Syiahpedia
MENU

Oleh Muhammad Rusli Malik

Kehancuran itu ditolak tapi sekaligus disukai. Ditolak oleh perindu kehidupan profetik. Disukai oleh pengidap penyakit halusinatoris. Untuk mengkatalisatori para penolak dan menghentikan para penyuka kehancuran, maka karsa itu sejatinya adalah tugas teologi dan ideologi.

Teologi menyalakan lentera kebenaran sejak dari tahap pikiran hingga ke tahap keyakinan . Sementara ideologi mempersiapkan infrastruktur praksis sosial politik demi tegaknya keadilan. Sehingga, sejatinya, ideologi harus sinkron dengan teologi. Kegagalan ideologi sosialisme-komunisme dan liberalisme-kapitalisme adalah karena ketidaksinkronan itu.

Di sinilah titik kritisnya agama-agama. Dalam mengorkestrasi masyarakat untuk menegakkan keadilan, agama semestinya berdiri-tegak-mandiri di atas pondasi teologinya sendiri. Tidak justru menjadi pemegang panji-panji sosialisme atau kapitalisme.

Apabila agamawan sudah berada di bawah bayangan para pemangku otoritas modal atau otoritas kuasa manapaun maka kegiatan-kegiatannya bukan lagi bermakna dakwah atau edukasi, tapi telah menjelma menjadi transaksi. Konstruksi kesadarannya bukan lagi berpondasikan iman takwa, tapi kalkulasi untung rugi, BEP (Break Even Point) dan ROI (Return of Investment). Dan alih-alih menjadi waratsatul anbiyaa (pewaris para nabi), mereka justru menjadi waratsatul aghniyaa (pewaris para pemilik modal).

Buntutnya? Agamawan, sadar atau tidak, dengan gampang dirobotisasi untuk menjalankan agenda-agenda ‘majikannya’. Termasuk melakukan kekerasan (pisik dan atau verbal), menebar kebencian, memviralkan berita dusta (buhtan), dan ‘amaliah’ terorisme.

Kristen dan Islam meyakini bahwa Maryam adalah perawan suci. Sementara Yahudi tidak. Alasannya sederhana: Maryam hamil tanpa suami. Maka, bagi Yahudi dan yang sepikiran dengannya, Almasih Isa ibnu Maryam bukanlah nabi melainkan anak haram. Karena, dalam pandangan umum, setiap wanita hamil pasti ada laki-laki di belakangnya. Setiap anak mesti punya ayah.

Andai Maryam hidup sekarang dan melahirkan putranya, di manakah posisi Anda? Di posisi Yahudi atau di posisi Islam? Mari kita lihat.

Islam mengajarkan bahwa kluster pikiran beda dengan klaster kejadian. Klaster pikiran terbangun berdasarkan bukti-bukti empirik yang dihukumi benar salahnya setelah tervalidasi secara objektif-rasional. Sementara klaster kejadian adalah peristiwa yang sifatnya partikular, berdiri sendiri, dan independen dari penilaian benar salah. Itu sebabnya kenapa tiap peristiwa tidak boleh langsung dihukumi. Harus berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence). Benar salahnya nanti ditentukan di ruang pengadilan.

Maryam hamil adalah klaster kejadian. Tetapi manakala dimasukkan kedalam klaster pikiran, maka pendapat orang Yahudi dan yang sefirqah dengannya ‘benar’ adanya. Faktanya, Maryam hamil. Dan adalah fakta pula bahwa dia tak punya suami. Maka kesimpulannya: Maryam berzinah dan putra yang dilahirkannya tentulah anak haram.

Orang Islam seharusnya paling murka membaca kesimpulan itu. Sekali lagi: Seharusnya. Tetapi kenyataannya, tak sedikit orang Islam yang mengikuti alur pemikiran Yahudi tersebut. Yaitu dengan gampang melontarkan (bahkan memviralkan) tuduhan tanpa bukti.

Hamilnya Maryam bukanlah bukti kalau dia berzina. Hamil adalah bukti bahwa seorang wanita sedang mengandung bayinya; termasuk Maryam. Hamil dan zina adalah dua terma dan dua peristiwa yang berbeda.

Itu baru bicara bukti. Padahal dalam ilmu hukum, bukti pun ada dua macam. Barang bukti dan alat bukti. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Sepulang dari perang Bani Musthaliq, Aisyah tertinggal dari rombongan. Tak lama kemudian dari belakang menyusul Safwan bin Al-Muattil As-Sulami Adh-Dhakwani yang karena satu dan lain hal juga tertinggal dari rombongan. Menjelang pagi dia sampai di tempat Ummul Mukminin itu menunggu sambil beristirahat. Safwan lalu menyerahkan tunggangannya kepada Aisyah.

Sesampai di Madinah, berita tentang Safwan dan Aisyah menyebar liar bagai api di musim kering, setelah digoreng dan diviralkan oleh orang-orang  munafik. Lantas apa kata Alquran?

إِذْ تَلَقَّوْنَهُۥ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَّا لَيْسَ لَكُمْ بِهِۦ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُۥ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

(Ingatlah) ketika kalian menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kalian katakan dengan mulutmu apa yang tidak kalian ketahui sedikit pun. Dan kalian menganggap itu remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.

وَلَوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَّا يَكُونُ لَنَآ أَنْ نَّتَكَلَّمَ بِهٰذَا سُبْحٰنَكَ هٰذَا بُهْتٰنٌ عَظِيمٌ

“Dan mengapa kalian tidak berkata ketika mendengarnya: Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Maha Suci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” (QS. An-Nur 24: Ayat 15 dan16)

Meyakini kebenaran Alquran dan beramal dengannya adalah salah satu syarat iman. Cukup dari dua ayat itu, bisa disimpulkan betapa Alquran menekankan pentingnya kehati-hatian agar klaster kejadian dan klaster pikiran tidak dikacaukan. Agar tidak gampang menuduh pihak lain.

Bahwa Safwan menuntun unta yang ditunggangi Aisyah, itu adalah fakta. Tetapi itu bukan fakta perzinahan. Peristiwa itu masuk klaster kejadian dan karenanya pikiran tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa keduanya berzina. Seperti framing yang dibangun oleh orang-orang munafik. Ilmu psikologi menyebutnya penyakit halusinatoris.

Tidak sedikit orang Islam mengidap penyakit mental disorder seperti itu. Mereka terlalu gampang melontarkan tuduhan keji kepada kelompok lain tanpa dasar, tanpa bukti, dan tanpa relasi sebab akibat. Dan dari sinilah bermulanya kekacauan di berbagai negara Islam.

Yang berkepentingan terhadap jatuhnya Basyar Asaad di Suriah ialah Israel dan Amerika beserta sekutu dekatnya di Teluk, tetapi merekalah yang digunakan untuk membuat framing perang Sunni-Syiah.

Amerikalah yang paling berkepentingan terhadap ketidakstabilan di Irak, agar ada alasan untuk hadir secara permanen dan agar jalan kaki Arbain Imam Husein tak lagi berlangsung, tak lagi puluhan juta orang menghadirinya. Tetapi yang digunakan untuk membentuk, mendeklarasikan, dan memviralkan ‘khilafah’ ISIS ke seluruh penjuru dunia adalah mereka.

Yang paling berkepentingan terhadap serangan Saudi terhadap Yaman ialah para pemilik pabrik senjata dan pesawat tempur di Amerika dan Eropa Barat. Tetapi merekalah yang digunakan untuk mem-framing masalah itu sebagai bersumber dari ‘kejahatan’ Ansharullah yang Syiah.

Mereka terus menciptakan dan memelihara friksi di tubuh umat. Terutama kebencian terhadap Syiah. Sebagaimana Israel dan Amerika terus memelihara kebenciannya kepada Iran dan Hizbullah.

Kepiawaian dan konsistensi mereka memelihara friksi dan narasi anti Syiah berbanding lurus dengan usaha Israel dan Amerika mengisolasi Iran. Bedanya, Amerika dan Israel mendapat predikat liberalis sementara mereka mendapat label teroris. Tepatnya teroris kambing hitam. Karena proyeknya adalah mencari kambing hitam. Ustadz yang ditangkap Densus karena diduga terlibat aksi terorisme, yang dikambing hitamkan Syiah. Guru tahfiz yang merudapaksa banyak santrinya, yang ditunjuk hidungnya Syiah. Bagi mereka, kambing hitam adalah ideologi.

Sudah tepat Antoine Destutt de Tracy ketika pada 1796 pertama kali menggunakan kata idéologie dalam Bahasa Perancis untuk menggambarkan “sains tentang ide”. Yaitu ide yang menampung visi yang komprehensif, yang lalu digunakan sebagai cara memandang segala sesuatu (semacam Weltanschauung).

Sejatinya ideologi seorang Muslim mengandung gagasan komprehensif praksis sosial politik yang dapat membuka jalan bagi tegaknya keadilan. Karena inti teologi Islam adalah Kebenaran Tunggal (Tauhid) yang jika dielaborasi ke dalam tindakan sosial akan bermetamorfosis menjadi keadilan. Itu sebabnya kenapa substansi ideologi seorang Muslim adalah keadilan.

Manakala ada seorang Muslim yang mengaku berjuang (apalagi menyebut diri mujahid) tetapi kemudian menempuh cara-cara yang tidak adil dalam mencapai objektifnya maka bisa dipastikan bahwa itu adalah mujahid palsu. Bagaimana mungkin menegakkan keadilan saat berkuasa nanti sementara perjuangannya saja sudah ditempuh dengan cara-cara yang tidak adil (bahkan menghalalkan segala cara, termasuk menyebarkan berita bohong seraya menuduh dan mengkafirkan sana sini)?

Dalam perspektif Alquran, tujuan tertinggi beragama bukanlah kekuasaan. Tetapi dalam rangka menyempurnakan jiwa manusia agar kelak selamat di akhirat, menjadi warga Darus Salam yang sesungguhnya. Makanya ayat pertama turun bukan perintah membuat organisasi atau partai politik tetapi perintah “membaca” (iqra’). Karena liberasi dan edukasilah yang memegang peran penting dalam menyempurnakan jiwa.

Kejahatan-kejahatan sosial politik di sepanjang labirin sejarah dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas kekuasaan namun minim dari kesempurnaan jiwa. Buntutnya mereka tidak menghargai sistem meritokrasi, egalitarianisme, kemajemukan, dan gradasi kapabilitas.

Hasilnya? Kehancuran demi kehancuran. Para ilmuan bekerja keras menemukan hal-hal yang dapat memudahkan kehidupan umat manusia. Pada saat yang sama para pemangku kuasa politik dan oligarki mendorong perlombaan senjata pembunuh massal. Dan para pemangku reliji ditampilkan di depan sebagai pembuat justifikasi-justifikasi.***

Diterbitkan pertama kali di Majalah Syiar, Januari 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta

© 2024 Syiahpedia. All Rights Reserved.