Hasan bin Ali bin Muhammad (bahasa Arab: حسن بن علي بن محمد) yang mayshur dengan Imam Hasan Askari (232-260 H) adalah Imam kesebelas bagi para pengikut Syiah Itsna Asyariyah yang memimpin selama 6 tahun. Dia adalah anak Imam Hadi as dan ayah Imam Zaman as.
Lakab paling terkenalnya adalah “Askari” yang mengisyaratkan kepada kepemimpinan yang dipaksakan di Samarra. Dia di Samarra berada di bawah tekanan pemerintah dan menghadapi berbagai keterbatasan dalam menjalankan aktifitas-aktifitasnya. Imam Askari as menjalin ikatan dan hubungan dengan para pengikutnya melalui wakil-wakilnya dan korespondensi. Utsman bin Said adalah wakil khusus Imam Zaman af yang pertama dan termasuk dari perwakilan khusus Imam Askari as.
Imam Askari mati syahid pada tanggal 8 Rabiul Awal tahun 260 H pada usia 28 tahun di Samarra dan dimakamkan di samping pusara ayahandanya. Pusara mereka berdua terkenal dengan Haram Askariyain dan menjadi tempat ziarah orang Syiah di Irak.
Banyak hadis yang telah dikutip dari Imam Askari as tentang berbagai masalah, termasuk penafsiran Alquran, etika, fikih, akidah (teologi), doa, ziarah.
Biografi
Nasab: Nasab Imam Hasan Askari as dengan delapan perantara menyambung kepada Ali bin Abi Thalib as, imam pertama Syiah. Ayahnya Imam Hadi as adalah imam kesepuluh bagi pengikut Syiah dua belas imam. Menurut kutipan beberapa sumber, ibunya adalah seorang budak wanita dengan sebutan “Hudaits” atau “Haditsah”.[1] Beberapa sumber lain juga menyebutkan bahwa nama ibunya adalah Susan,[2]’Asfan[3] dan Salil.[4]Imam Askari as mempunyai saudara bernama Ja’far yang di kalangan Syiah dikenal dengan Ja’far Kadzdzab. Pasca kesyahidan Imam Askari as, ia mengklaim diri sebagai imam dan dengan mengingkari bahwa beliau tidak memiliki anak, ia pun mengklaim diri sebagai satu-satunya pewaris yang akan mewarisi beliau.[5]Sayid Muhammad dan Husain adalah saudara lain dari Imam Askari as.[6]
Gelar-gelar: Para sejarawan menyebutkan gelar-gelarnya adalah Hadi, Naqi, Zaki, Rafiq dan Shamit. Sebagian dari para sejarawan mengatakan bahwa beliau juga bergelar Khalis[7]Ibnu al-Ridha adalah sebuah gelar yang terkenal bagi Imam Jawad as, Imam Hadi as dan Imam Askari as. [8]Gelar Askari adalah gelar yang dimiliki oleh Imam Hadi as dan Imam Hasan Askari as, sebab mereka berdua hidup secara terpaksa di Samarra. Askari adalah nama yang tidak masyhur bagi Samarra.[9]Demikian juga karena nama Hasan dimiliki oleh Imam Askari as dan Imam Hasan Mujtaba as, maka para sejarawan menyebut beliau dengan Hasan Akhir.[10]
Julukan: Dia dijuluki dengan panggilan Abu Muhammad. [11]Dalam beberapa sumber digunakan pula julukan-julukan lain untuknya seperti Abu al-Hasan[12], Abu al-Hujjah[13] dan Abu al-Qaim.[14]
Kelahiran: Sumber-sumber muktabar menyebutkan tempat kelahiran Imam Hasan Askari as di Madinah.[15]Namun ada pula yang menyebutkan tempat lahir beliau di Samarra.[16]Kulaini dan mayoritas sumber-sumber terdahulu Imamiyah meyakini kelahirannya terjadi pada bulan Rabiul Awal tahun 232 H.[17]Dalam sebuah riwayat juga disebut tanggal ini.[18] Beberapa sumber terdahulu dari Imamiyah dan Ahlusunnah juga menuliskan kelahiran beliau pada tahun 231 H.[19]Syaikh Mufid di dalam buku Masār al-Syiah menyebutkan kelahiran Imam Askari as pada tanggal 10 Rabiul Tsani.[20]Pada kurun keenam Hijriah, pendapat ini tersingkirkan dan kelahiran beliau pada tanggal 8 Rabiul Tsani menjadi mayshur[21]dimana hal ini menjadi pendapat yang masyhur dikalangan Imamiyah.
Kesyahidan: Imam Askari as syahid pada hari ke-8 bulan Rabi’ al-Awal tahun 260 H pada masa pemerintahan Mu’tamad Abbasi di usia 28 tahun.[22]Terdapat juga beberapa laporan tentang kesyahidan beliau pada bulan Rabiul Tsani dan Jumadil Awal.[23]Menurut pernyataan Thabrisi di dalam buku I’lam al-Wara, banyak dari ulama Imamiyah meyakini bahwa Imam Askari as syahid akibat terkena racun. Landasan mereka adalah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq as: و الله ما منّا الا مقتول شهيد;”Demi Allah tak seorangpun dari kami kecuali mati syahid”.[24]Dari sebagian laporan historis dapat disimpulkan bahwa dua khalifah sebelum Mu’tamad berupaya untuk membunuh Imam Askari as. Dalam sebuah riwayat dimuat bahwa Mu’taz Abbasi memerintahkan Hajib (Said bin Shaleh) untuk membunuh Imam pada perjalanan menuju Kufah, namun karena masyarakat tahu, ia tidak berhasil.[25]Menurut laporan lain, Muhtada Abbasi juga berniat untuk membunuh Imam as dalam penjara, namun niatnya tidak terealisasikan dan masa pemerintahannya berakhir.[26]Imam Hasan Askari as dimakamkan di rumahnya sendiri di Samarra, dimana sebelumnya Imam Hadi as telah dimakamkan di sana.[27]Menurut penukilan Abdullah Khaqan (salah satu menteri Mu’tamad Abbasi)[28], setelah kesyahidan Imam Askari as semua pasar libur dan Bani Hasyim, para pembesar, para politikus dan masyarakat turut serta dalam mengantarkan jenazahnya.[29]
Istri: Menurut kutipan yang masyhur adalah sebenarnya Imam Hasan Askari as sama sekali tidak pernah memilih seorang wanita untuk dijadikannya sebagai istri dan generasinya hanya berlangsung melalui seorang hamba sahaya yang mana itu adalah ibu Imam Mahdi as.[30] Terdapat banyak sumber yang menyebutkan bahwa nama ibu Imam Mahdi as bervariasi. Disebutkan dalam beberapa sumber bahwa Imam Hasan Askari as banyak mempunyai pembantu dan hamba sahaya wanita dari berbagai negara seperti Romawi, Sisilia dan Turki.[31] Dan mungkin perbedaan yang terjadi dalam penamaan ibu Imam Mahdi ini, dari satu sisi adalah karena banyaknya para budak yang ada dan yang lainnya adalah karena untuk menjaga rahasia kelahiran Imam Mahdi as.[32]
Keturunan: Berdasarkan mayoritas sumber-sumber Syiah, satu-satunya anak Imam Hasan Askari as adalah Imam Zaman as yang bernama “م ح م د” (Muhammad).[33]Dari kalangan ulama Ahlusunnah terdapat pula beberapa sosok seperti Ibnu Atsir, Syablanji dan Ibnu Shabbagh Maliki mnyebutkan bahwa nama “Muhammad” adalah nama untuk putra Imam Askari as.[34]
Mengenai anak keturunan beliau, banyak pendapat yang diutarakan. Sebagian mengatakan bahwa Imam memiliki 3 anak laki-laki dan 3 anak perempuan, [35] Khosaibi menambahkan bahwa selain Imam Mahdi as, Imam juga memiliki dua orang putri bernama Fatimah dan Dalalah. [36] dan Ibnu al-Tsalj juga menambahkan bahwa selain Imam Mahdi as, Imam juga memiliki seorang putra bernama Musa dan dua orang putri bernama Fatimah dan Aisyah (atau Ummu Musa), [37] namun dalam sebagian buku Ansāb, nama-nama yang disebutkan di atas tadi adalah nama-nama saudara laki-laki dan saudara perempuan Imam Hasan Askari as [38] yang ada kemungkinan terbaur dengan nama anak keturunannya. Sebaliknya, beberapa sumber Ahlusunnah mengingkari adanya keturunan bagi Imam Askari as.[39]Ada kemungkinan bahwa pendapat ini muncul karena tersembunyinya kelahiran imam yang kedua belas dan ketidaktahuan mereka atas kelahiran tersebut.[40]
Pindah ke Samarra: Ketika Imam Hasan Askari masih kanak kanak, ayahnya Imam Hadi as diundang secara paksa ke Irak dan hidup di Samarra (ibu kota dinasti Abbasiyah) di bawah pengawasan mereka. Dalam perjalanan ini, Imam Askari juga bersama sang ayah. Mas’udi menyebut zaman perjalanan ini pada tahun 236 H[41] sementara Naubakhti menyebut tahun 233 H.[42]Imam Hasan Askari as lebih banyak menghabiskan masa hidupnya di Samarra, dan diketahui secara masyhur bahwa beliau adalah satu satunya Imam yang tidak pernah naik haji, namun di dalam buku Uyun Akhbar al-Ridha dan Kasyf al-Ghummah dikutip satu riwayat dimana rawi mendengar riwayat tersebut dari Imam Hasan Askari as di Mekah.[43]Selain perjalanan ke Mekah ini, dilaporkan pula bahwa Imam as pernah melakukan perjalanan ke Jurjan.[44]
Dalil-dalil Imamah dan Masa Imamah
Dalil utama untuk keimamahan Hasan bin Ali Askari as pasca kesyahidan Imam Hadi as adalah wasiat dan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa Imam Askari as menjadi penggati dan penerusnya.[45]Syaikh Mufid di dalam buku al-Irsyad menyebutkan lebih dari 10 riwayat dan surat terkait hal ini. Mayoritas orang Syiah dan sahabat Imam Hadi as pasca kesyahidan beliau juga merujuk kepada Imam Hasan Askari as sebagai seorang imam.[46]Namun segelintir orang meyakini Ja’far bin Ali (yang terkenal dengan Jakfar al-Kadzdzab), putra lain dari Imam Hadi as, sebagai imamnya. Dan sekelompok orang juga percaya terhadap kepemimpinan Sayid Muhammad tatkala Imam Hadi as wafat.[47]
Imam Askari as memegang tampuk kepemimpinan selama 6 tahun (254-260 H).
Kondisi Politik
Masa keimamahan Imam Askari as bertepatan dengan tiga khalifah Abbasi: Mu’taz Abbasi (252-255 H), Muhtada (255-256 H) dan Mu’tamad (256-279 H).
Pada periode kehidupan Imam Askari as, sistem dinasti Abbasi berubah menjadi senjata dan sarana untuk para penguasa rival, khususnya para penguasa dinasti Turki mempunyai peran dan pengaruh besar dalam sistem pemerintahan. Barangkali sikap politis pertama yang terekam dalam kehidupan Imam Hasan Askari as adalah berkaitan dengan satu masa dimana Imam berusia 20 tahun dan ayahnya masih hidup. Beliau dalam sepucuk surat kepada Abdullah bin Abdullah bin Thahir (termasuk menteri dinasti Abbasiyah yang berpengaruh dan menjadi musuh Musta’in, khalifah pada masa itu) menyebut khalifah seorang yang lalim dan beliau memohon kepada Allah supaya kekuasaannya dihancurkan. Surat ini beliau tulis beberapa hari sebelum lengsernya Musta’in dari kekuasaan.[48]
Pasca terbunuhnya Musta’in, Mu’taz (musuh dari Musta’in) memegang kekuasaan. Mengingat bahwa dia mengetahui secara global tentang sikap Imam Hasan Askari as terhadap khalifah yang terbunuh, maka pada awal pemerintahannya (minimal secara zahir) ia tidak bersikap keras kepada beliau dan ayahnya. Pasca kesyahidan Imam Hadi as dan setelah Imam Askari as menjadi penggantinya juga terdapat bukti-bukti bahwa dengan adanya pembatasan-pembatasan dari pihak pemerintahan terhadap kegiatan-kegiatannya, Imam masih relatif bebas. Beberapa pertemuan Imam dengan para pengikutnya menjadi bukti atas hal tersebut. Namun setelah berlau satu tahun, sang khalifah berburuk sangka kepada Imam dan pada tahun 255 H beliau dijebloskan ke dalam penjara. Imam as pada periode satu tahun khalifah berikutnya (Muhtada) pun masih berada dalam penjara.
Dengan dimualinya kekhilafahan Mu’tamad (256 H) yang berhadap-hadapan dengan kebangkitan-kebangkitan Syiah, maka Imam terbebaskan dari penjara dan sekali lagi beliau mendapat kesempatan untuk mengatur dengan serius kondisi sosial dan ekonomi Imamiyah. Peran aktif Imam ini, itupun di ibu kota dinasti Abbasi, sekali lagi mengancam badan kekhilafahan. Pada bulan Shafar tahun 270 H, Imam masuk penjara lagi atas perintah Mu’tamad dan khalifah sendiri mengontrol setiap hari semua berita yang berkaitan dengan Imam.[49] Satu bulan setelahnya, Imam dibebaskan dari penjara, namun dipindahkan ke rumah Hasan bin Sahl (menteri Ma’mun) di dekat kota Wasit dan masih berada dalam pengawasan khalifah.[50]
Beberapa Kebangkitan dan Pemberontakan
Pada zaman Imam Hasan Askari as muncul dan terjadi pergerakan-pergerakan anti pemerintahan yang sebagiannya dilakukan oleh orang-orang Syiah dan sebagian lagi dilakukan oleh kelompok lain dengan memanfaatkan nama kelompok Alawi.
Hubungan Imam dengan Orang-orang Syiah
Mengingat bahwa komunitas mazhab-mazhab di tengah masyarakat terbentuk dari mayoritas penduduk Ahlusunah, dan ditambah lagi adanya tekanan-tekanan dinasti Abbasiah atas orang-orang Syiah, maka komunitas Syiah hidup dalam kondisi taqiyah. Pun demikian Imam Hasan Askari as berupaya keras mengatur urusan orang-orang Syiah, mengumpulkan kewajiban-kewajiban harta (seperti zakat, khumus, kaffarah dll) dan mengutus perwakilan-perwakilan ke berbagai daerah.[55]
Pertemuan dengan Imam as
Dari laporan sejarah dapat dipahami bahwa pada fase kehidupan Imam Askari as terdapat keterbatasan-keterbatasan bagi Imam untuk mengadakan ikatan secara langsung dengan para pengikutnya.[56]
Oleh karena itu, tatkala Imam as dibawa ke istana khilafah,[catatan 1]para pengikutnya mengambil kesempatan berjumpa beliau ditengah perjalanan menuju Istana.[57] Syaikh Thusi menukil sebuah berita yang menceritakan tentang perkumpulan masyarakat disaat Imam Askari as melintas dan juga penghormatan mereka kepadanya.[58]Namun karena penjagaan ketat pemerintahan, terkadang Imam as melarang untuk mengadakan hubungan kontak semacam ini dengan dirinya. Ali bin Ja’far Halabi menukilkan: pada suatu hari Imam as dijadwalkan hadir di istana khilafah, kami berkumpul menunggu pertemuan dengannya, dalam kondisi demikian datang sepucuk surat dari beliau kepada kami dengan konten berikut: “Jangan ada seorang pun dari kalian memberikan salam bahkan isyarat kepadaku, sebab kalian tidak akan berada dalam kondisi aman.[59]
Wakil-wakil Imam Imam Askari as sebagaimana imam-imam sebelumnya memilih beberapa orang wakil untuk mengadakan ikatan kontak dengan para pengikutnya. Salah seorang di antara mereka ini adalah Aqid, pembantu khusus Imam dimana beliau mengasuhnya semenjak ia masih kecil dan ia juga menjadi pembawa sekian banyak dari surat-surat beliau untuk orang-orang Syiah.[60] Demikian juga seorang yang mempunyai julukan Gharib Abul Adyan, pembantu Imam dan yang bertugas mengirim sejumlah suratnya.[61] Namun, orang yang dikenal secara pasti sebagai pintu gerbang (wakil dan penghubung Imam dengan masyarakat) dalam sumber-sumber Imamiyah adalah Utsman bin Said. Pasca kesyahidan Imam Askari as dan pada masa ghaibah kecil, Utsman bin Said juga memainkan perannya sebagai wakil dan duta pertama Imam Zaman as.[62]
Korespondensi Salah satu jalan orang-orang Syiah untuk mengadakan hubungan kontak dengan Imam as adalah korespondensi. Sebagai contoh bisa disebutkan surat-surat beliau kepada Ali bin Husain Babawaih.[63] dan surat kepada penduduk Qom dam Abeh (Aveh)[64] Di dalam buku Kamāluddin dimuat bahwa Imam Askari as beberapa saat sebelum kesyahidannya menulis banyak surat dengan tangannya sendiri kepada penduduk Madinah.[65] Orang-orang Syiah melayangkan surat dalam berbagai permasalahan dan tema kepada beliau dan menerima jawabannya.
Pengajaran Ilmu-ilmu Agama
Ajaran Syiah
Mengingat adanya kerumitan dan ketidakjelasan terkait penentuan Imam pada masa itu, maka kita menemukan dalam ucapan-ucapan dan surat-surat Imam Hasan Askari as pelajaran ini bahwa, bumi tidak akan kosong dari hujjah Allah [66] dan bahwa jika keimamahan terputus niscaya urusan-urusan Tuhan akan terbengkalai[67]dan bahwa hujah Allah di muka bumi merupakan nikmat yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang beriman, yang dengan petunjuk ini Ia memuliakan mereka.[68]
Pelajaran lain yang berulang kali dapat disaksikan dalam ucapan-ucapan Imam pada kondisi dimana orang-orang Syiah berada dalam tekanan, adalah seruan beliau untuk bersabar dan percaya pada kemenangan serta menanti kemenangan tersebut.[69] Begitu juga dalam hadis-hadis beliau ditemukan penekanan-penekanan khusus untuk mengatur hubungan interen diantara komunitas Syiah dan pergaulannya dengan saudara-saudara seagamanya.[70]
Tafsir Alquran
Tafsir Alquran adalah salah satu lahan yang mendapat perhatian khusus Imam Hasan Askari as sehingga ada satu matan terperinci dalam Tafsir Alquran (yang dinilai sebagai karya terkuno tafsir Imamiyah) dinisbatkan kepadanya. Bahkan jika penisbahan ini tidak benar sekalipun, maka harus diperhatikan bahwa ketenaran Imam as dalam kajian-kajian tafsir dapat mendukung penisbatan tersebut.
Teologi dan Akidah
Imam Hasan Askari memegang tampuk kepemimpinan Imamiyah pada satu kondisi dimana perbedaan-perbedaan akidah dan kayakinan muncul di barisan-barisan Imamiyah dan juga muncul beberapa perbedaan pandangan pada periode keimamahan beliau saat itu. Salah satu contoh dari permasalahan-permasalahan tersebut adalah pembahasan mengenai “peniadaan kebendaan Tuhan” yang telah muncul dari tahun-tahun sebelumnya dan perbedaan pendapat di antara dua orang dari sahabat menonjol para Imam yakni Hisyam bin Hakam dan Hisyam bin Salim. Pada masa Imam Hasan Askari perbedaan pendapat ini sedemikian banyak dimana Sahl bin Ziyad Adami sampai menulis surat kepada Imam dan memohon petunjuk darinya.
Dalam jawabannya, Imam malarang untuk masuk dalam pembahasan “dzat” kemudian dengan menyinggung beberapa ayat Alquran bersabda:
Allah satu dan Maha Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tiada sekutu bagi-Nya, Dialah Pencipta bukan diciptakan. Segala sesuatu yang dikehendaki dari benda dan selainnya pasti diciptakannya sementara Dia sendiri bukanlah benda. Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya dan Dia lah Maha Mendengar dan Melihat.[71]
Fikih
Dalam ilmu hadis, salah satu gelar yang disandangkan kepada Imam Hasan Askari as adalah gelar “faqih”.[72] Hal ini menunjukkan bahwa Imam dikenal secara khusus oleh para sahabatnya karena alasan tersebut. Sebagian hadis-hadisnya berkaitan khusus dengan kajian fikih dan beragam bab-babnya. Mengingat bahwa pembentukan mazhab fikih Imamiyah terlebih dahulu dilakukan oleh Imam Shadiq as dan kemudian tahap-tahap penyempurnaannya dilalui pada masa Imam Kazhim as dan Imam Ridha as, maka Imam Hasan Askari lebih banyak mengutarakan masalah-masalah furu’ yang baru muncul di zamannya atau masalah yang karena faktor tertentu menjadi ramai dibicarakan pada zaman tersebut seperti masalah permulaan bulan Ramadhan dan pembahasan khumus.[73]
Haram
Imam Hasan Askari as setelah syahid dikuburkan di rumahnya di sisi ayahnya Imam Hadi as.[74] Kemudian dibangunlah di tempat ini sebuah tempat untuk berziarah yang masyhur dengan Haram Askariyain. Haram Askariyain pada tahun 2005[75]dan 2007 dihancurkan oleh kelompok teroris takfiri.[76] Pemulihan dan perenovasian Haram dimulai pada tahun 2010[77] dan selesai pada tahun 2015.[78]
Catatan kaki
Tinggalkan Balasan