Shadruddin Muhammad bin Ibrahim Syirazi (wafat: 1050 H) (Bahasa Arab: صدر الدين محمد بن ابراهيم الشيرازي) adalah seorang filsuf, arif dan mufassir Syi’ah. Dia terkenal dengan Mulla Shadra, Shadrul Hukama dan Shadrul Mutaallihin. Dia murid Mirdamad dan Syekh Bahai. Faidh Kasyani diantara muridnya yang paling terkenal. Mulla Shadra perintis aliran filsafat transenden (Hikmah Muta’aliyah), aliran penting ketiga filsafat di dunia Islam. Dia menerangkan sistem filsafatnya di kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Arba’ah al-‘Aqliyah yang lebih dikenal dengan Asfar. Kitab ini adalah kitab terpenting yang pernah ditulisnya. Setelah itu, pola pikir rasional Syi’ah terpengaruh dengan pemikiran-pemikirannya, dan banyak filsuf Syi’ah seperti Mulla Hadi Sabzawari dan Allamah Thabathabai menjelasakn kitab itu. Prinsipalitas wujud (Ashalah al-Wujud) adalah dasar aliran pemikirannya. Teorinya mengenai ma’ad jasmani membangkitkan banyak perdebatan.
Shadruddin Syirazi hidup di Syiraz, Isfahan dan Qom. Selain memiliki banyak karya dalam bidang filsafat, ia juga menulis karya lain dalam bidang tafsir al-Quran dan syarah Usul al-Kafi.
Nasab, Lahir dan Wafat
Secara pasti tanggal lahirnya tidak jelas, tapi dia wafat pada umur ke-70 tahun, pada tahun 1050 H dalam perjalanan hajinya yang ke-7 atau sepulangnya. Jadi, kelahirannya pada 15 tahun akhir abad ke-10 H. [1] Dia lahir di Syiraz dari ayah yang saleh bernama Ibrahim bin Yahya Qawami. Dikatakan, sang ayah termasuk dari menteri-menteri pemerintahan Persia yang berpusat di Syiraz, dan termasuk keluarga terhormat Qawami yang bertahun-tahun tidak punya anak. Akhirnya dia bernazar bila Allah swt mengaruniakan padanya anak laki-laki saleh dan bertauhid, maka ia akan banyak membantu orang-orang fakir dan ahli ilmu.[2]
Shadrul Mutaallihin menggunakan harta warisan peninggalan sang ayah sebagai biaya pendidikannya.
Anak
Mullah Shadra memiliki 6 anak:
Pendidikan
Dia menamatkan jenjang awal pendidikannya disisi ayahnya yang dari bangsawan. Setelah ayahnya wafat, ia hijrah ke Isfahan. Saat itu, Isfahan menjadi ibu kota kerajaan Safawiyah yang ramai dengan ilmu rasional (‘aqli) dan kontekstual (naqli). Dia belajar ilmu-ilmu ‘aqli dari Sayid Muhammad Baqir Mirdamad (w. 1041 H) dan ilmu-ilmu naqli dari Syekh Bahauddin Amili (w. 1030 H), dan mendapatkan ijazah ijtihad dari mereka.[4] Saat dia pindah ke Isfahan sudah memiliki kedudukan tinggi, baik secara ilmiah atau pun praktis. Sebab, di awal masuk hauzah Isfahan sudah mengikuti mata kuliah Syekh Bahauddin Amili (935-1031 H).[5]
Setelah Isfahan, ia kembali lagi ke Syiraz. Di sana, ia mengajar di Madrsah Khan.[6] Namun, karena sebagian ulama di sana kurang merespon, akhirnya ia meninggalkan Syiraz pergi ke Kahak, salah satu desa di pinggiran kota Qom,[7] dan bertahun-tahun hidup menyendiri melakukan riyadah dan penyucian diri. Setelah periode ini, ia mulai membangun dan merintis mazhab filsafatnya, dan hingga akhir hayatnya sibuk dengan itu. Menurut sebagian data, ia menjalani babak akhir hidupnya di Qom.
Tahap Kehidupan Ilmiah
Kehidupan ilmiah Shadra dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
Tahap pertama: Masa belajar dan jadi murid. Pada masa ini, dia mengkaji dan meneliti teori-teori para teolog dan filsafat. Di mukadimah Asfar, ia menjelaskan penyesalannya tentang kenapa pada awal umurnya terlalu banyak mengikuti perdebatan.
Tahap kedua: pada tahap ini ia mengisolasikan diri dan menjauh dari masyarakat serta beribadah di tepi gunung yang terletak di Kahak salah satu desa di kota Qom. Penyendirian ini berlanjut sampai 15 tahun. Di mukadimah Asfar dijelaskan kisah pengisolasian diri ini; karena tekanan dari masyarakat dan dia tidak mendapatkan orang yang ahli ilmu dan makrifat serta banyak pandangan-pandangan keliru menyebar luas, akhirnya ia menjauh dari mereka dan berdiam di pegunungan serta sibuk beribadah kepada Allah swt; tidak lagi sibuk mengajar atau pun menulis. Pada masa panjang ini ia tidak punya kesibukan selain beribadah, bertapa dan riyadah.
Tahap ketiga: tahap mengarang buku. Dia mengatakan, “Sekarang tiba saatnya menulis buku, ini semua adalah kehendak Tuhan yang menghendaki terjadi di zaman ini”. Asfar adalah kitab pertamanya yang dia tulis setelah menjalani masa penyendirian. Sepertinya buku ini ditulis ditempat pertapaannya itu. Sebelum kitab Asfar, terdapat sedikit risalah yang ditulis. Tapi setelah Asfar terbit, setiap buku yg ditulis banyak menyadur kalimat-kalimat Asfar, dan dapat dikatakan bahwa Asfar landasan buku-buku lain Shadra.[8]
Murid
Hikmah Muta’aliyah
Mulla Shadra menamai mazhab filsafatnya dengan Hikmah Muta’aliyah (teosopi transendental). Menurutnya, perbedaan utama Hikmah Muta’aliyah dengan aliran-aliran lain filsafat terletak pada pendekatan mistiknya. Khajih Nashir dalam Syarhi Isyarat mengatakan, Hikmah Muta’aliyah adalah penggabungan antara teori dari satu sisi dan kasyaf dan intuisi dari sisi lain. Lawan filsafat ini adalah filsafat peripatetik (Massya’);yakni hikmah adalah murni teori.[9] Shadra menyakini bahwa tolok ukur ketinggian dan nilai filsafat adalah terletak pada keterikatannya dengan ‘alam amr'[10] dan penerimaan anugerah dan rahmat Tuhan.[11]
Sinkronisasi akal dan wahyu adalah ciri khas Hikmah Muta’aliyah. Cerapan-cerapan akal manusia karena menjalin hubungan dengan ‘alam amr’ tidak bertolak belakang dengan wahyu dan agama. Karya-karya Mulla Shadra dari segi ini dipadati oleh bukti-bukti dari ayat-ayat Alquran.
Shadra menjelasakan dasar-dasar Hikmah Muta’aliyahnya di berbagai karya-karyanya. Asfar adalah kitab terpenting dan paling komprehensip di antara karya-karyanya. Struktur kitab Hikmah Muta’aliyah memiliki perbedaan pokok dengan struktur karya-karya Masyya’ dan Isyraq. Berbeda dengan Masyya’, Ia tidak membahas matematika dan fisika. Ia memimisahkan kajian jiwa (nafs) dari fisika dan menggabukannya pada pembahasan-pembahasan ilahiyat yang bermakna akhash. Pola kajian-kajian Asfar dirangkai sedemikian rupa sehingga semua jilidnya seakan menjadi premis dan mukaddimah untuk dua jilid terakhir.
Fokus pada dua hakikat wujud manusia dan Tuhan adalah ciri pokok Hikmah Muta’aliyah. Pada sistem bangunan makrifat ini, posisi ontologis manusia bukan dikaji dan diteliti dari segi hubungannya dengan tingkat-tingkat wujud terendah, melainkan dari segi hubunganya dengan tingkat tertinggi wujud; yaitu Allah swt.
Dasar-dasar terpenting Hikmah Muta’aliyah adalah kejelasan konsep wujud, berbedanya eksistensi (wujud) dari esensi (mahiyah), ashalatul wujud (prinsipalitas wujud), gradasi wujud (tasykik wujud), pembagian wujud kepada wujud independen dan relasional, imkan faqri dan gerak substansial (harakah jauhariyah).
Pandangan Beragam Tentang Metodologi Hikmah Muta’aliyah
Terdapat pandangan-pandangan berbeda beda terkait metodelogi Hikmah Muta’aliyah.
Karya
Mullah Shadra memiliki banyak karangan dalam berbagai tema. Karya-karya terpentingya antra lain adalah:
Buku Yang Diterjemahkan ke Bahasa Lain
Lembaga Hikmah Islam Shadra berprogram menerjemahkan karya-karya Shadra ke bahasa Inggris.[21]
Gagasan-gagasan
Ashalah Wujud (prinsipalitas wujud)
Sampai sebelum Mirdamad, kajian Ashalah wujud atau Mahiyah (esensi) tidak begitu mengemuka. Meski terkadang ada statmen-statmen dikalangan para filsuf menolak atau menerima dua pandangan ini. Namun, masalah ini tidak dikemukakan secara independen. Mirdamad dengan mengangkat tema ini meyakini kemendasaran esensi (ashalah mahiyah). Mulla Shadra sampai beberapa waktu juga mengikuti gurunya condong pada keaslian esensi. Namun, dengan berbagai pembuktian ia memilih ashalat wujud. Hal ini sangat signifikan dalam filsafat Mulla Shadra dan menjadi dasar dari banyak persoalan-persoalan lainnya.
Imkan Faqri
Sebelum Shadra, “wujub”‘, “imkan” dan “imtina'” yang dikenal dengan tiga materi, menjadi sifat Mahiyah. Sifat “imkan dalam mahiyah” artinya ia berpotensi ada (wujud) dan tiada (‘adam). Arti ini tidak bisa diterapkan pada wujud. Sebab, setiap wujud bersifat darurat. “imkan dalam wujud” bermakna fakir, butuh dan kebergantungan zat. Wujud-wujud imkan dengan segala identitasnya berhubungan dan bergantung kepada yang lain, sementara esensi-esensi (mahiyāt) tidak demikian adanya. Sebab, meski esensi-esensi itu tidak keluar dari wadah wujud statis, tapi akal mampu mengasumsikan mereka secara terpisah dari yang lain.[22]
Gerak Substansial
Sebelum Shadrul Mutaallihin, gerak dibatasi pada 4 kategori: kuantitas (kam), kualitas (kaif), tempat (ain) dan posisi (wadh’). Para filsuf sebelum Shadra sudah memperhatikan gerak dalam subtansi, tapi mereka memustahilkan. Shadrul Mutaallihin juga menetapkan gerak dalam subtansi. Pada hakikatnya ia menetapkan bahwa alam materi adalah alam yang dinamis dan berjalan yang sejenak pun tidak pernah diam, dan selama potensial wujudnya belum terealisasi (fi’liyat) maka ia tidak akan berhenti bergerak. Dia membagi wujud kepada wujud statis dan dinamis, dan memandang gerakan sebagai hukum dari pembagian wujud, serta mengenalkan kajian ini salah satu dari kajian-kajian penting persoalan-persoalan uviversal dalam filsafat.
Penetapan gerak substansial memberikan banyak pengaruk pada masalah-masalah Hikmah Muta’aliyah. Waktu, ma’ad jasmani, keterikatan yang dinamis (mutaghayyir) pada yang statis (tsabit) dan yang baru kepada yang qadim, alam-alam nafs, reinkarnasi dst. adalah sejumlah masalah yang penetapan gerak substansial berpengaruh di dalamnya.
Basithul Haqiqah Kullul Asyya’
Makna kaidah ini adalah bahwa sesuatu yang simpel dari segala sisi memiliki seluruh kesempurnaan wujud, dan tidak satu wujud pun dengan kesempurnaan wujudnya keluar darinya. Wujud-wujud ini berwujud dalam ‘satu wujud jamak dan sederhana’ (Tuhan). Karena itu, meski di awal kaidah, semua wujud dipredikatkan kepadanya dan dikatakan, “Bashitul Haqiqah Kullul Asyya'” (hakikat yang simpel adalah segala sesuatu) tapi di akhir kaidah, semua wujud dinafikan darinya, dikatakan, “Wa laisa bi Syaiin Min Ha”, maksudnya adalah peniadaan kekurangan-kekurangan dan batasan-batasan benda dari ‘hakikat yang simpel’ (Tuhan). Konsekuensinya adalah bahwa kesempurnaan wujud pada entitas-entitas (maujudat) terealisasi dalam hakikat yang simpel dengan satu wujud jamak.
Sebelum Shadra, kaidah ini pernah dimunculkan dalam teologi. Namun, Shadra membuatnya argumentatif dan jelas serta memperjelas posisi kaidah ini dalam sistem filsafatnya.
Ittihad Aqil wa Ma’qul (Kesatuan Antara Yang Mengetahui dan Yang Diketahui
Asal mula teori ini dalam bentuk uviversal dan yang belum teragumentasikan dinisbahkan kepada filsuf bernama Porphyry. Ibu Sina mengkritiknya karena teori ini dan buku yang dia tulis dalam masalah ini. “Ittihad” artinya adalah tiga konsep (‘aqil, ma’qul dan ta’aqqul) memiliki satu wujud eksternal (misdak) dimana misdak itu dia juga ‘aqil dan juga ma’qul dan juga ta’aqul, dan perbedaan di antara mereka tidak hakiki. Sebelum Shadrul Mutaallihin, poin ini, berkenaan dengan ilmu jiwa (nafs) pada dirinya sudah dikemukakan. Ibnu sina yang menolak teori kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui (ittihad aqil dan ma’qul), menerima itu dalam ilmu jiwa pada dirinya. Yang menjadi fokus kajian adalah ittihad aqil dan ma’qul dalam ilmu jiwa pada selain zatnya.
Mullah Shadra menggunakan kaidah ini dalam penetapkan kesatuan jiwa (ittihad nafs) dengan akal aktif (aql fa’āl), kesederhaan akal (bisathah al-Aql) dan pembangkitan jiwa-jiwa yang sempurna. (Hasyr nufus kamilah)
Jiwa dalam kebaharuannya sebagai jasmani dan keabadiannya sebagai ruhani (Nafs jasmaniyah al-Huduts ruhaniyyah al-Baqa’)
Berkenaan dengan huduts (baru) dan qidam (terdahulu)nya jiwa terdapat banyak pendapat. Sebagian orang meyakini bahwa jiwa itu hadits (baru) dan sebagian yang lain meyakini bahwa jiwa itu qadim. Pendukung teori kebaharuan jiwa berbeda pendapat tentang mekanismenya. Ada tiga pendapat pokoh dalam hal ini: terjadinya jiwa yang bersifat baharu (huduts) bersamaan dengan terjadinya badan, terjadinya jiwa setelah terjadinya badan, dan terjadinya jiwa sebelum terjadinya badan. Dalam teori qidamnya jiwa juga terdapat perbedaan pendapat. Sebab, qidam sendiri apakah pada tataran horizontal (‘ardhi) atau pada tataran vertikal (thuli)? Apakah qadim itu esensial (dzati) atau temporal (zamani)? Shadrul Mutaallihin bukan saja memandang jiwa itu bersifat baru (hadits) dengan barunya raga, bahkan memandang jiwa adalah kebaruan (huduts) raga itu sendiri.
Dengan teori gerak substansial, Shadra memandang bahwa jiwa dalam pergerakannya akan menuju keruhaniahan dan kekekalan ruhani.[23]
Ma’ad Jasmani
Para filsuf sebelum Mulla Shadra memandang ma’ad jasmani tidak bisa ditetapkan melalui jalan akal dan argumentasi rasional. Sebagian mereka mengingkarinya dan sebagian yang lain -sekalipun mengakui adanya sanggahan yang masuk padanya- sebagai rasa pengabdian dan penyerahan diri pada syariat menerima hal itu. Akan tetapi, Mullah Shadra bersikeras mengargumentasikan dan menetapkan ma’ad jasmani melalui pembuktian rasional. Dengan mengombinasikan dalil-dalil tekstual dengan dasar-dasar filosofis, dia mengemukakan teori dan pandangan baru. Berdasarkan teori ini, setelah jiwa terpisah dari badan materi, maka sesuai dengan alam barzah dan kiamat, jiwa manusia itu akan membuat badan untuk dirinya. Badan yang dibuat ini memiliki kemiripin dengan badan dunianya dari segala sisi. Badan ini mirip badan dunia, tapi bukan badan itu sendiri. Meskipun dia mempunyai spesifikasi materi, namun dia bukan materi dan tidak punya volume (hajm). [24]
Buku-Buku Yang Ditulis Tentang Mulla Shadra
Catatan kaki
Tinggalkan Balasan