Syiahpedia.id- Imam Musa bin Ja’far as (bahasa Arab: موسی بن جعفر عليه السلام) lebih populer dengan sebutan Imam Musa al-Kazhim. Ia bergelar Kazhim dan Bab al-Hawa’ij. Imam Musa al-Kazhim adalah Imam Ketujuh umat Muslim Syiah. Ia lahir pada tahun 128 H/746 yang bertepatan dengan pemindahan kekuasaan dari bani Umayyah ke bani Abbasiyah. Imam Musa al-Kazhim menjabat sebagai imam setelah kesyahidan sang ayah, Imam al-Shadiq as. Masa kepemimpinan dan imamahnya berlangsung selama 35 tahun semasa dengan khilafah Mansur, Hadi, Mahdi dan Harun al-Rasyid yang berasal dari Bani Abbasiyah. Ia berulang kali dipenjara oleh Mahdi dan Harun. Pada tahun 183 H//799 Imam Musa al-Kazhim gugur sebagai syahid di penjara Sindi bin Syahik. Dengan kesyahidannya, kedudukan imamah berpindah ke putranya Ali bin Musa al-Ridha as.
Masa hidup Imam Musa al-Kazhim as bersamaan dengan zaman keemasan kekuasaan khilafah Abbasi. Di masa pemerintahan ini, Imam al-Kazhim bertaqiyah dan menganjurkan umat Syiah juga untuk melakukan hal yang sama. Karena itu, tidak ada laporan terkait dengan sikap lugas Imam al-Kazhim terkait dengan pemerintahan Abbasi dan perlawanan Alawi seperti perlawanan Syahid Fakh. Namun demikian, dalam perdebatan-perdebatan dan dialog-dialognya dengan para khalifah Abbasi dan yang lainnya, ia mempertanyakan legitimasi kekhalifaan Abbasi.
Sebagian debat dan dialog Imam al-Kazhim dengan sebagian rabi Yahudi dan pendeta Kristen dikutip dalam sebagian literatur sejarah dan hadis. Dialog dengan pemuka agama lain dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka terhimpun dalam Musnad al-Imam al-Kazhim yang terdiri dari 3000 hadis yang berasal darinya. Sebagian hadis ini dikumpulkan oleh Ashab al-Ijma. Demikian juga, ia melakukan perluasan institusi perwakilan dan di banyak tempat mengangkat beberapa orang sebagai wakil atau deputi.
Dari sisi lain, Imam Musa al-Kazhim as juga semasa dengan munculnya sekte-sekte dalam Syiah. Pada masa permulaan imamahnya, sekte Ismailiyah, Fatahiyyah dan Nawusiyyah terbentuk. Pada masa setelah kesyahidannya sekte Waqifiyyah berdiri.
Literatur-literatur Syiah dan Sunni memuji ibadah, kesabaran dan kemurahan hatinya sehingga menggelarinya sebagai al-Kazhim (orang yang sangat mengontrol amarahnya) dan al-Abd al-Shalih. Pembesar Sunni menghormati Imam Ketujuh Syiah ini sebagai ulama dan berziarah ke kuburannya sebagaimana orang-orang Syiah. Haram (Mausoleum) Imam Musa al-Kazhim berdampingan dengan haram cucunya Imam al-Jawad as terletak di sebuah kota dekat Bagdad dan dikenal sebagai Haram Kazhimain yang menjadi tempat ziarah umat Islam khususnya umat Muslim Syiah.
Biografi
Imam Musa al-Kazhim lahir pada bulan Dzulhijjah 127 H/745 atau 7 Shafar tahun 128 H/746, di sebuah tempat bernama Abwa’. [1] Kala itu Imam Shadiq as dan istrinya Hamidah kembali dari haji. Pendapat lain menyebutkan, ia lahir pada tahun 129 H/747 di kota Madinah. [2] Sebagian literatur menyebutkan tentang kecintaan luar biasa Imam Shadiq as kepadanya. [3] Berdasarkan riwayat Ahmad Barqi, Imam Shadiq as usai kelahiran putranya Musa, memberikan makanan kepada orang-orang selama tiga hari. [4]
Nasab Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as sampai kepada Ali bin Abi Thalib melalui enam jalur. Ayahnya, Imam Shadiq as adalah Imam Keenam Syiah dan ibunya Hamidah Barbariah. [5] Kunyahnya adalah Abu Ibrahim, Abu al-Hasan al-Awwal, Abu al-Hasan al-Madhi dan Abu Ali. Disebabkan kesabarannya yang tinggi dan kemampuannya mengendalikan amarah dalam menghadapi orang-orang yang berperilaku buruk padanya sehingga ia digelari sebagai al-Kazhim. [6] Karena sering menunaikan ibadah ia digelari sebagai Abdu al-Shalih. [7] Selain itu ia juga memiliki lakab yang lain, yaitu Bāb al-Hawāij. [8] Orang-orang Madinah menyebutnya sebagai Zain al-Mujtahidin. [9]
Musa bin Ja’far as lahir bertepatan dengan pemindahan kekuasaan dari Bani Umayah ke Bani Abbasiyah. Tatkala usianya 4 tahun, khalifah pertama Abbasiyah menduduki singgasana kekuasaan. Tidak terdapat banyak informasi terkait dengan kehidupan Imam Kazhim hingga masa sebelum imamahnya kecuali beberapa dialog ketika ia masih belia di antaranya dialog dengan Abu Hanifah[10] dan ulama agama lainnya[11] yang terjadi di Madinah.
Berdasarkan sebuah riwayat yang disebutkan dalam Manaqib, suatu waktu ia menyamar memasuki sebuah desa Suriah (Syam). Di situ ia berdialog dengan seorang rahib yang akhirnya memeluk Islam bersama para pengikutnya. [12] Demikian juga dilaporkan terkait dengan perjalanan Imam Musa as ke Mekkah untuk menunaikan haji atau umrah. [13] Berulang kali juga Imam Musa dipanggil khalifah Abbasi. Selain yang disebutkan ini, Imam Musa lebih banyak menghabiskan waktunya di Madinah.
Istri dan Anak-anak
Tidak disebutkan dengan jelas tentang jumlah istri Imam Musa as. Istri pertamanya adalah Najmah ibunda Imam Ridha as. [14] Demikian juga jumlah anak Imam Musa dilaporkan dengan versi yang berbeda-beda. Menurut Syaikh Mufid, ia memiliki 37 anak (18 putra dan 19 putri). Imam Ridha as, Ibrahim, Syahceragh, Hamzah, Ishak adalah di antara putra-putra dan Fatimah Maksumah sa dan Hakimah adalah di antara putri-putri Imam Musa as.[15] Cucu dan keturunan Imam Musa as dikenal sebagai sadat Musawi. [16]
Masa Imamah
Pasca kesyahidan Imam Shadiq as pada tahun 148 H/765, Musa bin Ja’far menjabat sebagai imam pada usia 20 tahun. [17] Masa imamahnya sezaman dengan empat khalifah pemerintahan Abbasiyah. [18] Imam Musa as menghabiskan waktu selama 10 tahun semasa dengan khilafah Mansur (pemerintahan 136 H/754-158 H/775), 11 tahun sezaman dengan pemerintahan Mahdi Abbasi (pemerintahan 158 H/775-169 H/786), 1 tahun bersama pemerintahan Hadi Abbasi (pemerintahan 169 H/786-170 H/787) dan 13 tahun berbarengan dengan pemerintahan Harun (pemerintahan 170 H/787-193 H/809). [19] Masa kepemimpinan Musa bin Ja’far adalah 35 tahun dan dengan kesyahidannya pada tahun 183 H/799, posisi imamahnya berpindah kepada putranya Imam Ridha as.[20];[21]
Nash-nash Imamah
Menurut mazhab Syiah, imam ditentukan oleh Allah swt dan salah satu jalan untuk mengenal imam adalah melaui nash (penegasan dari Rasulullah saw atau imam sebelumnya atas imam setelahnya). [22] Imam Shadiq as dalam pelbagai kesempatan mengumumkan imamah Musa bin Ja’far di hadapan para sahabat terdekatnya. Masing-masing dalam kitab al-Kafi, [23] al-Irsyad, [24] I’lam al-Wara, [25] Bihar al-Anwar, [26] terdapat sebuah bab terkait dengan nash-nash imamah Musa bin Ja’far as yang dikutip dalam 12, 14, 16, dan 46 riwayat sehubungan dengan masalah ini.[27] di antaranya:
“Sesungguhnya ia adalah putra terbaikku. Ia akan menggantikan posisiku dan setelahku ia menjadi hujjah Allah swt atas seluruh makhluk.” [29]
Demikian juga dalam ‘Uyun Akhbar al-Ridha disebutkan bahwa Harun al-Rasyid menyampaikan kepada putranya bahwa Musa bin Ja’far adalah imam yang hak dan orang yang paling layak menjadi pengganti Rasulullah saw. Harun menyebut pemerintahannya hanya lahirnya saja dan berdiri berdasarkan paksaan.” [30]
Wasiat Imam Shadiq as dan Kondisi Sebagian Syiah
Dalam sebagian literature disebutkan bahwa Imam Shadiq as dengan memperhatikan pelbagai kesulitan yang dimunculkan oleh Bani Abbasiyah dan untuk menyelamatkan Imam Kazhim as, memperkenalkan lima orang sebagai washinya termasuk khalifah Bani Abbasiyah. [31] Meski Imam Shadiq as, berulang kali memperkenalkan imam setelahnya kepada sahabat-sahabat terdekatnya, namun langkah ini menyebabkan kebingungan bagi sebagian Syiah. Pada masa ini, sebagian sahabat terkemuka Imam Shadiq seperti Mukmin Thaq dan Hisyam bin Salim juga tadinya termasuk orang yang meragukan imamah Imam Musa al-Kazhim as. Pertama-tama mereka mengira Abdullah al-Afthah yang mengklaim dirinya sebagai imam dan bertanya kepadanya tentang zakat. Namun jawaban yang diberikan Abdullah Afthah kurang memuaskan keduanya. Lalu mereka bertemu dengan Imam Musa bin Ja’far as dan mengajukan pertanyaan yang sama. Jawaban Imam Musa as memuaskan mereka dan mereka pun menerima kepemimpinan (imamah) Imam Musa as. [32]
Kemunculan Firkah-firkah dalam Syiah
Pada masa imamah Musa bin Ja’far as, firkah-firkah seperti Ismailiyah, Fathahiyyah dan Nawusiyyah muncul. Meski pada masa kehidupan Imam Shadiq as tersedia ruang bagi kemunculan firkah-firkah Syiah namun hal itu tidak terjadi. Namun dengan kesyahidan Imam Shadiq as dan bermulanya kepemimpinan Musa bin Ja’far, mazhab Syiah terbagi menjadi beberapa firkah; sebagian dari mereka mengingkari kematian Ismail putra Imam Shadiq as dan menganggapnya sebagai imam. Sebagian dari firkah ini yang telah putus asa tentang keberadaan Ismail, menganggap Muhammad putra Ismail sebagai imam. Kelompok ini kemudian terkenal sebagai firkah Ismailiyah. Sebagian lainnya menanggap Abdullah al-Afthah sebagai imam dan terkenal dengan Fathiyyah namun setelah kematiannya yang terjadi kira-kira selama 70 hari pasca kesyahidan Imam Shadiq mereka meyakini imamah Musa bin Ja’far. Sebagian lainnya mengikuti seseorang bernama Nawus yang berhenti pada imamah Imam Shadiq dan sebagian meyakini immah Muhammad bin Dibaj. [33]
Aktivitas Sekte Ghuluw
Pada masa Imam Musa al-Kazhim, sekte Ghuluw juga aktif. Pada masa ini, sekte Basyiriyyah terbentuk. Sekte ini disandarkan kepada Muhammad bin Basyir salah seorang sahabat Imam Musa bin Ja’far. Ia pada masa Imam Musa al-Kazhim banyak menyandarkan kebohongan kepada Imam Musa as. [34] Muhammad bin Basyir sering berkata, sosok yang dikenal Musa bin Jakfar oleh masyarakat bukanlah Musa bin Jakfar yang merupakan imam dan hujjah Allah.[35] Ia mengklaim bahwa Musa bin Jakfar yang sebenarnya ada di sisinya dan ia bisa menunjukkannya kepada mereka.[36] Dia pandai main sulap dan membuat wajah seperti wajahnya Imam Kazhim as, lalu menunjukkannya kepada masyarakat sehingga sebagian mereka tertipu.[37]Imam Musa menilai Muhammad bin Basyir sebagai najis dan melaknatnya. [38]
Aktivitas Keilmuan
Banyak laporan sehubungan dengan aktivitas-aktivitas keilmuan Imam Kazhim; kegiatan-kegiatan ini tercantum dalam bentuk riwayat, debat, dialog ilmiah dalam kitab-kitab hadis Syiah. [39]
Riwayat-riwayat
Terdapat banyak hadis dari Imam Kazhim as yang diriwayatkan dalam literatur-literatur hadis Syiah; riwayat-riwayat ini lebih banyak dalam masalah teologi seperti tauhid, [40] bada, [41] iman dan tema-tema akhlak. [42] Demikian juga munajat-munajat seperti Jausyan Shagir diriwayatkan darinya. Sehubungan dengan sanad-sanad riwayat ini nama-nama Imam Musa disebutkan sebagai al-Kazhim, Abi al-Hasan, Abi al-Hasan al-Awwal, Abi al-Hasan al-Madhi, al-Alim, dan al-Abdu al-Shalih. Azizullah Atharidi mengumpulkan 3134 hadis dari Imam Musa al-Kazhim as dalam Musnad al-Imam al-Kazhim. [43] Abu Imran Muruzi yang merupakan salah seorang ulama Ahlusunah juga mengoleksi hadis-hadis Imam Ketujuh Syiah ini dalam Musnad al-Imam Musa bin Ja’far.64 [44]
Terdapat karya-karya lainnya yang diriwayatkan dari Musa bin Ja’far, di antaranya adalah:
Debat dan Dialog
Terdapat laporan terkait debat-debat dan dialog-dialog Imam Musa al-Kazhim as dengan sebagian khalifah Abbasiyah, [48] ulama Yahudi, [49] Kristen, [50] Abu Hanifah[51] dan yang lainnya. Baqir Syarif Qarasyi mengumpulkan delapan dialog dari Imam Kazhim dengan judul Munazharah Imam al-Kazhim.[52] Imam Kazhim as sering terlibat perdebatan dengan Mahdi Abbasi terkait dengan Fadak dan juga keharaman khamar dalam Alquran.[53] Demikian juga dengan Harun Abbasi. Harun ingin menunjukkan kekerabatan dan kedekatan Rasulullah saw dengan dirinya lebih dekat daripada Musa bin Ja’far, Imam Musa menyatakan secara tegas bahwa ia lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah saw. [54] Dialog-dialog Musa bin Ja’far dengan ulama dari agama-agama lain juga dilakukan dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang berujung pada pernyataan mereka masuk Islam. [55]
Sirah
Model Imam Kazhim dalam hubungannya dengan Allah swt berbeda dengan hubungannya dengan masyarakat dan pemerintah pada masa itu. Caranya dalam berhubungan dengan Allah swt, masyarakat dan pemerintah pada masa itu disebut sebagai sirah ibadah, akhlak dan politik.
Sirah Ibadah
Berdasarkan literature Syiah dan Sunni, Imam Kazhim as adalah orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk ibadah; karena itu ia digelari sebagai al-Abdu al-Shaleh. [56] Berdasarkan sebagian laporan, Imam Kazhim as sedemikian beribadah sehingga sipir penjara juga terpengaruh olehnya. [57] Syaikh Mufid menilai Imam Musa al-Kazhim as sebagai orang yang paling banyak beribadah di masanya. Ia melaporkan bahwa sedemikian Imam Musa menangis karena takut kepada Allah sehingga janggutnya basah dengan air mata. Ia mengulang-ulang doa ini dalam sujudnya «عَظُمَ الذَّنْبُ مِنْ عَبْدِكَ فَلْيَحْسُنِ الْعَفْوُ مِنْ عِنْدِكَ» dan doa «اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الرَّاحَةَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَ الْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ»[58] Bahkan tatkala Harun memindahkannya ke penjara lain, ia berucap syukur kepada Allah swt lantaran menemukan banyak waktu untuk beribadah. “Tuhanku Aku senantiasa meminta kepadamu supaya ada waktu luang untuk beribadah kepada-Mu dan kini Engkau telah menyediakan waktu luang itu; karena itu Aku bersyukur kepada-Mu.” [59] Tulisan kaligrafi atau dzikir yang terukir di cincinnya adalah «حَسْبِيَ اللَّهُ حَافِظِي»;[60] و ِ «الْمُلْكُ لِلَّهِ وَحْدَهُ»[61]
Sirah Akhlak
Dalam literatur-literatur Syiah dan Sunni, terdapat banyak laporan sehubungan dengan ketabahan[62] dan kemurahan Imam Kazhim as. [63] Syaikh Mufid menilai bahwa Imam Kazhim merupakan orang yang paling dermawan yang membawakan bekal pada malam-malam hari kepada orang-orang fakir Madinah. [64] Sehubungan dengan kedermawanan Imam Musa bin Ja’far menulis, “Ia pada malam hari keluar rumah dan membawa kantung-kantung Dirham dan membagi-bagikan kantung itu kepada siapa saja yang dilalui atau kepada orang-orang yang berharap kebaikan darinya sedemikian sehingga kantung-kantung uangnya menjadi pepatah dan obrolan banyak orang. [65] Demikian juga disebutkan Musa bin Ja’far memaafkan orang-orang yang bersikap kurang ajar kepadanya dan tatkala ia mendengar ada orang yang berusaha untuk berlaku kurang ajar terhadapnya segera beliau mengirimkan hadiah kepadanya. [66] Selain itu, Syaikh Mufid menyebutkan bahwa Imam Musa al-Kazhim as adalah orang yang paling kuat berusaha dalam menjalin hubungan silaturahmi dengan kerabat dan keluarganya. [67] Alasan ia digelari dengan Kazhim adalah karena ia dapat mengontrol amarahnya. [68] Banyak laporan yang menyebutkan bahwa Imam Musa mampu mengendalikan amarahnya pada musuh-musuh dan orang-orang yang berlaku buruk kepadanya. [69] Di antaranya disebutkan bahwa seseorang dari keturunan Umar bin Khattab menghina Imam Ali bin Abi Thalib di hadapan Imam Musa al-Kazhim. Orang-orang yang bersama Imam Musa ketika itu ingin menghajarnya namun Imam Musa menahan mereka dan kemudian pergi ke ladang orang itu. Tatkala melihat Imam Musa al-Kazhim, orang itu teriak supaya ia tidak merusak hasil ladangnya. Imam Musa mendekatinya dan dengan wajah penuh senyum bertanya berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk sekali panen? Orang itu berkata, “100 Dinar.” Lalu Imam Musa kembali bertanya, “Berapa banyak yang Anda akan panen dari hasil ladang itu? Orang itu menjawab bahwa ia tidak tahu. “Harapan Anda berapa banyak yang Anda bias panen? “200 Dinar.” Jawab orang itu. Imam Musa kemudian memberikan 300 Dinar kepadanya dan berkata, “Ini 300 Dinar untukmu dan hasil panenmu juga kamu simpan saja untukmu.” Kemudian Imam Musa pergi ke masjid. Orang itu segera menyusul ke masjid dan dengna melihat Imam Musa ia membacakan ayat ini,” اللَّه أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ؛ [70] Basyr Hafi juga kemudian menjadi seorang guru sufi bertaubat atas pengaruh ucapan dan akhlaknya. [71]
Sirah Politik
Sebagian sumber menyebutkan Imam Musa al-Kazhim menggunakan ragam cara di antaranya berdebat, enggan bekerja sama, mempersoalkan legitimasi pemerintahan Abbasi dan berusaha melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka. [72] Hal-hal berikut adalah contoh upaya Imam Musa al-Kazhim dalam mempersoalkan pemerintahan Abbasi:
Namun demikian, Imam Musa meminta Ali bin Yaqthin untuk bekerja pada pemerintahan Harun al-Rasyid sebagai menteri supaya dapat mengurus orang-orang Syiah. [77] Meski dengan semua ini, Imam Musa as tidak menyatakan penentangan kepada pemerintahan Abbasiyah secara terang-terangan. Ia adalah orang yang kerap bertaqiyah dan meminta para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, dalam sebuah surat ke Khizran ibu Hadi Abbasi atas meninggalnnya Hadi Abbasi. [78] Berdasarkan sebuah riwayat, tatkala Harun memanggilnya untuk menghadap ke istana, Imam Musa berkata, “Karena harus taqiyyah di hadapan penguasa, saya akan memenuhi panggilan Harun.” Demikian juga, ia menerima hadiah-hadiah yang dikirimkan Harun dalam pernikahan Alu Abi Thalib untuk mencegah terputusnya generasi mereka. [79] Bahkan Imam Musa al-Kazhim dalam suratnya ke Ali bin Yaqthin untuk berwudhu dengan cara Ahlusunah dalam beberapa lama sehingga ia berada dalam posisi yang aman.[80]
Imam Musa dan Kebangkitan-kebangkitan Alawi
Masa hidup Musa bin Ja’far semasa dengan naiknya Bani Abbasiyah ke tampuk kekuasaan. Perlawanan-perlawanan yang dilancarkan oleh Alawiyun melawan mereka juga hampir bersamaan dengan masa hidup Imam Ketujuh Syiah ini. Bani Abbasiyah naik tampuk kekuasaan dengan slogan pembelaan terhadap Ahlulbait Nabi saw, namun tidak lama berselang menjadi musuh bebuyutan bagi kaum Alawiyyin. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan dipenjara. [81] Tindakan represif para penguasa Bani Abbasiyah atas Alawiyyun sehingga memaksa mereka untuk bangkit melakukan perlawanan. Kebangkitan Nafs Zakiyyah, pendirian pemerintahan Ardisyian dan kebangkitan Syahid Fakh adalah contoh-contoh perlawanan Alawiyyin terhadap Bani Abbasiyah. Kebangkitan Fakh terjadi pada tahun 169 H/786 pada masa-masa kepemimpinan Musa bin Ja’far dan khilafah Hadi Abbasi. [82] Imam Musa tidak turut serta dalam kebangkitan-kebangkitan ini dan tidak ada laporang yang menyebutkan sikap tegasnya dalam mendukung atau menolak kebangkitan-kebangkitan ini; bahkan Yahya bin Abdullah, setelah kebangkitan Thabaristan, dalam sebuah surat mengeluhkan mengapa Imam Musa tidak ikut dalam kebangkitan ini. [83]
Terkait dengan sikap Imam Musa terhadap kebangkitan Fakh di Madinah terdapat dua pandangan:
Bagaimanapun, tatkala Imam Musa melihat kepala Syahid Fakh, ia memujinya dengan membacakan ayat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun). [86] Hadi Abbasi menuding Imam Musa yang memerintahkan kebangkitan Fakh dan atas dasar itu ia mengancam akan membunuh Imam Musa al-Kazhim as.[87]
Penjara
Imam Musa al-Kazhim as, sepanjang masa imamahnya berulang kali dipanggil dan dipenjara oleh khalifah Abbasiyah. Pertama kali pada masa khilafah Mahdi Abbasi. Mereka memindahkan Imam Musa dari Madinah ke Baghdad berdasarkan perintah khalifah. [88] Harun juga dua kali memenjarakan Imam Musa as. Masa penangkapan dan penjara awal tidak disebutkan dalam literature namun kedua kalinya pada 20 Syawal 179 H/796 Imam Musa dipenjara di Madinah. [89] Pada 7 Dzulhijjah Imam Musa kembali ditawan di Basrah di kediaman Isa bin Ja’far.[90] Isa diminta untuk membunuh Imam namun ia menolaknya.[91] Kemudian Imam Musa dipindahkan ke penjara Fadhl bin Rabi’ di Baghdad. Imam Kazhim melewati tahun-tahun di penghujung usianya di penjara Fadhl bin Rabi’ dan Sandy bin Syahik. [92] Dalam bacaan doa ziarah Imam Musa al-Kazhim terdapat penggalan kalimat yang menyebutkan salam kepada orang yang disiksa disumur-sumur gelap. الْمُعَذَّبِ فِي قَعْرِ السُّجُون. [93] Adapun terkait dengan penangkapan Imam Ketujuh Syiah oleh para khalifah Abbasiyah dan pemindahannya ke penjara terdapat banyak laporan dalam sumber-sumber sejarah. Berdasarkan beberapa laporan sejarah alasan penangkapannya adalah berdasarkan perintah Harun, kecemburuan Yahya Barmaki dan fitnah Ali bin Ismail bin Ja’far di hadapan Harun; [94]
Disebutkan bahwa Harun sangat terganggu atas hubungan umat Syiah dengan Imam Musa al-Kazhim dan juga ketakutan karena keyakinan orang-orang Syiah kepada imamahnya yang melemahkan pemerintahannya.[95] Demikian juga berdasarkan sebagian laporan sejarah alasan pemenjaraan Imam Kazhim as karena sebagian Syiah seperti Hisyam bin Hakam yang tidak bertaqiyyah meski Imam Kazhim telah memerintahkannya. [96] Laporan-laporan ini menyebutkan perdebatan-perdebatan Hisyam bin Hakam yang dinlai menjadi salah satu sebab penawanan Imam Kazhim as.[97]
Kesyahidan
Detik-detik terakhir usia Imam Musa al-Kazhim dihabiskan di penjara Sandi bin Syahik. Syaikh Mufid berkata, “Atas perintah Harun al-Rasyid, Sandy meracun Imam Musa al-Kazhim as dan tiga hari setelah itu ia meninggal dunia. [98]
Kesyahidannya bertepatan dengan 25 Rajab 183/799 H di Baghdad.[99] Terkait dengan waktu dan tempat kesyahidan Imam Musa al-Kazhim as terdapat beberapa pendapat lain.[100]
Setelah kesyahidan Imam Musa al-Kazhim as, jenazahnya diletakkan di atas jembatan kota Baghdad atas perintah Sindy dan mengumumkan bahwa Musa bin Ja’far meninggal secara wajar.[101] Sehubungan dengan bagaimana syahidnya Imam Musa as terdapat beberapa riwayat yang berbeda; kebanyakan sejarawan menilai bahwa Yahya bin Khalid dan Sindy bin Syahik yang meracunnya.[102] Dalam sebuah laporan sejarah juga disebutkan bahwa mereka mencekiknya dengan melilitnya dalam karpet.[103]
Hamdalah Mustaufi, tanpa dokumen dan bukti, menyandarkan hal ini kepada orang-orang Syiah dan berkata Musa bin Ja’far mati dalam keadaan diracun.[104]
Terdapat dua alasan yang disebutkan mengapa jasad Imam Kazhim diletakkan di hadapan khalayak ramai: Pertama untuk menetapkan bahwa ia meninggal secara wajar; kedua untuk menggugurkan kepercayaan orang-orang bahwa ia adalah Imam Mahdi. [105]
Jasad Musa bin Ja’far dikuburkan di sebuah tempat Syuniziyah di pekuburan keluarga Mansur yang dikenal sebagai pekuburan Quraisy.[106] Kuburan ini kemudian lebih dikenal sebagai Haram Kazhimain. Disebutkan bahwa alasan Bani Abbasiyah menguburkan Imam Musa al-Kazhim as di tempat ini adalah untuk mencegah jangan sampai orang-orang Syiah menjadikan kuburannya sebagai tempat pertemuan mereka.[107]
Sahabat dan Deputi
Sehubungan dengan sahabat-sahabat Imam Kazhim as tidak ada data yang akurat yang tersimpan dan terdapat perbedaan pendapat terkait dengan jumlah mereka:
Ali bin Yaqthin, Hisyam bin Hakam, Hisyam bin Salim, Muhammad bin Abi Umair, Himad bin Isa, Yunus bin Abdurrahman, Shafwan bin Yahya, Shafwan bin Jamal adalah sederatan nama yang menjadi sahabat Imam Musa al-Kazhim as dimana sebagian dari mereka tergolong sebagai ashhab al-ijma.[110] Pasca kesyahidan Imam Kazhim, banyak sahabat di antaranya Ali bin Abi Hamzah Bathaini, Ziyad bin Marwan dan Usman bin Isa tidak menerima imamah dan kepemimpinan Ali bin Musa al-Ridha as dan berhenti pada imamah Musa bin Ja’far as. [111] Kelompok ini, kemudian dikenal dengan nama Waqifiyah. Akan tetapi sebagian di antara mereka pada akhirnya menerima kepemimpinan Ali bin Musa al-Ridha as.
Organisasi Perwakilan
Untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Syiah dan menguatkan kemampuan finansial mereka, Imam Musa al-Kazhim menguatkan organisasi perwakilan Syiah yang sebelumnya telah berdiri di masa Imam Ja’far Shadiq as. Imam Musa mengirim sebagian sahabatnya sebagai wakil ke berbagai daerah. Sebagian literatur menyebutkan bahwa terdapat 13 orang wakil Imam Musa al-Kazhim as.[112] Berdasarkan sebagian literatur, Ali bin Yaqthin, Mufaddhal bin Umar di Kufah, Abdurrahman bin Hajjaj di Baghdad, Ziyad bin Marwan di Qandahar, Usman bin Isa di Mesir, Ibrahim bin Salam di Naisyabur dan Abdullah bin Jundab di Ahwaz adalah wakil-wakil yang diangkat oleh Imam Musa al-Kazhim as.[113] Terdapat banyak laporan dalam sebagian literatur yang menyebutkan bahwa orang-orang Syiah menyerahkan khumus kepada Imam Musa al-Kazhim atau kepada wakil-wakilnya. Syaikh Thusi juga menilai bahwa dalil bergabungnya sebagian wakil Imam Musa ke firkah Waqifiyah adalah karena keterarikan pada harta yang terkumpul pada mereka.[114] Dalam laporan Ali bin Ismail bin Ja’far ke Harun yang berujung pada pemenjaraan Imam Musa al-Kazhim disebutkan bahwa, “Banyak uang dari Timur dan Barat yang dikirimkan kepadanya dan gudang harta baitulmal yang sangat banyak terdiri dari emas dan perak dapat ditemukan di dalamnya.”[115]
Korespondensi adalah model lain hubungan orang-orang Syiah dengan Imam Musa al-Kazhim as. Korespondensi dalma masalah-masalah fikih, akidah, nasihat dan hal-hal yang terkait dengan perwakilan. Bahkan disebutkan Imam Musa dalam penjara menuliskan surat-surat untuk para sahabatnya [116] dan menjawab persoalan-persoalan yang mereka hadapi.[117]
Kedudukan di Hadapan Ahlusunah
Ahlusunah menghormati Imam Ketujuh Syiah sebagai seorang alim. Sebagian dari pembesar Ahlusunah memuji ilmu dan akhlak Imam Musa al-Kazhim as.[118] Mereka juga menyebutkan kesabaran, kedermawanan, banyaknya ibadah dan sifat-sifat mulia lainnya. [119] Demikian juga banyak dilaporkan dalam literatur-literatur Ahlusunnah sehubungan dengan ketabahan dan ibadah Imam Musa al-Kazhim as. [120]Sebagian dari ulama Ahlusunnah seperti Sam’ani berziarah ke kuburan Imam Musa al-Kazhim as[121] dan bertawassul kepadanya. Abu Ali Khalal seorang ulama Ahlusunnah menyebutkan bahwa bilamana ia menemui kesulitan maka ia akan pergi berziarah ke kuburan Musa bin Ja’far dan bertawassul kepadanya. Usai ziarah dan tawassul kesulitan-kesulitan yang dihadapi terpecahkan.[122] Dinukil juga dari Syafi’i yang menyebutkan kuburan Imam Musa al-Kazhim as sebagai obat penyembuh.[123]
Bibliografi
Banyak karya terkait dengan Imam Musa al-Kazhim yang ditulis dalam bentuk buku, disertasi dan artikel-artikel dalam berbagai bahasa yang jumlahnya sebanyak 770.[124] Buku-buku seperti Kitabnameh Imam Musa al-Kazhim as,[125] Kitabsyinasi Kazhimain[126] dan artikel Kitabsyinasi Imam Musa al-Kazhim as yang memperkenalkan karya-karya ini. [127] Kebanyakan tema yang diangkat dalam karya-karya ini seputar kehidupan dan keperibadian Imam Ketujuh Syiah ini. Demikian juga seminar dengan berjudul Sirah dan Zaman Imam Musa al-Kazhim as diselenggarakan pada Bahman 1392 HS di Iran. Dari seminar ini terdapat banyak artikel yang diterbitkan dalam bentuk proceeding dengan judul Kumpulan Makalah Seminar Sirah Imam Musa al-Kazhim as. [128] Musnad al-Imam al-Kazhim, Bab al-Hawaij al-Imam Musa al-Kazhim dan Hayat al-Imam Musa bin Ja’far adalah contoh karya yang ditulis terkait dengan Imam Musa al-Kazhim as.
Catatan kaki
Tinggalkan Balasan