Nikah Mut’ah (bahasa Arab: زواج المتعة) atau pernikahan temporer adalah pernikahan dalam jangka waktu tertentu dan tidak bersifat daim (permanen). Umat Islam sepakat pernikahan ini sah pada zaman Nabi saw. Namun, menurut pendapat Ahlusunah, Zaidiyah, Ismailiyah dan Ibadhiyah hukum kehalalan nikah mut’ah dihapus sejak zaman Nabi saw juga dan pernikahan seperti ini dihukumi haram. Sedangkan, Mazhab Imamiyah meyakini bahwa Nabi saw tidak pernah menghapus hukum kehalalannya, bahkan pada zaman Nabi saw hingga kekhalifaan Abu Bakar pun hukumnya masih sah dan boleh.
Berdasarkan beberapa riwayat yang tertulis dalam sumber-sumber Ahlusunah, orang pertama yang mengharamkannya adalah Umar bin Khattab. Para fukaha Syiah memberi fatwa kebolehan nikah mut’ah dan menjelaskan hukum-hukumnya bersandarkan kepada Ayat Mut’ah dan beberapa riwayat dari Nabi saw dan para Imam as.
Sesuai dengan ijmak fukaha Syiah, lamanya waktu pernikahan dan besarnya mahar harus diketahui saat akad nikah mut’ah. Pernikahan mut’ah tidak memiliki perceraian seperti nikah daim, namun pernikahan dianggap selesai ketika waktu yang ditentukan sudah selesai atau suami menghadiahkan waktu yang tersisa.
Jika pada masa pernikahan terjadi jimak diantara kedua suami-istri, maka setelah selesainya masa pernikahan, baik dengan berakhirnya waktu ataupun dengan laki-laki menghadiahkan sisa waktu kepada perempuan, maka perempuan wajib melaksanakan iddah selama dua kali haid.
Definisi dan Kedudukan
Nikah mut’ah adalah akad pernikahan suami istri dengan jangka waktu tertentu. [1] Nikah mut’ah merupakan salah satu masalah kontroversial antara mazhab Syiah dan Ahlusunah.[2] dalam buku Pernikahan semacam ini merupakan pernikahan yang halal dan boleh menurut pandangan seluruh fukaha Syiah.[3] Mereka membahas terkait masalah dan hukum-hukumnya di fikih bab pernikahan.[4]
Dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari para Imam Maksum as, terdapat pahala dalam melakukan nikah mut’ah.[5] Tentu saja, dalam beberapa hadis disebutkan bahwa tidak boleh memaksakan nikah mut’ah.[6] Para fukaha Syiah dengan bersandar kepada riwayat-riwayat tidak hanya memberikan fatwa tenang kebolehan nikah mut’ah bahkan menurut mereka melakukan hal ini merupakan amalan yang mustahab.[7]
Mengenai manfaatnya, disebutkan bahwa pernikahan sementara adalah solusi bagi banyak masalah seksual, terutama bagi kaum muda dan mereka yang tidak dapat menikah secara permanen karena alasan apa pun.[8] Mereka juga menganggapnya sebagai cara yang efektif untuk memerangi prostitusi dan banyak kejahatan sosial lainnya. [9]
Pandangan Mazhab-Mazhab Islam tentang Nikah Mut’ah
Para ulama Islam berbeda pendapat mengenai keabsahan nikah mut’ah: Syiah Imamiyah menganggap sahnya nikah mut’ah; Namun mazhab lainnya, termasuk Ahlusunah,[10] Zaidiyyah,[11] Ismailiyyah[12] dan Abadhiyyah tidak membolehkannya.[13] Menurut Syahid al-Tsani, semua fukaha Imamiyah memandang nikah mut’ah itu boleh.[14] Untuk membuktikan keabsahan nikah mut’ah, mereka mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk ayat Mut’ah.[15] Begitupla dinukil dari beberapa riwayat mutawatir dari Nabi saw dan para Imam Ma’sum mengenai legalitas nikah mut’ah[16] Mazhab dan kelompok Islam lainnya percaya bahwa pernikahan sementara hanya diperbolehkan di zaman Nabi saw. Namun kemudian hukumnya dihapus dan menjadi haram.[17]
Apakah Hukum Nikah Mut’ah Dihapus?
Para ulama Islam sepakat bahwa nikah mut’ah adalah sah pada masa Nabi saw.[18] Dalam beberapa sumber riwayat Ahlusunah, terdapat riwayat dari Umar bin Khattab, khalifah kedua, yang mengakui bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Nabi saw dan ia sendiri yang melarangnya.[19] Di antaranya adalah ketika Umar berkata bahwa ada dua mut’ah yang diperbolehkan pada masa Nabi Islam saw, namun Aku mengharamkannya dan menghukum orang yang melakukannya: yang satu nikah mut’ah dan yang lainnya adalah mut’ah haji.[20]
Merujuk pada riwayat tersebut, ulama Imamiyah meyakini bahwa nikah mut’ah pertama kali dilarang oleh Umar bin Khattab[21] dan tindakannya tersebut merupakan bentuk bid’ah dalam agama dan ijtihad terhadap nash serta bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad saw.[22] Asqalani (773-852 H), salah satu ulama Sunni, juga mengatakan bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Nabi saw, dan setelah beliau saw, si sepanjang masa kekhalifaan Abu Bakar dan Sebagian masa kekhalifaan Umar bin Khattab diperbolehkan dan sudah menjadi kebiasaan. Namun pada akhirnya, Umar menyatakan hal itu haram di akhir hayatnya.[23]
Namun sebagian besar ulama Sunni dengan mengutip beberapa riwayat dari sumber mereka,[24] mengatakan bahwa hukum nikah mut’ah telah dihapus pada zaman Nabi saw oleh Nabi sendiri.[25] Beberapa juga meyakini bahwa hukum nikah mut’ah dihapus pada masa Nabi saw dengan turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an seperti ayat 5 sampai 7 surah al-Mu’minun.[26] Mereka meyakini bahwa menurut ayat-ayat tersebut, orang mukmin adalah orang-orang suci yang tidak mencari kenikmatan seksual dengan siapa pun selain dengan istri atau budak perempuan mereka. Dengan mencari kenikmatan seksual dengan cara lain, maka mereka telah melanggar batasan Tuhan. Nikah mut’ah, menurut mereka tidak termasuk dalam kedua perkara tersebut (istri dan budak). Oleh karena itu, hal ini merupakan pelanggaran terhadap batasan Tuhan.[27]
Menanggapi hal ini, dikatakan bahwa ayat 5 sampai 7 Surah al-Mu’minun diturunkan di Mekah, dan ayat Mut’ah sebagai dalil kebolehan nikah mut’ah diturunkan setelah ayat-ayat tersebut dan di Madinah. Ayat yang menghapus sebuah hukum tidak boleh turun sebelum ayat yang menetapkan hukum tersebut. [28] Selain itu, dalam nikah mut’ah, perempuan dianggap sebagai istri sah laki-laki selama jangka waktu yang ditentukan oleh kedua pihak dalam perkawinan. Oleh karena itu, hubungan perkawinan mereka tidak melanggar batasan Tuhan.[29]
Hukum-Hukum Fikih
Akad nikah mut’ah
Perempuan: زَوَّجْتُکَ نَفْسی عَلَی المَهْرِ الْمَعْلُومِ فی المُدَّةِ المَعْلُومَة; Saya menikahkan diri saya kepadamu dengan mahar yang sudah diketahui dan dalam jangka waktu yang sudah diketahui.
Laki-laki: قَبِلْتُ التَّزْویجَ عَلَی المَهْرِ الْمَعْلُومِ فی المُدَّةِ المَعْلُومَة; Saya menerima pernikahan tersebut dengan mahar yang sudah diketahui dan dalam jangka waktu yang sudah diketahui.[30]
Berikut adalah beberapa hukum fikih tentang nikah mut’ah menurut fatwa fukaha Syiah:
Dalam nikah mut’ah, jangka waktu perkawinan dan besarnya mahar harus diketahui dalam akad nikah.[31] Menurut para masyhur fukaha, apabila jangka waktu perkawinan tidak disebutkan dalam akad nikah mut’ah, maka pernikahan tersebut menjadi pernikahan permanen (daim).[32]
Menurut pendapat sebagian fukaha, apabila kedua pihak akad tidak dapat membaca akad dalam bahasa Arab, meskipun mereka mempunyai kemampuan untuk mewakilkannya kepada seseorang, maka diperbolehkan untuk melaksanakannya dalam bahasa lain.[33] Sebagian lain mengatakan bahwa bagaimanapun juga akad nikah dapat dibacakan dalam bahasa apapun.[34]
Pernikahan mut’ah antara seorang laki-laki Muslim dengan seorang wanita ahli kitab adalah sah;[35] namun pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan ahli kitab adalah tidak sah.[36] Juga, pernikahan mut’ah antara seorang Muslim, baik laki-laki atau seorang wanita, dengan non-Muslim yang bukan ahli kitab, hukumnya adalah haram.[37]
Menikahi gadis yang masih perawan untuk nikah mut’ah adalah hal yang makruh, dan jika terjadi pernikahan, menghilangkan keperawanannya hukumnya adalah makruh.[38]
Dalam perkawinan mut’ah, jika telah terjadi penetrasi, setelah berakhirnya masa perkawinan, pihak perempuan, jika belum menopause, wajib menjaga Iddah. Iddah seorang wanita dalam nikah mut’ah, jika ia tidak haid (walaupun ia dalam usia haid dan belum menopause) adalah 45 hari, dan jika ia haid, menurut pendapat sebagian fukaha, adalah dua periode haid.[39]
Jika masa perkawinan berakhir atau pihak laki-laki menghibahkan sisa waktunya sebelum terjadi penetrasi, maka pihak perempuan tidak perlu menjaga Iddah.[40]
Apabila pihak laki-laki meninggal dunia dalam nikah mut’ah, meskipun tidak terjadi penetrasi, maka pihak perempuan harus tetap menjaga iddah yaitu empat bulan sepuluh hari.[41]
Dalam nikah mut’ah tidak ada perceraian; Sebaliknya, perpisahan terjadi ketika masa perkawinan berakhir atau pihak laki-laki menghibahkan sisa waktu tersebut.[42]
Monografi
Para ulama Imamiyah banyak menulis kitab dan risalah tentang nikah mut’ah. Najmuddin Thabasi, salah satu guru Hauzah Qom, menulis sebuah buku yang diterjemahkan dengan judul ‘’Izdiwaj-e Muwaqqat dar Raftar va Guftar-e Sahabeh”. Pada bagian daftar pustaka buku ini diperkenalkan 46 karya ulama Imamiyah yang memuat tentang nikah mut’ah dan keabsahannya.[43] Beberapa karya tersebut adalah:
Khulasah al-Ijar fi al-Mut’ah; Buku ini terdiri dari empat bab yang mengkaji dan menjelaskan permasalahan keabsahan, keutamaan, kualitas dan aturan nikah mut’ah dan diskusi yang tersebar mengenai hal tersebut.[44] Ada yang menisbahkan karya ini dengan Syekh Mufid.[45] dan ada pula yang menisbahkannya kepada Syahid Awal [46] dan Sebagian lainnya kepada Muhaqiq Karaki.[47]
Zawaj al-Mut’ah; Ditulis oleh Sayid Ja’far Murtadha Amili, dalam tiga jilid. Dalam karya ini, sambil membahas keabsahan dan beberapa hukum nikah mut’ah, penulis mengkritisi dan mengkaji pendapat ulama Sunni tentang keharaman nikah mut’ah.[48]
Al-Zawaj al-Muwaqqat fi al-Islam; Ditulis oleh Sayid Murtadha Askari. Dalam karya ini, penulis mengkaji keabsahan nikah mut’ah dalam Al-Qur’an dan Sunnah menurut pandangan ulama Syiah dan Sunni.[49]
Tinggalkan Balasan