Dinasti Idrisiyyah (bahasa Arab: الدولة الإدريسية) adalah pemerintahan Islam pertama di Maroko, dimana beberapa orang menganggapnya sebagai pemerintahan Syiah pertama di dunia. Pemerintahan ini didirikan pada akhir abad ke-2 Hijriah oleh salah satu keturunan Imam Hasan Mujtaba as bernama Idris bin Abdullah.
Dinasti Idrisiyyah menguasai Maroko dan sebagian wilayah Aljazair saat ini selama hampir dua abad dan akhirnya pada tahun 375 Hijriah, pemerintahan Idrisiyyah lenyap setelah penguasa Idrisiyyah dibunuh oleh Umayyah Andalusia.
Prestasi Idrisiyyah diakui dalam penyebaran Islam, kemakmuran peradaban Maroko, tersebarnya keadilan dan pertumbuhan ekonomi. Pada masa pemerintahan Idrisiyyah, Universitas Al-Qarawiyyin didirikan; universitas ini yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia yang masih beroperasi hingga kini.
Dikatakan bahwa karena kondisi yang tidak memungkinkan, mereka tidak dapat melakukan upaya dalam menyebarkan Syiah di kalangan masyarakat Maroko. Sistem pemerintahan mereka bersifat musyawarah, di mana para tokoh dan bangsawan memiliki peran dalam pengambilan keputusan pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan Idrisiyyah dianggap sebagai sistem politik yang paling mirip dengan sistem politik Islam.
Keahlian mereka dalam mengelola urusan dan hubungan mereka dengan Nabi Islam saw menyebabkan mereka mendapat dukungan luas dari masyarakat. Mereka tidak menggunakan kekerasan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Saat ini, Idrisiyyah dikenal sebagai bangsawan dan masih dihormati oleh masyarakat Maroko. Keluarga-keluarga seperti Juthi, Masyisyi, Alami dan Wazani adalah termasuk di antara keluarga-keluarga Idrisiyyah yang terkenal.
Urgensi Dinasti Idrisiyyah
Dinasti Idrisiyyah dianggap sebagai pemerintahan Syiah pertama di dunia Islam dan pemerintahan Islam pertama di Maroko,[1] serta dikatakan memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di wilayah ini.[2] Mereka juga dianggap sebagai salah satu pemerintahan Islam paling berpengaruh di negara-negara Barat,[3] dimana berhasil menciptakan zaman keemasan.[4]
Terobosan Keilmuan dan Budaya
Pengaruh Idrisiyyah dianggap sangat kuat dan penting dalam bidang budaya dan peradaban, di mana disebutkan bahwa peradaban Maghrib pada periode ini mengalami kemakmuran besar.[5] Masjid dan Universitas Al-Qarawiyyin tercatat dalam Guinness World Records sebagai universitas tertua yang masih beroperasi di dunia[6] didirikan pada masa Idrisiyyah.[7] Kota Fez, tempat berdirinya masjid dan universitas tersebut, juga dibangun pada awal pemerintahan Idrisiyyah dan kemudian di periode-periode berikutnya berkembang menjadi pusat kegiatan keilmuan dan tempat pertukaran pengetahuan antara cendekiawan dari berbagai wilayah lain.[8] Selain itu, disebutkan bahwa pada periode ini disaksikan perkembangan sastra yang sangat mencolok.[9]
Terobosan Sosial
Keberhasilan dalam bidang keadilan dan ekonomi dalam penerapan hukum syariat dan menjaga kesetaraan antara orang Arab dan suku Barbar Afrika dianggap sebagai karakteristik utama dari pemerintahan ini.[10] Ketidakberpihakan Idrisiyyah terhadap suku Arab menjadi alasan diterima dan daya tarik bagi suku Barbar yang menentang dominasi orang Arab[11] dan hubungan kekerabatan yang dibangunnya dengan mereka memperkuat dasar-dasar pemerintahan Idrisiyah.[12]
Posisi wanita pada masa pemerintahan Idrisiyyah juga dianggap sebagai salah satu aspek positif dari dinasti ini.[13] Dalam hal ini, disebutkan peran Kenza istri Idris pertama dan Husni istri Idris kedua, dalam administrasi pemerintahan.[14] Pendiri Masjid dan Universitas Al-Qarawiyyin juga merupakan seorang wanita bernama Fatimah al-Fihri.[15]
Cirikhas Politik
Menurut sejarawan dan ahli peradaban Maroko, sistem pemerintahan Idrisiyyah dianggap sebagai jenis pemerintahan yang paling mirip dengan kepemimpinan Imam dalam Islam.[16] Berdasarkan laporan ini, mereka tidak menekan rakyat dengan kekuatan militer yang represif atau tipu daya; sebaliknya, popularitas mereka di kalangan rakyat disebabkan oleh kecakapan mereka serta hubungan kekerabatan mereka dengan Nabi Islam saw. Dalam struktur politik Idrisiyyah, kekuasaan tidak terpusat pada Imam, melainkan sistem politik bersifat musyawarah di mana para tokoh dan sesepuh kabilah memiliki peran dalam pengambilan keputusan pemerintah, sehingga rakyat merasa terlibat dalam pemerintahan. Hubungan yang baik ini dengan rakyat menyebabkan kelompok-kelompok yang menentang mereka melemah.[17]
Para sejarawan mencatat bahwa Idrisiyyah memberikan kebebasan kepada lawan-lawan politik mereka. Sebagai contoh, mereka memberikan perlindungan kepada kelompok yang berseberangan secara politik dan agama dengan mereka,[18] bahkan menunjuk beberapa di antara mereka sebagai pejabat pemerintah.[19]
Mereka tidak membebankan pajak berat kepada rakyat, tidak memiliki istana megah dan tidak hidup dalam kemewahan dan kesenangan. Mereka bahkan mencopot individu yang melakukan penyimpangan dari posisi mereka atas desakan rakyat.[20]
Meskipun pemerintahan Idrisiyyah memiliki kekuatan spiritual dan maknawi yang kuat serta dihormati di kalangan rakyat, namun mereka tidak memiliki kekuatan politik dan militer yang luar biasa[21] serta mengalami kelemahan administratif. Kelemahan-kelemahan ini menjadi celah bagi kekalahan mereka di tangan musuh-musuhnya.[22]
Perbedaan Pendapat Mazhab Dinasti Idrisiyyah
Tentang mazhab Idrisiyyah, terdapat sedikit catatan sejarah yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan sejarawan.[23] Beberapa orang menganggap Idris bin Abdullah, pendiri Dinasti Idrisiyyah sebagai seorang Syiah[24] dan menyebut pemerintahan Idrisiyyah sebagai pemerintahan Syiah.[25] Di sisi lain, beberapa orang menolak kemungkinan ini.[26]
Ada juga pandangan bahwa awalnya Idrisiyyah adalah penganut Syiah dan setelah tersebarnya mazhab Maliki di Maroko, mereka beralih menjadi Sunni.[27] Tetapi, penting untuk dicatat bahwa keturunan Idrisiyyah saat ini adalah penganut Sunni.
Sebagian pendapat menyebutkan bahwa Idrisiyyah dianggap sebagai Zaidiyah,[28] Ismailiyah[29] atau Syiah Dua Belas Imam.[30] Selain itu, kesyiahan Dinasti Idrisiyyah dianggap sebagai Syiah yang moderat dan lemah yang lebih bersifat politis daripada keyakinan keagamaan.[31]
Argumentasi Kesyiahan Dinasti Idrisiyyah Beberapa bukti yang digunakan untuk mendukung klaim bahwa Idrisiyyah adalah penganut Syiah antara lain adalah sebagai berikut: khutbah-khutbah Idris yang disebut-sebut berisi pernyataan tentang hak Ahlulbait as atas kekhalifahan, uang koin peninggalan dari masa pemerintahan Idrisiyyah yang yang tercetak nama Imam Ali as dan kalimat علیٌ خیرُ النّاس بعدَ النَّبی (Ali adalah sebaik-baiknya manusia setelah Nabi”; pernyataan dari tokoh-tokoh seperti Asy’ari dan Ibnu Khaldun tentang kesyiahan dinasti Idrisiyyah serta pengakuan penguasa Idrisiyyah terkait keSyiahan mereka.[32]
Dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Idrisiyyah, Maroko tidak memiliki kesiapan untuk menyebarkan Syiah dan mereka tidak berupaya untuk mengajak orang-orang menjadi penganut Syiah. Jika ada upaya yang dilakukan, efeknya akan hilang pada periode-periode setelahnya. Sebagai gantinya, mereka lebih fokus untuk melawan Khawarij, menyebarkan kecintaan kepada Ahlulbait as dan juga menyebarkan Islam di kalangan umat Kristen.[33]
Kejayaan dan Kejatuhan Dinasti Idrisiyyah
Titik awal berdirinya pemerintahan Idrisiyyah adalah migrasi Idris bin Abdullah ke Maroko. Ia adalah seorang yang selamat dari peristiwa Fakh,[34] secara sembunyi-sembunyi berangkat dengan berperan sebagai budak bernama Rasyid yang sebenarnya adalah budaknya sendiri,[35] bersama dengan sebuah karavan perdagangan dari Madinah ke Mesir dan kemudian menuju Maroko.[36] Rasyid diyakini memiliki peran penting dalam pendirian dan penguatan negara Alawi Idrisiyyah.[37]
Beberapa orang meyakini bahwa Idris melakukan perjalanan tanpa rencana sebelumnya dan hanya untuk melarikan diri dari kejaran Abbasiyah serta memilih Maroko karena budaknya berasal dari suku Barbar (atau Berber sebutan untuk orang Afrika utara) dan penduduk asli Afrika; Tetapi ada juga yang meyakini bahwa perjalanan Idris telah direncanakan sebelumnya dan merupakan bagian dari rangkaian peristiwa yang terjadi.[38] Dikatakan bahwa keberadaan saudara-saudara Idris di Afrika, terutama di Tlemcen, menyiapkan persiapan untuk perjalanannya dan bahkan disebutkan bahwa ini bukanlah perjalanan pertama Idris ke Maroko. Disebutkan juga bahwa ia pergi ke sana dalam misi dakwah dari kelompok Halwani dan Sufyani yang dikirim ke Maroko atas perintah Imam Ja’far Shadiq as.[39]
Setelah tinggal hampir dua tahun di Tangier tanpa hasil dalam dakwah,[40] Idris pergi ke Oualili di mana ia disambut oleh Ishak bin Muhammad kepala kabilah Uraiba. Ishak menikahkan putrinya dengan Idris, dia mengundurkan diri dari kedudukannya untuk kepentingan Idris dan mengajak rakyatnya untuk berbaiat setia kepada Idris. Setelah suku Uraiba, beberapa suku lain juga berbaiat setia kepada Idris[41] dan dengan demikian pada tahun 172 H dengan sumpah setia suku Barbar, pemerintahan Idrisiyah terbentuk.[42] Pemerintahan ini berlangsung selama 375 tahun dengan kenaikan dan penurunan dan akhirnya dalam perseteruan dengan Umayyah Andalusia dan Fatimiyyah mengalami keruntuhan.[43]
Periode-periode Sejarah Dinasti Idrisiyyah
Sejarah pemerintahan Idrisiyah dibagi menjadi dua periode: Periode pertama adalah zaman kejayaan dan pemerintahan, sedangkan periode kedua adalah masa penyebaran dan upaya-upaya yang tidak berhasil untuk mendapatkan kembali kekuasaan, yang akhirnya berakhir dengan keruntuhan.[44]
Yahya IV, sultan Idrisiyah yang paling kuat, secara kekuatan dan luas wilayah menjadi yang paling terkemuka di antara semua penguasa Idrisiyyah, dihadapkan dengan kemunculan Fatimiyah dan serangan mereka terhadap Fez. Dia mengalami kekalahan dalam pertempuran tersebut dan tunduk di bawah kekuasaan Fatimiyah. Kepala Fez dibiarkan tetap berkuasa, tetapi harus membacakan khutbah atas nama khalifah Fatimiyah. Wilayah lain dari Idrisiyah diserahkan kepada Musa bin Abi al-Afiyah yang diangkat sebagai penguasa oleh Fatimiyah. Musa, yang juga menginginkan Fez, setelah beberapa saat menangkap Yahya dan keluarganya, kemudian menyiksa mereka, mengambil harta bendanya[45] dan mengasingkan mereka bersama keluarganya. Dengan demikian, seluruh wilayah Idrisiyah jatuh ke tangan mereka.[46]
Beberapa tahun kemudian, salah satu anggota keluarga Idrisiyyah bernama Hasan bin Muhammad Hajjam memberontak di Fez dan menguasai administrasinya serta beberapa kota di sekitarnya; Tetapi pemerintahannya tidak berlangsung lama dan bertahan selama dua tahun, Musa sekali lagi merebut Fez dan kali ini mengasingkan keluarga Idrisiyah ke benteng Hajar al-Nasr dan mengepungnya.[47]
Setelah tinggal beberapa tahun di Hajar al-Nasr, Idrisiyyah pada kesempatan yang tepat dapat membunuh komandan benteng dan keluar dari sana, mereka mengambil alih kepemimpinan suku-suku di sekitarnya;[48] Tetapi kali ini juga gagal dalam membentuk pemerintahan independen dan terpaksa tetap berkuasa dengan menerima perintah khalifah Umayyah Andalusia.[49]
Dengan perubahan dinamika politik, pemerintahan Idrisiyyah beberapa kali berpindah tangan antara Umayyah dan Fatimiyah dan akhirnya pada tahun 375 H dengan terbunuhnya penguasa Idrisiyyah saat itu oleh Umayyah Andalusia, pemerintahan Idrisiyah pun runtuh.
Dikatakan tiga puluh tahun kemudian, seorang dari keturunan Idrisiyyah bernama Ali bin Hammud berhasil menggulingkan pemerintahan Umayyah Andalusia dan mendirikan pemerintahan baru dengan nama Pemerintahan Bani Hammud di Andalusia.[50] Selain itu, pada paruh pertama abad ke-14 H, seorang anggota Idrisiyyah mendirikan sebuah pemerintahan di wilayah-wilayah terbatas di Semenanjung Arab dan menghidupkan kembali nama pemerintahan Idrisiyyah.[51]
Penguasa-penguasa Idrisiyah
Idris bin Abdullah bin Hasan Mutsanna, salah seorang keturunan Imam Hasan Mujtaba as, adalah pendiri dan penguasa pertama dari Dinasti Idrisiyyah. Dia digambarkan sebagai pribadi yang baik, berbudi, ramah, adil, berani, dermawan dan seorang penyair.[52]
Setelah kejatuhan pemerintahan Idrisiyyah dan penaklukan pertama, Harun al-Rasyid merasa terancam dan mengirim seorang bernama Sulaiman bin Jarir, dikenal sebagai Syammakh yang konon berasal dari kalangan penganut Zaidi, untuk menghadapinya dengan tujuan menghilangkan pengaruh Idris.[53] Syammakh mendekati Idris dan mendapatkan posisi yang tinggi di sisi Idris. Dia, yang sering membicarakan keutamaan Ahlulbait as dan memprotes kepemimpinan Idris serta suatu hari meracuni Idris saat Rasyid tidak berada di tempat dan melarikan diri.[54]
Setelah Terbunuhnya Idris, tindakan bijaksana dan kecerdasan Rasyid, budaknya, menyelamatkan pemerintahan baru Idrisiyah dari kehancuran. Rasyid mengumpulkan para tokoh dan orang terkemuka dan menawarkan kepada mereka untuk menunggu hingga kelahiran anak Idris. Jika anak itu laki-laki, mereka akan bersumpah setia kepadanya; jika perempuan, mereka akan memilih satu orang dari mereka sendiri. Setelah diketahui bahwa anak Idris adalah seorang laki-laki, mereka memberinya nama ayahnya dan Rasyid bertanggung jawab atas pendidikannya, mengajarkan fikih, hadis, keterampilan perang, dan pada usia sebelas tahun, dia berbaiat setia kepadanya.[55] Idris II secara independen mengambil alih pemerintahan pada usia tujuh belas tahun.[56]
Secara keseluruhan, tiga belas penguasa dan imam Idrisiyyah memerintah, di mana sembilan di antaranya terkait dengan periode pertama dan empat di antaranya adalah penguasa periode kedua yang membayar upeti kepada Fatimiyyah atau Umawiyyah:[57] 1. Idris I 2. Idris II 3. Muhammad bin Idris (Al-Muntashir) 4. Ali bin Muhammad bin Idris 5. Yahya (Pertama) bin Muhammad 6. Yahya (Kedua) bin Yahya 7. Ali bin Umar bin Idris 8. Yahya (Ketiga) Al-Muqaddam 9. Yahya (Keempat) 10. Hasan al-Hajjam 11. Qasim bin Muhammad 12. Abu al-‘Aisy Ahmad bin Qasim 13. Hasan bin Qasim Gunun
Hubungan Politik Dinasti Idrisiyah
Khawarij adalah salah satu negara tetangga dari Idrisiyyah yang memiliki hubungan bersitegang dengan mereka karena alasan kepercayaan dan politik. Idris II bersikap keras terhadap Khawarij dan anaknya juga memiliki hubungan yang rumit dengan mereka.[58] Perselisihan antara Khawarij dan Idrisiyyah berlanjut hingga akhir periode pertama pemerintahan Idrisiyyah dan pada kesempatan lainnya, selama masa pemerintahan Ali bin Umar bin Idris, sebagian ibu kota Idrisiyyah jatuh ke tangan Khawarij.[59]
Hubungan Dinasti Idrisiyyah dengan tetangganya Umayyah juga didasarkan pada permusuhan. Meskipun pada masa pemerintahan Abu al-‘Aisy Ahmad bin Qasim, salah satu penguasa Idrisiyyah dari periode kedua, mereka termasuk dalam lingkaran teman Umayyah.[60]
Sebagian besar tetangga dari pemerintahan Idrisiyyah, meskipun terkadang memberikan dukungan kepada Umayyah, menjadi faktor tekanan bagi kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah terhadap Idrisiyyah.[61] Dinasti Fatimiyah juga memiliki kebijakan dua sisi terhadap Idrisiyah dan akhirnya menaklukkan wilayah Dinasti Idrisiyyah dan menjadikan mereka sebagai pembayar upeti.[62]
Dinukilkan bahwa pemerintahahan Idrisiyyah mengirimkan duta besar ke istana Charlemagne.[63]
Wilayah Idrisiyyah
Idrisiyah memerintah di ujung barat Maroko yang mencakup wilayah-wilayah dari dua negara saat ini, yaitu Maroko dan Aljazair.[64]
Pemerintahan Idrisiyah pada periode awal, dimana memiliki kekuatan dan kemandirian, berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dari utara hingga Wahran dan Tlemcen;[65] juga ke arah selatan hingga ujung selatan Sus.[66] Sungai Maulawiyah diidentifikasi sebagai batas timur kekuasaan mereka.[67]
Pada periode awal pemerintahan Idrisiyyah, kota Fez yang didirikan atas perintah Idris II menjadi ibu kota Idrisiyyah.[68] Pada periode kedua, kekuasaan Idrisiyyah tidak melampaui beberapa kota termasuk Basrah (sebuah kota di ujung barat, di antara Tangier dan Fez[69]), Ashilah, dan Hajar al-Nasr.[70]
Tokoh-tokoh Idrisiyyah Sepanjang Sejarah
Idrisiyyah yang dikenal sebagai bangsawan yang dihormati oleh masyarakat Maroko.[71] Bangsawan Juthi, Masyisyi, Alami dan Wazani termasuk di antara keluarga-keluarga Idrisiyyah yang terkenal dan masih ada hingga saat ini.[72]
Sepanjang sejarah, di antara keluarga Idrisiyyah terdapat individu berpengaruh dan terkenal yang memberikan kontribusi dalam berbagai bidang seperti ilmiah, budaya, politik dan lain-lain. Syarif Idrisi, Abdul Qadir Jazairi, Muhammad bin Ali al-Alawi dan Saudara-saudara Ghimari adalah beberapa tokoh terkenal dari keluarga Idrisiyyah.
Syarif Idrisi
Muhammad bin Muhammad Idrisi, dikenal sebagai Syarif Idrisi adalah seorang ahli geografi abad ke-5 dan ke-6 Hijriah, keturunan dari Bani Hammud Andalusia dan juga keturunan dari keluarga Idrisiyyah.[73] NASA telah menamai sebuah wilayah di planet Pluto dengan namanya.[74] Dia juga dikenal sebagai dokter, ahli farmasi dan seorang penyair yang berbakat, karyanya yang berjudul “Nuzhah al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq” diakui sebagai karya penting dalam bidang geografi.[75]
Dia membuat model miniatur Bumi yang berbentuk bulat dari perak yang kini tidak ada; Tetapi peta-peta yang ia buat masih ada dan diterbitkan oleh seorang penelaah Jerman bernama Konrad Miller pada tahun 1997 M..[76]
Saudara-saudara Ghimari
Ahmad, Abdul Aziz dan Abdullah Ghimari adalah ulama ahli hadis terkemuka dari kalangan Ahlusunah dalam beberapa abad terakhir[77] dan bersebrangan dari Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab,[78] mereka berasal dari keluarga Idrisiyyah.[79]
Muhammad bin Alawi al-Alawi: Seorang fukaha Maliki pada abad ke-15 Hijriah dan merupakan kritikus terhadap Wahabisme.[80]
Muhammad bin Ali Idrisi: Salah satu anggota keluarga Idrisiyyah yang berhasil mendirikan pemerintahan pada abad ke-14 Hijriah di beberapa bagian Semenanjung Arab yang dikenal sebagai Pemerintahan Idrisiyyah.[81] Pemerintahan ini menduduki wilayah Sabya, Tihamah, ‘Asir dan Jazan sejak tahun 1327 Hijriah dan runtuh pada tahun 1351 Hijriah dalam serangan oleh keluarga Al-Saud.[82]
Catatan Kaki
1. Dzakavat, Taammul dar Maurid-e Cegunegi-e Syiklgiri-e Hukumat-e Idrisiyyan, hlm. 97.
2. Dzakavat, Taammul dar Maurid-e Cegunegi-e Syiklgiri-e Hukumat-e Idrisiyyan, hlm. 97.
3. Aban Gah, Mazhab-e Idrisiyan, hlm. 86.
4. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 392 .
5. Saihi, al-Hadharah al-Islamiah fi al-Maghrib, hlm. 150.
6. Qadimitarin Muaseseh Āmuzesy-e ‘Āli, site guinnessworldrecords.com.
7. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 363 .
8. Salawi, al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 224.
9. Saihi, al-Hadharah al-Islamiah fi al-Maghrib, hlm. 153.
10. Sa’dun, Tarikh al-Arab al-Siyasi fi al-Maghrib min al-Fath al-Arabi Hatta Suquth Gharnathah, dikutip dari Danesh Kiya (Gerayesh Mazhabi Idrisiyyan), hlm. 19.
11. Makki, Tasyayu’ dar Andalus, hlm. 17.
12. Alim Zadeh dan Aban Gah, Mazhab-e Idrisiyan, hlm. 84.
13. Saihi, al-Hadharah al-Islamiah fi al-Maghrib, hlm. 161.
14. Saihi, al-Hadharah al-Islamiah fi al-Maghrib, hlm. 161.
15. Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, jld. 4, hlm. 20.
16. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 374-377 .
17. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 377-380 .
18. Guennoun, al-Nubugh al-Maghrib fi al-Adab al-Arab, jld. 1, hlm. 46.
19. Alim Zadeh dan Aban Gah, Mazhab-e Idrisiyan, hlm. 86.
20. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 377-380 .
21. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 377-380 .
22. Maili Jazairi, Tarikh al-Jazair fi al-Qadim wa al-Hadits, jld. 2, hlm. 112.
23. Alim Zadeh dan Aban Gah, Mazhab-e Idrisiyan, hlm. 73.
24. Zabib, Daulah al-Tasyayu’ fi Bilad al-Maghrib, hlm. 100.
25. Saihi, al-Hadharah al-Islamiah fi al-Maghrib, hlm. 145.
26. Alim Zadeh dan Aban Gah, Mazhab-e Idrisiyan, hlm. 73.
27. Saihi, al-Hadharah al-Islamiah fi al-Maghrib, hlm. 145.
28. Maili Jazairi, Tarikh al-Jazair fi al-Qadim wa al-Hadits, jld. 2, hlm. 97; Ja’fariyan, ath;as Syiah, hlm. 549.
29. Muqaddasi, Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifah al-Aqalim, jld. 1, hlm. 341.
30. Danesh Kiya, Gerayesh Mazhabi Idrisiyyan, no. 400, hlm. 87.
31. Ja’fariyan, Athlas Syiah, hlm. 549.
32. Danesh Kiya, Gerayesh Mazhabi Idrisiyyan, hlm. 86-87.
33. Danesh Kiya, Gerayesh Mazhabi Idrisiyyan, hlm. 91.
34. Muqaddasi, Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifah al-Aqalim, jld. 1, hlm. 243.
35. Senussi, al-Durar al-Sanniyah fi Akhbar al-Salasilah al-Idrisiyah, hlm. 44.
36. Dzakavat, Taammul dar Maurid-e Cegunegi-e Syiklgiri-e Hukumat-e Idrisiyyan, hlm. 97.
37. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 353 .
38. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 348 .
39. Zabib, Daulah al-Tasyayu’ fi Bilad al-Maghrib, hlm. 8.
40. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 353 .
41. Salawi,al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 208-216.
42. Ibnu ‘Idzari, al-Bayan al-Maghrib fi Akhbar al-Andalus wa al-Maghrib, jld. 1, hlm. 83.
43. Salawi,al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 261.
44. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 366.
45. Salawi, al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 239.
46. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 365-366 .
47. Salawi, al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 240-242.
48. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 366-367.
49. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 371.
50. Salawi, al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 255-261.
51. Al-Idrisi, Muhammad bin Ali al-Idrisi, site mawdoo3.com.
52. Isfahani, Maqatil al-Thalibin, hlm. 409; Ibnu ‘Idzari, al-Bayan al-Maghrib fi Akhbar al-Andalus wa al-Maghrib, jld. 1, hlm. 84.
53. Senussi, al-Durar al-Sanniyah fi Akhbar al-Salasilah al-Idrisiyah, hlm. 7.
54. Salawi, al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 208-216.
55. Salawi, al-Istiqsha li Akhbar Duwal al-Maghrib al-Aqsha, jld. 1, hlm. 216-217.
56. Mu’nis, Tarikh va Tamaddun-e Maghrib, jld. 1, hlm. 356-356 .
57. Dzakavat, Taammul dar Maurid-e Cegunegi-e Syiklgiri-e Hukumat-e
Tinggalkan Balasan