Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib (bahasa Arab: عبد الله بن جعفر بن أبي طالب) adalah sahabat Nabi Muhammad saw, menantu Imam Ali as, sahabat Imam Husain as dan suami Sayidah Zainab sa.
Dia orang muslim pertama yang dilahirkan di Habasyah yang masa kanak-kanaknya membaiat Nabi saw. Dia juga hadir membela Ali as dalam Perang Jamal dan Shiffin.
Hingga masa Perjanjian Damai Imam Hasan as dengan Muawiyah, ia bersama beliau. Di masa pemerintahan Muawiyah dan Yazid ia menerima hadiah-hadiah mereka, dan tidak hadir dalam Peristiwa Karbala. Tapi dua anaknya; yaitu ‘Aun dan Muhammad syahid pada hari Asyura. Dan sebagian anak-anaknya yang lain mati terbunuh di antara syuhada Harrah.
Nasab
Abdullah bin Jakfar bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib Quraisyi Hasyimi, julukannya Abu Jakfar adalah termasuk sahabat Nabi saw, Imam Ali as dan Imam Husain as. Ayahnya adalah Jakfar saudara Ali as, dan ibunya Asma binti ‘Umais.
Lahir dan Masa Kanak-kanak
Jakfar bin Abi Thalib pada hijrahnya yang kedua ke Habasyah membawa istrinya, Asma’ binti Umais[1] dan Abdullah bayi pertama muslim yang lahir di sana.[2]
Pada tahun 7 H/628 pasca Perang Khaibar, Abdullah bersama keluarganya pergi ke Madinah dan berbaiat kepada Rasulullah saw.[3]
Menurut sebagain riwayat, ketika Jakfar syahid di Perang Mu’tah, Nabi saw menghibur anak-anaknya termasuk Abdullah.[4] Seusai perang ini dengan mengingat hadis Nabi saw mengenai Jakfar, maka Abdullah disebut “Ibnu Dzil Janahain” (putra pemilik dua sayap).[5]
Pada Periode Khulafa
Kebanyakan sumber sejarah tidak menyebut dia hadir dalam peperangan-peperangan awal Islam. Namun menurut kitab Futuh al-Syam, Abdullah ikut serta dalam peperangan-peperangan Syam pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab. Dan Abu ‘Ubaidah mengangkat dia sebagai komandan 500 pasukan penunggang.[6]
Pada masa kekhilafahan Utsman bin Affan, disaat Abu Dzar diasingkan ke Rabdzah, Abdullah dengan mengikuti Imam Ali as mengantarkan Abu Dzar ke luar Madinah. [7]
Menurut Ibnu Abil Hadid, pada peristiwa mabuknya Walid bin Aqabah (gubernur Usman di Kufah) akibat khamer, Abdullah atas perintah Imam Ali as menjalankan hukum had atas Walid. Pada tahun 35 H/655, saat Utsman berada dalam pengepungan pihak penentang, Abdullah termasuk di antara orang-orang yang diutus Imam Ali as untuk melindungi nyawa Utsman dari amukan para penentang.[8]
Pada Masa Imam Ali as
Pada mayoritas peristiwa-peristiwa periode kekhilafahan Imam Ali as Abdullah hadir dan berbaiat kepada beliau.[9] Abdullah hadir dalam Perang Jamal membela Imam Ali as.[10] dan barangkali pasca perang ini ia berdomisili bersama Imam Ali as di Kufah.[11]
Ia juga hadir di samping Imam Ali as pada Perang Shiffin dan memimpin kabilah Quraisy, Asad dan Kinanah[12] serta memimpin pasukan sayap kanan pejalan kaki Imam as.[13] Bersama sejumlah orang Quraisy dan Anshar ia menyerang Amr bin Ash.[14]
Dalam Peristiwa Tahkim, alasan Imam Ali as menerima itu, menurut satu pendapat adalah hidupnya beberapa orang termasuk Abdullah bin Jakfar.[15] Abdullah di antara orang-orang yang memberikan kesaksian akan komitmennya warga Irak terhadap perjanjian Hakamiyah.[16]
Atas usulannya, Imam Ali as mengangkat Muhammad bin Abu Bakar (saudara seibu Abdullah) sebagai ganti dari Qais bin Sa’ad untuk menjabat gubernur Mesir.[17]
Menurut Ibnu Abil Hadid, karena Imam Ali as ingin melarang Abdullah untuk menggunakan hartanya lantaran israf dan tabzir, maka ia (Abdullah) berserikat dengan Zubair dan Imam as tidak lagi mencegah dia dari hartanya.[18]
Pasca Syahadah Imam Ali as
Menurut Ibnu Sa’ad dan Mas’udi, setelah kesyahidan Imam Ali as di tangan Ibnu Muljam, Abdullah mengkisas Ibnu Muljam.[19] Tentu pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat masyhur dan tidak sesuai dengan pernyataan Mas’udi sendiri: “Al-Hasan membunuh Ibnu Muljam seperti yang telah kami sebut”.[20] Sesuai pendapat masyhur, Imam Hasan as yang mengeksekusi Ibnu Muljam.[21]
Hingga Perdamaian Imam Hasan dengan Muawiyah, Abdullah bersama imam.[22]
Pada Masa Pemerintahan Muawiyah
Setelah Muawiyah menjabat khalifah, Abdullah menjalin hubungan dengan pejabat Muawiyah di Damaskus.[23] Ia pergi bersama sekelompok Quraisy ke sisi Muawiyah. Muawiyah menentukan gaji setahun untuknya 1.000.000 Dirham.[24] dan Yazid menaikkan gaji itu menjadi 2.000.000 Dirham. Tetapi, karena kedermawananya semua uang yang diberikan kepadanya habis sebelum akhir tahun dan bahkan dia masih terlilit hutang.[25]
Muawiyah melakabi Abdullah dengan “Tuan Bani Hasyim” tapi dia meyakini lakab ini khusus untuk Hasanain (Hasan dan Husain).[26] Sebagian ahli sejarah memandang penghormatan Muawiyah kepada Abdullah bin Jakfar muncul dari upaya dia untuk menarik perhatian para pembesar dan pemimpin kabilah. Dan boleh jadi untuk merendahkan/mengurangi kedudukan anak-anak Imam Ali as.[27]
Di majlis Muawiyah terjadi pembangga-banggaan diri antara Amr bin Ash dan Yazid dengan Abdullah bin Jakfar.[28] Di salah satu majlis-majlis ini, dimana Hasanain juga hadir, pernah terjadi perdebatan antara Muawiyah dan Abdullah. Abdullah menjelaskan keutamaan Ali as dan keluarganya.[29]
Menurut Ibnu Abil Hadid, disaat Imam Hasan as mencapai kesyahidan, Marwan bin Hakam melarang pemakaman beliau di sisi pusara Nabi saw. Abdullah ingin Imam Husain as berjanji untuk tidak bertikai dengan Marwan.[30]
Peristiwa Karbala
Pada proses perjalanan Imam Husain as dari Mekah menuju Kufah, Abdullah mengirim surat melalui anak-anaknya; ‘Aun dan Muhammad kepada Imam as dan mencegah beliau untuk pergi ke Kufah dan berkata bahwa setelah surat ini sampai ia akan bergabung dengan beliau. Dia juga mengambil surat jaminan keamanan dari penguasa Mekah, ‘Amr bin Said.[31]
Abdullah tidak hadir dalam Peristiwa Karbala. Tapi kedua anaknya, ‘Aun dan Muhammad -dan menurut satu pendapat Ubaidillah- gugur sebagai syahid pada hari Asyura.[32] Pada tahun 63 H/683 pada Peristiwa Harrah, Abdullah bin Jakfar mengadakan dialog dengan Yazid mengenai masyarakat Madinah dan ia berusaha mencegah Yazid melakukan kekerasan pada mereka. Yazid mengiyakan permintaannya dengan syarat masyarakat Madinah taat padanya. Abdullah menulis surat kepada sebagian pemuka Madinah dan memohon mereka supaya tidak mengganggu pasukan Yazid.[33]
Pada peristiwa Harrah, pasukan Yazid membunuh dua putra Abdullah, Abu Bakar dan ‘Aun Ashghar.[34]
Baiat Pada Abdullah bin Zubair
Menurut laporan Baladzuri pasca kematian Yazid, Abdullah bin Jakfar berbaiat kepada Abdullah bin Zubair.[35] Dia juga datang ke Damaskus menemui Abdul Malik bin Marwan.[36] Tapi, ia disambut secara tidak hormat dan pada akhir umurnya tertimpa kemiskinan.[37]
Abdullah bin Jakfar banyak menghabiskan umurnya di kota Basrah, Kufah dan Syam dan terakhir berdomisili di Madinah.[38]
Kepribadian
Dikatakan, Abdullah menyukai musik dan berpendapat bahwa mendengarkan musik bukanlah hal yang dilarang. Dia mendukung penyanyi-penyanyi seperti Budaih, Sāib Khātsir dan Nasyith.[39]
Abdullah dipuji dengan pelbagai sifat seperti cerdas, cermat, berakhlak, suci dan dermawan. Juga dilakabi dengan “Bahrul Jud” (lautan dermawan).[40] Dan namanya disebut dalam barisan empat orang dermawan Hasyimi.[41] Kata Ya’kubi, ia pernah sekali memberikan pakaian-pakaiannya kepada orang yang berhak diberi.[42]
Abdullah bin Qais melantunkan syair-syair mengenai kedermawanan dan kebaikan hatinya [43]dan terdapat juga cerita-cerita tentang kedermawanannya yang dinukilkan.[44]
Para Perawi
Abdullah meriwayatkan hadis dari Nabi saw, Imam Ali as dan ibunya, Asma binti ‘Umais.[45] sebagian perawi juga meriwayatkan hadis darinya.[46]
Ia meriwayatkan hadis tentang turunnya ayat Tathir dan permohonan Sayidah Zainab sa untuk masuk ke dalam Ahlulbait yang ditolak oleh Nabi saw.[47]
Isteri dan Anak
Abdullah bin Jakfar menikah dengan Zainab sa putri Ali bin Abi Thalib.[48] Buah dari pernikahan ini adalah 4 putra (Ali, Abbas, ‘Aun dan Muhammad) dan 1 putri bernama Ummu Kultsum.[49]
Abdullah pada masa hidupnya Zainab juga menikah dengan Laila putri Mas’ud.[50] dan sepeninggal Zainab ia mengawini saudarinya, Ummu Kultsum.[51]
Wafat
Mengenai kapan dan dimana Abdullah meninggal terjadi kontroversi. Menurut riwayat yang lebih masyhur ia wafat di Madinah pada tahun 80 H/699 [52] dan menurut riwayat-riwayat lain[53] pada tahun 82 H/701 atau 84 H/703 atau 85 H/704 atau 86 H/705.
Aban bin Usman yang saat itu menjadi wali kota Madinah menyalati jenazahnya dan menguburkannya di Pemakaman Baqi.[54] Ada sebuah maqam di pemakaman Babus Shaghir Damaskus di nisbatkan kepadanya.[55]
Catatan Kaki
Tinggalkan Balasan