Syiahpedia
MENU

Keterjagaan

Kategori: Kalam, Filsafat dan Irfan

Ishmah (keterjagaan) (bahasa Arab: العصمة) berarti terjauhkan dari dosa dan maksiat kepada Allah swt. Keyakinan akan ishmah para Nabi dan imam, baik dari dosa-dosa yang sengaja maupun tidak termasuk doktrin dan keyakinan-keyakinan kelompok kaum Syiah. Ishmah dari kealpaan dan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari para maksum ini termasuk hal yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama.

Keyakinan akan kebenaran setiap agama dan pengejawantahan berdasarkan ajaran-ajarannya bertopang pada pembuktian kemaksuman Nabi agama tersebut. Dalam pembahasan interreligious, kemaksuman para Nabi dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu dibuktikan dengan dalil rasional; namun kemaksuman dalam lingkup praktik kehidupan mereka, mayoritas bertopang pada dalil naqli.

Definisi
Ishmah berarti penjagaan, terjaga[1] , kesucian, penjagaan jiwa dari dosa[2] , sarana menahan dan sarana penjagaan. [3]

Para cendekiawan Muslim mengetengahkan pelbagai definisi tentang ishmah. Definisi paling populer adalah interpretasi berdasarkan karunia Allah atau lutf Ilahi. [4] Berdasarkan hal ini, Allah memberikan ishmah kepada sebagian manusia dan dalam naungannya, pemilik ishmah selain mampu untuk berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan, ia terjaga dari melakukan dosa dan meninggalkan ketaatan.

Pendapat Asy’ari: Para teolog Asy’ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. [5]
Pendapat Imamiyah dan Mu’tazilah: Para teolog Imamiyah dan Mu’tazilah dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk bersifat rasional dan kaidah
Luthf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara luthf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. [6] Menurut Allamah Hilli, ishmah termasuk “luthf khafi” (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. [7] Sifat yang melekat ini (malakah) ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, dimana mampu mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk[8], bahkan mampu mencegahnya dari memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. [9]

Sumber Ishmah
Dalam definisi ishmah, mayoritas cendekiawan mengisyaratkan kemampuan dan ikhtiyar manusia maksum dalam meninggalkan dosa. Di sini muncul pertanyaan, faktor apa atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan orang-orang maksum dengan ikhtiyarnya meninggalkan dosa dan atau terjauhkan dari segala kesalahan dan kealpaan? Dengan kata lain apa sumber dan muara kemaksuman? Ada banyak pendapat dalam menjawab hal ini, diantaranya adalah:

Empat sebab munculnya Luthf:
Sekelompok ulama Islam yang menginterpretasikan ishmah dengan luthf Ilahi menganggap empat sebab sebagai sumber lutf tersebut dan keseluruhannya menyebabkan kemunculan ismah:

Sosok maksum dari aspek ruh atau tubuh memiliki kriteria dan keistimewaan-keistimewaan khusus yang menyebabkan adanya malakah menjauhi dosa pada dirinya.
Sosok maksum memiliki pengetahuan tentang akibat-akibat buruk dosa dan nilai ketaatan kepada Allah.
Pengetahuan ini semakin bertambah besar seiring dengan turunnya wahyu dan atau ilham secara berkesinambungan.
Sosok maksum tidak hanya sekedar melakukan hal-hal yang wajib, bahkan ditegur juga dalam meninggalkan hal-hal yang bersifat lebih utama (tark al-Aula), sampai merasa sama sekali tidak ada bentuk kelalaian dan pengabaian tentangnya. [10]
Ilmu dan pengetahuan akan akibat dosa:
Sebagian ulama berpendapat bahwa sumber ishmah manusia-manusia suci adalah karena mereka memiliki ilmu hudhuri terhadap batin dosa, dampak dan akibat-akibat buruk darinya serta dampak-dampak baik dari perbuatan-perbuatan baik, seolah-olah mereka melihatnya, karenanya mereka sama sekali tidak berhasrat untuk melakukan maksiat sekecil apapun. [11]

Irodah dan pilihan:
Pendapat lain tentang sumber ishmah bahwa ishmah adalah merupakan malakah takwa, yang diperoleh manusia karena pengulangan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi dosa-dosa, namun tingkat malakah ini dalam ishmah lebih tinggi dari takwa. Pengulangan amal-amal baik membutuhkan irodah dan pilihan, dengan demikian faktor utama ishmah kembali pada irodah dan pilihan manusia maksum sendiri. Pendapat ini bahkan meyakini bahwa ilmu sempurna terhadap hakikat-hakikat alam dan keburukan-keburukan dosa merupakan hasil dari irodah kuat orang-orang maksum. [12]

Ilmu dan irodah:
Sebagian cendekiawan Islam berpendapat bahwa rahasia ishmah para maksum terletak pada dua unsur, ilmu tentang hakikat dan kesempurnaan serta irodah yang kuat untuk sampai kepadanya, karena manusia jika bodoh maka ia tidak akan mengenal kesempurnaan sejati dan menaruh kesempurnaan khayal sebagai ganti dari kesempurnaan sejati dan dengan tanpa adanya irodah yang lazim, akan menjadi sasaran hawa nafsunya dan tidak akan sampai pada tujuan yang dikehendaki. [13]

Sekumpulan faktor-faktor tabiat, kemanusiaan dan Ilahi:
Sebagian peneliti kontemporer berpendapat bahwa ishmah bukanlah akibat satu faktor, namun ada beberapa akibat Alami (yakni warisan, lingkungan dan keluarga), kemanusiaan (yakni perasaan dan pengetahuan, irodah dan pilihan, akal dan malakah nafsani) dan lutf atau karunia khusus Allah swt. [14]

Ishmah Para Nabi
Domain
Ishmah para Nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi dari syirik dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.

Ishmah dari syirik dan kufur: Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog Muslim dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah kenabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. [15]
Ishmah dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu: Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunah adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja[16] dan kesalahan. [17]
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang dipercaya tidak akan melakukan pengkhianatan. [18]

Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat: Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. [19]
Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat: Subyek hukum syar’i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar’i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar’i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy’ari dan Mu’tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan subyek-subyek hukum syar’i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syekh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebutkan bahwa keyakinan akan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. [20] Namun pendapat masyhur Imamiyah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. [21]

Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari: Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kekeliruan-kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak sampai pada batas yang menyebabkan masyarakat tidak peduli pada mereka, maka tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi yang semacam ini. [22]
Urgensitas
Dengan melihat luasnya kemaksuman para Nabi, maka dapat dijelaskan urgensi setiap bagian dari ishmah. Ishmah terkait dengan wahyu (penerimaan dan penyampaian wahyu) karena jika para Nabi dalam bagian aktivitas kenabiannya tidak terjaga dari kesalahan, dosa dan pengkhianatan, maka apakah ada jaminan bahwa Nabi tidak akan keliru dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat atau tidak melakukan pengkhianatan. Wahyu akan berfungsi dengan benar apabila dari tahap penurunannya sampai tahap penyampaian kepada masayarakat terjaga dari penyimpangan dan pemalsuan yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika tidak demikian, maka keyakinan masyarakat akan sirna dan tujuan dari pengutusan para Nabi dan pelbagai agama akan hilang. [23]

Ishmah para Nabi dalam bagian-bagian lainnya dan keluasan ishmah sangatlah penting, karena jika para Nabi tidak terjaga dari kesalahan dan dosa yang disengaja, maka keyakinan masyarakat terhadap pesan Ilahi akan hilang dan hasilnya adalah menyimpang dari tujuan pengutusan para Nabi.

Argumentasi
Di kalangan para pemikir Islam, ada perbedaan pendapat tentang dalil-dalil pembuktian ishmah. Masalah penting di sini adalah setiap tingkatan-tingkatan ishmah yang ada menuntut argumentasi khusus. Sebagian tingkatan tersebut dapat dibuktikan dengan dalil rasional dan sebagian lainnya hanya dapat dibuktikan dengan dalil naqli (ayat dan riwayat).

Ishmah dari syirik dan kufur, bahkan sebelum pengutusan: Argumentasi tingkatan ishmah ini adalah terciptanya keyakinan penuh terhadap sabda-sabda para Nabi dan klaim mereka dapat terealisasi jika mereka tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran bahkan sebelum masa pengutusan mereka. [24]
Ishmah dalam menerima dan menyampaikan wahyu: Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam mengutus para Nabi dan menyeru masyarakat, sementara menyalahi tujuan merupakan hal yang mustahil dan tidak mungkin pula. [25] Alquran juga menjelaskan hal ini:
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu”. (QS. Al-Hāqqah: 44-47)
Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat: Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar’i. [26]
Ishmah dalam menentukan subyek-subyek hukum syariat: Penyebab dalam hal ini adalah bahwa masyarakat dan orang-orang berakal tidak mempercayai seseorang yang melakukan kesalahan dengan tanpa disengaja dan bahkan mereka tidak akan menyerahkan harta benda mereka kepadanya. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada orang semacam ini dan mengambil sumber-sumber agamanya darinya. [27]
Ishmah Para Imam
Urgensitas
Mengingat bahwa imam adalah pengganti Nabi dan tempat rujukan ilmiah dalam hukum-hukum syariat dan pengetahuan-pengetahuan agama, tafsir Alquran dan sunnah Nabawi, maka sudah semestinya mereka terjaga dari dosa dan kesalahan, sehingga masyarakat dapat mempercayai kepribadiannya dan ucapan-ucapannya. Jika tidak demikian, maka kepercayaan masyarakat akan hilang dan menyimpang dari tujuan tentang penentuan imam sebagai pemberi petunjuk manusia.

Domain
Secara global, ishmah para maksum dapat diklasifikasikan dalam dua bagian; ilmu dan amal.

Ismah praktis: Kancah amal terkait aspek praktis dan perilaku seorang maksum. Domain bagian ishmah ini adalah:
Seorang maksum tidak akan pernah meninggalkan hal yang wajib dan tidak pernah melakukan hal yang haram (fikih).
Seorang maksum tidak meniggalkan hal yang mustahab dan tidak melakukan hal yang makruh.
Ishmah ilmu; ishmah ilmu terkait dengan aspek pengetahuan dan makrifah seorang imam akan perkara-perkara yang ada dalam koridor kewajiban-kewajibannya.
Tidak melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam pengetahuan-pengetahuan agama; karena mereka akan membimbing manusia.
Mereka juga maksum dalam mengidentifikasi kemaslahatan dan kemafsadatan urusan-urusan sosial dan politik masyarakat. Penentuan-penentuannya dalam memimpin keilmuan sangatlah sempurna dan benar.
Tahu dalam mengenal urusan-urusan yang menjadi subyek-subyek hukum-hukum syariat dan tidak melakukan kesalahan dalam hal ini. Semisalnya mengetahui permasalahan dalam menentukan apakah cairan ini adalah air ataukah minuman dan atau mengetahui debitur seberapa banyak harus mengemban pinjaman. [28]
Argumentasi
Argumentasi Rasional
Argumentasi Tasalsul: Dalam hal ini dijelaskan bahwa keberadaan imam merupakan lutf atau karunia Allah swt; dengan arti selain dari mereka tidak ada yang maksum dan supaya dapat memahami manakah jalan yang benar dan perkara yang keliru harus merujuk pada imam. Nah, jika imam tersebut juga tidak maksum dan ada kemungkinan salah pada dirinya, untuk menghilangkan kesalahannya maka ia harus merujuk ke imam lainnya dan ini terus berlanjut dan sama sekali kesalahan dan kekeliruan tidak akan hilang. [29]
Menjaga dan menjelaskan agama: Argumentasi ini tersusun dari beberapa pendahuluan:

  • Agama yang dibawa oleh Rasulullah saw akan terus utuh sampai hari kiamat dan mengamalkannya adalah wajib dan melanggarnya adalah haram.
  • Untuk mencegah pemalsuan, memerlukan adanya tempat rujukan yang menyampaikan dan menjelaskan ajaran dan hukum-hukum sahih kepada para mukallaf dan mencegah terjadinya penyelewengan dan perubahan di dalamnya.
  • Tempat rujukan ini tidak mungkin kitab Allah dan sunnah mutawatir; karena selain Alquran memiliki banyak ayat-ayat mutasyabih, dimana penjelasan makna sejatinya membutuhkan adanya tempat rujukan ilmiah yang dapat dipercaya, juga ada banyak masalah yang tidak ada dalam kitab Allah dan tidak dijalankan dalam sunnah mutawatir.
  • tempat rujukan ini juga tidak bisa ijma’; karena banyak sekali tidak adanya ijma’ dalam masalah-masalah syariat, dalam hal ini ijma’ sendiri juga tidak memiliki kehujahan (hujjiyah).
  • Ijma’ ini juga tidak bisa berupa qiyas; karena menurut Syiah, qiyas juga tidak memiliki hujjiyah.
  • Dengan demikian hanya tersisa satu jalan dan itu adalah adanya seorang imam yang merupakan pengganti Rasulullah dan merupakan tempat penjagaan dan penjelasan syariat.
    Oleh karena itu, orang tersebut harus maksum dan jika tidak, maka kemungkinan terjadi perubahan dan penyelewengan dalam syariat akan senantiasa ada dan ini tidak selaras dengan tujuan pengutusan para Nabi. [30]

Qiyas Istitsna’i: Argumentasi ini dijelaskan lewat sebuah analogi pengecualian:
Jika seorang imam tidak maksum, maka ada dua kondisi. Kedua asumsi tersebut batil, dengan demikian ketidakmaksuman imam juga batil. Penjelasannya adalah kaum muslim berkewajiban mengikuti perintah-perintah imam. Sekarang jika imam tidak maksum dan dapat melakukan kesalahan atau dosa, kewajiban seorang mukallaf di hadapan amalnya tidak keluar dari dua kondisi;

  • Pertama harus mengikutinya, dimana jika demikian ia telah bekerjasama dalam kezaliman dan dosa bersamanya, sementara Alquran memerintahkan supaya tidak bekerjasama dalam kezaliman dan dosa. [31]
  • Atau tidak harus mengikutinya. Jika demikian juga bertentangan dengan tujuan dari adanya imam dan juga perintah Allah untuk mentaati seorang imam. [32]
    Argumentasi Naqli (Tekstual)
    Al-Quran al-Karim
    Ayat Ujian Nabi Ibrahim as
    Artikel utama: Ayat Ujian Nabi Ibrahim as
    وَإِذِ ابْتَلَی إِبْرَاهِیمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّی جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّیتِی قَالَ لاَ ینَالُ عَهْدِی الظَّالِمِینَ “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim”.[33]

Ayat ini mengisyaratkan saat Nabi Ibrahim as berhasil dalam menjalankan ujian-ujian Ilahi. Pada saat itu, dia yang sebelumnya telah memangku kedudukan Nubuwwah atau Kenabian dan termasuk Ulul Azmi, sampai pada derajat imamah. Argumentasi para teolog dan para mufasir Imamiyah adalah sebagai berikut:

  • Orang yang melakukan dosa adalah zalim; karena melanggar hukum-hukum Ilahi:
    .وَمَن یتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ “Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.[34]
  • Maqom imamah tidak sampai kepada orang yang melakukan kezaliman
    Allah berfirman:قَالَ لاَ ینَالُ عَهْدِی الظَّالِمِینَ “Janji-Ku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim”.[35]
  • Zalim dalam ayat ini, mencakup zalim terhadap diri sendiri, zalim kepada selainnya dan zalim dalam hak Allah. Demikian juga mencakup seseorang, yang melakukan kezaliman bahkan jika hal itu dilakukan dalam sekejap saja dari umurnya.
    Dengan demikian, orang yang tidak maksum akan melakukan kezaliman dan orang yang zalim tidak akan sampai pada maqom imamah. [36]

Ayat Ulil Amr
Artikel utama: Ayat Ulil Amri
Argumentasi untuk membuktikan kemaksuman dengan ayat ini dengan dua bentuk:

Bentuk pertama: Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati seseorang dengan tanpa syarat apapun, maka orang tersebut adalah maksum yaitu terjaga dari dosa; karena jika orang tersebut tidak maksum dan kemudian memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan dosa, maka dia harus mentaatinya (karena ketaatannya adalah wajib) dan juga tidak mentaatinya (karena taat kepada makhluk akan dibenarkan selama tidak menyebabkan pembangkangan kepada Tuhan). Dengan demikian, terjadilah pertentangan dua hal, kontradiksi, dan itu mustahil. [37]
Bentuk kedua: Dalam ayat ini, kata “Ulil Amri” di-athafkan kepada “Rasul”; ketaatan terhadap keduanya sama sama diingikan dengan menggunakan satu kata kerja “Athi’u”; ketaatan terhadap rasul sama sekali tidak ada syaratnya; dengan demikian ketaatan terhadap Ulil Amri juga dengan tanpa syarat adalah wajib. Hal ini tidak masalah ketika Ulil Amri adalah seorang yang maksum. [38]
Ayat Tathir
Artikel utama: Ayat Tathir
انما یرید الله لیذهب عنکم الرجس اهل البیت و یطهرکم تطهیرا “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sesuci-sucinya”.[39]

Dalam sebagian referensi-referensi Syiah dan Ahlusunah dikemukakan bahwa Rasulullah saw dalam menjelaskan ayat ini berkata, “Aku dan Ahlulbaitku adalah suci”. [40] Imam Ali as juga membuktikan kesucian dari dosa Sayidah Zahra sa dalam peristiwa Fadak dengan bersandar pada ayat ini. [41]

Argumentasi dengan ayat ini memerlukan beberapa premis:

Premis pertama: Allah hanya menghendaki pensucian Ahlulbait as.
Premis kedua: Irodah tasyri’i Allah tentang pensucian dan pembersihan para hamba tidak dikhususkan kepada seorangpun.
Premis ketiga: Ketika irodah tasyri’i tidak dikhususkan untuk seseorang, dengan demikian irodah takwini Allah menghendaki hamba-hamba-Nya ini suci.
Premis keempat: Irodah takwini Allah juga pasti terealisasi dan tidak akan melenceng.
Premis kelima: Kesucian yang dijelaskan dalam ayat ini sama sekali tidak ada syaratnya dan dalam bentuk mutlak dan menafikan segala bentuk kotoran dan ketidaksucian.
Premis keenam: Tidak ada satu kelompokpun dari kaum muslim yang mengklaimkan ishmah orang-orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah kecuali kelompok Syiah saja, yang berkeyakinan akan kemaksuman Sayidah Zahra sa dan para Imam dua belas as. Dengan demikian, ayat ini membuktikan kemaksuman dan keterjagaan para imam Syiah dari dosa dan kesalahan. [42]
Riwayat
Hadis Tsaqalain
Artikel utama: Hadis Tsaqalain
Rasulullah saw bersabda: انی قد تَرَکتُ فِیکمْ ما ان أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بعدی الثَّقَلَینِ أَحَدُهُمَا أَکبَرُ مِنَ الآخَرِ کتَابُ اللَّهِ حَبْلٌ مَمْدُودٌ مِنَ السَّمَاءِ إلی الأَرْضِ وعترتی أَهْلُ بیتی الا وانهما لَنْ یفْتَرِقَا حتی یرِدَا عَلَی الْحَوْضَ “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, yaitu: Kitabullah (Alquran), ia adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Keduanya (Alquran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Haudh”. [43]

Hadis ini dari beberapa aspek membuktikan kemaksuman Ahlulbait:

  • Dalam riwayat ini, Rasulullah saw mewajibkan ketaatan mutlak dan tanpa syarat kepada Alquran dan Ahlulbait untuk semua kaum Muslim. Perintah akan ketaatan mutlak merupakan bukti kemaksuman seseorang yang ditaati; karena mustahil Allah memerintahkan ketaatan mutlak kepada seseorang, yang ada kemungkinan salah dan keliru dalam ucapan-ucapan orang tersebut dan bisa jadi melanggar kitab Allah dan rasul-Nya.
  • Dalam riwayat ini dibicarakan tentang tidak dapat dipisahkannya Alquran dari Ahlulbait dan tidak adanya penentangan di antara keduanya. Sementara jika Ahlulbait melakukan dosa dan kesalahan, pada saat itu juga akan terpisah dari Alquran dan keyakinan akan keterpisahan mereka dari Alquran akan menyebabkan pendustaan sabda Rasulullah saw. Dengan demikian, kalimat ini juga menunjukkan kemaksuman para Imam.
  • Dalam riwayat ini, berpegang pada kitab Allah dan Ahlulbait diperkenalkan sebagai sebab keselamatan dari kesesatan; dengan demikian sebagaimana ketaatan terhadap Alquran menyebabkan hidayat dan selamat dari kesesatan, ketaatan terhadap Ahlulbait juga akan memiliki kriteria demikian dan hal ini bisa terealisasi jika para imam terjaga dari kesalahan dan dosa. [44]
    Ali ma’a al-Haq wa al-Haq ma’a Ali
    Abdurrahman bin Abi Sa’ad dari ayahnya menukilkan bahwa kami duduk bersama sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar di samping rumah Rasulullah, lantas Ali as memasuki majlis kami, Rasulullah saw berkata: Apakah kalian mau saya beritahu paling baiknya kalian? Mereka menjawab, iya. Nabi berkata, paling terbaiknya kalian adalah orang yang menepati janji kalian dan memakai wewangian. Allah mencintai para hamba yang bertakwa. Perawi berkata: pada waktu itu Ali bin Abi Thalib melewati kami; lantas Rasulullah saw bersabda, “Ini bersama kebenaran dan kebenaran bersamanya.” [45] [46]

Riwayat ini menegaskan kemaksuman Amirul Mukminin Ali as; karena makna ishmah tak lain adalah senantiasa bersama dengan hak dan kebenaran dan tidak keliru dalam perkataan dan perangai;

Rasulullah saw memberikan kesaksian bahwa Amirul Mukminin dalam segala kondisi dan senantiasa bersama kebenaran dan tidak pernah terpisahkan dari kebenaran; kesaksian ini menunjukkan kemaksumannya dari segala bentuk dosa dan kesalahan; karena perangai dan ucapan manusia yang salah senantiasa tidak bersama kebenaran dan kemungkinan salah dan keliru ada pada orang tersebut;

Amirul Mukminin Ali as senantiasa bersama kebenaran dan sama sekali tidak pernah terpisah dari kebenaran; dengan demikian keyakinan akan kemaksuman beliau adalah hal yang urgen dan jika tidak, sabda Rasulullah saw akan didustakan.

Riwayat Amirul Mukminin as
Rasulullah saw bersabda: مَنْ سَرَّهُ أَنْ ینْظُرَ إِلَی الْقَضِیبِ الْیاقُوتِ الْأَحْمَرِ الَّذِی غَرَسَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِیدِهِ وَیکونَ مُتَمَسِّکاً بِهِ فَلْیتَوَلَّ عَلِیاً وَالْأَئِمَّةَ مِنْ وُلْدِهِ فَإِنَّهُمْ خِیرَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَصَفْوَتُهُ وَهُمُ الْمَعْصُومُونَ مِنْ کلِّ ذَنْبٍ وَخَطِیئَةٍ”Barang siapa yang bergembira untuk melihat batang Yaqut merah, dimana Allah memetik dengan tangan-Nya dan memegangnya dengan tangan-Nya, maka cintailah Ali dan para imam keturunannya; karena mereka adalah makhluk terbaik Allah dan pilihan-Nya dan mereka terjaga dari segala bentuk dosa dan kesalahan.”

Riwayat ini juga dengan gamblang menunjukkan kemaksuman para imam Syiah.

Ishmah Para Malaikat
Malaikat adalah makhluk-makhluk yang suci dari segala dosa dan maksiat. Namun sebagaimana yang telah disebutkan, ishmah berkaitan dengan makhluk-makhluk yang dengan adanya kemampuan untuk melakukan buruk dan tidak mematuhi Tuhan, mereka meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dianggap dosa dan dikarenakan anugrah Allah mereka juga terjaga dari kesalahan-kesalahan yang menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada mereka. Dengan demikian, meski para malaikat maksum dan suci dari segala bentuk dosa dan maksiat, namun mereka tidak memiliki maqom ishmah. Tentu, jika kita mengartikan ishmah dengan arti tidak melakukan dosa (baik itu mampu untuk melakukan dosa atau tidak), maka para Malaikat juga maksum; karena pada mereka sama sekali tidak ada hasrat dan keinginan akan melakukan dosa dan senantiasa bertasbih dan menyucikan Allah dan melakukan perintah-perintah-Nya.

Catatan Kaki

  1. Fayumi, hlm. 414.
  2. Dehkhoda, kata Ishmah.
  3. Ibn Manzur, jld. 12, hlm. 405.
  4. Syarif Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, hlm. 326.
  5. Al-Iji, Mir Sayid Syarif, Syarh al-Mawāqif, hlm. 280.
  6. Syarif Murtadha, Rasāil al-Syarif al-Murtadha, hlm. 326.
  7. Hilli, al-Bab al-Hadi ‘Asyar, hlm. 9.
  8. Rabbani Golpaigani, Muhādharāt fi al-Ilāhiyyāt, hlm. 276.
  9. Muthahhari, Wahyu wa Nubuwwat, hlm. 159.
  10. Hilli, Kasyf al-Murad, hlm. 494.
  11. Ray Syahri, Falsafeh Wahy wa Nubuwwat, hlm. 210.
  12. Ray Syahri, Falsafeh Wahy wa Nubuwwat, hlm. 215.
  13. Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 119.
  14. Qadardan Qaramaliki, Kalami Falsafi, hlm. 388-390.
  15. Taftazani, Syarh al-Maqāshid, jld. 5, hlm. 50.
  16. Jarjani, Syarh al-Mawāqif, hlm. 263.
  17. Taftazani, Syarh al-Maqāshid, jld. 5, hlm. 50.
  18. Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema Shenasi, hlm. 153 dan 154.
  19. Mufid, al-Nukat al-I’tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Murād fi Syarh Tajrid al-I’tiqād, hlm. 394.
  20. Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jld. 1, hlm. 360.
  21. Mufid, ‘Adamu Sahwi al-Nabi, hlm. 29 dan 30.
  22. Kulaini, Ushul Kafi, jld. 1, hlm. 25-31.
  23. Mishbah Yazdi, Omuzesh ‘Aqaid, hlm. 193-194.
  24. Thabathabai, al-Mizān fi Tafsir al-Quran, jld. 2, hlm. 138; Syarif Murtadha, Tanzih al-Anbiya’, hlm. 5.
  25. Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154.
  26. Hilli, Kasyf al-Murāf fi Syarh Tajrid al-I’tiqād, hlm. 394.
  27. Mufid, ‘Adamu Sahwi al-Nabi, hlm. 29 dan 30.
  28. Rabbani Golpaigani, Taqrirāt Dars Imamah, Madreseh Faqahat.
  29. Syarif Murtadha, al-Syāfi fi al-Imamah, jld. 1, hlm. 289-290.
  30. Bahrani, Qawāid al-Muram fi ‘Ilm al-Kalam, hlm. 178-179.
  31. QS. Al-Maidah: 2.
  32. QS. An-Nisa: 59; Khwaja Nashiruddin Thusi, Tajrid al-I’tiqad, hlm. 222; Taftazani, Syarh al-Maqashid, jld. 5, hlm. 249.
  33. QS. Al-Baqarah: 124
  34. QS. Al-Baqarah: 229
  35. QS. Al-Baqarah: 124
  36. Syarif Murtadha, al-Syafi, jld. 3, hlm. 141.
  37. Mudzaffar, jld. 2, hlm. 17.
  38. Thabrisi, Majma’ al-Bayan, jld. 2, hlm. 64.
  39. QS. Al-Ahzab: 33
  40. Baihaqi, Dalāil al-Nubuwwah, jld. 1, hlm. 171; Muqrizi, Imtā’ al-Asmā’, jld. 3, hlm. 208, fa Ana wa Ahlubaiti Muthahharun min al-Dzunub (Maka Saya dan Ahlulbait saya disucikan dari dosa-dosa).
  41. Thabari, Kamil Bahai, hlm. 256.
  42. Thabathabai, al-Mizan, jld. 16, hlm. 310-312.
  43. Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, jld. 3, hlm. 59, hadis 11578.
  44. Ishmah Aimmah az Didgane Aql wa Naql.
  45. Abu Ya’la, Musnad abi Ya’la, jld. 2, hlm. 318, hadis 1052.
  46. ‘Asqalani, al-Mathālib al-‘Āliyahjld. 16, hlm. 147.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta

© 2024 Syiahpedia. All Rights Reserved.