.” [219]
Terkait zaman pengambilan baiat ini dari Imam Ali as terjadi silang pendapat diantara para sejarawan. Sebagian mereka mengatakan hal ini terjadi setelah kewafatan Sayidah Fatimah sa, dan sebagian lagi mengatakan empat puluh hari setelahnya dan kelompok ketiga mengatakan enam bulan setelah wafatnya Sayidah Fatimah sa.[220] Namun Syekh Mufid meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib sama sekali tidak memberikan baiatnya kepada Abu Bakar.[221]
Kinerja Imam Ali as pada Masa Kekhilafahan Abu Bakar
Pada masa khilafah Abu Bakar selama kurang lebih dua tahun lamanya, Ali as dengan berbagai risiko yang dihadapinya tetap memberikan bimbingan-bimbingan kepada pemerintahan selama mau dibimbing. Menurut keyakinan ulama Ahlusunah, Abu Bakar dalam masalah penting bermusyawarah dengan Ali as[222] dan menjalankan nasehatnya. Bahkan supaya ia bisa memanfaatkan nasehat Imam Ali as melarang Imam keluar bersama kaum muslimin dari Madinah.[223] Imam Ali as meskipun menghindar dari segala jabatan, namun pada musyawarah yang kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin menuntutnya, beliau tidak menolak kerja sama dengan khalifah. Ya’qubi dalam hal ini menulis, “Diantara orang-orang yang menjadi rujukan dalam fikih pada masa Abu Bakar adalah Ali bin Abi Thalib”.[224] Terkait peperangan-peperangan dan penaklukan-penaklukan (futuhat) pada masa Abu Bakar, Imam Ali as bersikap netral atau maksimal memberikan konsultasinya saja dan tidak pernah ikut terjun di dalamnya. Sesuai dengan beberapa laporan sejarah, Abu Bakar untuk menaklukan Syam meminta pendapat dari para sahabat dan hanya menerima pendapat Ali as.[225]
Umar
Abu Bakar dalam wasiatnya yang ditulis oleh Usman mengajak masyarakat untuk mengikuti Umar dan mengumumkan, “Saya melantik Umar bin Khattab sebagai pemimpin kalian, dengarkanlah dan taatlah kepadanya”. [226] Menyikapi langkah ini, Imam Ali as diam, namun pada tahun-tahun berikutnya, beliau mencela dan menyalahkan pengangkatan tersebut seraya berkata: “Sangat aneh dan diherankan saat Abu Bakar masih hidup, ia sendiri meminta masyarkat untuk melepas baiat yang telah diberikan kepada dirinya (Dia berkata, ‘Tinggalkan aku, sebab aku bukan orang yang terbaik diantara kalian’), tetapi memperkuat tali-tali khilafah kepada orang lain untuk masa setelah dia meninggal. Dua orang ini (Abu Bakar dan Imar) memerah air susu khilafah dengan susah, padahal kelebihan aku jauh lebih besar dibanding mereka, aku ibarat sungai yang mengalirkan ilmu dan tak satupun mampun mencapai keilmuanku..dan aku dalam waktu panjang ini bersabar dalam kesedihan yang amat”.[227]
Kinerja Imam Ali as pada masa Khilafah Umar Kekhilafahan Umar berjalan 10 tahun. Imam Ali as sebagaimana pada masa Abu Bakar tidak memegang jabatan apapun, pada masa Umar juga menolak segala jabatan, namun ia hanya seorang penasehat di sisi Umar dan berkali-kali memberikan bimbingan kepada Umar.[228] Seperti yang dikatakan oleh sejawan Ahlusunah, Umar tidak melakukan suatu pekerjaan tanpa konsultasi Ali as, sebab ia percaya akan rasionalitas, kejelian dan keagamaan Ali as.[229] Ali bin Abi Thalib dalam menyikapi penaklukan-penaklukan (futuhat) pada masa ini, mengambil langkah seperti langkah yang pernah beliau lakukan pada masa khalifah pertama. Namun karena futuhat pada masa ini semakin luas cakupannya, maka peran Ali as pun lebih menonjol dan kasat mata dibanding pada masa Abu Bakar. Tidak ada sejarah dan riwayat yang menunjukkan bahwa Ali as ikut serta dalam futuhat pada masa ini. Tidak satupun sumber yang ada pada masa ini menyatakan bahwa Umar meminta konsultasi dari Ali as, sementara Ali as menolaknya. Akan tetapi menurut satu riwayat dari Imam Baqir as dijelaskan bahwa Umar mengatur urusan pemerintahan dengan pendapat Ali as, sekalipun dalam masalah yang paling penting seperti futuhat.[230] Dari sisi lain, para sahabat dan pengikut Ali as memiliki peran signifikan dalam futuhat di masa Umar.
Usman
Posisi Ali as pada Syura Enam Orang
Syura Enam Orang adalah sekelompok orang yang ditunjuk Umar bin Khattab sebelum kepergiaannya pada tahun 23 H untuk pemilihan khalifah berikutnya. Syura ini memilih Usman bin Affan sebagai khalifah kaum muslimin ketiga. Umar menyuruh semua masyarkat untuk menerima keputusan syura dan mengeluarkan perintah eksekusi bagi orang-orang yang menentangnya.[231] Imam Ali as dengan melihat langkah yang diambil anggota syura, dari awal sudah memprediksikan bahwa syura akan memilih Usman.[232] Anggota-anggota syura ini adalah: Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf.[233]
Kinerja Imam Ali as di Masa Kekhilafahan Usman
Berbeda dengan periode khilafah sebelumnya, Ali as lebih jarang tampil di lapangan dan jarang sekali bermusyawarah dan menjalin kerja sama dalam urusan pemerintahan. Oleh sebab itu, dalam sejarah tidak terlihat Imam Ali as memberikan bimbingannya dalam urusan futuhat. Alasan dari pengambilan sikap ini bisa dipahami dari perbedaan corak pemerintahan Usman dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Dengan menentang Alquran dan sunah Nabi saw secara terang-terangan, menonaktifkan hukum-hukum Ilahi, memberikan baitul mal tanpa perhitungan kepada famili-famili terdekat dan keluaga Umawi, memberikan jabatan-jabatan penting pemerintahan kepada keluarga bani Umayyah dan bani Mu’ith, dan terakhir menyakiti dan menzalimi sahabat-sahabat Nabi serta mengasingkan mereka, Usman berusa mengambil jarak dari Imam Ali as. Melihat tingkah laku Usman yang jelas-jelas menentang Alquran dan sunah Nabi saw, Imam Ali as tidak bersedia menjalin kerja sama dengan Usman seperti yang telah beliau lakukan dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Dengan semua ini, sumber-sumber sejarah melaporkan tentang kehadiran beberapa orang dari sahabat Ima Ali as seperti Khudzaifah bin Yaman, Salman Farisi dan -menurut satu pendapat- Barra’ bin Azib dalam futuhat di masa kekhilafahan Usman.[234]
Posisi Imam Ali as Dalam Pembunuhan Usman
Menurut sumber-sumber sejarah Islam, Imam Ali as tidak setuju dengan pembunuhan Usman. Dan, untuk mencegah terjadinya pembunuhan, beliau memerintahkan kedua putranya, Hasan as dan Husain dan juga beberapa orang untuk menjaga rumah Usman.[235] Sebagian sumber menukilkan, setalah Imam Ali as dapat kabar bahwa Usman terbunuh, beliau menangis dan mencela para penjaga rumahnya seraya berkata, sama sekali tidak ada alasan untuk membunuh Usman.[236] Sayid Jakfar Murtadha dengan melihat bukti-bukti sejarah seperti penentangan serius Imam Ali as dengan kinerja Usman dan adanya berita-berita yang bertentangan dengan berita di atas seperti ditolaknya tawaran bantuan Imam Hasan as oleh Usman, menolak penukilan di atas dan mengatakan bahwa itu tidak rasional. Dengan bersandar pada ucapan Imam Ali as yang menunjukkan bahwa beliau tidak gembira dan tidak pula sedih akan terbunuhnya Usman, dan ditambah lagi dengan sirah dan langkah beliau dalam menyikapi orang-orang zalim dan membantu orang-orang yang tertindas, mengatakan: kejadian ini dengan asumsi memang benar terjadi adalah semata-mata untuk menepis tuduhan keikutsertaan Hasan dan Husain dalam penumpahan darah Usman.[237] Setelah Sayid Murtadha meragukan soal pengutusan Hasan dan Husain oleh Imam Ali as, ia menyatakan bahwa alasan dari pengutusan tersebut adalah untuk mencegah terjadinya pembunuhan Usman yang disengaja dan untuk memberikan air dan makanan kepada keluarganya, bukan mencegah penuruan Usman dari kursi khilafah. Sebab, Usman akibat kelakuan-kelakuan buruknya berhak dicopot dari kursi khilafah.[238] Sebelum Usman terbunuh, Imam Ali as sering kali memberikan bantuan kepadanya, misalnya ketika orang-orang mengepung Usman dan tidak memberikan air kepadanya, Imam Ali as memberikan air dan makanan kepadanya.[239]
Sayid Jakfar Murtadha dengan menjelaskan bahwa Imam Ali as menganggap ilegal khilafah Usman dan tahu betul kebobrokan kinerjanya serta berkali-kali menasehatinya, meyakini bahwa Imam Ali as menentang pembunuhan Usman. Sebab, beliau tahu langkah ini akan dibuat alasan oleh orang-orang yang berkepentingan dan rakus kekhilafahan untuk menciptakan fitnah dengan menuntut darah Usman. Usaha Imam Ali as adalah ingin supaya para pemberontak mencukupkan diri dengan menurunkan Usman dari kursi khilafah.Jadi, apabila diasumsikan bahwa Imam Ali as mengutus Hasan dan Husain, tujuan beliau adalah untuk menepis tuduhan dari dirinya.[240] Dinukilkan dari Imam Ali as dinama beliau bersabda: Demi Tuhan, sedemikian besar aku membela Usman sehingga aku khawatir dihitung pendosa.[241]
Masa Pemerintahan Ali as
Setelah Usman terbunuh, sejumlah sahabat mendatangi Imam Ali dan berkata, “Kami tidak mengenal orang yang layak untuk menjabat kekhalifahan selain engkau.” Pertama Imam Ali menolak khilafah dan bersabda, “Aku lebih baik menjadi wazirmu dari pada amirmu.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima kecuali membaiatmu.” Imam berkata bahwa baiat mereka tidak boleh dilakukan secara rahasia dan harus dilakukan di Masjid. [242]
Semua kaum Anshar kecuali beberapa orang memberikan baiat kepada Ali as. Orang-orang yang menentang diantaranya: Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Musallamah bin Mukhallad, Muhammad Musallamah dan beberapa orang yang berasal dari Usmaniyah. Penentang yang tidak berasal dari Anshar di antaranya Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit dan Usamah bin Zaid di mana semua orang ini adalah orang-orang yang dekat dengan keluarga Usman. [243]
Terkait dengan hal bahwa, mengapa Imam Ali as tidak mau menerima baiat yang diberikan oleh masyarakat? harus dikatakan bahwa Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya di Nahjul Balaghah menilai keadaan masyarakat yang ada, sangat tidak kondusif sehingga tidak mendukung imam untuk memimpin mereka dan menjalankan program-programnya. [244]
Para Pegawai
Setelah Bi’tsah, Imam Ali as mengirim para pegawainya ke berbagai titik negri Islam. Misalnya, Usman bin Hunaif dikirim ke Basrah, Imarah bin Syihab dikirim ke Kufah, Ubaidullah bin Abbas dikirim ke Yaman, Qais bin Saad bin Ubadah dikirim ke Mesir dan Sahl bin Hunaif dikirim ke Syam. Ketika Sahl bin Hunaif dalam perjalanannya ke Syam sampai di Tabuk, ia berdialog dengan sekelompok masyarakat yang menyebabkan dia dipulangkan.[245] Ubaidullah bin Abbas ketika sampai di Yaman, Ya’la bin Maniyah yang diangkat Usman untuk memimpin pemerintahan Yaman, mengambil semua baitul mal dan pergi ke Mekah. [246] Imarah bin Syihab, gubernur Kufah, ketika sampai di Zubalah (nama tempat diantara Madinah dan Kufah) bertemu dengan seorang laki-laki bernama Thulaihah bin Khuwailid yang datang ke sana untuk menutut darah Usman. Dan, karena Imarah tahu bahwa dia datang untuk pemerintahan Kufah, berkata: “Kembalilah kamu. Masyarakat tidak menghendaki seseorang kecuali amir (pemimpin) mereka dan jika kamu menolak, aku akan membunuhmu”. Oleh karena itu, ia pulang dan Ali as beberapa waktu setelahnya, atas saran Malik Asytar, membiarkan Abu Musa Asy’ari dalam pemerintahan Kufah. [247]
Peperangan
Perang Jamal (Nakitsun)
Perang Jamal adalah perang yang pertama kali terjadi antara Imam Ali as dan nākitsin (nākits bermakna orang-orang yang melanggar janji). Kelompok ini disebut sebagai nākitsin karena Thalhah dan Zubair serta pengikutnya dikarenakan pada mulanya berbaiat kepada Imam Ali as namun pada akhirnya mereka melanggar janji pada perang Jamal. [248]Perang ini terjadi pada bulan Jumadi Tsani tahun ke-36 H/656. [249] Thalhah dan Zubair yang pada awalnya menginginkan jabatan khalifah [250] dikarenakan gagal memperolehnya dan khilafah jatuh ke tangan Imam Ali as, maka kedua orang ini berharap bahwa mereka juga diberi jabatan dalam kekhilafahan di Basrah dan Kufah. Keduanya ingin pemerintahan di Basrah dan Kufah diberikan kepada mereka, namun Imam Ali as menilai bahwa keduanya tidak mempunyai kelayakan untuk menerima jabatan itu. [251]Oleh karena itu, walaupun mereka adalah orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap khalifah Usman, mereka menuntut balas atas darah Usman. [252] Demi memuluskan langkahnya, ia masuk ke dalam barisan Aisyah. Padahal Aisyah sendiri ketika Usman terkepung, tidak hanya tidak menolongnya, namun menilai orang-orang yang protes terhadap Usman dinilai sebagai orang-orang yang mencari kebenaran! Namun karena Aisyah mendengar bahwa masyarakat telah membaiat Imam Ali as, ia menggunakan isu pembunuhan tehadap Usman dan demi membalas darah atas pembunuh Usman. [253] Aisyah sangat benci dan dendam kepada Imam Ali as. Oleh karenanya ia bekerja sama dengan Thalhah dan Zubair. [254]Olehnya itu, mereka membentuk pasukan 3000 orang dan bergerak menuju Basrah. [255] Dalam perang ini, Aisyah naik unta bernama Askar dan oleh karena itu, perang ini disebut sebagai perang Jamal (unta). [256]
Begitu Imam Ali as sampai Basrah, ia memberi nasehat kepada para pelanggar janji dan berusaha untuk mencegah terjadinya perang. Namun usaha itu tidak membuahkan hasil dan mereka mengawali perang itu dengan membunuh salah seorang sahabat Imam Ali as. [257] Sebelum perang dimulai, Zubair menyingkir dari pasukan itu karena Imam Ali as mengingatkan sebuah hadis Nabi sa kepadanya. Sesuai hadis tersebut, Nabi Muhammad saw pada suatu hari kepada Zubair bersabda, “Kamu akan berperang melawan Ali,”. Zubair pada akhirnya dibunuh di luar Basrah oleh Amru bin Jurmuz. [258] Pemberontak perang Jamal kalah setelah beberapa jam berperang dan setelah pasukannya banyak yang terbunuh. Dalam perang ini Thalhah tewas. [259] Setelah perang selesai, Aisyah dengan penghormatan yang baik kembali ke Madinah. [260]
Perang Shiffin (Qasitun)
Perang Shiffin adalah perang yang terjadi antara Imam Ali as dan Qasithin (Muawiyah dan pasukannya) [261]pada bulan Shafar tahun 37 H/657. Perang ini terjadi di Syam, di dekat sungai Furat pada suatu daerah bernama Shifin. Perang ini berujung kepada hakamiyat yang terjadi pada bulan Ramadhan 38 H/658. [262] Ketika Usman terkepung, Muawiyah tidak melakukan tindakan apa pun walaupun ia dapat menolongnya dan bahkan ingin membawanya ke Damaskus sehingga di sana ia mengambil alih urusan Usman. Setelah Usman terbunuh, Muawiyah berusaha untuk menyebarkan berita bahwa Ali-lah yang membunuh Usman. Pada awal kekhlalifahannya, Imam Ali menulis surat agar Muawiyah membaiatnya. Muawiyah beralasan bahwa pembunuh Usman harus dibawa kehadapannya dan diserahkan kepadanya sehingga ia akan mengkisasnya. Apabia Imam Ali as memenuhi permintaan Muawiyah ini, ia akan membaiatnya. Imam Ali setelah menulis surat dan mengutus wakilnya untuk menemui Muawiyah, menggerakkan pasukannya menuju Syam karena sudah mengetahui bahwa Muawiyah sudah dalam kondisi bersiaga untuk berperang. Muawiyah pun menggerakkan pasukannya. Kedua pasukan itu bertemu di daerah Shiffin. Imam Ali as berusaha sekuat tenaga untuk mencegah supaya perang tidak meletus. Oleh karena itu, Imam Ali as kembali menulis surat namun usaha itu tidak berhasil dan perang pun berkobar pada tahun 36 H/656. [263]
Pada serangan yang terakhir, jika saja perang itu masih berlanjut, pasukan Imam Ali as yang akan menang. Muawiyah dengan berunding dengan Amr bin Ash dan memerintahkan untuk meletakkan beberapa Alquran yang ada di perkemahan kemudian ditancapkan di ujung tombak dan untuk sementara waktu pasukan Ali as pergi dan mereka diajak untuk melaksanakan hukum dengan Alquran. Tipu daya ini berhasil dan sekelompok dari pasukan Ali as yang merupakan pembaca (qāri) Alquran pergi ke hadapan Imam Ali as dan berkata, “Kami tidak sanggup untuk berperang melawan masyarakat dan apa-apa yang mereka katakan harus kita terima!” Walaupun Imam Ali as telah menjelaskan bahwa hal ini adalah sebuah makar yang diinginkan oleh pihak musuh supaya mereka memenangkan peperangan ini, namun penjelasan Imam Ali tidak digubris. [264]
Imam Ali as dalam sebuah surat kepada Muawiyah terpaksa menerima arbitrase Alquran dan dengan tetap mengingatkan bahwa kami mengetahui jikalau kalian tidak bersama Alquran. [265] Telah disepakati bahwa salah seorang dari kalangan pasukan Syam dan salah seorang dari pasukan Irak mengadakan perundingan dan memberikan pendapatnya terkait dengan hukum Alquran. Penduduk Syam memilih Amr bin Ash. Asy’ats dan beberapa orang lagi yang kemudian begabung dalam kelompok Khawarij mengusulkan Abu Musa Asy’ari. Namun Imam Ali mengusulkan Ibnu Abbas atau Malik Asytar meskipun tidak disetujui oleh Asy’ats dan pengikutnya dengan alasan Malik Astar lebih memilih perang dan Ibnu Abbas tidak diperbolehkan karena Amr bin Ash berasal dari Mesir, oleh karena itu, pihak yang lain harus berasal dari Yaman. [266] Pada akhirnya, Amr bin Ash menipu Abu Musa Asy’ari dan arbitrase menguntungkan pihak Muawiyah. [267]
Perang Nahrawan (Mariqin)
Peristiwa arbitrase pada perang Shiffin berbuah dengan kritikan dan perlawanan sebagian pengikut Imam Ali as yang menyatakan, ‘mengapa Anda turut campur dalam urusan Tuhan’. Padahal Imam Ali as semenjak awal sudah menentang hal ini dan mereka sendiri yang menginginkan adanya arbitrase. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan dan melaknat Imam Ali as. [268]
Kelompok ini yang dikenal dengan Mariqin atau Khawarij akhirnya membunuhi masyarakat. Abdullah bin Khabab yang merupakan ayah dari sahabat Rasulullah saw terbunuh dan perut istrinya yang tengah hamil pun dirobek. [269] Dengan demikian, Imam Ali as terpaksa memerangi mereka. Sebelumnya Imam Ali as mengajak Abdullah bin Abbas untuk melakukan pembicaraan dengan mereka namun tidak membuahkan hasil. Akhirnya Imam Ali as menemui mereka dan berdialog dengan mereka. Sangat banyak dari mereka yang menyesal namun banyak juga yang tetap dengan keyakinannya yang keliru itu. Akhirnya perangpun meletus dan dari pihak Mariqin tersisa 9 orang sedangkan dari pasukan Imam Ali as 7 atau 9 orang terbunuh. [270]
Syahadah
Imam Ali as pada waktu sahur 19 Ramadhan tahun 40 H disaat sedang sujud di Masjid Kufah terkena sabetan pedang Ibnu Muljam Muradi, dan dua hari berikutnya pada 21 Ramadhan menemui kesyahidannya dan dikuburkan dengan sembunyi.[271][272] Terpukulnya Ali bin Abi Thalib terjadi dalam suatu kondisi dimana beliau setelah perang Nahrawan berusaha mengkoordinir masyarakat Irak untuk berperang kembali dengan Muawiyah, namun hanya segelintir orang yang sudi menolong beliau. Dalam kondisi seperti ini, Muawiyah yang mengetahui situasi dan kondisi Irak menginvasi berbagai sisi pemerintahan Imam Ali as di jazirah Arab dan Irak. [273] Menurut sumber-sumber sejarah, tiga orang dari Khawarij bersepakat untuk membunuh tiga orang, yaitu Imam Ali as, Muawiyah dan Amr bin Ash. Ibnu Muljam ditugaskan membunuh Imam Ali as.[274]
Imam pertama Syiah setelah syahid, sesuai wasiatnya,[275] dikuburkan secara sembunyi di Najaf (dahulu bernama Gharyain) oleh Imam Hasan as, Imam Husain as, Muhammad bin Hanafiyah dan Abdullah bin Jakfar.[276] Disembunyikannnya makam Imam Ali as adalah untuk mengantisipasi terjadinya pembongkaran makam beliau dan ketidakhormatan bani Umayah terhadapnya.[277] Imam Shadiq as pada tahun 135 H, pada masa pemerintahan Mansur Abbasi menunjukkan tempat pemakaman Imam Ali as di Najaf.[278]
Berdasarkan beberapa riwayat, Imam Ali as terkait masalah pemandian, pengafanan, penyolatan dan penguburan dirinya mewasiatkan beberap wasiat kepada anak-anaknya.[279]Demikian juga beliau meminta kepada Imam Hasan dan Imam Husain as jika meninggal karena tebasan pedang Ibnu Muljam, untuk mengkisas dia hendaknya memukulnya sekali saja. [280]Begitu juga selain beliau berwasiat untuk memperhatian Alquran, salat, amar makruf, nahi mungkar, jihad di jalan Allah dan haji, juga berwasiat kepada anak-anaknya untuk takut kepada Allah, disiplin dalam segala urusan dan harmonis dengan orang lain serta meminta mereka untuk perhatian kepada hak-hak anak yatim dan tetangga.[281]
Makam Imam Ali as
Imam Ali as syahid pada tahun 40 H dan sesuai wasiatnya dikuburkan secara sembunyi.[282] Ketersembunyiaan pusara Imam Ali as berlansung selama sekitar satu abad. Setelah kekuatan kaum Umawi melemah, faktor ketersembunyian pusaranya terangkat dan tersedia ruang untuk menampakkan kuburannya. [283] Zaman tersingkapnya makan Imam as tidak diketahui secara detail oleh Syiah.[284] Sebagian ahli sejarah meyakini bahwa berdasarkan banyak riwayat dan juga peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya pertemuan Imam Shadiq as dengan Saffah, khalifah pertama dinasti Abbasi (masa khilafah dari 131-136 H) di Kufah, Imam Shadiq as pada masa itu menziarahi makam Imam Ali as di Najaf, dan dari ziarah ini orang-orang Syiah mengetahui tempat makamnya.[285] Sebagian lagi meyakini bahwa tersingkapnya makan Imam Ali as terjadi di masa Mansur (masa khilafah dari 136-158) khalifah kedua dinasti Abbasi.[286] Namun semua sejarawan sepakat bahwa orang yang mengungkap makan Imam Ali as adalah Imam Shadiq as.[287]
Fadhilah dan Keutamaan
Lahir di Ka’bah
Berdasarkan penukilan Allamah Amini, ada 16 sumber Ahlusunah, 50 sumber Syiah dan 41 penyair abad ke-2 H dan setelahnya, mengisyaratkan kelahiran Imam Ali as di dalam Ka’bah.[288] Demikian juga Allamah Majlisi menulis, dari 18 sumber yang rata-rata dari Syiah, menyebut kelahiran Ali bin Abi Thalib di dalam Ka’bah.[289] Atas dasar itu, Fatimah binti Asad, ibu Imam Ali as, memohon kepada Allah di pinggir Ka’bah supaya mempermudah kelahiran putranya.[290] Kemudian dinding Ka’bah terbuka dan Fatimah binti Asad masuk ke dalam Ka’bah. Setelah 3 hari tinggal di dalam Ka’bah, pada hari keempat ia keluar dari dalam Ka’bah dengan menggendong putranya, Ali as.[291]
Orang yang Pertama Masuk Islam
Berdasarkan keyakinan Syiah dan sebagian ilmuan Ahlusunah, Imam Ali as adalah lelaki pertama yang beriman kepada Nabi saw.[292] Sesuai dengan sebagian riwayat Syiah, Nabi saw mengenalkan Imam Ali as sebagai muslim pertama, mukmin pertama[293] dan orang pertama yang mempercayai Nabi.[294]Syekh Thusi menukil sebuah riwayat dari Imam Ridha as yang memperkenalkan Imam Ali as adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi Islam saw.[295] Allamah Majlisi menyebut urutan orang-orang yang beriman kepada Nabi saw sebagai berikut: pertama Imam Ali as, kemudian Khadijah sa dan berikutnya Jakfar bin Abi Thalib.[296]
Menurut beberapa peneliti, ijma Syiah mengatakan bahwa Imam Ali as adalah lelaki pertama yang masuk Islam.[297] Selain itu, sebagian sejarawan Ahlusunah seperti Thabari[298], Dzahabi,[299] dan yang lain[300] juga menukilkan beberapa tukilan yang menunjukkan bahwa Imam Ali as orang pertama yang masuk Islam. Saat itu Imam Ali as – menurut pendapat masyhur- berusia 10 tahun. Namun dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Imam Ali as beriman pada usia 12 tahun, sebab usia beliau saat menemui kesyahidannya 64 tahun.[301]
Hadis Yaum al-Dar
Nabi Muhammad saw berdakwah secara sembunyi di Mekah selama tiga tahun. Dan, setelah tiga tahu berlalu, beliau mendapat perintah dari Allah swt untuk melanjutkan dakwaknya secara terang-terangan. Sesuai dengan penukilan sumber-sumber sejarah dan tafsir-tafsir Alquran, dengan turunnya ayat Indzar pada tahun ketiga Bi’tsah, Nabi saw memerintahkan Ali as untuk menyiapkan makanan dan mengundang anak-anak Abdul Muththalib guna menyeru mereka kepada Islam. Sekitar 40 orang , termasuk Abu Thalib, Hamzah dan Abu Lahab, hadir dalam undangan tersebut. Setelah mereka menyantap hidangan, Nabi saw bersabda: “Hai anak-anak Abdul Muththalib! Sumpah demi Tuhan, diantara orang Arab saya tidak menemukan seorang pemuda membawa sesuatu kepada kaumnya lebih baik daripada apa yang saya bawa kepada kalian. Saya membawa kebaikan dunia dan akhirat kepada kalian. Allah memerintahkan saya untuk mengajak kalian kepada-Nya. Sekarang siapakah diantara kalian yang sudi membantuku sehingga ia menjadi wasi dan penggantiku di tengah-tengah kalian? Tak seorang pu menjawab. Imam Ali as yang lebih muda dari semua dan berusia 13 atau 14 tahun, berkata: “Wahai Nabi Allah! Saya siap membantumu”. Lalu Nabi saw bersabda: “Ini adalah saudara, wasi dan penggantiku di antara kalian. dengarkanlah perkataannya dan taatlah kalian kepadanya”.[302]
Lailatul Mabit
Setelah kaum Quraisy mengganggu dan mengintimidasi kaum Muslimin, Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada pengikutnya untuk berhijrah ke Madinah. Oleh karena itu pengikut Nabi pun melakukan hijrah ke Madinah dalam beberapa tahapan. [303] Setelah pembesar kaum Quraisy berkumpul dan bersidang untuk bertukar pikiran di Darun Nadwah, mereka mengambil keputusan bahwa setiap kabilah menunjuk satu orang pemuda pemberani dan kuat perkasa untuk membunuh Rasulullah saw. Jibril pun menyampaikan wahyu dan menjelaskan kejadian yang tengah berlangsung. Kemudian malaikat Jibril memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk tidak tidur diranjang beliau melainkan untuk pergi hijrah. Nabi Muhammad saw melibatkan Ali as dalam rencana keji kaum Quraisy ini dan memerintahkan Ali as untuk tidur di pembaringan Rasulullah saw. [304] para Mufasir meyakini bahwa Asbab Nuzul ayat
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاء مَرْضَاتِ اللهِ وَ اللهُ رَؤُوْفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang rela menjual (mengorbankan) dirinya karena mencari keridaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” [305] berkenaan dengan peristiwa lailatul Mabit dan berkenaan dengan Imam Ali. [306]
Akad Persaudaraan dengan Rasulullah saw
Nabi Muhammad saw setelah memasuki kota Madinah, di antara kaum Muhajirin membacakan Akad Persaudaraan. Kemudian beliau membacakan akad persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Beliau pada dua kesempatan bersabda, “Engkau (Ali) adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.” Kemudian Rasulullah saw membacakan akad persaudaraan antara beliau dan Ali as. [307]
Radd al-Syams
Suatu hari pada tahun 7 H/628, Nabi Muhammad saw dan Ali as telah melaksanakan salat Dhuhur. Kemudian beliau mengutus Ali untuk mengerjakan sesuatu padahal waktu itu Ali as belum mengerjakan salat Asar. Ketika Ali as kembali, Nabi meletakkan kepala beliau di pangkuan Ali dan ketiduran hingga matahari pun tenggelam. Ketika Nabi saw bangun, beliau berdoa, “Tuhan, hamba-Mu Ali, menahan dirinya karena nabinya, maka terbitkanlah kembali matahari baginya.” Pada saat itu, matahari pun terbit kembali, kemudian Ali as pun berdiri, berwudhu dan mengerjakan salat Asar. Setelah itu matahari pun kembali tenggelam. [308]
Menyampaikan Surat Barāah
Beberapa ayat pada permulaan surah Al-Taubah, turun ketika Nabi Muhammad mengambil keputusan untuk tidak pergi haji. Ayat-ayat itu menjelaskan tentang kaum musyrikin mempunyai kesempatan selama 4 bulan untuk mengikuti ajaran tauhid dan berada pada barisan kaum Muslimin namun jika tetap keras kepala pada keyakinan sebelumnya, maka harus bersiap untuk berperang dan ketahuilah di mana saja mereka tertangkap pasti akan terbunuh. Oleh karena itu, sesuai dengan perintah Tuhan, “Pesan ini harus disampaikan oleh Nabi sendiri, kaum muslimin atau seseorang yang mewakili Nabi dan selain kedua orang ini, tidak ada orang yang layak untuk mengerjakan hal ini.” [309] Nabi Muhammad Saw, menginginkan Ali as dan memerintahkan Imam Ali as untuk pergi ke Mekah dan di Mina pada hari raya Idul Qurban untuk menyampaikan ayat-ayat surat Barā’ah kepada kaum musyrikin. [310]
Hadis al-Hak
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Ali bersama kebenaran (al-hak) dan kebenaran (al-hak) selalu bersama Ali.” [311]
Sadd al-Bāb
Yaitu semua pintu ke arah Masjid Nabi ditutup atas perintah Nabi saw kecuali pintu rumah Ali as. Ketika ditanyakan kepada Rasul sebab hal ini, beliau menjawab, “Aku bertanggung jawab untuk menutup semua pintu kecuali pintu rumah Ali. Tapi atas peristiwa hal ini, banyak kericuhan terjadi. Sungguh aku tidak menutup satu pintu pun dan tidak membuka pintu itu kecuali hanya menjalankan tugas (dan hanya menaati perintah-Nya).” [312]
Pengumpulan Alquran
Ulama Syiah dan Sunni mengakui bahwa Imam Ali yang memulai menyusun Alquran atas wasiat Nabi Muhammad saw setelah wafatnya beliau. [313] Sebagaimana yang telah dinukilkan dari riwayat, Ali as bersumpah bahwa ia tidak akan mengenakan jubah kecuali jika Alquran sudah ada. [314] Dan juga dalam riwayat telah dinukilkan bahwa, “Ali, pasca wafatnya Nabi mengumpulkan Alquran selama 6 bulan.” [315]Orang pertama yang mengumpulkan Alquran, Ali as.[316]
Permulaan Kalender Islam
Atas ususlan Imam Ali as Umar menjadikan sejarah hijrah Nabi ke Madinah sebagai permulaan kalender kaum muslimin.[317]
Ucapan Ibnu Abbas tatkala ajalnya mendekat:
“اللهم انی اتقرب الیک بولایة علی بن ابی طالب “
“Ya Allah! Sesungguhnya Aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan wilayah Ali bin Abi Thalib”
Ibnu Hanbal, Fadhail Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, hlm. 285
Keutmaan-keutamaan Imam Ali as Dalam Alquran
Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan keutamaan Imam Ali as sangat banyak. Ibnu Abbas meriwayatkan sebanyak 300 ayat berkenaan dengan beliau. [318] Pada kesempatan ini kami hanya akan menyebutkan beberapa saja dari ayat-ayat yang dimaksud:
Ayat Mubāhalah
فَمَنْ حَاجَّكَ فيهِ مِنْ بَعْدِ ما جاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعالَوْا نَدْعُ أَبْناءَنا وَ أَبْناءَكُمْ وَ نِساءَنا وَ نِساءَكُمْ وَ أَنْفُسَنا وَ أَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللهِ عَلَى الْكاذِبينَ
“Katakanlah (kepada mereka):” Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri- istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; ; kemudian marilah kita bermubahalah, kemudian kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang- orang yang dusta.” [319] Hari Mubāhalah terjadi pada tahun ke 10 H/631 ketika antara kaum Muslimin dan Nasrani Najran saling mengutuk sehingga Allah swt akan mengazab siapa di antara mereka yang berbohong. Demi maksud ini, Rasulullah saw membawa Ali as, Fatimah sa, Hasan as dan Husain as ke padang sahara. Nasrani Najran dengan menyaksikan bahwa Rasulullah saw hanya membawa orang-orang terdekatnya, langsung ketakutan dan menerima untuk membayar jizyah (semacam uang perlindungan yang harus dibayar ke pemerintahan islam). Dalam ayat Mubahalah, Ali as disebut sebagai diri Nabi saw.[320]
Ayat Tathir
إِنَّما يُريدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.” [321] Menurut pendapat ulama Syiah, ayat ini turun di rumah Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi Muhammad saw. Pada saat itu, Ali as, Fatimah sa, Hasan as dan Husain as juga ada di rumah Ummu Salamah. Setelah turunnya ayat Tathir, Rasullullah saw mengambil kain yang digunakan sebagai alas untuk duduk, untuk kemudian meletakkan kain itu diatas ahli kisa yaitu, Nabi Muhammad saw sendiri, Ali as, Fatimah sa, Hasan as dan Husain as. Kemudian Nabi Muhammad saw mengangkat tangannya ke arah langit dan berdoa, “Ya Allah, mereka ini adalah Ahlulbaitku, sucikanlah mereka dari segala dosa dan noda.” [322]
Ayat Mawaddah
قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى
“Katakanlah (Wahai Rasulullah):”bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku.” [323] Dalam ayat ayat ini, kecintaan dan mawaddah kepada Al-Qurba (kerabat) diwajibkan ata kaum muslimin sebagai upah penyampaian risalah oleh Nabi saw. Ibnu Abbas berkata, “Ketika ayat ini turun, aku bertanya kepada Rasulullah saw siapakah yang dimaksud dengan kerabatku?” Rasulullah saw menjawab, “Ali as, Fatimah sa, Hasan as dan Husain as. Rasulullah pun mengulang perkataan ini sebanyak tiga kali. [324]
Keutamaan-keutamaan Lain
Sumber Ilmu-ilmu
Menurut keyakinan ulama muslim, Imam Ali as adalah pencetus sejumlah besar dari ilmu-ilmu Islam. Ibnu Abil Hadid dari ulama Ahlusunah abad ke-7 H meyakini bahwa Imam Ali as adalah sumber semua keutamaan-keutamaan. Oleh karena itu, setiap golongan dan kelompok menisbatkan kelompoknya kepada Imam Ali as.[325] Dengan adanya celaan-celaan dan kedengkian-kedengkian yang banyak kepada Imam as dan sahabat-sahabatnya, ketenaran namanya tidaklah berkurang. [326] Ibnu Abil Hadid juga meyakini bahwa Ali as adalah sumber ilmu-ilmu seperti ilmu teologi, fikih, tafsir[327], qiraat, sastra Araab, fashahah dan balaghah. [328]Menurut Ibnu Abil Hadid, penjelasan terperinci mengenai ilmu ketuhanan dilakukan oleh Imam Ali as, dan melalui Muhammad bin Hanafiyah, kaum Mu’tazilah menjadi muri-murid Imam Ali as. Demikian juga Asya’irah, Imamiyah dan Zaidiyah menjadi murid-muridnya. [329] Dalam bidang fikih, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Syafii dan Abu Hanifah, secara tidak langsung adalah murid-murid Imam Ali as juga. [330] Dalam ilmu qiraat, dengan perantara Abdurrahman Salma yang belajar ilmu itu kepada Imam as, sanad qiraat para qari adalah berujung dan sampai kepada Imam Ali as. [331] Terkahir, Imam Ali as diyakini sebagai peletak ilmu Nahwu, sebab kaidah-kaidah ilmu ini dinukilkan oleh murid beliau, Abu al-Aswad Duali, kepada orang lain. [332]
Silsilah Aliran Sufi
Mayoritas silsilah aliran-aliran sufi Islam rata-rata menisbatkan silsilahnya kepada Imam Ali as. Nasrullah Pur Jawadi dalam Daneshnameh Jahane Islam meyakini bahwa Syekh Ahmad Ghazali (w. 520 H) berpengaruh dalam kemunculan silsilah aliran sufi dan sekian banyak dari sanad silsilah mereka disambungkan kepadanya. Pembuatan silsilah ini (karena tidak memiliki dasar yang kuat) berusaha membuat surat nasab (tali keturunan) dimana silsilah mereka ingin disambungkan kepada sahabat dan Nabi saw melalui sufi-sufi terdahulu.[333] Menurut Syahram Pazuki di dalam Daneshnameh Jahane Islam, semua silsilah sufi menyambungkan ‘ijazah guru-guru mereka’ (meliputi ijazah irsyad dan tarbiyah) kepada Nabi saw, dan silsilah ini umumnya disambungkan kepada Nabi saw melalui Ali as.[334] Menurut Ibnu Abil Hadid, ‘Khirqah’ yang merupakan slogan kaum sufi membuktikan hal tersebut. [335]
Kepemimpinan
Menurut Sayid Kazhim Thabathabai Nezad di dalam Daneshnameh Imam Ali as (Ensiklopedia Imam Ali as), penegasan dan penjelasan Nabi saw atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as sedemikian banyak dan gamblang dimana tidak ada keraguan di dalamnya. Penelitian perkataan-perkataan Rasulullah saw dalam hal ini membuktikan bahwa hal yang paling banyak menyibukkan hati beliau adalah masalah imamah dan kepemimpinan setelahnya.[336] Langkah-langkah Nabi saw di jalan ini dimulai semenjak permulaan dakwahnya secara terang-terangan dengan memperkenalkan Imam Ali as sebagai khalifah dan pengganti setelahnya[337], dan berlanjut hingga hari-hari terakhir dari kehidupannya sepulang dari haji Wada pada 18 Dzulhijjah di Ghadir Khum. Dan juga pada detik-detik akhir umurnya, beliau meminta tinta dan pena untuk menulis satu wasiat supaya kaum muslimin tidak sesat setelahnya.[338]
Dalil-dalil keimamahan Imam Ali as, terkadang dengan tegas menunjukkan keimamahan dan kepemimpinannya setelah Nabi saw, dan terkadang pula tidak menyinggung masalah kepemimpinannya, namun menunjukkan keutamaan-keutamaan Ali bin Abi Thalib as. Diantara dalil-dalil dari jenis pertama adalah:
Ayat Wilayah: para ahli tafsir mengatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut berkenaan dengan kejadian pemberian cincin oleh Imam Ali as kepada orang fakir saat beliau sedang dalam keadaan ruku.[339]
Ayat Tabligh dan Ikmal: ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir. Atas dasar itu, Nabi saw menyampaikan hadis Ghadir kepada masyarakat. Hadis Ghadir adalah dalil terpenting Syiah atas kepemimpinan Amirul Mukminin as. Peristiwa Ghadir terjadi pada tahun terkahir dari umur Nabi saw dan umat mengucapkan selamat kepada beliau atas dilantiknya Ali as sebagai penggantinya.
Beberapa ayat dan hadis yang dianggap sebagai dalil atas kepemimpinan Imam Ali as, dan pada saat yang sama secara tegas tidak mengisyaratkan kepada kepemimpinan dia namun menunjukkan keutamaan keutamaan Ali bin Abi Thalib as, antara lain adalah: ayat Tathir, ayat Mubahalah, ayat Shadiqin, ayat Khairul Bariyyah, ayat Ahlul Dzikr, ayat Syira’, ayat Najwa, ayat Shaleh al-mukminin, hadis Tsaqalain, hadis Madinatul ilmi, hadis Rayat, hadis Kisa, hadis Wishayat, hadis Yaumuddar, hadis Thair, hadis Muakhat[340] hadis Manzilah, hadis Wilayah, hadis Safinah dan hadis Saddul Abwab.
Tipologi Akhlak
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ia hidup dalam kemurahan hati yang luar biasa dan keadannya yang sangat sederhana. Ketika ia berpuasa, ia memberikan makanan buka puasanya kepada anak yatim sehingga ayat, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.”(QS Al-Insan [76]: 8) turun berkenaan dengannya. Mufasir berkata suatu ketika Ali as hanya memiliki 4 dirham lalu beliau menyedekahkan 1 Dirham di malam hari, 1 Dirham yang lain di siang hari, 1 Dirham dengan rahasia, dan 1 Dirham lagi beliau sedekahkan dengan terang-terangan. Olehnya itu ayat, “Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah [2]: 274) turun berkenaan dengan peristiwa ini. Mereka berkata: Imam Ali as mengairi kurma orang Yahudi Madinah hingga tangannya keras dan upahnya beliau sedekahkan dan ia sendiri mengganjal perutnya dengan batu. Mereka berkata: “Tidak pernah sekalipun berkata tidak kepada orang yang membutuhkan bantuan.” Pada suatu hari, Mahfan bin Abi Mahfan menghadap Muawiyah. Muawiyah bertanya kepadanya, “Dari mana engkau?” Ia dengan maksud ingin membahagiakan Muawiyah berkata, Aku baru saja datang dari orang yang paling pelit di antara seluruh manusia. Maksudnya adalah Imam Ali. Celakalah engkau! Bagaimana mungkin tentang seseorang yang jika mempunyai gudang emas dan jerami maka akan ia gunakan untuk menolong orang-orang yang miskin!” [341]
Mudah Memaafkan dan Bertoleransi
Ibn Abil Hadid berkata: “Imam Ali as mempunyai kesabaran, mudah memaafkan, murah hati dan mengabaikan orang lain yang berbuat tidak baik kepadanya, hal ini sebagaimana yang terjadi pada perang Jamal yang merupakan bukti akan hal ini. Ketika Marwan bin Hakam yang merupakan musuh yang paling nyata tertangkap, Imam membebaskannya dan dari peristiwa ini membawa pengaruh yang luar biasa. Abdullah bin Zubair mengucapkan perkataan keji kepada Imam Ali di depan khalayak ramai dan ketika Abdullah dengan pasukan Aisyah datang ke Basrah membaca khutbah dan Abdullah dalam khutbah itu mengatakan segala sesuatu yang mau ia ucapkan bahkan dengan mengatakan sekarang paling hinanya orang dan paling dina di antara manusia, yaitu Ali as akan datang ke kota Anda. Namun Imam Ali as memaafkannya dan Imam hanya berkata, “Menjauhlah dari sini sehingga aku tidak akan melihatmu!” Imam juga berkata demikian kepada Said bin Ash yang merupakan musuh beliau dan setelah kejadian perang Jamal, ia tertangkap di Mekah namun ia tidak diapa apakan.
Perlakuan Imam Ali as terhadap Aisyah sangat terkenal. Walaupun Imam menjadi pemenang, namun Imam menyampaikan ucapan selamat kepadanya. Imam pun menyuruh 20 wanita dari kabilah Abad Qais yang semuanya mengenakan pakaian laki-laki dengan perlengkapan pedang untuk menyertai Aisyah untuk kembali ke Madinah padahal selama dalam perjalanan Aisyah tidak henti-hentinya mengucapkan perkataan keji kepada Imam Ali as dengan mengatakan bahwa Imam Ali merusak kehormatannya dan ia mengirimkan laki-laki dari sahabatnya untuk menyertai perjalanannya. Setelah rombongan itu sampai Madinah, wanita-wanita itu pun berkata: “Lihatlah kami semua adalah wanita yang telah menyertai Anda!”
Pasca perang selesai, masyarakat Basrah yang berdiri di barisan Aisyah dan sebagian dari pasukannya yang tertawan, semuanya dibebaskan dan Imam berkata kepada pasukannya bahwa jangan sampai ada seorang pun yang melawan keputusan ini. Mereka dinyatakan bebas dengan catatan mereka meletakkan senjatanya. Imam Ali tidak menjadikan mereka sebagai tawanan perang, tidak juga mengambil harta mereka sebagai harta rampasan perang sebagaimana perlakuan Rasulullah saw memperlakukan masyarakat Mekah dalam peristiwa Fathu Mekah.
Pasukan Muawiyah pada perang Shiffin menutup air bagi pasukan Imam Ali as dan pasukannya. Mereka membuat pembatas di sungai Furat. Pemimpin pasukan Muawiyah berkata: “Ali dan pasukannya harus merasakan kehausan yang sangat, sebagaimana ia telah membunuh Usman dalam keadaan haus.” Kemudian kedua pasukan itu berperang dan pasukan Imam Ali as berhasil merebut air itu. Pada kesempatan itu, pasukan Imam Ali juga melarang pasukan Muawiyah untuk meminum air walaupun setetes sehingga semuanya akan mati kehausan, namun Imam Ali berkata, “Tidak, selamanya jangan lakukan hal ini, biarlah mereka menggunakan sebagian air Furat.” [342]
Berperangai Luhur
Ibn Abil Hadid berkata, “Adapun dari sisi kebaikan perangai, Ia telah menjadi pepatah sebagaimana musuh-musuhnya menganggap aib baginya. Sha’sha’ah bin Shauhan dan sahabat setia Imam Ali berkata, “Ali as di antara kami seperti salah satu di antara kami, tidak menilai adanya keistimewaan bagi dirinya bahkan tawadhu dan rendah hati sangat takut sehingga kami di hadapannya bagaikan tawanan dengan kaki terbelenggu di bawah seorang laki-laki yang sedang terhunus pedangnya.” [343]
Jihad fi Sabilillah
Ibn Abil Hadid berkata: Kawan dan lawan Imam Ali as menyatakan bahwa ia seorang pemimpin mujahid dan tidak ada seorang pun yang pantas menyandang predikat ini. Semua mengetahui peperangan yang paling seru dan sengit dalam Islam adalah perang Badar ketika ada 70 orang kafir terbunuh. Setengah dari jumlah itu terbunuh di tangan Imam Ali as dan setengahnya lagi tewas di tangan kaum Muslimin atas pertolongan malaikat. Posisi dan peranan Imam Ali as pada pererangan Uhud, Ahzab, Khaibar, Hunain dan peperangan yang lainnnya telah diakui sejarah dan tidak perlu dijelaskan. Imam Ali juga pandai dalam memahami permasalahan-permasalahan penting seperti ilmu Geografi tentang Mekah, Mesir dan lainnnya.
Keberanian
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ia adalah seorang satu-satunya jawara yang akan selalu diingat yang menghapus kenangan orang-orang terdahulu dan melenyapkan pada dirinya orang-orang setelahnya.” Keberhasilan Ali as dalam medan pertempuran sangat dikenal dalam sejarah sehingga sampai hari kiamat pun akan selalu menjadi contoh. Ksatria yang tidak pernah lari dari medan peperangan dan tidak takut dengan jumlah musuh yang besar. Ia tidak berperang kecuali membinasakan musuhnya dan ia adalah sosok orang yang pukulannya sangat ampuh sehingga tidak pernah berulang pukulannya. Ketika menantang Muawiyah untuk berduel sehingga salah satunya dari keduanya mati, orang-orang pun yakin dan percaya diri. Amr bin Ash kepada Muawiyah berkata: “Ali bukan tandinganmu. Muawiyah berkata kepada Amr bin Ash: Semenjak kau bersamaku, tidak pernah sekalipun kamu berlaku licik kepadaku! Kau menyuruhku untuk melawan seseorang yang tidak akan pernah pernah melepaskan orang lain dari cengkeramannya! Aku sangat yakin bahwa setelahku, kau sangat terpikat dengan pemerintahan Syam. Orang-orang Arab selalu bangga jika pada suatu hari berhadapan dengannya atau kaki tanganku terbunuh oleh Ali as.” Pada suatu hari, Muawiyah tengah tertidur pulas di singgasananya, tiba-tiba matanya terbuka. Ia melihat Abdullah bin Zubair di dekatnya. Ia pun duduk di dekatnya dan dengan bercanda berkata kepada Muawiyah: “Wahai Amirul Mukminin! Jika Anda setuju, mari kita beradu gulat.” Muawiyah berkata: “Celakalah engkau Abdullah! Aku lihat kamu berbicara tentang seseorang yang berani dan tangguh! Abdullah berkata: Memangnya engkau mengingkari akan keberanianku? Aku adalah seseorang yang melawan Ali as di medan peperangan.” Muawiyah berkata: ‘Sama sekali tidaklah demikian. Apabila engkau sebentar saja di hadapan Ali berdiri maka engkau dan ayahmu akan terbunuh dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya tetap siap sedia untuk berperang.'” [344]
Ibadah
Ibnu Abil Hadid berkata, “Ali as adalah seorang abid (ahli ibadah) yang paling taat. Puasa dan salatnya paling banyak dari pada yang lainnya. Orang-orang belajar darinya dalam mengerjakan salat malam dan berterusan mengerjakan salat sunnat. Dan bagaimana penilaian Anda terhadap seorang laki-laki yang menjaga salat-salat sunnatnya hingga pada Perang Shiffin pada Lailatul Harir (malam terakhir Perang Shiffin) di antara dua barisan, sajadah di gelar untuknya padahal anak panah melintas di antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya tanpa rasa takut ia tetap sibuk melanjutkan salatnya. Dahinya bagaikan lutut unta karena banyaknya sujud. Setiap kali orang yang mendengarkan doa dan munajatnya akan menyadari bagaimana pengagungannya kepada Allah, kebersahajaannya di hadapan kebesaran-Nya, sujudnya di hadapan Allah serta ketulusan dalam dirinya. Orang-orang akan mengetahui dari mana gerangan datangnya doa-doa ini dan melalui lisan apa ia mengalir. [345]
Zuhud
Ali as adalah pemimpin orang-orang yang zuhud. Siapa yang akan menempuh jalan ini, maka ia harus mengikuti jalan Imam Ali as. Ali as tidak pernah sekalipun mengenyangkan perutnya. Ali as mengkonsumsi makanan dan berpakaian kasar. Abdullah bin Abi Rafi’ berkata, “Aku menemui Imam Ali as pada hari raya raya. Saya melihatnya memiliki kantung yang tersegel. Ketika aku membuka kain penutup itu, aku melihatnya roti kasar yang tidak tersentuh. Beliau tengah makan makanan itu. Aku pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Mengapa engkau menyegelnya? Imam Ali berkata, “Saya takut anak-anakku akan mengolesinya dengan mentega atau dengan minyak zaitun.” Pakaian yang ia kenakan kadang-kadang berasal dari kulit binatang dan kadang-kadang berasal dari daun kurma. Alas kakinya terbuat dari pelepah kurma. Dan mengenakan pakaian berbahan sangat kasar. Jika ingin memakan sesuatu selain roti maka makanan pendampingnya adalah cuka dan garam. Dan jika lebih baik dari ini maka sebagian bercampur dengan tumbuh-tumbuhan atau susu unta. Beliau tidak memakan daging kecuali sedikit dan bersabda, “Janganlah perutmu kalian jadikan sebagai gudang hewan.” Namun, beliau adalah orang yang paling kuat dan kelaparan yang ada padanya tidak mengurangi kekuatannya sedikit pun. Ia meninggalkan kehidupan dunia padahal kekayaannya membentang di seluruh dunia Islam kecuali Syam bahkan ia membagi kekayaannya kepada rakyatnya. [346]
Perkataan-perkataan dan Karya-karya
Perkataan-perkataan Imam Ali as
Pada masa Imam Ali as masih hidup, masyarakat menghafal dan menyimpan dalam benak mereka khutbah-khutbah dan sebagian bait-bait syairnya serta menukilkan dari seseorang kepada orang lain. Pada era berikutnya, sebagian ulama muslim, baik Syiah atau Sunni mengumpulkan semua itu dan membuat kompilasi buku dari perkataan-perkataannya.
Nahjul Balaghah
Karya monumental yang telah dibukukan dari ucapan dan tulisan-tulisan Imam Ali as adalah Nahj al-Balāghah yang dikumpulkan oleh Sayid Radhi, seorang ulama terkemuka pada abad ke-4 H. Setelah Alquran, Nahj al-Balāghah adalah teks paling suci bagi penganut Syiah (setelah Alquran) dan merupakan teks agama paling tinggi nilai sastranya dalam bahasa Arab. Kitab ini terdiri dari tiga bagian utama: Kumpulan khutbah-khutbah, surat-surat dan hikmah-hikmah singkat Imam Ali as dalam berbagai situasi atau yang ditulis oleh Sang Imam untuk ditujukan kepada orang-orang tertentu. Khutbah-khutbah dalam Nahj al-Balāghah terdiri dari 239 khutbah dan dari tinjauan waktu dibagi menjadi tiga: sebelum masa pemerintahan, dalam masa pemerintahan dan pasca pemerintahan.
Surat-surat dalam Nahj al-Balāghah terdiri dari 79 surat dan hampir semuanya ditulis dalam masa pemerintahan beliau. Kalimat-kalimat pendek dalam Nahj al-Balāghah terdiri dari 480 tuturan hikmah. Sebagian syarah-syarah Nahj al-Balāghah adalah Syarh Ibn Maitsam Bahrani, Syarh Ibn Abi al-Hadid Mu’tazili, Syarh Muhammad Abduh, Syarah Muhammad Taqi Ja’fari, Darshāi az Nahj al-Balāghah karya Husainali Muntazheri, Syarah Fakhr al-Razi, Minhaj al Barā’ah karya Qutb al-Din Rawandi, Syarh Nahj al-Balāghah karya Muhammad Baqir Nawab Lahijani. [347]
Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim
Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim dikumpulkan oleh Abdul Wahid Muhammad Tamimi Amidi, seorang ulama pada abad ke-5. Dalam kitab Ghurar al-Hikam kira-kira terdapat 10760 perkataan Imam Ali as yang disusun secara berurut berdasarkan alphabet dalam beragam tema: tentang akidah, ibadah, akhlak, politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. [348]
Dastur Ma’ālim Al-Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam
Kitab Dastur Ma’ālim al-Hukm wa Ma’tsur Makārim al-Syiyam dikumpulkan oleh Qadhi Qadha’i. Ia adalah seorang ulama bermadzab Syafi’i pada abad ke-4 H. Ia adalah orang yang diakui di kalangan ahli hadits. Namun ada kelompok yang berpendapat bahwa Qadhi Qadha’i bermazhab Syiah. [349]
Kitab Dastur Ma’ālim Hukm wa Ma’tsur Makārim Al-Syiyam ditulis dalam 9 bab: Tuturan-tuturan hikmah yang diucapkan oleh Imam Ali as, tidak pentingnya dunia dan keengganan Imam Ali atasnya, nasehat-nasehatnya, wasiat-wasiat dan larangannya, jawaban Imam Ali as terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dalam ilmu kalam, tentang keterasingan beliau, tentang doa-doa dan munajat-munajat Imam Ali as, serta puisi-puisi Imam Ali as. [350]
Sebagian kitab yang memuat perkataan Imam Ali as:
Natsr al-Lāli oleh Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabrisi.
Matlub Kull Thālib min Kalām Amiril Mukminin ‘Ali bin Abi Thālib As, oleh Jahizh, pensyarah Rasyid Watawath.
Qalāid al-Hukm wa Farāid al-Kalim yang dikumpulkan oleh Qadhi abu Yusuf Ya’kub bin Sulaiman Asfaraini.
Amtsāl Imām ‘Ali bin Abi Thalib, perkataan dan surat-surat Imam Ali as dalam kitab Shifin oleh Nashr bin Muzahim.
Divan Asy’ar
terdapat syair-syair dinisbatkan kepada Imam Ali as yang dikumpulkan di dalam Divan yang berkali-kali dipublikasikan oleh beberapa penerbit.[351]
Karya-karya
Dalam sumber-sumber Syiah dan sebagian Ahlusunah disinggung beberapa tulisan Imam Ali as:
Jafr wa Jāmi’ah
Jafr dan Jāmi’ah nama dua kitab hadis yang didekti oleh Nabi Muhammad saw dan ditulis oleh Imam Ali as.[352]Dua kitab ini dianggap sebagai bagian dari peninggalan imamah dan termasuk sumber-sumber ilmu Imam.[353]Kandungan kitan Jafr adalah penyebutan peristiwa-pristiwa yang akan datang hingga hari Kiamat.[354] Menurut sebuat riwayat dari Imam Kazhim as, selain Nabi dan wasi, tak seorang pun mampu memahami kitab tersebut dan pemahaman mengenainya termasuk kelebihan-kelebihan para wasi Nabi saw.[355] Kitab Jami’ah berisi tentang berita-berita masa lalu dan yang akan datang hingga hari Kiamat dan takwil semua ayat-ayat Alquran, demikian juga tentang nama para wasi dari keluarga Nabi saw dan apa yang akan terjadi atas mereka. Beberapa orang telah melihat kitab Jami’ah.[356]
Mushaf Imam Ali as
Mushaf Ali atau Mushaf Imam Ali as adalah naskah pertama pengumpulan Alquran paska wafatnya Nabi saw yang ditulis oleh Imam Ali as.[357]Kini, Mushaf ini tidak terjangkau tangan dan menurut beberapa riwayat, ditulis oleh Imam Ali as dan dikumpulkan sesuai dengan urutan turunnya surah-surah Alquran. Menurut beberapa riwayat, sebab turunnya ayat-ayat dan juga ayat-ayat nasikh dan mansukh dimuat dipinggil halaman Mushaf ini.[358]Menurut keyakinan Syiah, Mushaf Imam Ali as berada di tangan Imam-imam maksum dan kini ada di tangan Imam kedua belas.[359]
Mushaf Fatimah sa
Mushaf Fatimah as adalah nama kitab yang Malaikat Ilahi menjelaskan kandungannya kepada Sayidah Fatimah sad an Imam Ali as menulisnya.[360]Konten kitab ini meliputi kedudukan Nabi saw di surga dan berita-berita dan kejadian-kejadian yang akan datang. [361]Kitab ini dipegang Imam-imam Syiah secara bergantian dan orang lain tidak bisa menjangkaunya. Kini kitab ini dipegang Imam Zaman as.[362]
Sahabat-sahabat
Salman Farsi
Salman adalah salah seorang sahabat yang paling utama Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as.Terdapat banyak hadis dari para Imam Maksum as tentang hal ini. [363] Di antaranya Rasulullah saw bersabda, “Salman adalah bagian dari kami, Ahlulbait.” [364]
Abu Dzar
Jundab bin Junadah yang dikenal dengan nama Abu Dzar adalah orang keempat yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. [365]Setelah Nabi Muhammad wafat, ia adalah orang yang termasuk berdiri di barisan Imam Ali dan tidak berbaiat kepada Abu Bakar. [366]
Miqdad bin Amr
Miqdad bin Aswad merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang beriman kepada Nabi Muhammad saw dan memeluk agama Islam. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, Miqdad adalah salah seorang yang tidak berbaiat kepada Abu Bakar dan ia selalu setia menyertai Imam Ali as ketika beliau menjalani masa diam selama 25 tahun. [367]
Ammar bin Yasir
Ammar bin Yasir merupakan salah seorang yang pertama kali menyatakan keislamannya kepada Nabi Muhammad saw dan termasuk salah satu kelompok yang pertama kali dari kaum Muslimin yang berhijrah ke Habasyah. Ia berhijrah ke Habasyah dan setelah Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, ia menggabungkan diri dengan Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw meninggal, ia tetap setia dan komitmen di jalan Ahlulbait dan Imam Ali as. Selama masa pemerintahan Umar bin Khattab untuk beberapa lama ia menjabat sebagai Gubernur di Kufah, namun karena ia adalah seorang yang adil dan hidup sederhana, beberapa orang menyiapkan kelengserannya. Kemudian ia kembali ke Madinah dan berada di samping Imam Ali as lalu menimbah ilmu dari beliau. [368]
Malik al-Asytar
Malik bin Harits Abd Yaghuts Nakha’i yang terkenal dengan Malik Asytar lahir di Yaman. Ia adalah orang yang pertama kali berbaiat kepada Imam Ali as. Malik Asytar menjadi komandan perang pada perang Jamal, Shifin dan Nahrawan. [369]
Ibnu Abbas
Abdullah bin Abbas adalah putra paman Nabi Muhammad saw dan Imam Ali. Ibnu Abbas sangat banyak menukil hadis dari Nabi Muhammad saw. [370] Ibnu Abbas selama masa pemerintahan para khalifah, berkeyakinan bahwa Imam Ali as mempunyai kelayakan akan kedudukan khilafah itu. Ia selama masa pemerintahan Imam Ali as turut serta dalam peperangan Jamal, Shifin dan Nahrawan dan menjadi gubernur Basrah atas perintah Imam Ali as. [371]
Abu al-Haitsam bin Tihan
Dia orang pertama dari Anshar yang masuk Islam.[372]Dia salah seorang dari 12 orang yang pada masa Abu Bakar memberikan kesaksian akan kebenaran kekhalifahan Imam Ali as dan bahwa Nabi saw memilihnya sebagai pengganti beliau.[373]Dia gugur sebagai syahid pada perang Shiffin setelah kesyahidan Ammar[374] dan termasuk orang-orang yang Imam Ali as menampakkan kesedihannya atas kepergian mereka, dan beliau berkata: “Dimanakah Ammar? Dimanakah putra Tihan..?.[375]
Sa’sha’at bin Shauhan Abdi
Ia adalah sahabat Imam Ali yang ikut serta dalam peperangan yang terjadi pada masa kekhilafahan Imam Ali as. [376] Ia termasuk orang-orang yang membaiat Imam Ali as segera setelah Umar meninggal. [377]
Kumail bin Ziyad
Kumail bin Ziyad al-Nakhai termasuk salah seorang tabiin sahabat Rasulullah saw dan sahabat setia Imam Ali as dan Imam Hasan as. [378] Ia adalah termasuk salah seorang penganut Syiah yang berbaiat kepada Imam Ali as pada masa-masa awal kekhalifahan Imam Ali as. Ia juga turut berperang dalam peperangan melawan musuh. [379]
Muhammad bin Abu Bakar
Muhammad bin Abu Bakar lahir pada tahun ke-10 H/631. Ia berkeyakinan bahwa para khalifah sebelum Imam Ali as sejatinya telah melanggar hak kekhilafahan Imam Ali dan berkata bahwa tidak ada orang yang layak untuk menempati kedudukan khalifah kecuali Imam Ali as. [380] Ia turut ikut serta dan menolong Imam Ali dalam peperangan yang terjadi pada masa kekhlalifahannya: perang Jamal, perang Shiffin. Pada bulan Ramadhan tahun ke-36 H/656 menjadi Gubernur di Mesir. Dan ia terbunuh ditangan pasukan Muawiyah pada bulan Shafar 38 H/657. [381]
Maitsam al-Tammar
Maitsam al-Tammar merupakan sahabat setia Imam Ali as dan Imam Husain as. Ia termasuk anggota Syurtah al-Khamis (Lasykar Pembela Ali dan Keluarganya). Kelompok ini merupakan golongan yang bersumpah dengan Imam Ali sedemikian sehingga sampai titik akhir penghabisan akan menyertai dan menolong Imam Ali as. [382]
Sesuai dengan satu riwayat yang dinukil Suyuti dalam kitab al-Dur al-Mantsur ditegaskan bahwa kata “Syiah” pertama kali digunakan oleh Nabi saw untuk sebagian sahabat khusus Imam Ali as. (Suyuti, al-Dur al-Mantsur, jld. 6, hlm. 379) Sebagian ulama dari riwayat ini dan riwayat-riwayat yang serupa dengannya mengambil kesimpulan bahwa Syiah muncul sejak zaman Nabi saw. (Halm, Tasyayyu’, hlm. 73-76)
Catatan kaki:
Tinggalkan Balasan