Syiahpedia
MENU

Imam Hadi a.s.

Kategori: Ahlulbait

Syiahpedia.id – Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa (bahasa Arab: ابوالحسن علي بن محمد بن علي بن موسی) lebih dikenal dengan sebutan Imam Hadi as (212 H/827-254 H/868) putra dari Imam Jawad as dan Imam kesepuluh umat muslim Syiah. Ia juga dikenali dengan nama Imam Ali al-Naqi as. Ia sejak tahun 220 H/835 sampai 254 H/868 yaitu selama 34 tahun memegang jabatan keimamahan atas umat Islam Syiah.

Ia banyak menghabiskan masa keimamahannya di kota Samara Irak dan berbarengan dengan masa kekhilafaan sejumlah khalifah dari Bani Abbasiyah diantaranya khalifah Mutawakkil Abbasi. Ia dimakamkan di kota Samara, yang pada tahun 2004 kubah makamnya rusak akibat sebuah aksi peledakan yang dirusak kembali pada tahun 2005 melalui aksi peledakan dengan modus yang sama.

Imam Hadi as banyak meriwayatkan hadis mengenai akidah, tafsir Alquran, fikih dan akhlak. Ziarah Jami’ah Kabirah salah satu doa ziarah yang masyhur dikalangan Syiah menurut keyakinan yang kuat juga diriwayatkan oleh Imam al Hadi as.

Dimasa keimamahannya, ia mendidik dan mencetak banyak murid yang kemudian menjadi ahli dan pakar dalam bidang agama. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Abdul Adzhim al-Hasani, Utsman bin Sa’id, Ayyub bin Nuh, Hasan bin Rasyid dan Hasan bin Ali Nashir.

Nama, Nasab dan Lakab

Ali bin Muhammad, yang masyhur dengan Imam Hadi dan Ali al-Naqi, adalah imam kesepuluh umat Islam Syiah. Ayahnya, Imam Jawad as adalah imam kesembilan umat Islam Syiah. Ibunya bernama Samanah al-Maghribiyah [1]atau dalam riwayat lain Susan [2]

Lakab paling tersohor Imam kesepuluh Syiah adalah al-Hadi dan al-Naqi.[3] Ia diberi lakab al-Hadi karena pada masanya merupakan pemberi petunjuk masyarakat yang paling bagus kepada kebajikan.[4] Diantara lakab-lakab lain yang disebutkan untuknya adalah Murtadha, Alim, Faqih, Amin, Nashih, Mutawakkil,[catatan 1] Khalish dan Thayyib.[5]

Demikian juga umat Islam Syiah menyebut Imam Hadi as dan putranya Imam Hasan Askari as dengan “Imamain Askariyain”[6] karena mereka berdua berdomisili di satu daerah beranama Askar.[7]

Julukannya adalah Abu al-Hasan.[8] Dan dalam sumber-sumber hadis ia dijuluki dengan Abu al-Hasan al-Tsalits (ketiga)[9] supaya tidak keliru dengan Abu al-Hasan al-Awwal, yaitu Imam Kazhim as dan Abu al-Hasan al-Tsani, yaitu Imam Ridha as.[10]

Biografi

Menurut pendapat Syaikh al-Kulaini dan Syaikh Thusi, Imam Hadi as lahir pada 15 Dzulhijjah tahun 212 H/827[11] di kawasan yang bernama Sharya di dekat kota Madinah. [12] Diyakini pula bahwa beliau lahir pada 2 atau 5 Rajab di tahun yang sama[13] atau Rajab tahun 214 H dan Jumadil Akhir tahun 215 H.[14]

Ia sampai tahun 233 H/847 hidup di Madinah. Pada tahun ini, Mutawakkil menghadirkan dia ke Samara dan ditempatkan disebuah daerah dibawah pengontrolannya bernama Askar. Ia selama 23 tahun, yakni hingga akhir hayatnya menetap di daerah Askar.[butuh referensi]

Tidak banyak data dan informasi dari kehidupan Imam Hadi as, Imam Jawad as dan Imam Askari as bila dibandingkan dengan imam-imam Syiah lainnya. Menurut sebagian peneliti, diantara penyebabnya adalah umur pendek para Imam ini, terisolasinya mereka dan ketidaksyiahan para penulis buku-buku sejarah saat itu.[15]

Ukiran yang terdapat di batu cincin Imam Hadi as اللّه ربّی و هو عصمتی من خلقه‌; “Allah Tuhanku dan Dia lah pelindungku dari (kejahatan) makhluk-makhluk-Nya.”[16] Cincin lainnya berukiran kaligrafi yang bertuliskan, حفظ العهود من الخلاق المعبود; “Setia pada janji termasuk akhlak para hamba.”[17]

Keturunan

Ulama Syiah menyebut empat orang putra untuk Imam Hadi as dengan nama-nama: Hasan, Muhammad, Husain dan Ja’far.[18] Ada juga seorang putri dinisbahkan kepadanya yang menurut Syaikh Mufid bernama Aisyah[19] dan menurut Ibnu Syahrasyub bernama Illiyah.[20] Sebagian ulama Ahlusunah juga berpendapat sama, bahwa Imam Hadi as memiliki 4 putra dan seorang putri. [21]

Masa Keimamahan

Ali bin Muhammad sampai kepada maqam imamah pada tahun 220 H pada usia 7 tahun. Menurut laporan beberapa sumber, umur dini Imam Hadi as pada awal keimamahannya tidak membuat orang-orang Syiah menjadi ragu, sebab permualaan keimamahan Imam Jawad as pada usia dini menyebabkan mereka setelah itu tidak ragu lagi dalam menghadapi masalah seperti ini.[22]

Syaikh Mufid [23] menulis, orang-orang Syiah -kecuali segelintir orang- setelah imam yang kesembilan, menerima keimamahan Imam Hadi as. Segelintir orang ini meyakini keimamahan Musa bin Muhammad (W. 296 H/909) yang dikenal dengan nama Musa Mubarqa’. Namun dengan semua ini, setelah beberapa waktu mereka melepas diri dari keyakinannya itu dan bergabung dengan seluruh orang-orang Syiah.[24]

Sa’ad bin Abdullah Asy’ari menyakini bahwa kembalinya sekelompok kecil itu kepada Imam Hadi as merupakan hasil dari pelepasan diri Musa Mubarqa dari mereka.[25] Syaikh Mufid[26] dan Ibnu Syahrasyub[27] menyakini bahwa kesepakatan pandangan orang-orang Syiah akan keimamahan Imam Hadi as dan tidak adanya pengakuan keimamahan dari siapapun selain dia adalah bukti kuat atas keimamahannya.[28] Demikian pula Kulaini dan Syaikh Mufid menyebutkan dan membawa beberapa nas terkait penetapan dan pembuktian keimamahannya dalam karya-karya tulisnya.[29]

Menurut Ibnu Syahrasyub, orang-orang Syiah mengetahui keimamahan Ali bin Muhammad dari nas-nas para Imam sebelumnya, yaitu nas-nas yang dinukil oleh para rawi seperti Ismail bin Mahran, Abu Ja’far Asy’ari dan Khairani.[30]

Khalifah-Khalifah Semasa Imam Hadi as

Imam Hadi as memegang tampuk kepemimpinan orang-orang Syiah selama 33 tahun, dari tahun 220 hingga 254 H.[31] Dalam jenjang waktu ini ada beberapa orang khalifah Abbasiyah yang berkuasa; permulaan keimamahannya bersamaan dengan masa kekhilafahan Mu’tasham dan akhir keimamahannya bersamaan dengan masa kekhilafahan Mu’tazz.[butuh referensi]

Ibnu Syahrasyub percaya bahwa umur Imam Hadi as berakhir pada masa kekhilafahan Mu’tamad Abbasi.[32]

Ali bin Muhammad, imam yang kesepuluh Syiah, menjalani keimamahannya selama 7 tahun pada masa khalifah Mu’tasham Abbasi. Menurut laporan-laporan sejarah, dibandingkan dengan masa keimamahan Imam Jawad as, pada masa Imam Hadi as Mu’tasham lebih sedikit menekan orang-orang Syiah dan lebih banyak bertoleransi terhadap kaum Alawi. Perubahan sikap ini diyakaini muncul dari keadaan ekonomi yang membaik dan berkurangnya pergerakan kaum Alawi.[33] Masa keimamahan Imam kesepuluh Syiah sezaman dengan 5 tahun kekhilafahan Watsiq, 16 tahun kekhilafahan Mutawakkil, 6 bulan kekhilafahan Muntashir, 4 tahun kekhilafahan Musta’in dan 2 tahun kekhilafahan Mu’tazz.[butuh referensi]

Panggilan ke Samara

Mutawakkil Abbasi pada tahun 233 H/848 memutuskan untuk memaksa Imam Hadi as meninggalkan kota Madinah dan menetap di Samara. [butuh referensi] Ibnu Jauzi menyakini bahwa cemoohan sebagian orang kepada Imam Hadi as dan juga beberapa laporan tentang kecenderungan masyarakat kepada imam kesepuluh Syiah sebagai alasan Mutawakkil Abbasi untuk memanggil Ali bin Muhammad ke Samarra.[34]

Menurut laporan Syaikh Mufid, orang yang mengadukan Imam Hadi as kepada Mutawakkil bernama Abdullah bin Muhammad.[35] Menurut catatan Mas’udi, Buraihah Abbasi pemimpin sekelompok orang yang diangkat sang khalifah di Haramain, dalam sebuah surat kepada Mutawakkil berkata, “Jika Anda menginginkan Mekah dan Madinah, maka keluarkan Ali bin Muhammad dari sana, sebab ia mengajak orang-orang kepadanya dirinya dan telah mengumpulkan sejumlah besar disekelilingnya.”[36] Atas dasar ini, Yahya bin Hartsamah diutus Mutawakkil untuk memindahkan Imam Hadi as ke Samarra.[37] Imam Hadi as dalam sebuah surah kepada Mutawakkil menolak tentang cemoohan-cemoohan terhadap dirinya,[38] namun Mutawakkil dalam jawabannya meminta Imam dengan penuh hormat untuk bergerak menuju Samarra.[39]Kemudian mengirim surat balasan yang berisi penghormatan kepada Imam Hadi as dan memintanya untuk menuju Samara dan akan mendapatkan pengawalan khusus.[40] Syaikh Kulaini dan Syaikh Mufid menuliskan transkrip lengkap surat Mutawakkil tersebut dalam masing-masing kitabnya. [41]

Mutawakkil untuk menjemput Imam Hadi as di kota Madinah dan membawanya ke Samara merancang skenario sedemikian rupa agar masyarakat tidak menaruh curiga dan merestui kepergian sang Imam. Imampun terpaksa memenuhi permintaan Mutawakkil, dan menuju Samara beserta rombongan penjemput yang diutus Mutawakkil. Sejak kepergian Imam Hadi as, umat Syiah sadar dan mengetahui secara pasti, skenario dibalik penjemputan tersebut.

Ibnu Jauzi meriwayatkan dari Yahya bin Hartsamah bahwa penduduk Madinah sangat larut dalam kesedihan dan kebingungan serta menunjukkan reaksi-reaksi yang yang tidak mereka harapkan. Perlahan-lahan kesedihan mereka sampai pada suatu batas dimana mereka menjerit dan menangis, dan tidak pernah sebelumnya kota Madinah terlihat dalam keadaan seperti itu.[42]

Imam Hadi as ketika memasuki Kazhimain disambut hangat oleh masyarakat setempat dan menetap di rumah Khuzaimah bin Hazim dan dari sana beliau dibawa ke Samarra.[43] Syaikh Mufid mengatakan, di hari pertama dimana Imam memasuki kota Samarra, Mutawakkil memerintahkan agar ia ditempatkan sehari di Khan Sha’alik (tempat berhentinya para musafir) dan keesokan harinya ia dibawa ke rumah yang telah disiapkan untuknya.[44]

Menurut Shaleh bin Said, perbuatan ini dilakukan dengan niat merendahkan Imam Hadi as.[45] Syaikh Mufid percaya bahwa Imam Hadi as secara lahiriah mendapat perhormatan dari Mutawakkil, tetapi ia membuat konspirasi untuknya.[46] Mutawakkil hendak menunjukkan Imam berperan sebagai salah seorang dari pelayan istana sehingga keagungan dan kewibawaannya berkurang dimata masyarakat.[47] Berdasarkan laporan yang diberikan kepada Mutawakkil bahwa di rumah Imam terdapat pelaratan-peralatan perang dan beberapa surat dari para pengikutnya, Mutawakkil memerintahkan sejumlah prajurit menyerang rumah Imam secara mendadak. Tatkala mereka memasuki rumah Imam, mereka mendapatkan Imam di satu kamar sedang melantunkan ayat-ayat Alquran. Akhirnya Imam dibawa ke sisi Mutawakkil. Ketika Imam masuk di mejelis Mutawakkil, ia sedang memegang cankir arak dan mempersilakan Imam duduk disampingnya serta menawarkan minuman arak tersebut. Imam meminta maaf seraya berkata: “Darah-dagingku tidak pernah terlumuri oleh minuman arak”. Tatkala itu Mutawakkil meminta Imam untuk membacakan syair yang membuatnya gembira. Imam berkata: “Saya akan membaca syair sedikit”. Namun Mutawakkil memaksanya supaya membacakan beberapa syair.[48] Syair-syair Imam itu mempengaruhi Mutawakkil dan orang lain dimana wajah Mutawakkil sampai basah lantaran banyak menangis dan memerintahkan supaya sufrah minuman arak itu disingkirkan. Kemudian ia memerintahkan agar Imam dipulangkan ke rumahnya dengan penuh penghormatan.[49]

Beberapa penulis mencatat alasan-alasan sikap marah Mutawakil kepada Imam Hadi as sebagai berikut:

Mutawakil ditinjau dari kaca mata teologis cenderung kepada pemikiran ahli hadis yang mana mereka anti Mu’tazilah dan Syiah. Ahli hadis mendorong Mutawakkil untuk benci Syiah dan hasilnya adalah Syiah mendapatkan serangan keras.

Mutawakkil mengkhawatirkan satus sosialnya dan merasa takut dari hubungan masyarakat dengan para Imam Syiah. Oleh karena itu ia berupaya keras memutus hubungan ini. Dalam hal ini Mutawakkil merusak pusara Imam Husain as, meratakan tanah daerah tersebut, mempersulit para peziarah Imam Husain dan menjalankan hukum yang mengerikan.[50]

Pasca kekuasaan Mutawakkil, kekhalifaan jatuh ditangan putranya yang bernama Muntashir. Pada periode ini, tekanan pemerintah kepada kelurga Alawi termasuk Imam Hadi as mulai berkurang.[51]

Sikap Imam Hadi as Kepada Syiah Ghulat

Pada periode keimamahan Imam Hadi as, Syiah Ghulat masih aktif. Mereka memperkenalkan diri mereka sebagai sahabat-sahabat dan kerabat-kerabat Imam dan menyandarkan beberapa persoalan kepada para Imam termasuk Imam Hadi as. Berdasarkan surat Ahmad bin Muhammad bin Isa kepada Imam Hadi as, hati-hati merasa jijik dari mendengarkan persoalan-persoalan tersebut, dan dari sisi lain karena dinisbatkan kepada para Imam, maka mereka tidak berani untuk mengingkari dan menolaknya. Misalnya, mereka meyakini bahwa maksud dari “fakhsya'” dan “munkar” dalam ayat إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ‌ [52] adalah mengisyaratkan kepada seseorang yang bukan ahli ruku dan sujud. Dan, maksud dari “zakat” adalah pribadi tertentu dan bukan membayarkan harta. Demikian juga mereka mentakwil sebagian hal-hal yang wajib dan haram. Imam Hadi as dalam menjawab Ahmad bin Muhammad menulis, “Takwilan-takwilan semacam ini bukan dari agama kami, maka menjauhlah kalian darinya”.[53] Fath bin Yazid Jurjani percaya bahwa makan dan minum tidak sesuai dengan kedudukan imamah dan para Imam tidak butuh kepada makan dan minum. Imam Hadi as dalam menjawabnya berdalih dengan makan dan minumnya para Nabi dan berjalannya mereka di pasar seraya bersabda: “Setiap badan memiliki sifat demikian kecuali Tuhan yang membadankan badan”.[54]

Imam kesepuluh Syiah dalam menjawab surat Sahl bin Ziyad yang mengabarkan tentang keghuluan Ali bin Haskah, menolak kecintaan dan keterikatan Ali bin Haskah kepada Ahlulbait, membatilkan ucapan-ucapannya dan meminta para pengikutnya untuk menjauhi dia serta mengeluarkan hukum pembunuhannya. Berdasarkan surat ini, Ali bin Haskah meyakini ketuhanan (uluhiyah) Imam Hadi as dan memperkenalkan dirinya sebagai pintu ilmu dan utusan Imam.[55] Imam Hadi as melaknat Syiah-syiah Ghulat seperti Muhammad bin Nashir Namiri[catatan 2] , ketua kelompok Nashiriyah,[56] Hasan bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan Ibnu Baba dan Faris bin Hatim Qazwini.[57] Imam as dalam sebuah surat berlepas diri dari Ibnu Baba Qummi seraya berucap: “Dia mengira aku mengutus dia dan dia menjadi pintuku. Setan telah menyesatkannya.”[58]

Imam Hadi as meminta para Syiahnya untuk mengingkari Faris bin Hatim dan dalam perbedaan yang terjadi diantara dia dan Ali bin Ja’far Alhamani untuk berpihak kepada Ali bin Ja’far dan menolak Ibnu Hatim. Beliau juga memerintahkan kepada siapapun Syiahnya yang mampu untuk membunuhnya, bahkan memberikan jaminan kebahagiaan ukhrawi dan surga bagi yang bisa melakukannya.[59] Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Syiah mengenai Ibnu Hatim, beliau menyatakan lepas diri darinya. Ja’farian, sejarwan kontemporer, berkata, ‘Banyaknya riwayat mengenai Ibnu Hatim dalam Rijal Kasysyi menunjukkan adanya bahanya besar darinya yang mengancam Syiah.'[60]

Sosok lain ghulat yang menganggap dirinya sebagai sahabat Imam Hadi as adalah Ahmad bin Muhammad Sayyari,[61] yang diyakini oleh mayoritas pakar rijal sebagai ghulat dan berakidah rusak.[62] Buku al-Qiraat miliknya termasuk dari referensi-referensi asli riwayat yang dijadikan sandaran oleh beberapa orang untuk membuktikan tahrif Alquran.[63]

tokoh lain ghulat di era ini adalah Husain bin Ubaidillah Muharrar yang dikeluarkan dari Qom karena tertuduh ghulat.[64] Imam Hadi as dalam sebuah surat yang dinukil oleh Ibnu Syu’bah al-Harrani menekankan tentang keotentikan Alquran dan menjadikannya sebagai barometer untuk mengidentifikasi riwayat-riwayat yang shahih dari yang tidak shahih serta secara resmi memperkanelkan Alquran sebagai satu satunya matan yang dijadikan sandaran oleh semua kelompok Islam.[butuh referensi]. Beliau juga bersandar kepada Alquran dalam masalah-masalah kontroversial.[65]

Abbas bin Shadaqah, Abul Abbas Tharnani (Thabrani) dan Abu Abdullah Kindi yang terkenal dengan Syah Rais adalah tokoh-tokoh lain ghulat pada periode ini.[66] Imam Hadi as as membela orang-orang Syiah yang secara keliru dituduh ghulat dan tatkala warga Qom mengeluarkan Muhammad bin Urmah dari Qom dengan tuduhan ghulat, Imam kesepuluh Syiah mengeluarkan surat kepada penduduk Qom sebagai pemebelaannya kepada Muhammad bin Urmah dan membersihkan dia dari tuduhan ghulat.[67].

Hubungan Imam as Dengan Umat Syiah

Imam Hadi as menjalin hubungan dengan para Syiahnya di berbagai wilayah melalui Lembaga Perwakilan yang dibentuknya, sebagaimana yang juga dilakukan imam-imam sebelumnya. Mayoritas pecinta dan pendukung Imam Hadi as bermukim di Iran kala itu.

Imam Hadi as menjalin hubungan dengan Syiahnya yang tersebar di Irak, Yaman, Mesir dan negeri-negeri Islam yang lain. Lembaga perwakilan yang dibentuk Imam Hadi as lah yang memperkuat dan memperlancar hubungan antara Imam Hadi as dengan para Syiahnya. Para wakil tersebut bertugas untuk mengumpulkan khumus dan mengirimkannya kepada Imam as. Wakil-wakil Imam tersebut juga membantu persoalan yang dihadapi umat Syiah di negeri mereka berada, seperti isu-isu kalam dan persoalan fikih.

Para wakil tersebut menjalin hubungan dengan Imam melalui surat yang diantar oleh kurir yang bisa dipercaya. Yang kemudian menyampaikan kepada umat Syiah ditempat mereka berada mengenai ilmu-ilmu Islam, baik kalam maupun persoalan fikih. Ali bin Ja’far salah seorang wakil Imam Hadi as yang bermukim di Haminiyah salah satu desa di Baghdad. Oleh mata-mata kerajaan, aktivitas dan keberadaannya dilaporkan kepada Mutawakkil yang kemudian memerintahkan agar ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Setelah mendapat hukuman pemenjaraan sekian lama, iapun dibebaskan, dan Imam Hadi as memerintahkan agar ia ke Mekah dan iapun menetap di kota tersebut sampai akhir usianya. [68]

Hasan bin Abdurrabbah, salah seorang wakil Imam yang lain, yang pasca wafatnya digantikan oleh Abu Ali bin Rasyid yang ditunjuk langsung oleh Imam Hadi as sendiri yang memberinya tugas sebagai wakil pengganti. Dinukil dari Kassyi yang menyebutkan Ismail bin Ishaq Naisyaburi memberi kesaksian bahwa Ahmad bin Ishaq ar-Razi adalah juga salah seorang wakil Imam Hadi as yang lain. [69]

Imam Hadi as dan Komunitas Syiah Iran

Mayoritas Muslim Syiah pada kurun awal adalah penduduk Kufah. Sehingga jika ada seorang tokoh yang diberi gelar Kufi, adalah untuk menunjukkan bahwa ia adalah orang Syiah. Sementara di masa Imam Baqir as dan Imam Shadiq as, lakab Qummi dibelakang nama seseorang menunjukkan ia adalah salah seorang sahabat Aimmah as. Pada masa Imam Hadi as, Qom menjadi kota terpenting bagi umat muslim Syiah di Iran dan memiliki hubungan yang intens dengan Imam Hadi as. Jika di Kufah pada masa Imam Hadi as menjadi kota tempat bermunculan dan berkembangnya paham-paham yang menyimpang dan ghuluw yang mengatasnamakan Syiah maka Qom menjadi pusat penyebaran ajaran Ahlulbait as yang menentang kelompok Syiah Ghulat tersebut dan memberikan konfirmasi atas ajaran Ahlulbait as yang semestinya. Disamping kota Qom, kota Aba, Awa dan Kasyan adalah juga menjadi kota-kota pendidikan dan penyebaran Mazhab Syiah, Hal ini diketahui dari penggalan riwayat yang menyebutkan nama Muhammad bin Ali Kasyani pada bab tauhid yang mengajukan pertanyaan kepada Imam Hadi as. [70]

Dimasa Imam Hadi as kota Qom juga menjadi sumber finansial bagi kebutuhan-kebutuhan dakwah dan kebutuhan umat Syiah secara umum. Muhammad bin Dawud al-Qomi dan Muhammad Thalhi disebutkan sebagai sosok penting yang menjadikan Qom sebagai kota pengumpul khumus terbesar. Keduanya juga berperan besar dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dan permintaan bimbingan dari masyarakat Qom kepada Imam Hadi as. [71]

Mendapat penegasan dan anjuran dari Imam Hadi as untuk menziarahi makam Imam Ridha as di kota Masyhad, warga Qom dan Awa pun rajin melakukan ziarah ke makam suci Imam tersebut. [72] Hal ini menjadi perekat jalinan emosional antara Syiah Qom dengan Aimmah as, termasuk juga Syiah di kota-kota lain di Iran. Meskipun pada masa itu, tetap kebanyakan dari kota-kota di Iran yang dikarenakan berada di bawah pengaruh dari Dinasti Umayyah dan Abbasiyah adalah termasuk sebagai kota-kota yang bermayoritas bermazhab Sunni dan Syiah menjadi warga minoritas.

Abu Maqatil Dailami salah seorang sahabat Imam Hadi as, menulis kitab-kitab hadis dan kalam mengenai masalah Imamah. [73] Kota Dailam, sekarang dibagian timur Ghilan di penghujung akhir kurun kedua Hijriah merupakan salah satu kota pemukiman umat Syiah terbesar. Mereka yang menetap di Irak dan berasal dari Dailami bisa dipastikan bahwa mereka penganut Syiah.

Dari lakab yang digunakan sahabat-sahabat Imam Hadi as maka dapat dikenali asal negeri mereka sehingga diketahui pula bahwa di kota tersebut terdapat komunitas Syiah. Seperti misalnya, Basyar bin Basyār an-Naisyaburi, Fath bin Yazid Jurjani, Ahmad bin Ishaq ar-Razi, Husain bin Sa’id Ahwazi, Hamadan bin Ishak Khurasani dan Ali bin Ibrahim al-Thaliqani. Dari nama-nama sahabat Imam Hadi as tersebut diketahui bahwa ajaran mazhab Ahlulbait as kala itu tersebar dihampir semua kota di Iran. Khusus kota Jurjan dan Naisyabur sejak abad keempat Hijriah menjadi diantara kota keilmuan dan pusat penyebaran Syiah. Diriwayatkan bahwa sahabat-sahabat Imam Hadi as juga ada yang berasal dari Qazwin. [74]

Di kota Isfahan meskipun saat itu mayoritas penduduknya Sunni bermazhab Hanbali namun juga terdapat komunitas Syiah dan sejumlah ulama Syiah, diantaranya adalah Ibrahim bin Syaibah Isfahani, walaupun sebenarnya ia asli dari Kasyan, namun karena telah lama menetap di Isfahan maka gelar Isfahani pun melekat padanya. Sebaliknya, sahabat Imam Hadi as lainnya, yaitu Ali bin Muhammad Kasyani meski gelarnya Kasyani namun ia berasal dari Isfahan. [75]

Diriwayatkan bahwa Abdurrahman adalah salah seorang sahabat Imam Hadi as yang berasal dari Isfahan. Ia bertemu dengan Imam Hadi as di Samara dan tertarik dengan ajaran-ajaran yang disampaikan keturunan Nabi Muhammad saw tersebut, yang kemudian sekembalinya ke Isfahan ia menjadi penyebar mazhab Syiah dan menyampaikannya kepada masyarakat setempat. [76] Riwayat lain menyebutnya bahwa Imam Hadi as pernah menulis surat yang ditujukan kepada wakilnya di Hamedan, yang menunjukkan komunitas Syiah juga terdapat di kota tersebut. [77]

Pengenalan Ma’arif Islam

Orisinalitas Alquran dalam Pandanngan Imam Hadi as

Diantara penyimpangan mendasar komunitas Syiah Ghulat yang menjadi penyebab meruncingnya hubungan Syiah dengan mazhab Islam lainnya, adalah adanya keyakinan akan perubahan yang terjadi dalam Alquran. Bahwa Alquran di sisi umat Islam sudah tidak orisinil lagi, dan telah terjadi penyimpangan dan perubahan didalamnya. Dalam kitab-kitab Ahlusunah sendiri terdapat sejumlah riwayat yang mengindikasikan pembenaran telah terjadinya perubahan di dalam Alquran. Dalam menghadapi penyimpangan akidah tersebut, Imam-imam Syiah, khususnya Imam Hadi as sendiri telah memberikan bantahan-bantahan dan dalil-dalil yang kuat mengenai kebatilan pandangan tersebut. Imam Hadi as memiliki risalah yang secara terperinci menegaskan akan orisinalitas Alquran yang diriwayatkan oleh Ibn Syu’ba Harrani. Ia menyebutkan bahwa keutuhan Alquran menjadi tolok ukur kebenaran atau tidaknya sebuah hadis yang mengatasnamakan Nabi saw atau Maksumin as. Alquran pun dalam penjelasan Imam Hadi as adalah satu-satunya kitab yang diterima oleh semua kelompok Islam, sehingga apa yang terkandung didalam Alquran bisa menjadi penyelesai masalah jika terjadi perbedaan pandangan di tengah-tengah umat Islam. [78]

Diriwayatkan oleh ‘Ayyasyi yang berkata, “Abu Ja’far dan Abu Abdillah as pernah berkata, tidak bersumber dari kami, kecuali apa-apa yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” [79]

Imam Hadi as dan Masalah Alquran sebagai Makhluk

Salah satu persoalan pelik yang menimpa dunia Islam Sunni diawal kurun ketiga yang menyebabkan munculnya berbagai kelompok adalah perbedaan pendapat mengenai Huduts dan Qidamnya Alquran, menyoal apakah Alquran itu makhluk atau bukan. Umat Syiah dengan petunjuk Aimmah as dalam perdebatan ini diminta diam dan tidak turut campur. Dalam salah satu surat yang ditujukan kepada salah seorang Syiahnya, Imam Hadi as memerintahkan agar dalam masalah ini jangan mengeluarkan pendapat apapun dan jangan berpihak pada satupun pandangan, baik itu pendapat yang menyebutkan Alquran itu makhluk atau yang menyebutnya bukan makhluk. [80]

Perintah Imam Hadi as tersebut atas pengikutnya, agar mereka tidak terjebak pada perselisihan antara kelompok Ahlusunah yang dapat menimbulkan kerugian pada mereka.

Ilmu Kalam

Perbedaan pendapat yang muncul ditengah-tengah komunitas Syiah, menyulitkan langkah dakwah Ahlulbait as. Umat Syiah disejumlah wilayah terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Terlebih lagi, permusuhan dari kelompok diluar Syiah, merupakan faktor-faktor penyebab melemahnya umat Syiah. Diriwayatkan perselisihan dikalangan Syiah meruncing dengan terbentuknya kelompok-kelompok yang menisbatkan diri dengan sahabat-sahabat Imam Shadiq as, seperti Zurarah bin A’yan, Ammar Shabathi dan Ibnu Abi Ya’fur dengan menamakan kelompok mereka dengan sebutan Zurariyah, Ammariyah dan Ya’furiyah. [81]

Kehadiran Aimmah as menjadi penengah dikalangan Syiah atas berbagai ikhtilaf yang terdapat diantara mereka, dengan memberikan jawaban atas syubhat-syubhat yang muncul. Diantara perbedaan pendapat yang sering muncul adalah dalam bahasan kalam, seperti mengenai Tasybih dan Tanzih. Ketika kedua perbedaan pendapat tersebut muncul, Aimmah as menegaskan akan kebenaran tanzih. Perbedaan pendapat antara Hisyam bin Hakam dan Hisyam bin Salim dalam masalah Tasybih dan Tanzih menyebabkan merebaknya perselisihan dikalangan Syiah, sehingga Aimmah as pun turun tangan untuk menyelesaikan dengan memberikan jawaban-jawaban dan pendapat-pendapatnya. Dalam masalah ini lebih dari 21 riwayat yang secara detail dan terperinci yang dinukilkan dari Imam Hadi as yang memberikan ketegasan dan penekanan akan masalah tanzih. [82]

Masalah akidah Syiah berkenaan dengan Jabr dan Ikhtiyar, juga mendapat penjelasan terperinci dari Imam Hadi as. Berdasarkan ayat Alquran dan syarah (penjelasan) dari hadis “لا جبر و لا تفویض بل امر بین الأمرین‌” yang dinukil dari Imam Shadiq as, Imam Hadi as memberi penjelasan dan pendapat mengenai keyakinan mazhab Syiah akan masalah Jabr dan Tafwidh ini. [83] Bahkan dari semua riwayat yang dinukilkan dari Imam Hadi as mayoritas didominasi oleh hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah Jabr dan Tafwidh. [84]

Doa’dan Ziarah

Dari Imam Hadi as juga diriwayatkan sejumlah doa dan bacaan ziarah yang memuat pesan-pesan tarbiyah dan ilmu-ilmu yang mendalam mengenai ma’arif Islam. Kandungan doa-doa tersebut selain memuat lantunan pengharapan dan hajat yang ditujukan kepada Allah swt, juga memuat kutipan-kutipan mengenai pesan-pesan politik dan sosial, yang memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan politik dan sosial umat Islam Syiah. Ia menyampaikan pemahaman yang khusus kepada para pengikutnya secara sistematis, contohnya adalah doa Ziarah Ghadiriyah yang secara langsung dijelaskan oleh Imam as.

Ziarah Jami’ah Kabirah

Ziarah Jami’ah Kabirah tidak hanya berisikan lantunan bahasa yang indah dan puitis namun juga mengandung ma’arif Islam yang sangat luas, sehingga memiliki kedudukan yang tinggi dan perhatian yang besar dari umat Syiah. Ziarah ini diajarkan oleh Imam Hadi as atas permintaan para Syiahnya.

Kesyahidan Imam al-Hadi as

Imam al-Hadi as meneguk cawan syahadah, akibat racun yang dibubuhkan atas perintah Mu’taz Abbasi. [85] Syaikh Mufid dan perawi lainnya meriwayatkan Imam al-Hadi as syahid pada bulan Rajab setelah 20 tahun 9 bulan menetap di Samara. [86] Sebagian sumber menyebutkan ia syahid pada hari ketiga Rajab. [87]Berdasarkan riwayat lainnya versi syahidnya justru terjadi pada tanggal 25 atau 26 Jumadil Akhir. [88]

Berita kesyahidannya sangat melukai hati para pecintanya. Proses pemakamannya dibanjiri oleh para Syiahnya, yang spontan memukul-mukuli wajah mereka, sebagai petanda kedukaan yang mendalam. Ketika jenazah suci Imam Hadi as akan dimandikan para Syiahnya membawa keluar tubuh suci tersebut dari rumahnya, kemudian meletakkannya di depan rumah [Musa bin Bagha]]. Ketika Mu’taz Abbasi mengetahui kabar tersebut, ia ingin menyalati jenazah Imam as. Oleh sebab itu, ia memerintahkan untuk meletakkan jenazah suci Imam as diatas tanah. Kemudian ia menyalatinya, namun salat jenazah telah dilakukan sebelumnya oleh Imam Hasan Askari as dan para Syiahnya. Setelah itu, jezanah Imam Hadi as dimakamkan disalah satu rumah dimana ia menjadi tahanan rumah semasa hidupnya. Dalam proses pemakaman tersebut masyarakat yang hadir sangat membludak, sehingga menyulitkan gerak Imam Hasan Askari as. Disaat itu seorang pemuda membawakan seekor kuda untuk Imam as dan masyarakat dapat mengiringi jenazah suci Imam al-Hadi as sampai ke tempat peristirahatannya yang terakhir. [89]

Murid dan para Sahabat

Berdasarkan tulisan Syaikh Thusi, jumlah total murid Imam Hadi as dan para perawi yang menukil riwayat darinya berjumlah 185 orang. Berikut ini, diantara murid dan sahabat Imam Hadi as yang terkenal:

Abdul Adzhim Hasani

Abdul Adzhim al-Hasani berdasarkan tulisan Syaikh Thusi termasuk sahabat Imam Hadi as dan Imam Hasan Askari as, namun sebagian literature lainnya menyebutkan ia adalah sahabat Imam Jawad as dan Imam Hadi as. Ia dikenal sebagai sosok yang saleh, abid dan alim. Selain itu ia juga ahli fikih dan merupakan sahabat kepercayaan Imam Hadi as. Abu Hamad Razi mengatakan: “Di Samara saya menemui Imam Hadi as dan menanyakan beberapa masalah kepadanya mengenai halal dan haram dan iapun menjawabnya. Dan ketika saya pamit, ia memesankan kepada saya, “Hai Hamad, jika ditempat yang engkau tinggali engkau menemukan masalah agama yang tidak bisa kau pecahkan, maka bertanyalah kepada Abdul Adzhim, dan sampaikan salamku kepadanya.” [90]

Utsman bin Sa’id

Utsman bin Sa’id adalah seorang murid Imam Hadi as yang sejak berusia 11 tahun telah menimba ilmu langsung kepada Imam Hadi as. Hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama, Imam Hadi as telah menggelari Utsman bin Sa’id sebagai tsiqah dan amin, gelaran khusus yang ditujukan kepada individu yang dapat dipercaya dan amanah. [91]

Ayyub bin Nuh

Ayyub bin Nuh seorang yang terpercaya, ahli ibadah, dan bertakwa. Ia dikenal oleh para ulama rijal sebagai seseorang yang saleh dan ahli ibadah. Ia adalah wakil Imam Hadi as dan Imam Hasan Askari as dan meriwayatkan banyak hadis dari Imam Hadi as. [92]

Hasan bin Rasyid

Hasan bin Rasyid memiliki kunyah Abu Ali dan merupakan sahabat dari Imam Jawad as dan Imam Hadi as. Syaikh Mufid menyebutnya sebagai fakih kenamaan dan sangat mendalam keilmuannya mengenai halal dan haram, tidak ditemukan padanya aib dan kesalahan yang membuat musuh-musuhnya dapat merendahkannya. Syaikh Thusi juga melaporkan bahwa Hasan bin Rasyid adalah diantara wakil Imam Hadi as, dan diantara keduanya sering terjadi korespondensi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan umat. [93]

Hasan bin Ali Nashir

Syaikh Thusi menyebutkan bahwa Hasan bin Ali Nashir adalah salah seorang sahabat Imam Hadi as. Ia adalah ayah dari kakek Sayid Murtadha dari pihak ibu. [94] Mengenai kepribadiannya, Sayid Murtadha menyifatkan, “Kedudukan dan keunggulannya dalam ilmu, kesalehan dan fikih, lebih terang dari sinar matahari. Ialah yang menyebarkan Islam di Dailam dan membimbing masyarakat setempat yang larut dalam kemaksiatan dan dosa menuju hidayah, dan dengan doanya mereka semua kembali kepada kebenaran. Dia memiliki akhlak yang sangat mulia dan diterima semua kalangan.” [95]

Upaya Pengrusakan ke Haram Imam Hadi as

Dalam kurun terakhir, terdapat upaya kelompok ekstrim Salafi dan Takfiri yang hendak menghancurkan pemakaman Imam Hadi as. Diantara serangan yang paling merusak pada 22 Februari 2005. Al-Qaedah mengaku bertanggungjawab atas aksi peledakan Haram Imam Hadi as yang menyebabkan kerusakan parah pada kubah makam tersebut, termasuk merusak menara Haram tersebut yang terbuat dari bahan emas. [96] Dua tahun setelahnya pada 13 Maret 2007, kembali terjadi peledakan bom yang merusak total menara yang tersisa dari upaya pengrusakan sebelumnya. [97] Pada 6 Juni 2014 kembali terjadi penyerangan yang dilakukan ISIS dengan niat hendak melakukan penghancuran total Haram Imam Hadi as dan Imam Hasan Askari as, namun berkat kerjasama warga setempat, pengelola Haram dan pihak militer Irak, upaya tersebut berhasil digagalkan. [98]

Renovasi Haram Imam Hadi as

Setelah terjadi pengrusakan kubah dan menara Haram, dilakukan renovasi yang menelan biaya 100 juta dollar. Pembuatan kubah dimulai pada tahun 2010 di Qom yang didesain oleh Sayid Jawad Syahrestani. Kubah tersebut dibuat dari 23 ribu batu bata dengan sepuhan emas. Pusara makam Imam Ridha as juga dibuat kembali dengan biaya yang ditanggung oleh Ayatullah Sayid Ali Sistani. Pembuatan tersebut menelan biaya menggunakan sekitar 70 Kg emas, 4.500 Kg perak, 1.100 Kg tembaga dan 11 ton katu jati dengan taksiran mampu bertahan selama 300 tahun. [99]

Catatan Kaki:

  1. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 297; Masudi, Isbat al-Washiyah, hlm. 228
  2. Naubakhti,Firaq al-Syiah, hlm. 135.
  3. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Tahlib, jld. 4, hlm. 401
  4. Qurasyi, Hayat al-Imam Ali al-Hadi, hlm. 21
  5. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 401
  6. Sibth Ibn Jauzi, Tadkirah al-Khawash, jld. 2, hlm. 492
  7. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 50, hlm. 113; Shaduq, Ilal al-Syarayi, jld. 1, hlm. 241
  8. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 401; Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jld. 6, hlm. 104
  9. Sebagai contoh silakan rujuk: Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 97, 241
  10. Qurasyi, Hayat al-Imam Ali al-Hadi, hlm. 21
  11. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 497; Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jld. 6, hlm. 104
  12. Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 297; Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thali, jld. 4, hlm. 401
  13. Mishbah Kaf’ami, Jannah al-Aman al-Waqiyah, hlm. 512; Muhaddis Qummi, jld. 3, hlm. 1835; Masudi, Isbat al-washiyah, hlm. 228
  14. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 497
  15. Rajabi Dawani, [http://farsi.khamenei.ir/others-note?id=19933 Sebab-sebab Sedikitnya Data-data Sejarah Mengenai Imam Hadi as
  16. Dakhil, Aimmatuna, jld. 2, hlm. 209.
  17. Bihār al-Anwār, jld. 50, hlm. 117.
  18. Khushaibi, al-Hidayah al-Kubra, hlm. 313; Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 311-312; Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 402
  19. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 312
  20. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 402
  21. Ibnu Hajar, al-Shawā’iq al-Muhriqah, hlm. 207.
  22. Husain, Tarikh Siyasi Ghaibat Imam Dawazdahum, hlm. 81
  23. Mufid, al-Irsyād, hlm. 638.
  24. Naubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 134.
  25. Asy’ari Qummi, al-Maqālāt wa al-Firaq, hlm. 99
  26. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 300
  27. Ibnu Syahrasyub, Manāqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 402
  28. Atharidi, Musnad al-Imam al-Hadi, hlm. 20
  29. Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 323-325; Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 298
  30. Ibnu Syahrasyub, Manāqi Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 402
  31. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm. 297
  32. Ibnu Syahrasyub, Manāqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 401
  33. Jasim, Tarikh Siyasi Ghaibati Imam Dawazdahum, hlm. 81
  34. Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawāsh, jld. 2, hlm. 493.
  35. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 209
  36. Masudi, Isbat al-Washiyah, hlm. 233
  37. Masudi, Itsbat al-Washiyah, hlm. 233
  38. Mufid, al-Irsayd, jld. 2, hlm. 309
  39. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 309
  40. Mufid, al-Irsyād, hlm. 644.
  41. Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 309; Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 501.
  42. Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawāsh, jld. 2, hlm. 492.
  43. Mas’udi, Itsbat al-Washiyah, hlm. 237
  44. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 311
  45. Mufid, al-Irsayad, jld. 2, hlm. 311
  46. Mufid, al-Irsayad, jld. 2, hlm. 311
  47. Thabrisi, I’lam al-Wara, jld. 2, hlm. 126
  48. Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 4, hlm. 11
  49. Sibth Ibn Jauzi, Tadzkirah al-Khawash, jld. 2, hlm. 497
  50. Abu al-Faraj Isfahani, Maqatil al-Thalibiyyin, hlm. 478
  51. Ja’farian, Hayati fikri-Siyasi Imamani Syiah, hlm. 628
  52. QS. Al-Ankabut: 45
  53. Kassyi, Rajal Kasysyi, hlm. 517
  54. Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 338
  55. Kasysyi, Rijal Kasysyi, hlm. 518-519
  56. Nubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 136
  57. Kasysyi, Rijal Kasysyi, hlm. 520
  58. Kasysyi, Rijal Kasysyi, hlm. 520
  59. Kasysyi, Rijal Kasysyi, hlm. 523
  60. Ja’farian, Hayate Fikri-Siyasi Imamani Syiah, hlm. 669
  61. Atharidi, Musnad al-Imam Hadi, hlm. 323
  62. Lihat: Najjasyi, Rijal, hlm. 80; Thusi, Fihrist, hlm. 57
  63. Ja’farian, Ukdzubah al-Tahrif baina al-Syiah wa al-Sunnah, hlm. 76-77
  64. Kasysyi, Rijal Kassyi, hlm. 512
  65. Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm.435
  66. Kasysyi, Rijal Kasysyi, hlm. 520
  67. Rijal Najjasyi, hlm. 329
  68. Rijāl Kasyi, hlm. 607-608.
  69. Musnad al-Imam al-Hadi as, hlm. 320.
  70. Shaduq, al-Tauhid, hlm. 101.
  71. Atharidi, Musnad al-Imam al-Hadi as, hlm. 45.
  72. Shaduq, ‘Uyūn Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 260.
  73. Atharidi, Musnad al-Imam al-Hadi as, hlm. 317.
  74. Thusi, Rijāl Kasyi, hlm. 526.
  75. Atharidi, Musnad al-Imam al-Hadi as, hlm. 352.
  76. Atharidi, Musnad al-Imam al-Hadi as, hlm. 123.
  77. Thusi, Rijāl Kasyi, hlm. 610.
  78. Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, jld. 4, hlm. 435.
  79. Majlisi, Bihār al-Amwār, jld. 2, hlm. 244.
  80. Shaduq, Amāli, hlm. 438.
  81. Rijāl Kasyi, hlm. 265.
  82. Musnad al-Imam al-HadiaAs, hlm. 84-94.
  83. Musnad al-Imam al-Hadi as, hlm. 198-213.
  84. Atharudi, Musnad al-Imam al-Hadi as, hlm. 198-227.
  85. Dalāil al-Aimmah, hlm. 409.
  86. Mufid, al-Irsyād, hlm. 649.
  87. Naubakhti, Furuq al-Syiah, hlm. 134.
  88. Irbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 4, hlm. 7.
  89. Mas’udi, terj. Itsbāt al-Washiah, hlm. 456.
  90. Mustadrak al-Wasāil, jld. 17, hlm. 321.
  91. Thusi, Rijāl Thusi, hlm. 389-401.
  92. Syaikh Thusi, al-Ghaibah, jld. 1, hlm. 349.
  93. Syaikh Thusi, al-Ghaibah, jld. 1, hlm. 350.
  94. Syaikh Thusi, Rijāl, hlm. 385.
  95. Sayid Murtadha, Masail al-Nāshirāt, hlm. 63.
  96. https://images.hamshahrionline.ir/hamnews/1384/841206/
  97. http://ebtekarnews.com/Ebtekar/News.aspx?NID=15206
  98. https://www.ettelaat.com/new/index.asp?fname=2014%5C06%5C06-06%5C22-32-02.htm&storytitle=%C7%D1%CA%D4%20%DA%D1%C7%DE%20%CA%D1%E6%D1%ED%D3%CA%9D%E5%C7%ED%20%E3%E5%C7%CC%E3%20%C8%E5%20%D3%C7%E3%D1%C7%20%D1%C7%20%CA%C7%D1%E6%E3%C7%D1%20%DF%D1%CF
  99. https://www.tabnak.ir/fa/news/352489/%D8%A2%D8%AE%D8%B1%DB%8C%D9%86-%D9%85%D8%B1%D8%A7%D8%AD%D9%84-%D8%A8%D8%A7%D8%B2%D8%B3%D8%A7%D8%B2%DB%8C-%D8%AD%D8%B1%D9%85%E2%80%8C%D9%88%D8%B6%D8%B1%DB%8C%D8%AD-%D8%A7%D9%85%D8%A7%D9%85-%D9%87%D8%A7%D8%AF%DB%8C%D8%B9

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jadwal Salat Kota Jakarta

© 2024 Syiahpedia. All Rights Reserved.