Syiahpedia
MENU

Salat Jumat

Kategori: Fikih

Salat Jumat (bahasa Arab: صلاة الجمعة) adalah salat dua rakaat yang dilaksanakan secara berjamaah pada zuhur di hari Jumat sebagai ganti dari salat zuhur. Salat ini akan terlaksana (secara sah) dengan dihadiri minimal lima orang yang salah satunya adalah imam jumat. Sebelum melakukan salat jumat, imam harus menyampaikan dua khutbah kepada hadirin. Diantara kandungan khutbahnya adalah mengajak kepada ketakwaan.

Hukum fikih pelaksanaan salat ini dimuat dalam surah Al-Jumu’ah. Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa salat Jumat merupakan hajinya orang-orang yang membutuhkan dan penyebab diampuninya dosa-dosa. Dan, sebagian riwayat menegaskan bahwa meninggalkan salat Jumat dapat mneyebabkan kemunafikan dan kefakiran. Salat jumat pada masa kehadiran para Imam Maksum hukumnya wajib dan pada masa kegaiban, menurut mayoritas para marja hukumnya adalah wajib Takhyiri.

Di Iran, salat Jumat pada masa pemerintahan Syah Ismail Shafawi ramai dilaksanakan, kemudian didirikan di berbagai kota-kota besar. Pada periode kerepublikan Islam Iran, salat ini didirikan di semua kota-kota negeri ini.

Salat Jumat merupakan salah satu syiar sosial penting kaum muslimin sejak awal Islam, dan dianggap sebagai simbol-simbol solidaritas dan persatuan mereka. Dengan memperhatikan masalah-masalah sosial-politik khutbah-khutbah yang disampaikan, salat Jumat dikenal juga dengan salat ibadah-politik.

Urgensi dan Kedudukan Salat Jumat

Dalam surah al-Jumu’ah, Allah swt secara tegas mengajak kaum mukminin untuk hadir dalam salat Jumat dan berfirman:

﴾يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى‏ ذِكْرِ اللَّهِ وَ ذَرُوا الْبَيْعَ ذلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُون﴿

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu”. [1]

Dan dalam riwayat-riwayat juga dijelaskan tentang urgensi dan kedudukan salat Jumat dengan ungkapan-ungkapan sebagai berikut:

  • Pengampunan dosa-dosa yang telah berlalu. [2]
  • Hadir dalam salat Jumat secara berkesinambungan adalah haji orang-orang fakir. [3]
  • Peringan kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. [4]
  • Pahala yang melimpah di setiap langkah menuju salat Jumat. [5]
  • Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka. [6]
  • Orang yang bergegas menuju salat Jumat akan tergolong para pendahulu ke surga. [7]
  • Meninggalkan salat Jumat dengan keimaman para Imam Maksum [8]
  • Selama tiga minggu berturut-turut (dengan tanpa halangan) menyebabkan kemunafikan. [9]
  • Meremehkannya menyebabkan kesengsaraan dan ketidakberkahan. [10]
  • Imam Ali as membebaskan sebagian orang-orang yang dipenjara guna berpartisipasi dalam salat Jumat [11].

Berdasarkan ayat-ayat surah Al-Jumu’ah, fukaha mazhab-mazhab Islam menganggap perlu meninggalkan tindakan-tindakan yang menyebabkan keterlambatan dalam melaksanakan salat atau kehilangan salat Jumat.

Dalam referensi-referensi fikih mazhab-mazhab Islam terdapat kajian khusus tentang salat Jumat dalam bab salat (Kitāb al-Shalat). [12]

Penulisan karya-karya fikih dan artikel-artikel independen tentang salat Jumat karena kedudukan penting ibadah ini sudah ramai sekali sejak abad-abad pertama. [13] Pada periode Shafawiyah dan karena maraknya penyelenggaraan salat Jum’at di Iran, maka penulisan risalah-risalah fikih semakin serius.[14] Banyak sekali para fakih ternama menyusun risalah-risalah tentang salat Jumat dalam bahasa Arab dan Persia, dimana sebagian dari mereka membantah atau membela artikel-artikel lainnya. [15]

Artikel-artikel ini berdasarkan sudut pandang fikih terbagi menjadi empat bagian: Risalah-risalah yang menetapkan wajib aini salat Jumat, risalah yang menetapkan kebolehan melaksanakan salat Jumat atau wajib takhyiri di masa kegaiban (Imam Mahdi Ajf), risalah yang membuktikan keharaman salat Jumat dan risalah yang pendapat para penulisnya tidaklah terlalu jelas. [16]

Hikmah Salat Jumat

Terdapat empat perkumpulan besar dan penting dalam agama Islam: Pertemuan-pertemuan harian yang diperoleh dalam salat berjamaah; perkumpulan mingguan yang diraih dalam acara-acara salat Jumat; perkumpulan dalam salat hari raya Idul Qurban dan hari raya Idul Fitri; dan perkumpulan haji yang dilakukan di samping Kakbah setiap tahun sekali.

Dengan memperhatikan penuturan masalah-masalah penting politik, sosial dan ekonomi, salat Jumat memiliki dampak-dampak sebagai birikut:

Penyadaran dalam ranah pengetahuan-pengetahuan (ma’arif) Islam dan fenomena penting sosial dan politik.

Menciptakan solidaritas dan koherensi lebih antar kaum muslimin.

Memperbaharui spirit religi dan kegembiraan spiritual.

Menarik kerjasama untuk menyelesaikan problem.

Kewajiban Salat Jumat

Untuk menetapkan kewajiban salat Jumat, para fakih Syiah dan Ahlussunnah bersandar pada ayat 9 Surah Al-Jumu’ah, pelbagai riwayat [17] dan Ijma’. Mereka menganggap orang-orang yang meninggalkannya layak untuk mendapatkan balasan. [18]

Sebagian para fakih menyanggah dalam bersandar pada ayat 9 surat al-Jumu’ah untuk menetapkan kewajiban melaksanakan salat Jumat dan mengatakan bahwasanya ayat ini bukan dalam rangka melegalisasikan dan menetapkan kewajiban melaksanakan salat Jumat, namun menganggap kelaziman berpartisipasi dalam salat Jumat yang dilaksanakan secara benar dan dalam rangka mencela orang-orang yang tidak hadir dengan adanya salat Jumat yang benar dan malah melakukan perniagaan atau urusan-urusan lainnya. [19]

Salat Jumat tidak diwajibkan bagi semua orang. Sebagian orang yang tidak diwajibkan melaksanakan salat jum’at adalah sebagai berikut:

  • Para wanita.
  • Para musafir (orang-orang yang bepergian).
  • Orang-orang sakit dan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam salat Jumat, seperti tunanetra, tunawisma dan orang-orang tua.
  • Hamba sahaya.
  • Orang yang memiliki kekhawatiran atas bahaya harta dan jiwa, dengan berpartisipasi dalam salat Jumat.
  • Orang yang memiliki jarak dua Farsakh (kurang lebih 10-11 Km) dari tempat pelaksanaan salat Jumat. [20]

Hukum Salat Jumat di Masa Kegaiban Imam Zaman Af

Boleh atau tidaknya melakukan salat Jumat di masa kegaiban Imam Maksum termasuk permasalahan kontroversial di kalangan para fakih Syiah. Dalam hal ini ada beberapa perspektif yang diketengahkan: Haram, Wajib Ta’yini (yang ditentukan) dan Wajib Takhyiri (dapat memilih). [21]

Haram

Sebagian para fakih terdahulu Syiah seperti Sallar Dailami [22], Ibn Idris Hilli [23] dan banyak para ulama kontemporer yang mengikuti mereka seperti Fadhil Hindi menganggap legalitas salat Jumat disyaratkan dengan kehadiran Imam Maksum as atau kehadiran seseorang yang diangkat dan ditunjuk olehnya untuk menjadi imam Jumat. [24] Para pengikut fatwa haram salat Jumat dengan dalil bahwa kehadiran atau izin imam merupakan syarat sahnya dan di masa gaib tidak ada izin semacam ini, maka menurut mereka melaksanakan salat Jumat di masa sekarang ini tidak diperbolehkan. [25]

Demikian juga, sebagian mengatakan bahwa wali fakih tidak memiliki perwakilan dari pihak maksum dalam perbuatan-perbuatan yang membutuhkan kekuatan ekstensif seperti pelaksanaan salat Jumat dan memerintahkan jihad. [26] Di antara argumentasi-argumentasi yang dijadikan sandaran para pengklaim keharaman adalah hadis-hadis yang dituturkan dengan ungkapan-ungkapan seperti ‘Imam’ dan ‘Imam Adil yang bertakwa’ dan dikatakan bahwasanya menentang imam mengenai salat Jumat menyebabkan kebinasaan atau melaksanakan salat Jumat tidak benar kecuali dengan dihadiri oleh Imam Adil yang bertkawa. [27]

Imam Sajjad as dalam Shahifah Sajjadiah [28] juga menganggap imam Jumat adalah sebagai sebuah kedudukan khusus pilihan Allah. Sebagian para fakih kontemporer menganggap maksud ungkapan tersebut dalam hadis ini adalah bukan Imam Maksum, akan tetapi memiliki makna dan maksud yang lebih luas, yang mencakup juga imam jamaah. Menurut mereka, dalam hadis-hadis ini penegasan utama adalah keharusan penyelenggaraan secara berjamaah. [29]

Wajib Ta’yini

Dari sisi lain, dalam kebanyakan referensi-referensi fikih terdahulu Syiah yang ada, meskipun ditegaskan mengenai sandaran hadis-hadis tentang kewajiban salat Jumat, namun tidak disyaratkan dengan gamblang akan kepemimpinan imam maksum ataupun wakilnya. [30] Meskipun demikian, para fakih Imamiah abad-abad berikutnya menegaskan bahwa diantara syarat pelaksanaan salat Jumat adalah hadirnya Imam Maksum, izin penguasa adil [31] atau imam adil. [32] Syarat adil bagi imam Jumat hanya dipaparkan oleh para fakih Syiah semata dan Ahlussunnah tidak meyakininya. [33]

Meskipun fatwa wajib Ta’yini kurang lebih sudah diketengahkan di kalangan para fakih sejak awal permulaan kegaiban besar (Ghaibah Kubra) [34], namun Syahid Tsani pada abad kesepuluh mengetengahkan wajib Ta’yini tersebut secara serius. [35] Sebagian para fakih seperti cucunya, penulis buku Madārik juga mengikutinya [36] dan pendapat ini sangat marak sekali pada masa Safawi, khususnya dengan memperhatikan ranah-ranah sosial yang ada. [37] Menurut pendapat sebagian para fakih, apabila syarat-syarat pelaksanaan salat Jumat seperti era hadirnya imam sudah terpenuhi, maka pelaksanaannya adalah wajib dan hal ini tidak membutuhkan lagi pengangkatan secara umum atau khsusus imam maksum lagi. Demikian juga, dikatakan bahwa salat Jumat sebagaimana mengeluarkan fatwa dan hukum adalah termasuk tugas dan menjadi urusan para fakih di masa kegaiban. Mayoritas yang mengklaim kewajiban pelaksanaan salat Jumat di masa kegaiban memiliki tendensi Akhbari[38], meskipun Syahid Tsani dan sejumlah lainnya dari ulama Ushuli[39] juga mengikuti pendapat ini. [40]

Wajib Takhyiri

Mayoritas para fakih masa pertengahan dan akhir Syiah mengklaimkan fatwa wajib takhyiri, seperti Muhaqqiq al-Hilli [41], Allamah Hilli [42], Ibnu Fahd Hilli [43], Syahid Awwal [44] dan Muhaqqiq al-Karaki. [45] Adapun yang dimaksud dengan wajib takhyirinya salat Jumat adalah seseorang dapat memilih antara melaksanakan salat Jumat atau salat zuhur, ketika dia melakukan salat jumat, maka kewajibannya untuk melaksanakan salat zuhur pun gugur begitu pula sebaliknya. [46] Demikian juga, dalil lain seperti sirah para sahabat Imam dan tidak dilaksanakannya salat Jumat oleh para fakih terdahulu, termasuk dari landasan-landasan bahwa salat Jumat bukan wajib ta’yini. [47]

Pendapat ‘wajib takhyiri’ sangat diterima di tengah-tengah para fakih kontemporer yakni sejak abad ke 13 dan seterusnya. [48] Secara global, di kalangan para fakih Ushuli, kecenderungan terhadap pendapat ‘wajib takhyiri’ salat Jumat itu lebih spektakuler, meskipun sejumlah dari mereka juga mengklaimkan keharamannya. [49]

Syarat-syarat Salat

Dalam salat Jumat, selain harus menjaga pendahuluan dan syarat-syarat yang ada dalam semua salat berjamaah, juga diperlukan syarat-syarat lain untuk wajib atau sahnya salat Jumat.

Jumlah Minimal Jama’ah

Para fakih mazhab Islam berselisih pendapat terkait batas minimal jumlah orang yang hadir dalam pelaksanaan salat Jumat. Mayoritas para fakih Syiah [50] mensyaratkan minimal lima orang [51] dan sebagian lainnya mensyaratkan tujuh orang. Para pengikut Hanafi mensyaratkan kehadiran para jamaah salat Jumat minimal tiga orang ditambah dengan imam Jumat, menurut pengikut Syafi’i dan Hambali minimalnya adalah salat tersebut dihadiri 40 orang dan menurut Maliki, setidaknya dihadiri oleh 12 orang dari penduduk kota. [52]

Jarak Minimal antara Dua Tempat Salat Jumat

Syarat lain yang menjadikan sahnya salat Jumat yang dituturkan oleh para fakih Syiah dan mayoritas mazhab-mazhab Ahlussunnah adalah menjaga jarak tempat yang tepat di antara salat-salat Jumat atau ketidakberagamannya dalam satu kota. Menurut pendapat para fakih Imamiah, minimal jarak diantara dua salat Jumat adalah satu farsakh dan jika syarat ini tidak terpenuhi, maka salat Jumat yang dimulai lebih akhir akan batal. [53]

Pemilihan Imam Jumat

Syiah dan kebanyakan para fakih mazhab Ahlussunnah untuk keabsahan salat Jumat (seperti ibadah-ibadah jasmani lainnya) tidak mensyaratkan kehadiran atau izin penguasa setempat, dan berdalil dengan keimamanan Imam Ali as dalam salat Jumat, saat Utsman berada dalam pengepungan para penentangnya. [54] Dengan ini semua, dalam sepanjang sejarah Islam, imam jumat senantiasa merupakan sebuah jabatan pemerintahan. [55]

Hanafi dari Ahlussunnah meyakini kelaziman hadirnya pengusa (raja) untuk mengimami salat Jumat atau wakilnya atau seseorang yang telah mendapatkan izin dari penguasa untuk melaksanakan salat Jumat; meskipun pengusa tersebut adalah seorang zalim.

Tata cara Salat Jumat

Pertama-tama dilaksanakan dua Khotbah (ceramah) dan setelah itu melaksanakan dua rakaat salat secara berjamaah dengan niat salat Jumat. Dua rakaat ini memiliki dua qunut mustahab, salah satunya sebelum rukuk pada rakaat pertama dan lainnya adalah setelah rukuk pada rakaat kedua.

Dua Khotbah

Salat Jumat dimulai dengan dua khotbah, dimana sejatinya merupakan pengganti dua rakaat pertama salat Dhuhur. [56]

Khatib Jumat disamping harus memiliki syarat-syarat lazim untuk menjadi imam jamaah [57], juga harus memiliki syarat-syarat lain, seperti menggunakan ucapan mudah, berani, tegas dalam menjelaskan dan pengetahuan terhadap kemaslahatan-kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Demikian juga, lebih baik jika seorang imam Jumat dipilih dari orang-orang yang paling alim dan paling mulia. [58]

Imam Ridha as berkata, dalil disyariatkannya khotbah pada hari Jumat adalah Allah swt memberikan kepada penguasa muslim supaya memberikan petuah kepada masyarakat dan mensuport mereka menuju ketaatan Allah, mewanti-wanti maksiat Ilahi dan mengenalkan mereka terhadap kemaslahatan agama, dunia mereka dan berita serta menginformasikan peristiwa-peristiwa penting dari pelbagai penjuru yang telah sampai kepadanya dan berpengaruh terhadap takdir mereka. Disyariatkan dua khutbah supaya dalam salah satunya dilakukan sanjungan dan pengkultusan Ilahi dan di lainnya disampaikan kebutuhan, peringatan, doa, perintah yang berhubungan dengan kemaslahatan dan kerusakan masyarakat Islam. [59]

Waktu dan Isi Khotbah

Menurut pendapat kebanyakan para marja taqlid, khotbah Jumat harus disampaikan setelah dhuhur syar’i. [60] Menurut pendapat masyhur para fakih Syiah, khotbah kurang lebih harus mencakup pujian Allah, shalawat kepada Rasulullah saw, nasihat dan anjuran akan takwa serta bacaan surah pendek Alquran. [61]

Mendengarkan Khotbah

Para pelaksana salat harus meninggalkan segala kegiatan yang menghalangi mereka dari mendengarkan khotbah, seperti berbicara atau melaksanakan salat. [62]

Imam Ali as berkata: para peserta salat Jumat terdiri dari tiga kelompok: kelompok yang ikut serta dalam salat Jumat sebelum imam, sementara dia diam dan mendengarkan khotbah-khotbah, keikutsertaan mereka dalam salat Jumat adalah kaffarah sepuluh hari dosa-dosa mereka. Kelompok lainnya adalah orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam salat Jumat, sementara mereka sibuk berbicara dan bergerak. Manfaat mereka dari salat Jumat adalah berbicara dengan teman dan duduk dengan mereka. Kelompok ketiga, saat imam Jumat sibuk berkhotbah, mereka sibuk melaksanakan salat, mereka juga beramal dengan menyalahi sunnah, mereka termasuk orang-orang yang meminta sesuatu dari Allah, jika Allah menghendaki maka akan memberi dan jika menghendaki, maka Dia tidak akan memberi mereka. [63]

Dua Rakaat Salat

Setelah menyampaikan dua khotbah, juga dilaksanakan dua rakaat salat Jumat. Pembacaan surah Al-Jumu’ah pada rakaat pertama dan surah Al-Munafiqun pada rakat kedua atau surah Al-A’la pada rakaat pertama dan surah Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua setelah Surah Al-Fatihah adalah hal yang disunnahkan. Demikian juga disunnahkan untuk membaca surat dengan suara Jahr (keras). [64]

Salat dengan Dua Qunut

Menurut pendapat para fakih Syiah, disunnahkan membaca qunut di rakaat pertama sebelum rukuk dan di rakaat kedua setelah rukuk. [65]

Dapat bermakmum (mengikuti imam) pada rakaat kedua salat Jumat, yakni dapat melaksanakan satu rakaat salat Jumat secara berjamaah dan melakukan rakaat lainnya secara furada (tidak berjamaah). [66]

Tempat Penyelenggaraan

Biasanya salat Jumat diselenggarakan di masjid Jami’ di setiap kota, yang terkadang dengan nama-nama seperti, masjid raya, masjid jamaah, masjid jumat dan masjid hari Jumat. [67] Masjid ini dinamakan jami’ dikarenakan perkumpulan-perkumpulan seperti salat Jumat diselenggarakan di tempat tersebut. [68]

Terkadang, faktor-faktor seperti perkembangan dan pertumbuhan kota, adanya pelbagai mazhab dalam satu kota dan pertimbangan-pertimbangan politik serta keamanan para pejabat menyebabkan penyelenggaraan beberapa salat Jumat dalam satu kota. [69] Menurut penuturan Ibnu Batutah pada abad ke tujuh dilaksanakan salat Jumat di 11 masjid Baghdad.[70]. Pada masa kerajaan, karena banyaknya masyarakat, salat Jumat juga diselenggarakan di masjid-masjid setempat dan sekolah-sekolah. [71]

Hukum Jual Beli Saat Diselenggarakan Salat Jumat

Ayat 9 surah Al-Jumu’ah melarang pelaksanaan transaksai tatkala diselenggarakan salat Jum’at. Allah berfirman: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Berdasarkan pandangan fukaha yang tidak meyakini wajib ta’yininya salat Jum’at pada masa kegaiban Imam Zaman as, maka jual beli dan seluruh transaksi yang dilakukan setelah azan jum’at dikumandangkan atau saat salat Jum’at didirikan tidaklah haram.[72]

Sejarah

Salat Jumat disyariatkan sebelum hijrah dan pada tahun 12 bi’tsah di Mekah. Di tahun ini, Rasulullah saw ketika tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan salat Jumat di Mekah, dalam sebuah surat meminta kepada Mush’ab bin Umair supaya melaksanakan salat Jumat di Madinah. [73] Menurut penuturan lain [74], As’ad bin Zurarah adalah orang yang pertama kali melaksanakan salat Jumat di Madinah.

Dengan masuknya Rasulullah saw ke Madinah, salat Jumat diselenggarakan dengan dipimpin oleh beliau sendiri. [75] Setelah kota Madinah, tempat pertama kali diselenggarakan salat Jumat adalah kampung Abdul Qais di Bahrain. [76]

Setelah masa Nabi, menurut penuturan-penuturan sejarah, pelaksanaan salat Jumat di masa para khalifah pertama dan juga pada masa pemerintahan Imam Ali as (tahun 35 H/655-40 H/660) dan Imam Hasan as (tahun 40 H/660) sangatlah marak. [77] Sebagian riwayat-riwayat Syiah seperti Khutbah Sya’baniyah Rasulullah saw dan sebagian khotbah-khotbah Nahjul Balaghah Imam Ali as merupakan kenangan dari salat-salat ini.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661-132 H/749) dan Bani Abbasiah, (132 H/749-656 H/1258) para khalifah dan para pegawainya juga melaksanakan salat Jumat.[78] Para khalifah mengangkat para imam Jumat pusat kekhilafahan [79] dan pemilihan para khatib Jumat kota-kota lainnya diemban oleh para pemimpin atau para penguasa setempat. [80]

Partisipasi Para Imam dalam Salat Jumat

Menurut perspektif Syiah, para penguasa lalim dan para imam Jumat atau jamaah yang dilantik oleh mereka tidak memiliki legalitas dan tidak dapat melaksanakan salat menjadi makmum dibelakang mereka. Dengan demikian, berdasarkan sebagian hadis, para Imam Syiah as dan para pengikutnya jika terlihat ikut berpartisipasi dalam salat Jumat, hal itu dalam rangka taqiyyah atau dikarenakan dalil-dalil lainnya [81], demikian juga terkadang para penentang pemerintah tidak ikut berpartisipasi dalam salat Jumat guna mengungkapkan penentangannya. [82] Tidak hadir dalam salat Jumat dikategorikan sebagai pendahuluan yang tidak baik bagi seseorang. [83]

Pelaksanaan Salat Jumat Syiah

Di antara penuturan-penuturan terkuno yang ada terkait salat Jumat di kalangan masyarakat Syiah adalah pelaksanaan salat Jumat di masjid Baratsa (masjid Syiah di Baghdad) pada tahun 329 H/941, dengan kepemimpinan Ahmad bin Fadhl Hashimi. [84] Bahkan, dalam fitnah 349 yang meliburkan salat Jumat Baghdad, belum pernah terjadi pemberhentian dalam pelaksanaan salat Jumat di Buratsa [85], namun pada tahun 420 dengan dilantiknya seorang khatib Ahlussunnah oleh pihak khalifah sementara, maka salat Jumat pun dihentikan. [86] Demikian juga, salat Jumat diselenggarakan di masjid Jami’ Ibn Thulun pada tahun 359 dan di masjid Jami’ Azhar pada tahun 361. [87] Indikasi-indikasi [88] juga menunjukkan akan pelaksanaan salat Jumat pada abad-abad pertama hijriah di kota-kota ini. [89]

Salat Jumat di Iran

Masa Safawiyah

Salat Jumat sejak masa pemerintahan Shah Ismail 1 Safawi (905-930) lambat laun menyebar di tengah-tengah masyarakat Syiah Iran. Sebab hal ini adalah dari satu sisi, kritikan pemerintah Utsmani terhadap Syiah dikarenakan tidak melaksanakan salat Jumat dan dari sisi lain upaya para ulama Syiah, khususnya Muhaqqiq al-Karaki (M, 940 H/1533) untuk menyebarkan salat Jumat di Iran. [90] Dengan adanya kebersamaan sejumlah para fakih seperti sejumlah para ulama Jabal Amil dengan Muhaqqiq al-Karaki dan dukungan pemerintah Safawi kepada mereka, dikarenakan tradisi salat Jumat tidaklah terlalu marak dikalangan Syiah dan adanya penentangan serius dari kalangan para ulama [91], peresmian salat jumat lambat laun akhirnya merebak di masyarakat Syiah Iran. [92] Pembahasan dan pertentangan terkait hukum salat Jumat pada masa ghaibah Imam maksum dan kewajiban serta keharamannya pada masa Shah Sulaiman I Safawi (pemerintahan 1077/1078-1105) sampai pada batas dimana dia mengadakan sebuah majlis dari para fakih dengan dihadiri menteri agungnya, sehingga sampai pada kesimpulan terkait hukum salat Jumat. [93]

Shah Tahmasp I (pemerintahan: 930 H/1524-984 H/1576) dengan anjuran Muhaqqiq al-Karaki supaya memilih imam Jumat di setiap kota. [94] Pada masa Shah Abbas I (pemerintahan: 996-1038) diadakan pengangkatan imam Jumat secara resmi. [95] Biasanya, Syaikh al-Islam di setiap kota memiliki kedudukan ini, namun terkadang seorang ulama yang bukan dari Syaikh al-Islam, seperti Mulla Faidh Kasyani (M 1091) mengemban keimamahan salat Jumat atas titah raja. [96]

Salat Jumat pertama dilaksanakan oleh Muhaqqiq al-Karaki, pada masa Safawi, di masjid Jami’ Atik Isfahan. Termasuk para imam Jumat penting lainnya pada masa ini adalah Syaikh Bahai (M 1030 H/1621 atau 1031 H/1622), Mir Damad (M 1041 H/1632), Muhammad Taqi Majlisi (M 1070 H/1660), Muhammad Bagir Majlisi (M 1110 H/1698 atau 1111 H/1699), Mulla Hadi Sabzawari (M 1090 H/1679) dan Syaikh Lutfullah Isfahani (M 1032 H/1623). [97] Pada masa Safawi, sangatlah marak sekali tulisan-tulisan buku yang memuat tentang khotbah-khotbah salat Jumat, dimana yang paling populer adalah Basatin al-Khutaba karya Mirza Abdullah Affandi (M 1130 H/1718). [98]

Muhaqqiq Karaki pada tahun 921 H/1515 menulis sebuah buku untuk membuktikan bolehnya melaksanakan salat Jumat di masa ghaibah Imam Maksum, dimana sejatinya merupakan sebuah risalah dalam topik Wilayatul Faqih. Sebagian para kontemporer dan murid Karaki menulis sebuah risalah-risalah dalam mengkritik pendapatnya dan untuk membuktikan keharamannya atau menolak kewajiban aini salat Jumat di masa ghaibah. [99]

Masa Qajar

Imam Jumat pada masa dinasti Qajar (1210 H/1795-1344 H/1925) – sebagaimana masa Safawi – dikategorikan sebagai sebuah jebatan pemerintah. [100] Jabatan ini pada masa tersebut – sejalan dengan menurunnya kredibilitas kedudukan mazhab, lambat laun – kehilangan urgensi keagamaan dan politiknya. Di akhir-akhir masa Qajar, sebagian para imam Jumat menentang para ulama konstitusional yang menentang pemerintah lalim. [101] Memperhatikan banyak nama dari para imam jumat kota-kota besar pada masa Afshariyah (1148 H/1735-1210 H/1795) dan Qajariyah menunjukkan bahwa kedudukan imam Jumat pada masa ini merupakan sebuah front warisan dan sebagian keluarga mengemban kedudukan tersebut, seperti keluarga Khatun Abadi di Tehran, Keluarga Majlisi di Isfahan dan Muhammad Muqim Yazdi di Yazd. [102]

Masa Pahlevi Pada masa-masa Pahlawi (1304-1357 s), para imam Jumat, khususnya di kota-kota seperti Tehran, dikarenakan memiliki hubungan resmi dengan pemerintah, mayoritas mereka tidak mendapatkan kecintaan masyarakat dan pelaksanaan salat Jumat juga tidaklah terlalu marak. [103] Disebutkan bahwa sebagian para ulama melaksanakan salat Jumat berdasarkan fatwa wajib takhyiri atau ta’yini salat Jumat, dimana dikarenakan tidak terkait dengan pemerintah, maka mendapat sambutan masyarakat umum. [104] Di antara salat-salat tersebut adalah salat Jumat Ayatullah Araki, yang dilaksanakan di masjid Imam Hasan Askari as di Qom, sejak tahun 1336 S sampai kemenangan Revolusi Islam Iran. Ayatullah Sayid Muhammad Taqi Ghadhanfanri di kota Khansar mendirikan salat Jum’at dari sekitar tahun 1310 H hingga masa wafatnya tahun 1350 H.

Masa Republik Islam

Setelah kemenangan Revolusi Islam (1357 HS), penyelenggaraan salat Jumat di Iran kembali semarak. Salat Jumat pertama pada masa ini, dipimpin oleh Ayatullah Sayid Mahmud Thaliqani (m 1358 HS) – dimana Imam Khomeini ra memilihnya secara resmi – yang diselenggarakan pada tanggal 5 Murdad 1358 HS/ 27 Juli 1979 di Universitas Tehran.

Imam Jumat kedua Tehran adalah Ayatullah Muntazeri, yang mana dalam waktu singkat setelah pengangkatannya, dia pergi ke Qom dan mengundurkan diri dari keimaman Jumat Tehran dan Ayatullah Sayid Ali Khamenei yang mengemban keimaman salat Jumat Tehran. [105]

Masyarakat kota-kota lainnya juga meminta penentuan imam Jumat. Dengan menyebarnya pelaksanaan salat Jumat di Iran, Imam Khomeini dengan saran Ayatullah Khamenei, dimana pada waktu itu beliau adalah seorang Presiden memasrahkan tanggung jawab koordinasi dan kepengurusan masalah terkait salat Jumat ke sebuah markas di Qom dan pada tahun 1371 HS/1992, dengan ketetapan Ayatullah Khamenei dalam kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi Republik Islam, membentuk sebuah dewan syura yang beranggotakan Sembilan orang dari para rohaniawan, dengan nama Dewan Kebijaksanaan para Imam Jumat mengemban tugas ini. [106]

Salat Jumat pada bulan Ramadhan diselenggarakan dengan diikuti oleh banyak masyarakat dan di akhir Jumat bulan Ramadhan juga diselenggarakan demo-demo al-Quds sebelum melaksanakan salat. Disamping demo hari Quds, dalam pelbagai urusan lainnya juga para pelaksana salat Jumat setelah salat, melakukan unjuk rasa dan demonstrasi guna menunjukkan penentangan terhadap masalah-masalah seperti penistaan terhadap Rasulullah saw dan kejahatan-kejahatan rezim Zionis terhadap warga Palestina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta

© 2024 Syiahpedia. All Rights Reserved.