Ja’far bin Muhammad (bahasa Arab: جعفر بن محمد) yang dikenal dengan Imam Ja’far Shadiq as (83-148 H) adalah imam keenam Syiah setelah ayahnya Imam Baqir as dan imam kelima Ismailiyah. Selama 34 tahun (114- 148 H) ia memegang kepemimpinan Syiah, yang sezaman dengan kekhalifahan lima khalifah Umayyah terakhir, dari Hisyam bin Abdul Malik, dan dua khalifah pertama dinasti Abbasi; Saffah dan Manshur Dawaniqi. Karena lemahnya kekuasaan Bani Umayyah, Imam Shadiq as memiliki aktivitas ilmiah yang jauh lebih banyak daripada para imam Syiah lainnya. Jumlah murid dan perawinya diyakini mencapai 4000 orang.
Sebagian besar riwayat Ahlulbait as berasal dari Imam Shadiq as dan karenanya mazhab Syiah Imamiyah juga disebut mazhab Ja’fari. Imam Shadiq as juga memiliki kedudukan tinggi di antara para pemimpin fikih Ahlusunnah. Abu Hanifah dan Malik bin Anas telah meriwayatkan hadis darinya. Abu Hanifah menyakininya sebagai ulama yang paling menonjol di antara umat Islam.
Imam Shadiq dengan adanya kelemahan pemerintahan bani Umayyah dan tuntutan kaum Syiah, tidak bangkit melawan rezim pemerintah. Dia menolak permintaan Abu Muslim Khorasani dan Abu Salamah untuk duduk di kursi kekhalifahan. Imam Shadiq as tidak berpartisipasi dalam kebangkitan pamannya Zaid bin Ali dan mencegah kaum Syiah untuk melakukan pemberontakan, tetapi ia tidak memiliki hubungan yang baik dengan para penguasa di masanya. Karena tekanan politik para rezim Umayyah dan Abbasiyah, ia menggunakan metode taqiyah dan menasihati para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama.
Imam Shadiq as, dalam rangka untuk berkomunikasi lebih banyak dengan kaum Syiah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama mereka, untuk menerima kewajiban harta/pajak dan untuk menangani masalah-masalah kaum Syiah, membentuk “lembaga Perwakilan”. Kegiatan lembaga ini semakin meluas pada masa para imam berikutnya, dan memuncak pada masa kegaiban Kecil. Pada masanya, aktivitas kelompok Ghulat meluas. Dia menolak keras pemikiran Ghulat dan memperkenalkan orang-orang Ghulat sebagai orang kafir dan musyrik.
Menurut beberapa sumber, karena Imam Shadiq as dipanggil oleh pemerintah, ia melakukan perjalanan ke Irak dan pergi ke Karbala, Najaf dan Kufah. Dia menunjukkan kuburnya Imam Ali as, yang lama tersembunyi sebelumnya kepada para sahabatnya. Beberapa ulama Syiah percaya bahwa Imam Shadiq as mati syahid atas perintah Mansur Dawaniqi karena diracun. Menurut sumber-sumber riwayat Syiah, ia mengidentifikasi Imam Kazhim as sebagai Imam setelahnya kepada teman-temannya, tetapi untuk melindungi hidupnya, ia memperkenalkan lima orang, termasuk Mansur Khalifah Abbasi, sebagai wasinya. Setelah kesyahidan Imam Shadiq as, berbagai sekte terbentuk di Syiah, termasuk Ismailiyah, Fathahiyah, dan Nawusiyah.
Dari delapan ratus buku tentang Imam Shadiq as yang disebutkan, buku Akhbar al-Shadiq ma’a Abi Hanifah dan Akhbar al-Shadiq ma’a al-Manshur karya Muhammad bin Wahban Dubaili (abad IV) termasuk dari yang paling klasik diantara mereka. Beberapa buku lain tentang Imam Shadiq as adalah: Zindegani-e Imam Shadiq Ja’far bin Muhammad (Kehidupan Imam Shadiq Ja’far bin Muhammad) karya Sayid Ja’far Syahidi, al-Imam al-Shadiq as wa al-Madzahib al-Arba’ah karya Asad Haidar, Pisywaye Shadiq (Pemimpin yang jujur) karya Sayid Ali Khamenei dan Mausu’ah al-Imam al-Shadiq (Ensiklopedia Imam Shadiq), karya Baqir Syarif Qurasyi.
Nasab, Julukan, dan Gelar
Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as, imam keenam mazhab Syiah Imamiyah[1] , dan imam kelima mazhab Ismailiyah[2], nama ayahnya Imam Muhammad Baqir as dan ibundanya adalah Ummu Farwah putri Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar.[3]. Sesuai penukilan buku Kasyf al-Ghummah karya seorang alim sunni, karena nasab ibu Imam Shadiq as, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu menyambung ke Abu Bakar, maka Imam berkata: “لقد ولّدنی ابوبکر مرتین; saya dilahirkan dua kali dari ABu Bakar”. Berangkat dari pernyataan Allamah Syusytari dan Muhammad Baqir Majlisi, sebagian ulama menilai riwayat ini sebagai riwayat yang palsu.[4]
Julukan masyhur Imam Shadiq as adalah Abu Abdillah (melihat bahwa anak keduanya bernama Abdullah al-Afthah). Ia juga dijuluki dengan Abu Ismail (melihat bahwa anak pertamanya adalah Ismail) dan Abu Musa (melihat bahwa salah satu anaknya adalah Imam Musa Kazhim as).[5]
Gelar utama Imam yang termasyhur adalah Shadiq yang berarti orang yang jujur.[6] Menurut sebuah hadis, Nabi saw memberikan gelar tersebut kepadanya supaya terbedakan dengan Ja’far al-Kadzab[7]. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa Imam Shadiq as dijuluki Shadiq karena mencegah diri dari ikut serta dalam pemebrontakan-pemberontakan pada masanya. Sebab, orang yang pada masa itu merekrut orang-orang disekitarnya dan menggerakkan meraka untuk bangkit melawan pemerintah, disebut Kadzdzab (pembohong).[8] Pada periode para Imam masa itu, julukan ini digunakan untuk Imam Shadiq as.[9]
Beberapa ulama Ahlusunnah seperti Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal dan Jahizh juga menyebut Imam Shadiq dengan julukan ini.[10]
Biografi Kehidupan
Imam Shadiq lahir pada 17 Rabiul Awal tahun 83 H/702 di Madinah, dan meninggal di sana pada tahun 148 H/766, pada umur 65 tahun. [11] Sebagian ulama mencatat kelahirannya pada tahun 80 H.[12]Demikian juga Ibnu Qutaibah al-Dinawari mencatat wafatnya pada tahun 146 H[13], yang hal ini dinyatakan salah dalam mencatat oleh para ulama.[14]
Terkait hari dan bulan kesyahidan Imam Shadiq as terdapat perbedaan pendapat. Menurut pendapat masyhur ulama Syiah terdahulu, ia meninggal pada bulan Syawal, namun dalam sumber-sumber terdahulu tidak disebutkan hari kesyahidannya. Dengan semua ini, sumber-sumber mutaakhir meyakini tanggal 25 Syawal sebagai hari syahadahnya.[15]Berlawanan dengan pendapat masyhur, dalam kitab Bihar al-Anwar disebutkan bahwa Imam Shadiq as mati syahid pada 15 Rajab, namun para peneliti kitab ini tidak menemukan poin ini di dalamnya.[16]
Istri dan Keturunan
Syaikh Mufid menyebutkan 10 anak keturunan dan beberapa istri untuk Imam Shadiq as.[17]
Istri | Nasab | Keturunan | Keterangan |
Hamidah | Putri Sha’id atau Shaleh | Imam Kazhim as, Ishak dan Muhammad | Imam Kazhim as adalah imam ketujuh Syiah Imamiyah [18] |
Fatimah | Putri Husain bin Ali bin Husain as | Ismail, Abdullah al-Afthah dan Ummu Farwah | Setalah ayahnya meninggal, Abdullah mengaku imam dan para pengikutnya disebut kelompok Fathahiyah.[19] Ismail meninggal dunia pada masa kehidupan Imam Shadiq as, tetapi sejumlah orang tidak menerima kematiannya dan membentuk kelompok Ismailiyah.[20] |
Istri-istri lain | – | Abbas, Ali, Asma dan Fatimah | Menurut Syaikh Mufid masing-masing dari keturunan ini lahir dari seorang budak (Ummu Walad).[21] |
Periode Keimamahan
Kehidupan Imam Shadiq as bertepatan dengan kekhalifahan 10 khalifah terakhir dari dinasti Umayyah, termasuk Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik, dan dua khalifah pertama dari Abbasi, Saffah dan Manshur Dawaniqi.[22]Dalam kunjungan Imam Baqir as ke Syam atas permintaan Hisyam bin Abdul Malik, ia bersama sang ayah. [23] Dalam keimamahan Imam Shadiq as, berkuasa lima khalifah terakhir dari Umayyah, yaitu dari Hisyam bin Abdul Malik dan setelahnya dan Saffah dan Manshur dari Khalifah dinasti Abbasi.[24] Selama periode ini, pemerintah Bani Umayyah melemah dan akhirnya digulingkan dan kemudian Bani Abbasi berkuasa. Kelemahan dan kurangnya pengawasan pemerintah memberikan kesempatan yang baik bagi Imam Shadiq as untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah. [25] Tentu saja, kebebasan ini hanya ada pada dekade ketiga abad kedua. Dan sebelumnya pada masa bani Umayyah dan setelahnya, ada banyak tekanan politik terhadap Imam Shadiq as dan para pengikutnya karena pemberontakan Nafsu Zakiyah dan saudaranya Ibrahim.[26]
Bukti-bukti Keimamahan
Menurut Syiah, Imam ditentukan dari sisi Allah swt dan jalan-jalan untuk mengenalnya adalah nas (keterangan Nabi saw atau Imam sebelumnya akan keimamahan Imam setelahnya)[27] Kulaini dalam kitab al-Kafi mengutarakan beberapa riwayat untuk membuktikan keimamahan Imam Shadiq as.[28]
Lembaga Perwakilan
Karena beberapa alasan seperti tersebarnya Syiah di berbagai belahan bumi Islam, kesulitan berkomunikasi dengan Syiah karena tekanan politik dan kurangnya akses Syiah ke Imam Shadiq as, ia membentuk sekelompok perwakilan di berbagai wilayah Islam, yang disebut sebagai “Lembaga Perwakilan”.[29] Lembaga itu ditugasi beberapa tugas seperti menerima kewajiban-kewajiban harta seperti khumus,zakat, nazar dan hadiah-hadiah dari Syiah serta pengiriman semua itu kepada Imam, menangani masalah-masalah Syiah, membangun hubungan antara para Imam dan Syiah, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan mereka. [30]Lembaga Perwakilan bertambah luas pada periode Imam-imam berikutnya dan memuncak pada masa kegaiban Kecil yang dipelopori oleh empat duta Imam Zaman serta berakhir pada permulaan kegaiban Besar Imam Zaman af dan kematian duta keempatnya, Ali bin Muhammad Samuri[31]
Sikap Terhadap Kelompok Ghulat
Selama masa Imam Baqir as dan Imam Shadiq as, aktifitas kelompok Ghulat meningkat.[32] Mereka menetapkan status Tuhan untuk para Imam atau menganggap mereka sebagai Nabi. Imam Shadiq as menolak keras pemikiran Ghulat dan melarang orang-orang untuk berhubungan erat dengan mereka [33] serta menganggap mereka fasik, kafir, dan musyrik. [34] Dalam sebuah hadits mengenai kelompok Ghulat, ia menyarankan kepada kaum Syiah: “Jangan bergaul dengan mereka, jangan makan, jangan minum dan jangan berjabat tangan.” [35] Imam Shadiq as memperingatkan kaum Syiah tentang kaum muda: “Hati-hati jangan sampai kaum Ghulat merusak kaum muda kalian. Mereka adalah musuh terburuk Allah, mereka mengecilkan Allah dan menganggap tuhan hamba-hamba Allah.”[36]
Kegiatan Ilmiah
Pada periode keimamahan Imam Shadiq as, karena kelemahan dinasti Umayyah, ada lebih banyak kebebasan untuk menonjolkan akidah dan banyak diskusi ilmiah digelar dalam berbagai tema .[37] Kebebasan ilmiah dan keagamaan ini, yang lebih jarang didapati oleh seorang Imam dari dua belas imam, membuat para murid Imam untuk berpartisipasi secara bebas dalam diskusi ilmiah. [38] Ruang terbuka ilmiah menyebabkan banyak riwayat dari Imam Shadiq as di berbagai bidang ; fikih, teologi, dll. dinukilkan[39] Menurut Ibnu Hajar Haitami, masyarakat banyak menukil ilmu dari Imam dan ketenarannya sampai ke berbagai penjuru kota.[40] Abu Bahr Jahiz juga menulis bahwa pengetahuan dan fikihnya memenuhi dunia. [41] Hasan bin Ali Wasysya’ juga mengatakan bahwa ia telah melihat sembilan ratus orang di masjid Kufah yang menukil hadis dari Imam Shadiq as. [42]
Mazhab Ja’fari
Di antara para Imam Syiah, baik dalam ushuluddin dan furu’uddin, riwayat terbanyak dikutip dari Imam Shadiq as.[43] Ia juga memiliki jumlah perawi terbesar. Arbili menyakini jumlah perawinya mencapai 4000 orang. [44] Menurut Aban bin Taghlib, setiap kali orang-orang Syiah berbeda pendapat dalam perkataan Nabi saw, mereka berpegang kepada kata-kata Imam Ali as, dan ketika mereka berselisih dalam perkataan Imam Ali as, mereka merujuk pada kata-kata Imam Shadiq as. [45] Karena penukilan riwayat terkait masalah fikih dan teologi lebih banyak dari Imam Shadiq as, maka mazhab Syiah disebut dengan Mazhab Ja’fari. [46] Saat ini, Imam Shadiq as dikenal sebagai kepala Mazhab Ja’fari.[47]
Pada tahun 1378 H, Syaikh Mahmud Syaltot, kepala Universitas al-Azhar Mesir, dalam korespondensi dengan Ayatullah Burujerdi mengakui mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dan secara syar’i membolehkan beramal dengannya. [48][49] [50]
Dialog Ilmiah
Dalam teks-teks hadis Syiah telah disebutkan perdebatan dan dialog antara Imam Shadiq as dan para teolog dari agama lain, serta beberapa orang yang mengingkari keberadaan Tuhan. [51] Dalam beberapa perdebatan, murid-murid Imam Shadiq yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu, melakukan perdebatan dengan orang lain dengan dihadiri beliau. Dalam pertemuan-pertemuan ini, Imam Shadiq as mengawasi perdebatan dan kadang-kadang ikut campur dalam perdebatan tersebut.[52] Misalnya, dalam sebuah dialog dengan seorang alim dari Syam yang meminta debat dengan para murid Imam Shadiq as, Imam meminta Hisyam bin Salim untuk berdialog dengannya dalam masalah teologi. [53] Imam juga meminta orang yang akan berdebat dengannya untuk berdiskusi dahulu dengan murid-muridnya dalam bidang apa saja yang dia mau, dan jika dia mengalahkan mereka, Imam sendiri akan berdiskusi dengannya. Orang itu mengadakan perdebatan di bidang Alquran dengan Humran bin A’yan, di bidang sastra Arab dengan Aban bin Taghlib dan di bidang teologi dengan Mukmin al-Thaq dan Hisyam bin Salim, dan akhirnya ia terkalahkan.[54]
Ahmad bin Ali Thabrisi dalam buku al-Ihtijaj telah mengumpulkan serangkaian perdebatan Imam Shadiq as, beberapa di antaranya adalah:
Sikap Politis Imam
Kehidupan Imam Shadiq as semasa dengan kekhalifahan sepuluh orang khalifah terakhir dari dinasti Umayyah, termasuk Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik, dan dua khalifah pertama Abbasi, Saffah dan Mansur Dawaniqi. [62] Dalam perjalanan Imam Baqir as ke Syam atas permintaan Hisyam bin Abdul Malik, Imam menemani ayahnya. [63] Dalam kimamahan Imam Shadiq as, telah berkuasa lima khalifah terakhir dari dinasti Umawiyah, dari Hisyam bin Abdul Malik dan berikutnya, dan Saffah dan Mansur dari khalifah Abbasiyah.[64]
Menghindari Kebangkitan Bersenjata
Meskipun keimamahan Imam Shadiq as disertai dengan lemahnya dan runtuhnya dinasti Umawi, ia menghindari dari konflik militer dan politik dan bahkan menolak untuk didudukkan di atas kursi kekhalifahan. Syahristani telah melaporkan bahwa Abu Muslim Khorasani setelah kematian Ibrahim imam, menyebut dalam sebuah surat bahwa Imam Shadiq as adalah orang yang paling layak untuk kursi kekhalifahan dan mengundangnya untuk menerima kekhalifahan, tetapi Imam Shadiq as menjawab: “Anda bukan Teman saya, dan zaman ini bukan waktu saya “. [65] Dia juga menanggapi undangan Abu Salamah untuk Kekhalifahan dengan membakar suratnya. [66] Dia juga tidak berpartisipasi dalam pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan, termasuk pemberontakan pamannya Zaid bin Ali. [67] Menurut sebuah hadis, Imam Shadiq as menyebut kurangnya pendukung sejati adalah alasan untuk menahan diri dari pemberontakan. [68]
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan bani Umayyah, sekelompok bani Hasyim, termasuk Abdullah bin Hasan Mutsanna dan putra-putranya, dan Saffah dan Mansur, berkumpul di Abwa’ supya bersumpah setia kepada salah satu dari mereka sendiri untuk bangkit melawan pemerintah. Pada pertemuan ini, Abdullah memperkenalkan putranya Muhammad sebagai Mahdi dan meminta hadirin untuk berbaiat kepadanya.
Imam Shadiq as, ketika mengetahui kisah ini, berkata: “Putramu bukan Mahdi dan sekarang dia bukan Mahdi.” Abdullah marah dengan kata-kata Imam dan menuduhnya cemburu. Imam Shadiq as bersumpah bahwa ia tidak berbicara karena iri hati dan mengatakan bahwa anak-anaknya akan dibunuh dan kekhalifahan akan jatuh ke tangan Saffah dan Mansur. [69] Rasul Ja’farian menilai bahwa akar perbedaan antara anak-anak Imam Hasan as dan anak-anak Imam Husain as muncul dari cerita ini. [70]
Hubungan Imam dengan Para Penguasa
Meskipun Imam Shadiq as menjauhkan diri dari pemberontakan bersenjata melawan rezim pemerintahan, namun ia tidak memiliki hubungan baik dengan para penguasa di masanya. Ketika Imam pergi haji dengan didampingi oleh ayahnya, Imam Muhammad Baqir as, ia memperkenalkan Ahlulbait as sebagai orang-orang pilihan Allah dan menyinggung permusuhan khalifah Hisyam bin Abdul Malik dengan Ahlulbait as. [71] Menanggapi Mansur Dawaniqi, yang meminta Imam untuk menemuinya sebagaimana layaknya orang lain menemuinya, ia menulis: “Kami tidak punya apa-apa yang karenanya kami takut kepada Anda, dan Anda tidak memiliki apa pun dari urusan akhirat yang kami harap dari Anda, dan Anda tidak dalam kenikmatan sehingga kami mengucapkan selamat kepada Anda, dan Anda tidak percaya bahwa Anda berada dalam bencana sehingga kami mengucapkan bela sungkawa kepada Anda. Jadi mengapa kami harus datang menemui Anda? “[72]
Pembakaran Rumah Imam Shadiq as
Menurut sebuah riwayat dari kitab al-Kafi, ketika Hasan bin Zaid menjabat gubernur Mekah dan Madinah, atas perintah Mansur Abbasi ia membakar rumah Imam Shadiq as. Menurut riwayat ini, kobaran api ini membakar hangus pintu masuk ke rumah Imam as dan Imam as keluar rumah dengan melewati kobaran api tersebut seraya berkata: “Saya putra A’raq al-Tsara (lakab Nabi Ismail). Saya adalah putra dari Ibrahim Khalilullah.” [73]
Tentu saja, Thabari telah menulis bahwa Mansur pada tahun 150 H, yakni dua tahun paska kesyahidan Imam Shadiq as, menunjuk Hasan bin Zaid sebagai gubernur Madinah. [74]
Penggunaan Cara Taqiyah
Selain pada dekade ketiga abad kedua hijriah, yang bertepatan dengan runtuhnya Kekhalifahan bani Umayyah, para khalifah Bani Umayyah dan Abbasiyah selalu mengamati aktivitas Imam Shadiq as dan para pengikutnya. Tekanan-tekanan politik pada akhir-akhir kehidupan Imam Shadiq as lebih besar dibanding sebelumnya. [75] Menurut beberapa riwayat, para tentara Mansur Dawaniqi mengidentifikasi dan membunuh mereka yang berhubungan dengan Syiah Imam Shadiq as. Karena itu, Imam Shadiq as dan para pengikutnya menggunakan metode Taqiyah. [76]
Imam Shadiq as menasehati Sufyan Tsauri yang datang menemuinya untuk pergi darinya karena mereka bedua telah diintai oleh pemerintah. [77] Dalam hadis lain, Imam Shadiq as meminta Aban bin Taghlib untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat terkait fikih dengan menukil pandangan-pandangan ulama Ahlusunnah demi menghindari masalah yang tidak diinginkan. [78] Ada juga riwayat-riwayat dari Imam Shadiq as yang menekankan Taqiyah. Pada beberapa riwayat-riwayat tersebut, Taqiyah ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan salat. [79]
Karakteristik-karakteriktik Akhlak
Dalam sumber-sumber riwayat tentang karakteristik-karakteristik moral Imam Shadiq as disebutkan beberapa laporan tentang kezuhudan, pemberian infak, ilmu yang luas, ibadah yang banyak dan pembacaan Alquran. Muhammad bin Talhah menggambarkan Imam Shadiq as sebagai salah satu orang terbesar Ahlulbait as, yang memiliki banyak pengetahuan, yang banyak beribadah, zuhud dan membaca Alquran. [80] Malik bin Anas dari Imam fikih Ahlusunah mengatakan: selama ia datang menemui Imam Shadiq as, ia selalu melihatnya dalam salah satu dari tiga kondisi; salat, puasa dan berzikir. [81]
Menurut catatan Bihar al-Anwar, Imam menanggapi permintaan orang fakir dengan memberinya empat ratus dirham, dan ketika Imam melihat orang itu bersyukur ia pun memberikan cincinnya yang bernilai sepuluh ribu dirham kepadanya. [82] Ada juga riwayat-riwayat yang menerangkan pemberian infak-infak Imam Shadiq as yang dilakukan secara sembunyi. Menurut kitab al-Kafi, ia memasukkan roti, daging dan uang di tasnya pada malam hari dan secara tidak diketahui membawanya ke pintu rumah orang-orang miskin di kota dan membaginya di antara mereka. [83] Abu Ja’far Khats’ami mengutip bahwa Imam Shadiq as memberinya tas yang berisi uang dan memintanya untuk memberikannya kepada seseorang dari bani Hasyim dan jangan bilang siapa yang mengirimnya. Menurut Khats’ami, ketika orang itu mengambil uang itu, ia berdoa untuk pengirimnya dan mengeluh dari Imam Shadiq as mengapa tidak memberinya apa pun padahal ia memiliki kekayaan. [84]
Kunjungan ke Irak
Imam Shadiq as, pada masa pemerintahan Saffah dan juga pemerintahan Mansur Dawaniqi, telah melakukan perjalanan ke Irak karena panggilan pemerintah. Dalam kunjungan ini , ia juga pergi ke Karbala, Najaf, Kufah dan Hirah.[85] Muhammad bin Ma’ruf Hilali telah mengutip bahwa orang-orang sangat menyambutnya pada kunjungan Imam Shadiq as ke Hirah, sehingga ia tidak dapat bertemu Imam selama beberapa hari karena kerumunan orang. [86]
Mihrab Imam Shadiq as di masjid Kufah, terletak di bagian timur masjid dekat makam Muslim bin Aqil, dan mihrabnya di masjid Sahlah, termasuk dari hal-hal yang dapat mengenangnya di Irak. .[87] Imam Shadiq as telah menziarahi makam Imam Husain as di Karbala. .[88] Di tepi sungai Husainiah di Karbala, ada sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat mihrab yang disandarkan kepada Imam Shadiq as. .[89]
Ditunjukkannya Kubur Imam Ali as
Dalam beberapa riwayat disebutkan ziarah-ziarah Imam Shadiq as ke makan Imam Ali as. [90] Ia menunjukkan kuburan Imam Ali as, yang sebelumnya tersembunyi, kepada para pengikutnya. Menurut Kulaini, Imam pernah membawa Yazid bin Amr bin Talhah ke satu tempat antara Hirah dan Najaf dan menunjukkan kepadanya makam Imam Ali as. [91] Syaikh Thusi juga mengatakan: Imam Shadiq as datang ke makam Imam Ali as melakukan salat dan memberi tahu Yunus bin Zhabyan: Ini adalah makam Amirul Mukminin.[92]
Murid-Murid dan Perawi-Perawi
Syaikh Thusi dalam rijalnya menyebutkan sekitar 3200 perawi untuk Imam Shadiq as. [93] Syaikh Mufid dalam buku al-Irsyad mencatat jumlah perawi Imam 4000 orang. [94] Dikatakan bahwa Ibnu Uqdah memiliki sebuah buku khusus tentang perawi-perawi Imam shadiq as yang didalamnya disebutkan nama 4000 perawi.[95]
Sebagian besar penulis Ushul Arbau Miah (empat ratus prinsip Syi’ah) telah menjadi murid Imam Shadiq as. [96] Dibandingkan dengan para imam lainnya, Imam Shadiq memiliki murid terbanyak dari kalangan anggota Ijma’ yang merupakan perawi paling dipercaya dari para imam. [97] Beberapa murid paling terkenal dari Imam Sadiq as adalah:
Dari riwayat yang dikutip Kasyi mengenai debat murid-murid Imam Shadiq as, dapat disimpulkan bahwa beberapa muridnya berspesialisasi dalam bidang khusus. [98] Menurut riwayat ini, Humran bin A’yan berspesialisasi dalam ilmu-ilmu Alquran, Aban bin Taghlib dalam sastra Arab, Zurarah dalam fikih, Mukmin al-Thaq dan Hisyam bin Salim dalam teologi. [99] Beberapa murid lain dari Imam Shadiq as yang berspesialisasi dalam teologi adalah Humran bin A’yan, Qais Mashir dan Hisyam bin Hakam. [100]
Ahlusunnah
Beberapa ulama dan imam fikih Ahlusunnah telah menjadi murid Imam Shadiq as. Syaikh Shaduq meriwayatkan dari Malik bin Anas bahwa dia telah pergi ke Imam Shadiq as selama beberapa waktu, dan telah mendengarkan hadis darinya. [101] Malik bin Anas mengutip hadits dari Imam Shadiq as dalam kitab al-Muwatha’. [102]
Ibnu Hajar Haitami telah menulis bahwa para ulama besar Ahlusunnah, seperti Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraih, Malik bin Anas, Sufyan ibn ‘Uyainah, Sufyan Tsauri, Abu Hanifah, Syu’bah bin al-Hajjaj dan Ayub Syakhtiyani telah meriwayatkan hadis dari Imam Shadiq as. [103] Dalam buku al-Aimmah al-Arbaah (empat imam), kehadiran Malik bin Anas di Madinah dan pemanfaatan pelajaran Imam Shadiq as telah dihitung sebagai faktor dalam pertumbuhan keilmuannya.[104]
Hadis-Hadis Masyhur
Beberapa Hadis terkenal Imam Shadiq as adalah sebagai berikut:
Pandangan Ahlusunnah Mengenai Imam Shadiq as
Imam Shadiq as memiliki kedudukan tinggi di sisi para pembesar Ahlusunnah. Abu Hanifah salah seorang dari para pemimpin Sunni menganggap Imam Shadiq sebagai orang yang paling fakih dan paling berpengetahuan di kalangan Muslim.[111] Menurut Ibnu Abil Hadid, ulama Sunni seperti Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Syafii adalah murid langsung atau tidak langsung dari Imam Shadiq as, dan oleh karena itu fikih Ahlusunah berakar dari fikih Syiah.[112] Dengan semua ini, dalam fikih Ahlusunnah, meskipun perhatian besar telah diberikan kepada fukaha kontemporer Imam Shadiq as seperti Auza’i dan Sufyan Tsauri, namun pandangan-pandangan Imam belum diperhitungkan.[113] Oleh karena itu, beberapa ulama Syiah seperti Sayid Murtadha telah mengkritik ulama Ahlusunnah. [114]
Kesyahidan
Syaikh Shaduq telah menyatakan bahwa Imam Shadiq as mati syahid karena racun yang diberikan kepadanya atas perintah Mansur Dawaniqi. [115] Ibnu Syahr Asyub di dalam al-Manaqib dan penulis buku Dalail al-Imamah juga menyatakan pendapat yang sama . [116] Sebaliknya, Syaikh Mufid berkeyakinan bahwa tidak ada bukti pasti tentang bagaimana kesyahidan Imam. [117]
Wasiat Imam Shadiq as
Menurut beberapa hadis, Imam Shadiq as berulang kali memperkenalkan Imam Kazhim as sebagai imam berikutnya kepada sahabat-sahabat khsususnya, [118] tetapi karena keketatan-keketatan Abbasiyah dan untuk menjaga kehidupan Imam Kazhim as, maka ia memperkenalkan lima orang termasuk Khalifah Abbasiyah sebagai wasinya. [119] Oleh karena itu, beberapa sahabat Imam Shadiq (as), seperti Mukmin al-Thaq dan Hisyam bin Salim ragu tentang pengganti Imam Shadiq as. Mereka pertama-tama pergi ke Abdullah al-Afthah dan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya, tetapi jawaban Abdullah tidak meyakinkan mereka. Kemudian mereka bertemu dengan Musa bin Ja’far dan diyakinkan oleh jawabannya dan menerima keimamahannya. [120]
Kelompok-kelompok Syiah
Paska kesyahidan Imam Shadiq as, berbagai sekte muncul di Syiah. Sekelompok Syiah membantah kematian Ismail bin Imam Shadiq as dan menganggapnya sebagai seorang Imam. Beberapa orang dari kelompok ini, yang putus asa dan tidak mendapatkan kabar dari hidupnya Ismail, menganggap putra Ismail (Muhammad) sebagai Imam. Kelompok itu dikenal dengan Ismailiyah. Beberapa yang lain menganggap Abdullah al-Afthah sebagai Imam, dan mereka dikenal dengan Fathahiyah, tetapi setelah kematiannya, yang terjadi sekitar 70 hari setelah kesyahidan Imam Shadiq as, mereka percaya pada keimamahan Musa bin Ja’far. Sejumlah orang juga mengikuti seseorang bernama Nawus dan berhenti pada keimamahan Imam Shadiq as, kelompok ini membentuk firkah Nawusiyah. Sejumlah orang juga percaya pada keimamahan Muhammad Dibaj. [121]
Catatan kaki
Tinggalkan Balasan