Oleh Dr. Muhsin Labib
Karena tidak menerima ketentuan Ahlulbait yang disucikan oleh Allah sebagai penerus misi Nabi, dibagikanlah secara percuma atribut Ahlulbait kepada semua keturunannya. Kuningan pun dicampur dengan emas.
Ketika posisi sakral dan hak eksklusif ini dinikmati oleh anasir destruktif dari beberapa oknum dzuriyyah (yang meng-ahlulbait-kan diri) para pembagi percuma gelar Ahlulbait itu kebingungan dan berbalik mengingkarinya secara ekstrem.
Alih-alih mengecam anasir penyalahguna dan membersihkan atribut suci Ahlulbait dari citra buruk mereka, kontan menghina atribut itu, bahkan menafikan fakta eksistensi dengan klaim referensi data compang camping.
Kegaduhan terjadi. Polemik pun mencuat. Makian rasial dan aneka kalimat kotor dimuntahkan kepada semua yang terhubung dengan atribut itu tanpa pilih dan pilah tak sadar bahwa cacian itu mengenai Wali Songo, para ulama teladan (habib dan kyai dari keturunan para sunan), ribuan pahlawan kemerdekaan serta banyak tokoh berjasa. Benar-benar membabibuta..
Yang patut direnungkan, para penikmat atribut dan nasab itu tidak lebih banyak dari yang menganggapnya sebagai beban. Pemujaan yang diberikan oleh sebagian pemuja tidak lebih besar dari pencacian dan pelecehan secara masif dan berjilid-jilid dalam ratusan konten video serta tulisan.
Blunder serupa terjadi sebelumnya dalam isu khilafah. Semula meyakini khilafah sebagai doktrin kepemimpinan pasca Nabi dan menganggap para penguasa setelah Nabi sebagai khalifah-khalifah yang lurus serta mengecam siapapun yang mengkritik mereka. Karena doktrin ini, khilafah menjadi sakral dan para tiran tiga dinasti (Umawi, abbasi dan utsmani) korup dan ekspansionis yang menguasai dunia Islam pun mengaku sebagai khalifah dan rezimnya sebagai khilafah.
Kini ketika khilafah hendak dihidupkan lagi oleh orang-orang yang terlanjur menelan doktrin khilafah yang telah dijejalkan dan ingin mengubah sistem negara yang telah menjadi konsesus masyarakat majemuk, mereka kebingungan dan berbalik arah, bahkan menentangnya secara ekstrem.
Hikmah yang layak dipetik, kita perlu tetapkan logika sebagai juri agar bisa bersikap adil dan bertindak proporsional.
Semoga pernyataan terbaru Ketua Umum PBNU yang menghimbau polemik kontraproduktif ini dihentikan memperoleh respon semua elemen umat dan bangsa demi terjaganya persatuan dan kesatuan.
Tinggalkan Balasan